Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 24 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 21)



“Wah, hujan lagi,” kata So Yi Hyun sambil menatap keluar pintu kaca teras.

Keempat orang lainnya yang duduk mengelilingi meja ikut berpaling dan menatap keluar. Kim So Eun bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang dilakukan Kim Bum saat ini. Sudah lebih dari satu jam berlalu sejak ia mengantar Park Shin Hye pulang, kenapa sampai sekarang belum kembali?

“Kim Bum pergi dengan mobilnya?” tanya Song Chang Ui tiba-tiba.

“Tidak,” sahut Lee Ki Kwang, kembali menatap mangkok nasinya yang sudah hamper kosong. “Kurasa dia sudah mengembalikan mobilnya.”

“Kurasa dia juga tidak membawa payung,” gumam So Yi Hyun. Lalu ia berpaling kepada Kim So Eun dan tersenyum menghibur. “Mungkin dia terlambat karena hujan ini.”

Kim So Eun hanya tersenyum karena ia tidak tahu bagaimana menanggapi kata-kata So Yi Hyun. Apakah kekecewaannya begitu jelas terlihat sampai So Yi Hyun merasa perlu menghiburnya?

“Ya. Menurutku juga begitu,” timpal Lee Ki Kwang setelah menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. “Kim Bum Hyung tidak akan pulang dalam hujan selebat ini. Kurasa dia pasti menunggu hujan berhenti di...”

Yoon Eun Hye memukul kepala adiknya dan melotot. “Hati-hati dengan ucapanmu.”

Lee Ki Kwang menatap kakaknya sambil memberengut dan mengusap-usap kepala.

“Memangnya apa yang akan kukatakan?”

Kim So Eun membiarkan kedua kakak-beradik itu meneruskan perdebatan kecil mereka dan berkonsentrasi pada makanan di depannya. Ia tidak mau memikirkan Kim Bum.

Untuk apa memikirkan hal-hal yang pasti akan membuat hatinya sendiri sakit?

Sebaiknya ia mencari bahan obrolan yang menyenangkan karena ia tahu dirinya agak pendiam selama makan malam. Ya, mungkin itu sebabnya So Yi Hyun berusaha menghiburnya.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi nyaring. Alis Kim So Eun terangkat ketika melihat nama yang tertera di layar. “Hallo? Kim Bum?”

* * *

Kim Bum menutup flap ponsel dan tersenyum. Ia sudah tahu Kim So Eun akan mengomel sedikit, setelah itu menyetujui permintaannya. Stasiun kereta bawah tanah ini tidak jauh dari gedung apartemen, jadi gadis itu tidak perlu berjalan jauh. Kim Bum mendongak dan menghembuskan napas panjang. Uap putih meluncur keluar dari mulutnya dan menghilang dengan cepat. Ia merapatkan jaket karena dingin dan berdiri memperhatikan hujan yang sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

Ia memandang berkeliling. Di sekitarnya banyak orang yang juga sedang menunggu hujan berhenti. Orang-orang yang membawa payung sudah berjalan menembus hujan.

Beberapa orang dijemput oleh keluarga atau teman yang membawakan payung, membuat iri orang-orang yang masih berdiri menunggu. Kim Bum tersenyum. Ia tidak merasa iri, karena tidak lama lagi Kim So Eun akan datang dan menjemputnya.

Dan kali ini aku akan mengatakan apa yang tidak sempat kukatakan kepada Kim So Eun tadi, putusnya sambil menyelipkan amplop berisi foto yang diambilnya dari Park Shin Hye ke balik sweter supaya tidak basah.

* * *

Kim So Eun melirik Kim Bum yang berjalan di sampingnya sambil memegangi payung. Dari tadi Kim Bum diam saja, tidak menjelaskan apa-apa. Kenapa? Akhirnya Kim So Eun berdeham dan bertanya, “Kau sudah makan?”

Kim Bum menoleh menatapnya dan tersenyum. “Belum. Kalian sudah selesai makan?”

