“Akhir pekan ini kami akan pergi ke resor ski. Sudah lama aku tidak main ski. Dan mereka juga bilang mau pergi ke Pemandian Air Panas.” Suara Park Shin Hye yang riang terdengar dari pengeras suara di ponsel Kim Bum. “Prince Smile, kau mau ikut?”
Kim Bum melirik ponsel yang menempel di dasbor mobilnya sementara ia mengemudi. “Tidak,” sahutnya sambil menggeleng walaupun Park Shin Hye sudah pasti tidak bisa melihatnya. “Kurasa aku akan sibuk sekali akhir pekan ini. Banyak pekerjaan yang menunggu. Tapi kuharap kau bersenang-senang dengan teman-teman sekantormu.”
Hening sejenak, lalu Park Shin Hye bertanya dengan nada serius, “Prince Smile, kau benar-benar berencana menetap di sini?”
Kim Bum menghentikan mobilnya di depan lampu lalu lintas yang sudah berubah merah. “Ya,” sahutnya tegas sambil menatap ponselnya. Ia memang yakin ia ingin menetap dan bekerja di Seoul. Selama tiga minggu terakhir ini ia bahkan sudah mempersiapkan pameran hasil karyanya.
“Kenapa?”
Dalam hatinya Kim Bum tahu alasan di balik keinginannya ini, tetapi itu adalah sesuatu yang tidak ingin dikatakannya kepada Park Shin Hye. Entah kenapa. Mungkin belum waktunya. “Kenapa tidak?” balasnya acuh tak acuh.
“Kau tahu aku akan segera kembali ke New York, kan?”
“Tentu saja.”
“Jadi kenapa...” Park Shin Hye tidak melanjutkan kata-katanya. Hening sejenak. Sepertinya Park Shin Hye tidak mengharapkan jawaban singkat dan tegas seperti itu. Lalu ia mendesah dan berkata datar, “Setelah akhir pekan ini, aku akan langsung pergi ke Seogwipo beberapa hari. Ada tugas di sana.” Jeda sesaat lagi, lalu, “Kita akan bicara lagi setelah aku kembali dari sana.”
“Baiklah.”
Kim Bum menutup ponsel dan kembali mengemudi sambil melamun. Selama tiga minggu terakhir ini perasaannya sendiri membuatnya bingung. Ia memang sering bertemu Park Shin Hye, makan bersama, jalan-jalan, dan semacamnya. Dan Park Shin Hye juga teman yang menyenangkan, sama seperti yang diingatnya dulu. Tetapi Kim Bum mendapati ada sesuatu dalam dirinya sendiri yang berubah. Ia tidak lagi merasakan apa yang dulu pernah dirasakannya setiap kali berada di dekat Park Shin Hye. Seharusnya ia sekarang merasa bahagia karena Park Shin Hye sudah kembali bersamanya, tetapi kenyataannya Kim Bum malah mendapati dirinya memikirkan orang lain. Seseorang yang selalu melintas dalam benaknya, seseorang yang tanpa sadar selalu dicari-carinya, seseorang yang membuat perasaannya kacau-balau, seseorang dengan nama Kim So Eun.
Setelah makan malam bersama di apartemen gadis itu sekitar tiga minggu yang lalu itu, mereka sudah jarang bertemu dan berbicara. Tentu saja kadang-kadang ia berpapasan dengan Kim So Eun kalau mereka kebetulan keluar dari apartemen pada waktu yang bersamaan atau pulang pada saat yang sama. Setiap kali mereka bertemu, Kim So Eun hanya membalas sapaan Kim Bum dengan singkat atau tersenyum sopan, tidak menyambut usaha Kim Bum untuk mengobrol lebih panjang. Kim So Eun memang tetap ramah, tetapi Kim Bum merasa gadis itu menjaga jarak darinya, bahkan mungkin juga menghindarinya. Dan itulah yan gmembuat Kim Bum uring-uringan. Ia tidak ingin Kim So Eun bersikap seperti itu kepadanya. Ia ingin berbicara dengan gadis itu, mengobrol seperti ketika mereka makan malam bersama, tetapi kelihatannya usahanya tidak berhasil.
