Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 13 Agustus 2011

Spring Love (Chapter 5)



Kim Bum memandang ke sekeliling studio yang menjadi lokasi syuting hari itu, tetapi gadis aneh itu tidak terlihat. Sutradara Song Chang Ui meminta para model bersiap-siap karena syuting akan segera dilanjutkan, tetapi model utamanya tidak terlihat di mana-mana. Mungkin ia pergi makan siang di luar dan belum kembali. Kim Bum menghembuskan napas dan mengingatkan diri sendiri untuk meminta nomor ponsel gadis itu supaya ia bisa menghubunginya kalau ada kejadian seperti ini lagi.

“Noona,” panggil Kim Bum sambil berjalan menghampiri Song Hye Gyo yang sedang merapikan kostum di rak gantung. “Noona tahu di mana dia?”

“Dia siapa?” Song Hye Gyo balas bertanya tanpa menoleh.

“Siapa lagi? Gadis aneh itu. Kim So Eun. Di mana dia?”

Sebelum Song Hye Gyo sempat menjawab, terdengar suara dari balik punggung Kim Bum yang berkata pelan, “Aku di sini.”

Kim Bum berputar cepat dan langsung berhadapan dengan sepasang mata hitam yang balas menatapnya dengan resah. Kim Bum bertanya-tanya apakah Kim So Eun mendengar kata-kata “gadis aneh itu” tadi, namun langsung menyadari bahwa gadis itu tidak begitu mengerti bahasa Korea. Ia hanya mendengar Kim Bum menyebut namanya dan menyadari bahwa dirinya sedang dicari-cari.

“Baguslah karena kau sudah di sini,” kata Kim Bum cepat-cepat. “Kau harus bersiap-siap sekarang.”

Kim So Eun menggigit bibir dan mengangguk singkat. “Oh, Baiklah. Aku akan...” Kata-katanya terhenti ketika ia tiba-tiba merasa dunia bergoyang. Seperti gempa bumi ringan yang sering dialaminya di Tokyo. Tetapi ini Paris. Tidak mungkin gempa bumi, bukan?

Ketika ia mendapatkan keseimbangan tubuhnya kembali, Kim So Eun menyadari Kim Bum sedang memegangi sikunya dan laki-laki itu menatapnya dengan alis berkerut samar. “Ada apa denganmu?” tanyanya.

Kim So Eun menggeleng bingung. “Aku tidak apa-apa,” sahutnya sambil menarik lengannya dari pegangan Kim Bum dan mundur selangkah. “Aku akan bersiap-siap sekarang.”

“Kau sudah makan?” tanya Kim Bum lagi.

Kim So Eun tidak langsung menjawab. Setelah ragu sejenak, ia berkata, “Sudah.”

Kim Bum tidak berkata apa-apa. Hanya terlihat berpikir-pikir, lalu ia mengangguk dan tersenyum kecil. “Baiklah. Aku akan memanggilmu kalau semuanya sudah siap.”

Kim So Eun memandangi punggung Kim Bum yang menjauh sambil merenung, lalu ia berputar menghadap Song Hye Gyo dan tersenyum. “Kostum mana yang harus kupakai?”

Beberapa menit kemudian, setelah berganti pakaian dan berjalan kembali ke meja riasnya, Kim So Eun melihat melihat dua bungkus sandwich dan sekotak susu tergeletak di meja rias. Ia mengamati kedua sandwich yang terlihat lezat itu. Sandwich Kalkun dan sandwich salad. Secarik kertas kuning terselip di bawahnya.

Aku tidak tahu kau vegetarian atau bukan dan aku tidak tahu kau suka kalkun atau tidak, tapi tolong makan saja daripada kau jatuh pingsan di tengah-tengah syuting. Kita tidak mau hal itu terjadi, bukan?
KB.