“Sudah,” sahut Kim So Eun.

“Oh,” Kim Bum mengangguk pelan, lalu kembali terdiam.

Kim So Eun menggigit bibir dan melirik Kim Bum lagi. Apakah laki-laki itu benar-benar tidak mau menjelaskan? Apakah ia harus bertanya? Apakah ia akan terdengar terlalu ikut campur kalau bertanya? Apakah ia boleh bertanya?

Tiba-tiba Kim Bum mendesah keras dan berhenti melangkah. Kim So Eun ikut berhenti dan menatapnya dengan heran. “Ada apa?” tanyanya.

Kim Bum berbalik menghadapnya. “Tidak ada yang ingin kautanyakan kepadaku?”

“Apa?” Kim So Eun terkejut dan mengerjap. Astaga! Apakah Kim Bum baru membaca pikirannya? Tidak, tidak mungkin. Mungkinkah?

“Kau benar-benar tidak ingin tahu?” tanya Kim Bum lagi.

“Ingin tahu tentang apa?”

Kim Bum ragu sejenak, berpikir. Lalu menarik napas dan berkata, “Kukira kau ingin tahu tentang hubunganku dengan Park Shin Hye.”

Napas Kim So Eun tertahan dan matanya melebar. “Ap-apa?” katanya tergagap, tidak menyangka Kim Bum bisa menebak apa yang dipikirkannya dengan tepat. “Tidak, aku tidak ingin tahu.”

Mata Kim Bum menyipit.

“Kau sudah pernah menceritakan semuanya kepadaku,” lanjut Kim So Eun ketika melihat Kim Bum sepertinya tidak percaya. “Dia teman lamamu dan bertunangan dengan sahabatmu. Tapi, tentu saja, sekarang dia sudah tidak bertunangan lagi karena dia menyadari sebenarnya dia menyukaimu. Dan kau juga menyukainya. Tidak ada lagi yang perlu kuketahui.”

Ia menghentikan kata-katanya begitu menyadari nada suaranya agak ketus dan menyadari ia sudah terlalu banyak bicara. Kim Bum menatapnya tanpa berkedip. Kim So Eun membuka mulut, lalu menutupnya lagi, tidak tahu apa yang harus dikatakannya dalam situasi seperti ini. Mungkin memang lebih baik tidak mengatakan apa-apa. Kim So Eun mencengkeram payungnya, lalu membalikkan tubuh dan bergumam, “Sebaiknya kita cepat-cepat. Aku kedinginan.”

Ia baru berjalan beberapa langkah ketika Kim Bum menyusulnya dan bertanya, “Kau cemburu?”

Kim So Eun ingin berkata, Tidak, aku tidak cemburu. Sama sekali tidak. Kenapa harus? Lalu ia berpikir kata-kata yang diucapkan dengan terlalu menggebu-gebu seperti itu justru tidak akan membantu. Akhirnya ia menarik napas untuk menenangkan diri dan berkata, “Aku tidak punya alasan untuk cemburu, bukan?”

Kim Bum berpikir sejenak, lalu menjawab ringan, “Memang tidak.”

Kim So Eun mengangguk pendek sambil terus melangkah. Benar, ia tidak punya alas an untuk cemburu. Sama sekali tidak berhak cemburu. Tetapi, astaga, kenapa hatinya masih terasa sakit walaupun ia sudah tahu sejak dulu kalau semua ini akan terjadi?

Tiba-tiba tangan Kim Bum memegang sikunya dan menahannya supaya berhenti berjalan. “Hubungan kami tidak seperti itu.”

Kim So Eun mengerjap menatap Kim Bum. “Apa?”

Kim Bum melepaskan tangannya dari siku Kim So Eun dan tersenyum. “Hubungan kami tidak seperti itu,” katanya sekali lagi.

Kim So Eun kembali mengerjap. Ia memang tidak salah dengar. “Oh? Tapi... Tapi kau menyukainya.”