Kalau diajak bicara, Kim So Eun hanya akan menjawab dengan satu atau dua patah kata dan langsung menghindar.
Memikirkan makan malam mereka waktu itu, Kim Bum kembali teringat ia meminta Kim So Eun menerima Jung Yong Hwa. Sampai sekarang ia masih menyesali kata-katanya. Ia bertanya-tanya apakah gadis itu menuruti permintaannya? Apakah Kim So Eun sudah menerima Jung Yong Hwa?
Kekesalan terbit dalam hatinya dan mulai menggerogoti dirinya dari dalam.
Kim Bum mengatupkan rahang dan mencengkeram roda kemudi erat-erat. Ia jenius sekali, bukan? Benar-benar jenius. Lalu sekarang bagaimana?
Tiba-tiba Kim Bum tersadar dari lamunannya dan memandang jalanan di depan. Di mana dia sekarang? Ia sudah mengemudi tanpa sadar ke mana tujuannya. Ia memandang gedung cokelat tidak jauh di depan sana. Bukankah itu perpustakaan tempat Kim So Eun bekerja? Ia ingat Kim So Eun pernah menyebut nama perpustakaan ini. Kenapa aku bisa sampai di sini? pikir Kim Bum heran. Ia tidak ingat pernah datang ke sini. Tapi karena ia sudah ada di sini, tidak ada salahnya masuk dan melihat-lihat.
Perpustakaan itu sepertinya tidak asing. Kim Bum melihat berkeliling. Benar, sama sekali tidak asing. Barisan rak buku, meja-meja dan suasana tenang di sana sangat akrab baginya. Otaknya tidak tahu ia akan pergi ke mana, tetapi sepertinya kakinya tahu benar, jadi ia membiarkan kakinya melangkah sendiri. Ia menaiki tangga ke lantai dua dan memandang berkeliling. Lantai dua juga memiliki barisan rak buku yang terisi penuh seperti di lantai satu, tetapi buku-buku di sini berbeda jenisnya dengan buku-buku di lantai satu.
Pandangan Kim Bum terhenti pada konter panjang yang terletak tidak jauh dari tangga. Dua orang petugas perpustakaan sedang duduk di sana dan melayani beberapa tamu. Kim So Eun tidak terlihat. Kim Bum berjalan melewati setiap barisan rak tinggi dan mencari-cari gadis itu. Tidak ada.
Ia tidak tahu kenapa, tetapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Kim Bum menghampiri konter petugas perpustakaan dan bertanya tentang Kim So Eun. Tetapi bahkan sebelum Kim Bum sempat membuka mulut untuk bertanya, wanita berambut pendek dan berseragam yang duduk di balik konter itu tesenyum lebar dan bertanya lebih dulu, “Mencari Kim So Eun, bukan?”
Agak kaget, Kim Bum tidak bisa langsung menjawab. Ia hanya menatap wanita itu dengan bingung.
Wanita yang ditatapnya seakan tidak menyadari keheranan Kim Bum, ia melanjutkan,
“Sudah lama sekali kami tidak melihatmu. Kami bertanya pada Kim So Eun, tapi dia tidak berkata apa-apa.”
Apakah dulu aku sering ke sini? pikir Kim Bum bingung. Apakah dulu aku juga mengenal wanita itu? Tidak tahu harus menjawab apa, Kim Bum hanya bergumam, “Oh ya?”
“Kalian tidak sedang bertengkar, bukan?” tanya wanita itu penasaran dengan suara direndahkan.
“Tidak, tidak,” sahut Kim Bum cepat, lalu kembali mengingatkan wanita itu kepada masalah utama. “Kim So Eun?”
“Tadi katanya dia mau keluar makan siang,” jawab wanita itu cepat, lalu memandang melewati bahu Kim Bum. “Oh, itu dia.”
Kim Bum berputar cepat dan melihat sosok Kim So Eun yang terbalut jaket panjang kuning sedang menuruni tangga ke lantai dasar. Ia cepat-cepat berterima kasih pada informannya dan bergegas mengejar Kim So Eun.