Kim So Eun memandang berkeliling sampai ia melihat Kim Bum di seberang ruangan. Laki-laki itu sedang menunduk menatap sesuatu yang ditunjukkan salah seorang kru dan mendengarkan dengan saksama. Lalu tiba-tiba ia mengangkat wajah dan bertemu pandang dengan Kim So Eun. Sebelum Kim So Eun sempat berpikir apa yang harus dilakukannya, Kim Bum tersenyum sekilas kepadanya dan kembali memusatkan perhatian pada apa yang dikatakan kru di sampingnya.

Menatap dua potong sandwich di tangan, Kim So Eun hanya ragu sejenak, lalu membuka bungkusan sandwich kalkun dan menggigitnya. Ia memejamkan mata sejenak. Pada kenyataannya sandwich itu memang bukan sandwich paling enak di dunia, tetapi saat itu, bagi perutnya yang keroncongan, sandwich itu adalah salah satu makanan paling enak yang pernah dicicipi Kim So Eun.

* * *

Kim Bum mendapati dirinya tersenyum melihat gadis aneh itu menggigit sandwich dengan tekun, seolah-olah sandwich itu akan menguap kalau tidak segera dimasukkan ke mulut. Pikiran pertama yang muncul di benaknya adalah Kim So Eun bukan vegetarian. Lalu pikiran kedua adalah dugaannya memang benar.

Gadis itu nyaris pingsan karena kelaparan tadi. Kim Bum jadi ingin tahu apa yang dilakukannya selama waktu makan siang tadi, kalau gadis itu memang tidak pergi makan.

Ia membiarkan dirinya menatap ke arah Kim So Eun sejenak, lalu berdoa dalam hati supaya gadis itu tidak jatuh pingsan di tengah-tengah syuting. Jadwal syuting sudah cukup gila tanpa perlu ditambah dengan pingsannya model utama.

Tetapi pada kenyataannya ia tidak perlu khawatir sama sekali. Proses syuting sepanjang sisa hari itu berjalan sangat lancar. Entah karena perut Kim So Eun yang sudah terisi penuh sehingga ia bisa bekerja lebih baik atau karena suasana hati Sutradara Song Chang Ui memang sedang baik, semua adegan yang direncanakan untuk hari itu diselesaikan dengan cepat dan memuaskan. Kemudian segalanya bertambah menyenangkan ketika Sutradara Song Chang Ui menghentikan proses syuting lebih awal daripada kemarin dan mengajak semua kru makan malam di restoran Korea yang berjarak satu blok dari studio.

Restoran itu terletak di lantai dua, tepat di atas toko souvenir, di ujung jalan yang tidak terlalu ramai. Restoran kecil yang tadinya sepi itu berubah ramai karena kedatangan mereka dan mereka menempati hampir semua tempat kosong yang tersedia.

“Walaupun aku masih keturunan Korea, Aku belum pernah mencoba makanan Korea.”

Kim Bum menoleh ke arah suara itu dan melihat Kim So Eun sedang berbicara kepada Song Hye Gyo.

“Sama sekali belum pernah?” tanya Song Hye Gyo, lalu menerjemahkan kata-kata Kim So Eun ke dalam bahasa Korea sehingga penata rias lain yang duduk semeja dengan mereka mengerti.

Kim So Eun tersenyum dan mendengarkan sementara para penata rias itu mulai berlomba-lomba menjelaskan makanan kecil yang mulai disajikan di meja kepadanya dalam bahasa Inggris yang sepatah-sepatah dan kadang-kadang tanpa sadar dicampur bahasa Korea.

Selama dua hari ini jadwal syuting sangat padat dan gadis itu bahkan belum sempat banyak bicara dengan para kru. Ini akan menjadi kesempatan yang baik bagi mereka untuk lebih mengenal. Dan kelihatannya gadis itu tidak mendapat kesulitan.