“Tadinya kukira begitu,” aku Kim Bum. “Tapi kalau aku memang menyukainya, kenapa aku selalu merasa tidak tenang setiap kali melihatmu bersama Jung Yong Hwa?”

Sesaat mereka hanya berpandangan. Entah jalanan saat itu memang sedang sunyi atau Kim So Eun yang tidak bisa mendengar apa-apa selain debar jantungnya sendiri dan bunyi hujan yang terdengar samar-samar. Rasanya seperti mimpi. Apakah ia memang sedang bermimpi?

“Apa... maksudmu?” Akhirnya Kim So Eun memberanikan diri bertanya. Suara yang keluar dari tenggorokannya terdengar kecil dan jauh. Jantungnya berdebar keras menunggu jawaban Kim Bum.

Keheningan yang hanya dihiasi bunyi hujan tiba-tiba dipecahkan bunyi decit yang keras. Mereka berdua serentak menoleh dan melihat dua mobil sedan hitam berhenti mendadak di dekat mereka. Dua pria keluar dari masing-masing mobil, tanpa payung, dan menatap lurus ke arah mereka.

Kim So Eun mengerjap dan rasa panik langsung merayapi dirinya. Tangannya terangkat dan mencengkeram lengan jaket Kim Bum. Ia tidak tahu siapa orang-orang itu dan apa yang mereka inginkan, tetapi sudah pasti mereka tidak bermaksud baik. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada orang. Jalanan sunyi senyap. Jalan itu memang selalu sepi, tetapi setidaknya biasanya ada satu atau dua orang yang terlihat berjalan kaki. Hari ini, dalam hujan lebat ini, tidak terlihat orang lain di jalan selain mereka.

Kim Bum mengerutkan kening. Perlahan ia menarik Kim So Eun ke belakang punggungnya.

“Siapa kalian?” tanya Kim Bum kepada orang-orang berpakaian serba hitam itu.

Mereka tidak menjawab. Saat itu pintu belakang salah satu mobil terbuka. Seorang pria keluar sambil membuka payung. Ia menegakkan tubuh, menutup pintu mobil, dan tersenyum ke arah Kim Bum. Senyum itu sama sekali bukan senyum bersahabat. Kerutan di kening Kim Bum semakin dalam. Pria itu. Kenapa pria itu terasa tidak asing?

Pria yang menatap Kim Bum dengan tajam itu berumur sekitar tiga puluhan, bibirnya tipis, rambutnya tipis, dan hidungnya agak bengkok. “Kau tidak ingat lagi padaku?” tanya pria itu sambil tersenyum lebar. Lalu ia tergelak. “Waktu itu aku juga menanyakan pertanyaan yang sama. Tapi tentu saja, sekarang kau sudah pasti tidak ingat padaku. Aku menghajarmu dengan baik, bukan?”

Kim So Eun terbelalak di balik punggung Kim Bum dan cengkeramannya di lengan Kim Bum mengencang. Astaga! Orang itu yang dulu menyerang Kim Bum. Orang itu... Orang itu yang membuat Kim Bum hilang ingatan. Dan orang itu... orang itu... Oh! Tiba-tiba Kim So Eun terkesiap ketika ia akhirnya bisa melihat wajah pria itu dengan lebih jelas di bawah sinar lampu pinggir jalan.

Mata sipit pria itu beralih ke arah Kim So Eun. Kim So Eun tidak berani bernapas sementara pria itu mengamatinya dengan saksama, lalu ia kembali menatap Kim Bum dan tersenyum lebar, “Kurasa pacarmu ingat padaku,” katanya.

Kim Bum menoleh ke belakang ke arah Kim So Eun. Kim So Eun mendongak dan bertatapan dengan Kim Bum. Ia ingin berkata ia memang mengenal pria itu. Ia pernah melihat pria itu di pertunjukan balet yang dihadirinya bersama Kim Bum. Waktu itu pria berwajah jahat ini menatap Kim Bum dengan pandangan aneh. Kini Kim So Eun mengerti sebabnya.