* * *
Kim So Eun baru mengulurkan tangan untuk mendorong pintu kaca perpustakaan ketika sebelah tangan terulur dari belakangnya dan mendorong pintu itu lebih dulu. Ia berbalik dan ucapan terima kasih yang sudah berada di ujung lidahnya tercekat ketika ia bertatapan dengan mata Kim Bum.
“Kim Bum?”
Kim Bum tersenyum lebar ke arahnya dan napas Kim So Eun tertahan sejenak. Lalu ia tersadar dan menyelinap keluar melewati pintu yang sudah didorong terbuka karena ada orang lain yang juga akan keluar.
Berdiri di depan gedung perpustakaan, Kim So Eun menggigil sejenak karena angin yang menerpanya. Lalu ia berbalik menghadap Kim Bum, menyapu sejumput rambut dari wajah dan bertanya, “Sedang apa di sini, Kim Bum?”
Kim Bum menarik napas dan mengangkat bahu. “Tadi aku ada sedikit urusan di sekitar sini. Karena teringat kau pernah bilang kau bekerja di sini, aku memutuskan untuk mampir dan mengajakmu makan siang bersama.”
“Oh.” Kim So Eun agak terkejut. Ia tidak menduga jawaban seperti itu. Saat itu Kim Bum terlihat tepat seperti sebelum ia hilang ingatan, mengajak Kim So Eun makan siang bersama dengan mata berkilat-kilat dan senyum lebar seperti itu. Tidak tahu apa yang harus dipikirkan atau dikatakan, Kim So Eun tetap diam.
Sejenak Kim Bum hanya menatap Kim So Eun, lalu berdeham, “Jadi,” katanya sambil memandang berkeliling, “aku dulu sering datang ke sini?”
Kim So Eun menoleh ke arah Kim Bum sesaat, lalu memandang ke arah lain. “Ya,” sahutnya.
“Kita sering makan siang bersama, bukan?”
“Kadang-kadang,” sahut Kim So Eun sambil mengangkat bahu.
Kim Bum mengangguk-angguk. “Jadi bagaimana kalau kita pergi makan siang sekarang?”
“Hari ini tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku sudah ada janji dengan orang lain.”
Kim Bum terdiam sejenak. “Dengan siapa?”
Sebelum Kim So Eun sempat menjawab, terdengar suara seseorang memanggil nama Kim So Eun. Mereka berdua serentak menoleh ke arah suara dan kening Kim Bum langsung berkerut melihat siapa yang sedang berjalan menghampiri mereka.
“Kim Bum, apa kabar? Kebetulan sekali kau ada di sini,” sapa Jung Yong Hwa setelah berdiri di depan mereka berdua.
“Oh, Jung Yong Hwa,” balas Kim Bum setengah hati. “Sedang apa di sini?”
Jung Yong Hwa menoleh ke arah Kim So Eun. “Aku dan Kim So Eun akan pergi makan siang,” sahutnya ringan. Ia kembali menatap Kim Bum. “Kau sudah makan? Bagaimana kalau kau ikut dengan kami?”
Setelah berpikir sejenak dan melirik Kim So Eun tetap diam, Kim Bum memutuskan ia tidak bisa membiarkan mereka pergi berdua saja. Tidak bisa. Dan Kim So Eun tidak boleh terus menghindari dirinya. Akhirnya ia tersenyum dan berkata, “Tentu saja. Aku juga sedang tidak ada kesibukan.”
* * *
“Banyak temanku yang bilang makanan di sini enak sekali,” kata Jung Yong Hwa ketika mereka memasuki sebuah kedai kecil yang ramai dikunjungi para karyawan kantoran pada jam makan siang seperti ini.
“Benarkah? Aku belum pernah ke sini.” Kim So Eun memandang berkeliling mencari tempat kosong sementara seorang pelayan menyerukan ucapan selamat datang kepada mereka. “Tapi kurasa kau benar. Tempat ini ramai sekali.”
Kim Bum menggumamkan sesuatu yang tidak bisa ditangkap Kim So Eun, tetapi ia tetap masuk mengikuti Kim So Eun dengan patuh. Mereka berjalan ke satu-satunya meja yang masih kosong. Karena Jung Yong Hwa langsung mengambil tempat berhadapan dengan Kim So Eun, Kim Bum pun mengambil tempat di samping Kim So Eun.