Sekarang saja beberapa orang kru di meja lain mulai mendekatinya dan mengajaknya mengobrol dengan bantuan Song Hye Gyo sebagai penerjemah. Tidak lama kemudian mereka mulai tertawa-tawa dan membicarakan hal-hal yang tidak bisa ditangkap Kim Bum dari tempat duduknya.

Sutradara Song Chang Ui mengatakan sesuatu kepadanya dan Kim Bum pun mengalihkan tatapan dari gadis itu.

* * *

Kim So Eun merasa senang malam itu. Lelah setengah mati, tentu saja, tapi juga senang.

Awalnya ia ingin menolak ketika diajak ikut makan malam karena dua alasan.

Pertama, ia merasa ia mungkin akan disisihkan karena ia adalah satu-satunya orang yang tidak begitu bisa berbahasa Korea di sana. Tetapi ternyata ia salah. Para kru memang tidak banyak bicara dan bersikap profesional ketika sedang bekerja, tetapi sekarang sikap mereka sangat berbeda. Mereka selalu mengajak Kim So Eun bicara dan bercanda walaupun mereka tidak bisa berbahasa Inggris dan harus mencampur-campurkan bahasa Inggris mereka yang sepatah-sepatah dengan bahasa Korea dan isyarat tangan.

Kedua, ia sangat lelah. Ia hanya ingin pulang dan tidur. Ketika syuting hari itu berakhir, ia baru benar-benar menyadari betapa lelah dirinya. Sebenarnya ajaib sekali ia masih bisa berdiri saat ini kalau mengingat jadwal kerjanya yang padat selama dua bulan terakhir, walaupun tentu saja sekarang ia merasa kakinya hampir tidak kuat lagi menopang tubuhnya.

Tetapi ia tidak bisa menolak ajakan Sutradara Song Chang Ui untuk makan malam bersama. Ia tidak tahu apakah ia akan dianggap tidak sopan kalau menolak.

Ditambah lagi Song Hye Gyo juga mendesaknya ikut. Karena tidak punya tenaga untuk berdebat. Kim So Eun pun mengiyakan.

Dengan adanya Song Hye Gyo yang bertindak sebagai penerjemah, Kim So Eun harus mengakui bahwa ia tidak menyesal telah ikut makan malam bersama. Makanannya enak dan orang-orangnya menyenangkan. Dan Kim So Eun menyadari ia banyak tertawa selama makan malam karena lelucon yang dilontarkan para kru. Sudah lama sekali ia tidak tertawa seperti itu.

Walaupun ia bersenang-senang, rasa kantuk tetap menyerangnya. Tentu saja itu tidak aneh mengingat sudah beberapa minggu terakhir ini ia kurang tidur. Ia tidak tahu sudah berapa kali ia menguap diam-diam selama makan malam. Dan sekarang ia menguap lagi.

“Ngomong-ngomong, apa pendapatmu tentang Kim Bum?”

Kim So Eun buru-buru mengatupkan mulut dan menoleh menatap Song Hye Gyo. “Hm?”

“Bagaimana pendapatmu tentang Kim Bum? Dia baik, bukan?” tanya Song Hye Gyo sekalil agi.

Kim So Eun menoleh ke arah meja yang tadi ditempati Kim Bum, tetapi tidak melihat laki-laki itu di sana. Kim So Eun menggigit bibir. Sebenarnya ia sama sekali tidak memikirkan Kim Bum selama dua jam terakhir ini, dan menurutnya itu sesuatu yang bagus. Lalu kenapa Song Hye Gyo tiba-tiba harus membicarakan laki-laki itu? Kalau boleh memilih, Kim So Eun benar-benar tidak ingin berbicara tentang Kim Bum. Bahkan tidak ingin berpikir tentang laki-laki itu. Tetapi salah satu hal yang diketahui pasti oleh Kim So Eun tentang Song Hye Gyo adalah bahwa kalau wanita itu ingin membicarakan sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.