Tetapi suaranya tidak bisa keluar. Ia terlalu terkejut untuk berkata-kata.

* * *

“Kurasa pacarmu ingat padaku.”

Jantung Kim Bum berdebar begitu keras sampai dadanya terasa sakit. Ia menoleh ke arah Kim So Eun. Karena Kim So Eun mencengkeram lengannya, Kim Bum bisa merasakan gadis itu gemetar. Ia mengerti arti tatapan di dalam mata Kim So Eun yang terbelalak ketakutan itu.

Kim So Eun memang pernah bertemu dengan pria yang berdiri di hadapan mereka ini.

Kalau memang pria itu yang menyerangnya, maka...

“Kau sepupu Jung Yong Hwa?” tanya Kim Bum datar sambil kembali menatap pria itu.

“Lee Ji Hoon?”

Lee Ji Hoon mendengus. “Sudah kuduga Jung Yong Hwa akan menjadi masalah,” katanya dengan nada rendah. “Dia sudah memberitahumu, hah?”

“Apa yang kauinginkan dariku?” tanya Kim Bum. Walaupun ia berbicara dengan nada datar dan tenang, pada kenyataannya jantungnya berdebar kencang. Ia merasa tegang, bukan karena khawatir akan keselamatan dirinya, tetapi khawatir akan keselamatan gadis yang saat ini ketakutan di belakangnya. Orang-orang yang mengerubungi mereka ini sudah jelas orang-orang kasar. Mereka sudah pernah menyerang Kim Bum satu kali. Kemungkinan besar hari ini mereka datang untuk menyelesaikan pekerjaan mereka yang belum tuntas.

“Seharusnya aku menghabisimu saat itu juga, jadi aku tidak perlu direpotkan masalahmu sekarang.” Suara Lee Ji Hoon terdengar lagi. Ia melirik Kim So Eun. “Tapi sekarang juga tidak apa-apa. Aku bisa menyelesaikan dua masalah sekaligus.”

Kim Bum kembali menoleh ke arah Kim So Eun. Ia tidak mungkin membiarkan Kim So Eun terluka. Seharusnya ia tidak meminta gadis itu datang menjemputnya di stasiun kereta bawah tanah. Seharusnya ia tidak menempatkan gadis itu dalam bahaya. Seharusnya...

Seharusnya...

Lee Ji Hoon menyunggingkan seulas senyum licik yang menampakkan giginya. “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” gumamnya.

* * *

Kim So Eun tidak bisa melepaskan cengkeramannya di lengan Kim Bum. Pria yang berdiri di hadapan mereka bersama empat orang anak buahnya itu terlihat berbahaya. Apa yang diinginkannya? Apa yang akan terjadi pada mereka? Pada Kim Bum?

Kim Bum menurunkan payung yang dipegangnya, menunduk ke arah Kim So Eun, dan berbisik, “Telepon polisi.”

Kata-kata Kim Bum belum sempat dicernanya ketika Kim So Eun mendengar satu kata yang diucapkan pria jahat di depan mereka itu. “Serang,” gumam pria itu. Kemudian segalanya kacau.

Kim Bum menarik Kim So Eun ke samping ketika empat orang bertubuh besar itu dengan cepat bergerak maju. Payung Kim So Eun terlempar entah ke mana. Kim So Eun juga tidak peduli.

Matanya terbelalak menatap Kim Bum yang memunggunginya dan berhadapan dengan empat orang yang sepertinya tidak akan ragu-ragu membunuh pria itu.

Ketika dua di antara mereka melayangkan pukulan ke arah Kim Bum, Kim So Eun memekik. Kim Bum mendorongnya menjauh. Kim So Eun terhuyung sedikit, tetapi matanya dengan ngeri menatap Kim Bum yang berusaha mengelak dari serangan oarng-orang itu.

Yoon Eun Hye pernah berkata Kim Bum jago karate. Memang. Kim So Eun bisa melihatnya. Tetapi orang-orang yang menyerangnya juga bukan orang-orang sembarangan. Ditambah lagi, mereka berempat sementara Kim Bum sendirian.