“Kalian mau makan apa?” tanya Jung Yong Hwa kepada kedua orang di hadapannya ketika seorang pelayan datang menanyakan pesanan.
Kim So Eun membaca menu yang dipegangnya. “Entahlah. Menurutmu apa yang enak di sini?”
“Kurasa Udon-nya yang paling terkenal di sini,” sahut Jung Yong Hwa, lalu mengulurkan tangan ke seberang meja untuk menunjuk salah satu jenis udon yang tertulis di menu Kim So Eun. “Bagaimana kalau yang nomor tiga ini?”
Udon (うどん,饂飩?) adalah salah satu jenis mi yang sudah dikenal di Jepang sejak dulu, dibuat dari tepung terigu dan berbentuk tebal serta agak lebar.
Udon
“Yang ini?” tanya Kim So Eun sambil membaca tulisan yang ditunjuk. Tanpa mengangkat kepala dan tanpa benar-benar berpikir, ia bertanya, “Kim Bum?”
“Kurasa aku ingin mencoba yang nomor lima,” sahut Kim Bum.
“Oh, ya,” timpal Kim So Eun. “Nomor lima kelihatannya lumayan. Tapi bagaimana kalau nomor enam saja?”
“Kenapa?”
“Aku ingin mencoba yang nomor enam.”
“Kalau begitu, kenapa bukan kau sendiri yang memilih nomor enam?”
“Karena aku juga ingin mencoba yang nomor tiga tadi. Ayolah, Kim Bum. Ya?”
“Tunggu aku lihat dulu nomor enam itu apa.”
Sementara kedua orang itu sibuk berdebat, tanpa mereka sadari Jung Yong Hwa menatap mereka bergantian dengan alis terangkat samar dan sorot mata heran, lalu seulas senyum tipis tersungging di bibirnya sementara ia menunduk dan menarik napas pelan.
“Bagaimana, Kim Bum?” desak Kim So Eun lagi. “Jangan lama-lama.”
“Begini saja, Kim So Eun,” sela Jung Yong Hwa. “Kalau Kim Bum memang mau memesan yang nomor lima, biar aku saja yang memesan nomor enam. Bagaimana?”
“Tidak,” sahut Kim Bum langsung dan mengangkat wajah. Sadar kalau suaranya terdengar agak keras, ia melanjutkan dengan suara yang diusahakan lebih santai, “Bagiku yang nomor enam juga tidak apa-apa.” Ia menoleh ke arah si pelayan sambil menunjukkan menu yang dipegangnya. “Aku pesan yang nomor enam, lalu nona ini memesan yang nomor tiga.” Ia menoleh ke arah Jung Yong Hwa dan bertanya, “Dan kau, Jung Yong Hwa?”
Setelah menyebutkan pesanannya dan si pelayan pergi meninggalkan mereka, Jung Yong Hwa kembali menatap kedua orang di depannya. “Sepertinya kalian berdua sudah bergaul dengan baik,” komentarnya.
“Tidak juga.”
“Begitulah.”
Ucapan yang keluar secara bersamaan itu membuat Kim So Eun dan Kim Bum berpandangan. Kim So Eun yang tadi berkata “Tidak juga” sedangkan Kim Bum berkata “Begitulah”.
“Apa maksudmu ‘tidak juga’?” tanya Kim Bum.
“Tidak apa-apa,” sahut Kim So Eun sambil memalingkan wajah.
“Kau sendiri yang bilang kalau hubungan kita baik-baik saja.”
“Memangnya kau sudah bisa mengingat kembali?”
“Belum.”
“Jadi bagaimana kau bisa tahu apakah aku berbohong atau tidak?”
“Kurasa kau tidak punya alasan untuk berbohong padaku, bukan?”
“Memang tidak.”
“Jadi?”
Ketika pelayan datang membawakan pesanan, perdebatan dihentikan sementara.
Kim So Eun menatap telur rebus yang menyertai udon-nya, lalu ia menoleh ke arah Jung Yong Hwa.