Sadar bahwa Song Hye Gyo masih menatapnya dan jelas-jelas berharap ia mengatakan sesuatu, Kim So Eun memaksakan senyum kecil dan bergumam, “Sepertinya kau mengenalnya dengan baik.”

Senyum Song Hye Gyo melebar bangga. “Tentu saja. Aku bahkan mengenal kakak perempuannya yang dulu juga adalah model terkenal. Sedangkan kakak laki-lakinya...yah, aku hanya sempat bertemu dengannya satu kali sebelum dia meninggal dunia, tentu saja.”

Kim So Eun menyesap minumannya dengan pelan.

Song Hye Gyo mencondongkan tubuhnya ke arah Kim So Eun dan bergumam pelan, “Kecelakaan lalu lintas. Tiga tahun lalu. Mengemudi sambil mabuk.”

“Oh ya?”

“Oh, ya.” Song Hye Gyo mengangguk muram. “Tulang pinggulnya patah dan dia sempat koma selama dua bulan sebelum akhirnya meninggal. Kasihan sekali, bukan?”

Kim So Eun menghela napas pelan. Kasihan?

Sebenarnya tidak. Ia tidak kasihan pada orang-orang seperti itu. Hidup ini penuh dengan pilihan. Dan kalau orang itu memilih bersikap tidak bertanggungjawab dengan mengemudi dalam keadaan mabuk, maka ia sendiri yang harus menerima akibatnya.

Tetapi Kim So Eun tidak berkata apa-apa pada Song Hye Gyo, hanya kembali menyesap minumannya dengan muram. Kepalanya mulai terasa pusing. Ia merasa seolah-olah sedang bermimpi. Ia butuh udara segar. Tidak, tidak... Ia harus pulang. Ia tidak ingin jatuh pingsan karena kelelahan di tengah jalan.

Setelah pamit dengan Sutradara Song Chang Ui, Song Hye Gyo dan para staf lain yang terbukti agak sulit karena mereka semua mendesaknya tetap tinggal, Kim So Eun pun mengumpulkan barang-barangnya dan berjalan ke arah tangga. Oh, ia sangat lelah.

Saking lelahnya, ia merasa ia bisa tidur sambil berdiri. Kim So Eun menepuk-nepuk pipinya sendiri untuk sedikit menyadarkan diri. Udara dingin pasti bisa menyegarkannya. Sekarang yang harus dilakukannya adalah menuruni tangga kayu sempit di restoran itu. Menuruni tangga sempit dalam sepatu bot bertumit tinggi dan dalam keadaan setengah sadar sama sekali bukan pekerjaan yang mudah.

Kim So Eun harus mengerahkan segenap konsentrasinya yang tersisa. Ia tidak mau sampai...

“Mau pergi ke mana?”

Suara itu membuat Kim So Eun tersentak kaget dan kehilangan keseimbangan.

Sebelum ia bahkan menyadari apa yang sedang terjadi, kaki kanannya tergelincir dari pijakan dan tubuhnya terhuyung ke depan. Kim So Eun memejamkan mata, bersiap-siap menerima yang terburuk. Ia merasa dirinya menubruk sesuatu, tetapi ia tidak jatuh berguling-guling di tangga, tidak terjerembap di lantai keras, tidak merasa kesakitan.

Kim So Eun membuka mata dan mendongak. Matanya melebar kaget ketika ia menyadari bahwa ia telah mendarat dalam pelukan Kim Bum.

Oh Tuhan...

* * *

Mata hitam yang mirip mata boneka itu terbelalak lebar menatapnya. Sejenak Kim Bum melupakan kaki kirinya yang berdenyut-denyut kesakitan. Oh ya, ia bisa melihat berbagai macam ekspresi yang melintas di mata itu. Kaget, bingung, dan... takut?

Kim Bum berdeham dan bergumam, “Kau tidak apa-apa?” Ia tidak melepaskan Kim So Eun. Gadis itu pasti akan langsung tersungkur kalau Kim Bum melepaskannya, mengingat posisinya saat itu yang seluruhnya bersandar pada Kim Bum.