Sendirian. Bersama Kim So Eun yang tidak bisa apa-apa. Kim So Eun yang juga dianggap sebagai sasaran.

Otak Kim So Eun masih lumpuh. Ia menatap perkelahian di depannya dengan ngeri, tetapi ia tidak bisa bertindak. Ia tidak ingat kata-kata Kim Bum tadi, sampai salah seorang tukang pukul itu meninju rahang Kim Bum. Saat itu jgua Kim So Eun merasa sekujur tubuhnya dingin dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Dan saat itu juga sebuah suara mendesaknya. Telepon polisi! Telepon siapa saja! Telepon!

Ia ketakutan. Ia gemetaran. Ia basah kuyup. Semua itu membuat usahanya mengeluarkan ponsel dari saku menjadi tugas paling sulit dalam hidupnya. Ia tidak sempat banyak berpikir. Ia hanya menekan tombol untuk menghubungi orang terakhir yang dihubunginya. Saat itu ia tidak ingat siapa yang terakhir kali dihubunginya. Yang paling penting adalah menelepon seseorang. Siapa saja.

Kim So Eun tidak melihat salah seorang tukang pukul itu bergerak ke arahnya. Ia sibuk berdoa dalam hati dengan ponsel ditempelkan di telinga. Angkat teleponnya... Angkat teleponnya... Tolong...

“Hallo?”

Suara Yoon Eun Hye! Kim So Eun hampir pingsan saking leganya. “Eonni...”

Ia menjerit ketika lengannya disentakkan dengan kasar. Kim So Eun tersungkur ke tanah dan ponselnya terlepas dari pegangan. Ketika ia mendongak ia melihat si tukang pukul mengayunkan sebelah kakinya. Kim So Eun otomatis mengangkat tangan untuk melindungi kepala. Tetapi tidak terjadi apa-apa. Malah terdengar suara keras dan sesuatu yang berat jatuh menindihnya.

Kim So Eun membuka mata dan mendapati Kim Bum berlutut di dekatnya. Lengan Kim Bum merangkul tubuhnya.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Kim Bum sambil meringis.

Kim So Eun tidak mendengarkan pertanyaan itu. Yang dilihatnya hanya darah di sudut bibir Kim Bum. Matanya terbelalak kaget. Tangannya terangkat ke pipi Kim Bum. “Kim Bum! Kau...”

Tiba-tiba si tukang pukul kembali melayangkan tendangan ke punggung Kim Bum.

Kim So Eun memekik. Ia berputar dan merangkul Kim Bum yang tersungkur di tanah untuk melindunginya.

“Hentikan! Hentikan!” seru Kim So Eun. Ketika berteriak ia baru sadar suaranya pecah dan air mata sudah mengalir di wajahnya, bercampur dengan air hujan.

Salah seorang tukang pukul itu, entah yang mana, mencengkeram lengan Kim So Eun dan menariknya dengan kasar sampai berdiri. Kim So Eun berusaha melawan, menendang, memukul, dan berteriak. Si tukang pukul mengangkat tangan dan menamparnya dengan keras. Kepala Kim So Eun tersentak ke belakang. Ia bisa merasakan telinganya berdenging kesakitan dan ledakan warna menyilaukan terlihat di balik kelopak matanya.

Kim Bum bertindak cepat. Ia melayangkan tinju ke rahang orang yang menampar Kim So Eun, lalu disusul dengan tendangan di perut. Orang itu terhuyung mundur dan terjatuh ke tanah.

Lee Ji Hoon, yang dari tadi menyaksikan perkelahian itu dengan senyum licik tersungging di wajah, mengangkat sebelah tangan. Anak-anak buahnya berhenti bergerak.

“Sebelum aku menghabisi kalian berdua,” katanya dengan suara pelan dan dingin, “aku ingin mengatakan bahwa aku mengagumi kekuatanmu.” Matanya menatap lurus-lurus ke arah Kim Bum. “Tapi tetap saja kau tidak bisa menang dariku.”