Sebelum ia sempat membuka mulut, Jung Yong Hwa sudah berkata lebih dulu, “Aku tahu. Berikan saja padaku.”
Kim Bum menatap Jung Yong Hwa, lalu beralih kepada Kim So Eun yang memotong telurnya dengan hati-hati. “Ada apa?” tanyanya tidak mengerti.
“Oh, aku tidak suka kuning telur,” sahut Kim So Eun tanpa mengangkat wajah.
Melihat Kim So Eun yang memindahkan kuning telur dari mangkuknya ke mangkuk Jung Yong Hwa membuat kening Kim Bum berkerut samar. Ia tidak tahu Kim So Eun tidak suka kuning telur, dan kesadaran itu semakin membuatnya terganggu. Berusaha mengenyahkan kekesalan yang tiba-tiba saja terbit, Kim Bum mengalihkan pembicaraan. “Ngomong-ngomong, sudah lama kita tidak minum bersama dan mengobrol,” katanya sambil menatap Jung Yong Hwa.
Jung Yong Hwa berpikir sejenak. “Benar juga. Kita memang harus mencari waktu. Sejak reuni waktu itu aku belum sempat menelepon dan menanyakan kabarmu.”
“Aku baik,” kata Kim Bum datar. Tidak, yang benar adalah bingung dan frustrasi.
“Aku yakin kau cukup sibuk akhir-akhir ini. Kudengar kau akan mengadakan pameran dalam waktu dekat,” kata Jung Yong Hwa.
Kim So Eun mengangkat wajah dan menatap Kim Bum dengan wajah berseri-seri.
“Pameran foto? Benarkah?”
“Begitulah,” kata Kim Bum, agak terkejut melihat Kim So Eun tersenyum kepadanya seperti itu. Walaupun senyum itu hanya bertahan sebentar, karena Kim So Eun langsung menunduk ke arah mangkuk udon-nya kembali, tetapi tidak apa-apa. Sepanjang ingatan Kim Bum, baru pertama kali itulah Kim So Eun benar-benar tersenyum kepadanya.
Perasaannya mulai aneh, tetapi aneh dalam arti yang baik. Ia merasa... senang. Kim Bum berdeham dan menatap Jung Yong Hwa. “Jadi... kau punya rencana akhir pekan ini?”
“Aku akan menghabiskan akhir pekan di rumah keluargaku,” kata Jung Yong Hwa. “Hari ini kakekku berulang tahun dan keluarga besarku berkumpul semua.” Ia menoleh ke arah Kim So Eun. “Kim So Eun, kau jadi menemaniku sore ini?”
Alis Kim Bum terangkat kaget dan ia melirik Kim So Eun yang duduk di sampingnya. Apa maksudnya itu?
Kim So Eun mengangguk. “Ya,” sahutnya ringan, lalu mengangkat mangkuknya ke mulut dan menyeruput kuah udon dengan lahap. “Wah! Enak sekali. Kim Bum, kenapa kau belum menyentuh makananmu?”
Kim Bum menatap gadis yang duduk di sampingnya itu dengan kening berkerut.
Mulutnya gatal ingin bertanya, tapi ia menahan diri. Apa maksud Jung Yong Hwa dengan meminta Kim So Eun menemaninya sore ini? Apakah ia mengajak Kim So Eun ke acara ulang tahun kakeknya? Dan gadis itu mengiyakan dengan santainya.
Selera makan Kim Bum langsung hilang entah ke mana.
* * *
Kim So Eun melambaikan tangan ke arah Jung Yong Hwa yang melaju pergi dalam mobilnya setelah menurunkan Kim So Eun dan Kim Bum di depan perpustakaan, lalu ia menoleh ke Kim Bum yang berdiri di sampingnya dengan agak canggung. Kim So Eun bingung. Ia sama sekali tidak tahu apa yang dipikirkan Kim Bum, tidak mengerti kenapa laki-laki itu berubah pendiam selama makan siang tadi.
Benar, memang sudah sebulan terakhir ini mereka jarang bertemu dan berbicara.
Kim So Eun sendiri berusaha tidak bertemu atau berpapasan dengan Kim Bum. Kenapa?