Kim So Eun tidak menjawab. Tidak bergerak sedikit pun. Tubuhnya begitu kaku dalam pelukan Kim Bum sampai Kim Bum hampir mengira gadis itu sudah berubah menjadi boneka kayu.

“Kalau kau baik-baik saja,” Kim Bum melanjutkan dengan nada ringan, “mungkin kau bisa mengangkat kaki kananmu sedikit.”

Mata Kim So Eun mengerjap satu kali, lalu ia menunduk menatap kaki kanannya.

Kim Bum mengikuti arah pandangannya dan mereka berdua menatap hak tinggi sepatu bot Kim So Eun yang menancap di kaki kiri Kim Bum. Kim So Eun terkesiap dan buru-buru melepaskan diri dari Kim Bum. Tetapi karena terlalu terburu-buru, ia malah terhuyung ke belakang.

Kim Bum dengan cepat mengulurkan tangan dan menahan siku gadis itu. Ia menghembuskan napas panjang dan berkata, “Pelan-pelan saja,” kata Kim Bum. Seperti yang sudah diduganya, Kim So Eun secepat kilat menarik lengannya dari pegangan Kim Bum.

Sejenak Kim So Eun hanya menatapnya tanpa berkedip. “Aku... Maaf,” gumamnya pada akhirnya. Jeda sejenak, lalu, “Kakimu...”

Kim Bum tersenyum dan menggerak-gerakkan kaki kirinya. “Aku tidak akan pincang,” katanya ringan.

Kim So Eun mengangguk, namun tidak berkata apa-apa.

Kim Bum mengamati Kim So Eun yang berdiri di hadapannya. Apakah hanya perasaannya atau apakah gadis itu memang terlihat resah?

“Jadi kau mau ke mana?” tanya Kim Bum lagi.

Kim So Eun berdeham pelan. “Aku pulang dulu.” Ia tersenyum singkat. Benar-bena rsingkat, sampai Kim Bum tidak yakin apakah Kim So Eun benar-benar tersenyum tadi.

“Sampai jumpa besok.”

Tanpa menunggu jawaban, gadis itu dengan cepat menuruni tangga melewati Kim Bum dengan kepala tertunduk. Kening Kim Bum berkerut samar, lalu sedetik kemudian ia berputar dan berkata, “Biar kutemani sampai ke stasiun.”

Kim So Eun berhenti di dasar tangga, berbalik pelan dan mendongak menatap Kim Bum. “Apa?”

“Akan kutemani kau sampai ke stasiun,” Kim Bum mengulangi kata-katanya sambil menuruni tangga.

“Aku tidak butuh ditemani.”

Kim Bum mendesah dalam hati. Astaga, gadis ini benar-benar menyulitkan. Ia berdiri di hadapan Kim So Eun dan tersenyum ringan. “Baiklah. Aku yang butuh teman,” katanya. “Aku sedang bosan. Aku butuh teman bicara. Dan kurasa jalan-jalan sebentar tidak ada salahnya. Bukankah begitu?”

Setelah berkata begitu, Kim Bum berjalan melewati Kim So Eun yang masih menatapnya dengan alis berkerut bingung.

Setelah berjalan beberapa langkah, Kim Bum berbalik dan melihat gadis itu masih berdiri di tempat. “Aku tidak bermaksud merayumu, kau tahu? Maksudku, kalau itu yang kau takutkan,” katanya sambil tersenyum. “Sudah kubilang kau sama sekali bukan tipeku. Tapi itu tidak berarti kita tidak bisa berteman, bukan?”

Alis gadis itu masih berkerut dan ia masih menatap Kim Bum dengan ragu.

Kim Bum memiringkan kepala sedikit. “Apakah kau takut padaku?”