Entah sejak kapan mereka mengeluarkan tongkat pemukul dari dalam mobil, tetapi saat anak-anak buah Lee Ji Hoon kembali bergerak cepat ke arah Kim Bum, mereka sudah mengacungkan senjata mereka.

Kim So Eun membelalakkan mata. Tidak... Tidak... Tenaga Kim Bum sudah terkuras habis.

Walaupun Kim Bum masih berdiri tepat di depan Kim So Eun dan sebelah tangannya terulur ke belakang, memastikan Kim So Eun terlindungi di belakangnya, Kim So Eun tahu laki-laki itu tidak mungkin menghadapi empat tukang pukul yang bersenjata. Kim So Eun memang tidak bisa melihat wajah Kim Bum, tetapi ia tidak perlu melakukannya untuk tahu bahwa Kim Bum juga terluka. Tidak... Kalau mereka menyerang Kim Bum lagi, Kim Bum pasti akan celaka.

Tidak... Kim So Eun harus menghalangi mereka. Bagaimanapun caranya.

“Tidak! Hentikan!” Tanpa berpikir lagi, Kim So Eun berlari ke depan Kim Bum, ingin melindunginya, mencoba menghalangi orang-orang yang akan mengayunkan tongkat ke arah Kim Bum.

* * *

Kim Bum sudah tidak bertenaga. Seluruh tubuhnya terasa sakit. Darah menetes dari pipi dan bibirnya. Ia tidak mungkin melawan empat orang bertubuh besar yang jago berkelahi. Tidak dalam kondisi seperti ini. Ia sulit bernapas, karena dadanya terasa sakit setiap kali ia berusaha menarik napas. Mungkin juga ada beberapa tulangnya yang patah.

Tetapi ia tidak bisa menyerah sekarang. Tidak boleh. Ia harus memastikan keselamatan gadis di belakangnya ini. Kim So Eun sama sekali tidak ada hubungannya dengan semua ini. Ia tidak mungkin membiarkan Kim So Eun terluka. Tadi saja ia merasa jantungnya berhenti berdetak ketika salah satu tukang pukul itu memukul wajah Kim So Eun.

Kim Bum berusaha mengatur napas. Ia mengulurkan tangan ke belakang, menyentuh Kim So Eun, memastikan gadis itu baik-baik saja dan masih ada di dekatnya. Astaga, kalau sesuatu terjadi pada Kim So Eun, ia... ia... Apa yang harus dilakukannya?

Keempat orang di hadapannya serentak bergerak dan mengayunkan tongkat ke arahnya. Saat ini yang paling penting adalah menjauhkan Kim So Eun dari sini. Walaupun Kim Bum mungkin tak bisa lagi melawan, tetapi ia masih bisa melindungi Kim So Eun.

“Tidak! Hentikan!” Tiba-tiba saja Kim So Eun bergerak ke depan Kim Bum dengan tangan direntangkan. Kim Bum terkesiap. Tidak... Tidak! Matanya terpaku pada tongkat yang akan mengenai kepala Kim So Eun.

Setelah itu semuanya seolah-olah terjadi dalam gerakan lambat. Ia mencengkeram tangan Kim So Eun dan menarik gadis itu ke arahnya. Tepat ketika ia mendekap Kim So Eun, kepalanya pun serasa meledak.

* * *

Kim So Eun memekik ketika tongkat kayu itu menghantam kepala Kim Bum dan laki-laki itu terjatuh ke depan, masih mendekap Kim So Eun erat-erat. Serangan itu tidak berhenti di sana.

Satu pukulan itu dilanjutkan dengan bertubi-tubi pukulan lain. Kim So Eun meminta mereka berhenti memukuli Kim Bum, tetapi suaranya dikalahkan bunyi hujan. Walaupun orang-orang itu bisa mendengarnya, Kim So Eun tidak yakin mereka mau menuruti kata-katanya.