Karena setiap kali ia melihat Kim Bum, bayangan laki-laki itu memeluk Park Shin Hye selalu menyerang pikirannya, membuatnya gelisah. Kim So Eun harus selalu mengingatkan diri sendiri bahwa Kim Bum yang sekarang sudah bukan Kim Bum yang dulu pernah melukis bintang di langit-langit kamar tidurnya, bukan lagi Kim Bum yang memberikan malam Natal paling mengesankan dalam hidupnya, dan bukan lagi Kim Bum yang meminta Kim So Eun melupakan Jung Yong Hwa dan mulai melihat dirinya.
Memikirkan semua yang pernah dialaminya bersama Kim Bum kembali membuat dadanya sesak. Kim So Eun memalingkan wajah. Ini tidak sehat, pikirnya kesal. Menyadari bahwa ia sudah menyukai Kim Bum hanya memperburuk keadaan. Ia sudah memutuskan untuk melupakan perasaannya, mengubur dalam-dalam perasaannya terhadap Kim Bum. Setidaknya dengan begitu ia tidak akan merasa sakit hati. Ia harus ingat bahwa Kim Bum…setidaknya Kim Bum yang sekarang…tergila-gila pada Park Shin Hye, bukan Kim So Eun. Bukan Kim So Eun.
Astaga! Hal itu sedikit pun tidak membuat perasaanku lebih baik, gerutu Kim So Eun dalam hati.
Tetapi hari ini Kim Bum tiba-tiba muncul di perpustakaan dan mengajaknya makan siang dengan senyum yang selalu membuat jantung Kim So Eun berdebar dua kali lebih cepat. Seperti yang sering dilakukannya dulu. Kim So Eun tidak mampu berpikir apa-apa ketika mendongak menatap Kim Bum yang memandangnya dengan cara seperti yang selalu dilakukannya dulu. Semua tekad dan usaha yang dikerahkannya untuk melupakan laki-laki itu menguap begitu saja.
“Jadi...” Kim So Eun menoleh mendengar suara Kim Bum yang ragu. Laki-laki itu sedang menatapnya dengan raut wajah datar dan kedua tangan dijejalkan ke saku celana. “Kau akan pergi dengan Jung Yong Hwa sore ini?”
Kim So Eun memandangnya sejenak, lalu mengangguk. “Ya.”
“Kenapa?”
“Kenapa?” ulang Kim So Eun dengan alis terangkat bingung. “Seperti yang dia bilang tadi, hari ini hari ulang tahun kakeknya dan...”
“Ulang tahun kakeknya,” sela Kim Bum sambil tersenyum tipis dan mendengus pelan. “Dia juga bilang semua keluarga besarnya akan hadir.”
Kim So Eun tidak mengerti apa yang ingin dikatakan Kim Bum sebenarnya, jadi ia diam saja.”Jadi kau akan diperkenalkan kepada keluarganya,” gumam Kim Bum sambil mengalihkan pandangan dan mengangguk-angguk.
“Apa?” Kim So Eun tidak menangkap kalimat terakhir Kim Bum itu.
Tepat pada saat itu ponsel Kim Bum berbunyi. Kim Bum mengeluarkan benda yang menjerit-jerit itu dengan kesal, membuka flap-nya dengan gerakan kasar dan menempelkannya ke telinga. “Ya?”
Satu kata singkat itu diucapkan dengan nada yang sama sekali tidak terdengar ramah bagi Kim So Eun. Dan hal itu agak membingungkannya karena baru pertama kali itulah ia melihat Kim Bum uring-uringan tanpa sebab. Mungkinkah itu salah satu efek samping dari pukulan di kepalanya?
“Tidak apa-apa,” kata Kim Bum di ponselnya. Suaranya berubah agak tenang. “Baiklah... aku mengerti. Aku akan ke sana sekarang.”