Kim So Eun tidak menjawab, dan hal itu membuat Kim Bum heran. Ia hanya bercanda dan mengira Kim So Eun akan membantah dengan tegas. Tetapi gadis itu hanya berdiri diam di sana. Apakah gadis itu benar-benar takut padanya? Kenapa? Sebelum Kim Bum sempat berpikir lebih jauh, ia melihat Kim So Eun memejamkan mata, lalu menghela napas seolah-olah menyerah, dan mulai berjalan menyusul Kim Bum.

Senyum Kim Bum mengembang. Itu sama sekali bukan kemenangan besar, tetapi tetap adalah kemajuan. “Jadi, Kim So Eun,” kata Kim Bum memulai percakapan sementara mereka berjalan menyusuri trotoar, “kau sudah merasa lebih baik?”

Kim So Eun meliriknya sekilas. “Apa maksudmu?”

Kim Bum mengangkat bahu. “Tadi siang kau hampir pingsan di depanku karena kelaparan. Sekarang kau hampir pingsan di tangga karena... ya, aku tidak tahu kenapa, tapi yang pasti bukan karena lapar. Kulihat porsi makanmu cukup sehat tadi.”

Langkah kaki Kim So Eun terhenti. Ia berputar menghadap Kim Bum dan membuka mulut hendak membalas, lalu menutupnya lagi. Setelah berpikir sejenak, ia membuka mulut dan berkata, “Pertama, tadi siang aku tidak pingsan. Walaupun aku... walaupun aku memang tidak sempat makan. Tapi itu tidak ada hubungannya! Kepalaku hanya agak pusing dan...”

Kim Bum mengangkat alis, terkejut mendengar aliran kata-kata yang cepat dari mulut Kim So Eun. Tetapi sepertinya salah mengartikan ekspresi Kim Bum karena gadis itu melotot ke arahnya.

“Dan itu jarang sekali terjadi,” lanjut Kim So Eun galak. “Kedua, tadi aku hanya tergelincir di tangga. Sekali lagi, bukan pingsan! Karena kau tiba-tiba muncul entah dari mana dan membuatku kaget setengah mati. Ketiga, apa maksudmu dengan porsi makanku besar? Apa salahnya kalau aku makan banyak? Aku kan tidak sempat makan siang tadi. Seorang model memang seharusnya kurus, tapi seorang model tidak seharusnya mati kelaparan. Katakan padaku, apakah aku salah?”

Kim So Eun menarik napas panjang di akhir penjelasannya dan Kim Bum tersenyu mmelihatnya. Lalu ia berkata, “Giliranku?” Karena gadis itu hanya diam dan menatapnya dengan mata disipitkan, Kim Bum melanjutkan, “Baiklah, pertama, tadi siang kau memang hampir pingsan. Tunggu, jangan menyela dulu. Dan kalau aku tidak menahanmu, kau pasti sudah jatuh ke lantai seperti pohon tumbang. Kedua, aku tidak tiba-tiba muncul entah dari mana. Aku tadi sedang melihat-lihat toko souvenir yang ada di bawah restoran. Ketiga, tadi kubilang porsi makanmu sehat, bukan banyak. Sehat. Dan tidak, tidak ada salahnya kalau kau makan banyak.”

Kim So Eun menatapnya sejenak dengan alis berkerut kesal. “Kalau begitu, terima kasih,” katanya datar, berbalik meneruskan langkah.

“Sekarang,” kata Kim Bum ringan sambil mengikuti langkah gadis itu, “Ceritakan tentang dirimu.”

Kim So Eun meliriknya sekilas. Lagi-lagi tatapan curiga itu dan bertanya singkat, “Kenapa?” Ah, lagi-lagi nada curiga itu.

“Karena itu yang dilakukan teman, bukan?” Kim Bum balas bertanya dengan nada polos. “Saling mengenal, maksudku.”