Kim Bum tetap memeluk Kim So Eun, menahan Kim So Eun di tanah dengan tubuhnya sementara ia menerima setiap pukulan yang diarahkan kepadanya. Kim So Eun terisak memanggil namanya, tetapi Kim Bum tidak menyahut. Kalau bukan karena lengannya yang merangkul tubuh Kim So Eun dengan kencang, Kim So Eun pasti berpikir laki-laki itu sudah pingsan.

Lalu tiba-tiba saja terdengar bunyi melengking, beberapa berkas sinar menyilaukan terlihat dan Kim So Eun juga mendengar teriakan-teriakan keras yang mengalahkan suara hujan. Tiba-tiba saja tubuh Kim Bum berhenti berguncang. Orang-orang itu tidak lagi memukulinya. Terdengar teriakan lagi. Bernada mendesak. Memerintah. Lalu tongkat-tongkat kayu berjatuhan ke tanah.

Kim So Eun mendongak dan menyipitkan mata karena silau. Lalu perlahan-lahan semuanya menjadi jelas. Orang-orang yang tadi memukuli mereka berdiri memunggungi mereka dengan tangan terangkat ke atas kepala. Begitu juga Lee Ji Hoon. Kim So Eun mengalihkan pandangan dan melihat beberapa orang polisi mengacungkan pistol ke arah mereka. Polisi datang!

“Kim Bum,” panggil Kim So Eun sambil bergerak dalam pelukan Kim Bum. “Kim Bum, polisi sudah datang.”

Kim Bum tidak bergerak. Juga tidak bersuara.

Kim So Eun mendorong tubuh Kim Bum dan berusaha duduk, namun memekik pelan ketika Kim Bum langsung jatuh terlentang di tanah. “Kim Bum?” panggil Kim So Eun panic sambil memegang pipi Kim Bum. Ia menatap mata Kim Bum yang terpejam, pipinya juga terluka, dan bibirnya yang berdarah. Kim So Eun merasa sekujur tubuhnya menegang ketakutan.

“Kalian tidak apa-apa?” tanya salah seorang polisi yang buru-buru menghampiri mereka.

Kim So Eun mendongak menatap wajah polisi itu dengan mata terbelalak cemas dan menunjuk Kim Bum. “Dia... dia...”

Si polisi cepat-cepat memeriksa keadaan Kim Bum sementara seorang polisi lain yang lebih muda menghampiri Kim So Eun dan membantunya berdiri. Kim So Eun tidak bisa mendengar pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh polisi yang membantunya itu.

Matanya terpaku pada Kim Bum yang sedang diperiksa polisi yang lebih tua tadi.

Akhirnya si polisi berbicara di walkie-talkie-nya, meminta ambulans segara dikirim ke lokasi kejadian karena ada korban yang terluka parah dan tidak sadarkan diri.

Sekujur tubuh Kim So Eun terasa dingin. Jantungnya seakan berhenti berdetak beberapa detik. Terluka parah? Separah apa? Ada apa dengan Kim Bum? Apa...?

“Kim So Eun!”

Kim So Eun berpaling. Ia melihat Yoon Eun Hye yang memegang payung berlari-lari ke arahnya.

Dengan cepat Yoon Eun Hye tiba di depan Kim So Eun. “Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada mendesak cemas. “Begitu mendengar suaramu di telepon, aku langsung merasa ada yang tidak beres dan cepat-cepat menelepon polisi. Lee Ki Kwang sedang pergi menemui temannya, jadi aku panik. Aku... Astaga! Kau menggigil!”

Kim So Eun menggeleng-geleng. Kepalanya mendadak terasa pusing. “Tidak, aku tidak apa-apa. Tapi Kim Bum... dia...”

Dan hal terakhir yang didengar Kim So Eun adalah pekikan Yoon Eun Hye ketika ia jatuh pingsan dalam pelukan tetangganya.

Bersambung…

Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3 ... Chapter 18
Chapter 2 ... Chapter 19
Chapter 1
... Chapter 20
Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...