Park Shin Hye. Pikiran itu tiba-tiba menyelinap masuk ke otak Kim So Eun dan membuat alisnya berkerut. Yang menelepon Kim Bum saat itu pasti Park Shin Hye. Kim Bum tadi bilang dia akan segera ke sana. Mungkin wanita itu menyuruh Kim Bum cepat-cepat datang menjemputnya. Menjemputnya di mana dan mereka akan ke mana? Kim So Eun menghentikan dirinya sebelum pikirannya melantur ke mana-mana. Ia memalingkan wajah, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Ke mana pun Kim Bum pergi bersama Park Shin Hye sama sekali bukan urusannya. Kim Bum bahkan boleh membawa wanita itu ke ujung dunia kalau memang mau. Silakan saja, piker Kim So Eun kesal.
Kim Bum menutup flap ponselnya dan memasukkannya kembali ke saku celana. Ia menatap Kim So Eun sejenak, membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.
Akhirnya, setelah menarik napas panjang, ia bergumam datar, “Aku pergi dulu.”
Kim So Eun menggigit bibir sementara menatap Kim Bum berjalan ke mobil yang diparkirnya di pelataran parkir di depan gedung perpustakaan. Ia memang sudah memutuskan untuk tidak memikirkan Kim Bum dan Park Shin Hye lagi. Ia sudah memutuskan hubungan kedua orang itu sama sekali bukan urusannya dan Kim Bum boleh pergi ke ujung dunia sekalipun bersama Park Shin Hye. Tetapi saat itu, sementara ia menatap Kim Bum yang masuk ke sedan putihnya dan mulai melaju pelan meninggalkan pelataran parkir, ia tahu keputusannya sia-sia saja.
Melihat Kim Bum pergi seperti itu dan menyadari laki-laki itu akan pergi menemui Park Shin Hye membuat Kim So Eun tertekan. Dengan susah payah ia menarik napas dalam-dalam untuk meredakan kekesalan. Atau tepatnya, kecemburuan yang muncul dan menyesakkan dadanya. “Bodoh,” gerutunya pelan.
* * *
“Kenapa kau marah-marah ketika menjawab teleponku?” tanya Song Seung Hun tanpa basa-basi ketika melihat keponakannya masuk restoran dan berjalan menghampirinya.
“Aku hanya ingin mengajakmu makan siang bersama.”
Kim Bum tiba di salah satu restoran milik pamannya dengan perasaan aneh, seakan ia pernah melihat tempat ini sebelumnya. Interiornya yang bergaya pedesaan Inggris, dengan lantai kayu, taplak meja hijau, dan tirai tebal. Di setiap meja terdapat lilin dalam gelas dan setangkai bunga. Kening Kim Bum berkerut samar sementara ia memiringkan kepalanya sedikit. Tapi dalam benaknya ia membayangkan ada pohon Natal di sudut ruangan dan lagu-lagu Natal mengalun di udara. Lalu seseorang... wajah seseorang yang tersenyum. Lalu semuanya hilang. Kim Bum memijat-mijat pelipisnya yang berdenyut. Apa-apaan itu tadi?
“Maaf, Paman,” sahut Kim Bum muram dan mengambil tempat duduk di hadapan pamannya di meja paling sudut. “Suasana hatiku sedang buruk.”
“Karena Park Shin Hye?”
Kim Bum mengerutkan kening karena bingung. “Park Shin Hye? Bukan, bukan,” sahutnya sambil mengibaskan tangan dengan tidak sabar. Ia heran kenapa pamannya bisa memikirkan hal-hal yang tidak berhubungan seperti itu.
Song Seung Hun mengangkat bahu. “Aku tahu benar kau kesal karena masalah wanita. Kalau bukan Park Shin Hye, berarti wanita yang waktu itu?”
Masih dengan kening berkerut, Kim Bum menoleh ke arah pamannya. “Wanita yang waktu itu?”
Pmaannya yang baru akan meraih cangkir kopi di hadapannya tertegun. “Oh? Aku belum menceritakannya padamu ya?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
“Bercerita tentang apa?” Kim Bum mulai penasaran.
Song Seung Hun tidak langsung menjawab. Ia menatap keponakannya dengan penuh pertimbangan, lalu memandang berkeliling. “Kim Bum, bagaimana menurutmu restoranku ini?” tanyanya tiba-tiba.
Kim Bum mendesah tidak sabar, tetapi memaksa diri memandang berkeliling dan berkomentar singkat, “Bagus.”