Kim So Eun tidak menjawab. Kim Bum juga menyadari gadis itu tidak membantah kata “teman”. Jadi sepertinya itu sesuatu yang bagus.

“Sudah berapa lama kau tinggal di Paris?” tanya Kim Bum ketika sepertinya Kim So Eun tidak berniat mengatakan apa-apa.

Kim So Eun tidak langsung menjawab. Lalu, “Hampir tiga tahun.”

Kim Bum tersenyum kecil. “Kau suka tinggal di sini?”

Kim So Eun hanya mengangkat bahu sedikit.

“Ini ketiga kalinya aku datang ke Paris,” kata Kim Bum. “Aku suka kota ini, walaupun pada dua kunjungan awalku aku tidak punya waktu untuk berkeliling dan melihat-lihat karena jadwal kerjaku terlalu padat. Tapi karena sekarang aku akan tinggal agak lama di sini, kurasa aku bisa mencari waktu luang untuk berkeliling kota.”

Kim So Eun tetap menunduk menatap jalan, tidak berkomentar.

“Bagaimana kalau kau menemaniku?”

Kali ini kepala Kim So Eun berputar ke arahnya. Mata bulat dan resah itu menatap mata Kim Bum sedetik, lalu mengerjap. “Apa?”

Kim Bum mengangkat bahu dengan ringan. “Kukira mungkin kau bisa menemaniku berkeliling kota setelah syuting berakhir. Aku tidak punya teman lain di sini, kecuali sutradara kita, tentu saja, tapi menurutku dia mungkin lebih suka menghabiskan waktu bersama istri dan anaknya daripada bersamaku.”

“Oh, kurasa tidak,” gumam Kim So Eun cepat. Mungkin terlalu cepat. Sambil menuruni tangga ke stasiun kereta bawah tanah.

Kim Bum bergegas menyusulnya. “Kenapa tidak?”

“Karena aku tidak punya waktu.”

Kedengarannya tidak meyakinkan. Kim Bum semakin penasaran. Sepertinya Kim So Eun tidak menyukainya. Tapi kenapa? Kim Bum tidak pernah menganggap dirinya sebagai orang yang menyebalkan. Ia ramah pada siapa saja. Dan ia jelas selalu bersikap ramah pada Kim So Eun. Lalu kenapa ia merasa seolah-olah Kim So Eun tidak menyukainya? Apakah ia telah melakukan sesuatu yang menyinggung perasaan gadis itu? Sepertinya tidak.

“Keretaku akan datang sebentar lagi,” kata Kim So Eun sambil mendongak menatap papan penanda kedatangan kereta, “jadi kalau kau mau pergi sekarang...”

“Kenapa kau membenciku?”

* * *

Kim So Eun menahan napas sejenak. Lalu perlahan-lahan ia menghembuskan napas dan menoleh ke arah Kim Bum. Ia bisa melihat kebingungan di wajah laki-laki itu.

“Kenapa kau membenciku?” tanya Kim Bum sekali lagi.

Kim So Eun menarik napas lagi, lalu berkata pelan, “Aku tidak membencimu.”

Itu memang benar. Ia tidak membenci Kim Bum. Kim So Eun memang baru bertemu dengan Kim Bum dua hari yang lalu dan mungkin Kim So Eun belum benar-benarmengenal laki-laki itu, tapi ia tahu Kim Bum bukan orang yang mudah untuk dibenci.

Malah, kalau Kim So Eun mau jujur pada diri sendiri, ia merasa… mudah sekali bagi seseorang untuk menyukai Kim Bum.

“Kalau begitu kau hanya tidak menyukaiku?” tanya Kim Bum lagi.

Kim So Eun menggigit bibir, berpikir. “Kurasa aku belum cukup lama mengenalmu untuk bisa memberikan penilaian apa pun,” katanya pada akhirnya.

Alis Kim Bum terangkat dan ia tersenyum tipis. “Kau tidak membenciku, tapi juga tidak suka padaku.” Ia menghela napas sejenak, lalu bertanya, “Apakah kau takut padaku?”

Itu kedua kalinya Kim Bum bertanya seperti itu. Ya, Kim So Eun tidak menjawabnya ketika Kim Bum pertama kali bertanya padanya. Saat itu ia tidak tahu bagaimana menjawabnya. Sekarang juga tidak.

“Kim So Eun?”

Kim So Eun mengangkat wajah dan menatap Kim Bum, lalu balas bertanya, “Apakah aku punya alasan untuk takut padamu?”

Kim Bum terdiam sejenak. Kepalanya dimiringkan ke satu sisi. Senyum kecil itu masih tersungging di bibirnya. Kim So Eun merasa seolah-olah laki-laki itu tahu apa yang sedang dipikirkannya. Dan hal itu membuatnya gugup.

“Tidak, kau sama sekali tidak punya alasan untuk takut padaku,” gumam Kim Bum.

Satu kalimat itu langsung membuat dada Kim So Eun terasa lebih ringan. Entah kenapa. Mungkin tanpa sadar Kim So Eun memang mengharapkan penegasan ini.

Kemudian sebelum salah satu dari mereka mengatakan sesuatu, bunyi melengking panjang tanda kereta akan segera tiba terdengar, disusul bunyi gemuruh kereta di terowongan.

“Keretamu,” kata Kim Bum pendek.

Sementara kereta berhenti di depan mereka dan sementara menunggu para penumpang turun dari kereta, Kim So Eun berpikir sejenak sambil menggigit bibir.

Akhirnya ia menoleh ke arah Kim Bum dan berkata, “Terima kasih.”

Kim Bum balas menatapnya dengan alis terangkat. “Hm?”

“Terima kasih. Untuk semuanya.” Kim So Eun mengangkat bahu dengan canggung. “Karena membelikan sandwich untukku siang tadi. Karena menolongk udi tangga tadi. Karena mengantarku ke sini.”

“Hei, itu gunanya teman, bukan?” balas Kim Bum ringan.

Kim So Eun tersenyum ragu, lalu melangkah ke dalam kereta.

Dari balik jendela kaca kereta, ia melihat Kim Bum melambaikan sebelah tangan ke arahnya. Dan laki-laki itu tidak beranjak sampai kereta itu sudah melaju meninggalkan stasiun.

Kim So Eun duduk bersandar dan menghela napas dalam-dalam. Kata-kata Kim Bum tadi terngiang-ngiang di telinganya.

Hei, itu gunanya teman, bukan?

Apakah ia bisa berteman dengan laki-laki itu? Kim So Eun mengusap pelipisnya, lalu bertopang dagu, menatap ke luar jendela kereta, menatap dinding terowongan yang gelap gulita.

Laki-laki selalu membuat Kim So Eun merasa resah dan gugup. Ia tidak pernah merasa nyaman berada di dekat laki-laki. Tidak pernah. Ya, sebenarnya bukan “tidak pernah”. Tentu saja ia tidak terlahir takut pada laki-laki. Hanya saja beberapa tahun terakhir ini, sejak kejadian... kejadian itu, ia tidak pernah bisa memandang laki-laki dengan cara yang sama lagi. Hanya Kim Heechul satu-satunya laki-laki yang dianggapnya teman dan satu-satunya laki-laki yang tidak membuatnya merasa resah.

Dan sekarang ada Kim Bum. Selama dua hari terakhir ini Kim So Eun sudah berusaha menjaga jarak darinya, sama sekali tidak ingin berurusan dengannya.

Namun malam ini Kim Bum menunjukkan bahwa ia berbeda dengan perkiraan awal Kim So Eun. Laki-laki itu sepertinya... baik.

Mungkin Kim Bum memang berbeda.

Tetapi apakan kau benar-benar bisa berteman dengan orang yang bisa membangkitkan mimpi-mimpi terburukmu?

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...