“Merasa pernah melihat tempatku ini sebelumnya?”
Dengan suasana hatinya saat itu, Kim Bum benar-benar tidak membutuhkan latihan kesabaran. Ia memijat-mijat pelipisnya lagi dan mendesah, “Paman...”
“Kau pasti tidak ingat pernah datang ke sini sebelumnya,” sela pamannya cepat.
“Apa?”
“Aku lupa menceritakannya padamu, tapi kau pernah datang ke sini pada malam Natal.” Song Seung Hun berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Bersama seorang wanita.”
Kening Kim Bum berkerut, kali ini lebih dalam. Seorang wanita? Siapa?
“Aku tidak bertemu denganmu di sini,” pamannya menambahkan. “Kau pergi ke pertunjukan balet setelah makan malam di sini. Aku bertemu denganmu di sana. Dan aku melihatmu bersamanya.”
Pertunjukan balet? pikir Kim Bum. Sesuatu berkelebat dalam pikirannya, tapi langsung hilang lagi. Ia menggeleng-geleng sesaat, lalu bertanya. “Oh, ya? Siapa wanita itu?”
Song Seung Hun menggeleng. “Aku tidak tahu. Kau tidak mengenalkannya padaku. Tapi...”
“Tapi?”
“Dia mengingatkanku pada Baek Suzy.”
“Baek Suzy?” Nama itu sama sekali asing bagi Kim Bum.
“Baek Suzy itu model terkenal di sini,” jelas pamannya. “Aku tidak pernah menyangka kau tipe orang yang suka bermain-main dengan model.”
Kim Bum tidak pernah menganggap dirinya suka bergaul dengan para model, tapi ia diam saja. “Seperti apa orangnya?”
“Baek Suzy?” tanya pamannya polos.
“Bukan. Wanita yang bersamaku ini,” sahut Kim Bum tidak sabar.
Pamannya tersenyum. “Cantik, tinggi, rambut panjang lurus, kurus... tidak juga, tidak terlalu kurus. Sudah kubilang, dia mirip Baek Suzy.”
Wajah Kim So Eun langsung terbesit dalam benak Kim Bum. Apakah pamannya sedang menggambarkan ciri-ciri Kim So Eun? “Kim So Eun?” gumam Kim Bum, lebih pada diri sendiri.
Song Seung Hun mengangkat bahu dan menambahkan, “Kulihat sepertinya kau tertarik padanya.”
“Aku tertarik padanya?”
“Menurutku begitu,” kata pamannya sambil merenung.
Kim Bum terpekur menatap meja. Otaknya sibuk berputar. Kalau memang Kim So Eun yang dimaksud pamannya, berarti... berarti apa? Berarti ia lebih dekat dengan Kim So Eun daripada yang semula diduganya. Pikiran itu entah bagaimana membuat perasaannya lebih baik. “Aku tertarik padanya?” gumamnya lirih dengan nada melamun, seolah-olah baru tersadar akan sesuatu.
Pamannya mengangguk-angguk pelan, lalu menambahkan dengan nada sambil lalu, “Tapi saat itu belum ada Park Shin Hye. Jadi...”
Kim Bum mengangkat wajah menatap pamannya yang sedang menyesap kopi. Apa hubungan Park Shin Hye dalam masalah ini? Tapi ia tidak mau membuat kepalanya lebih pusing lagi. Hanya ada satu hal yang terpikirkan olehnya sekarang. Ia benar-benar ingin tahu bagaimana perasaannya terhadap Kim So Eun sebelum ia hilang ingatan, berharap hal itu sedikit-banyak bisa menjelaskan perasaan aneh yang dirasakannya setiap kali ia berada di dekat Kim So Eun atau setiap kali ia memikirkan gadis itu.
“Ngomong-ngomong, Kim Bum,” kata pamannya tiba-tiba dengan nada serius.
“Sebelum kau datang tadi, aku menerima telepon dari kepolisian. Mereka sudah mendapat petunjuk tentang orang-orang yang menyerangmu waktu itu. Dan orang-orang itu memang sudah mengincarmu sejak awal.”
Bersambung…
Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1
Prolog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar