Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 13 Agustus 2011
Spring Love (Chapter 3)
Hari pertama syuting sangat melelahkan karena seharian itu Sutradara Song Chang Ui memutuskan untuk mengambil adegan di luar ruangan. Lokasi syuting hari itu berkisar di Century Park dan Volcom Land, terutama di Syracuse Line. Tentu saja syuting di tempat umum bukan hal yang gampang karena sisa-sisa musim dingin masih terasa dan banyak orang berlalu-lalang. Namun Sutradara Song Chang Ui adalah sutradara yang perfeksionis. Ia sangat memperhatikan gerak-gerik Kim So Eun di depan kamera, dari ekspresi wajah, posisi tubuh, langkah kaki, gerakan tangan, bahkan sampai tatapan mata.
“Cut!” seru Sutradara Song Chang Ui untuk yang kesekian kalinya.
Kim So Eun menegakkan tubuh dan menoleh ke arah si sutradara. Langit sudah berubah gelap sejak berjam-jam yang lalu. Mereka pun sudah mengulangi adegan di depan toko barang antik bercat merah cerah itu sedikitnya enam kali dan tidak ada satu adegan pun yang memuaskan bagi Sutradara Song Chang Ui.
“Kali ini coba kau menyeberang jalan dari sana ke sini,” kata Sutradara Song Chang Ui ketika ia sudah berada di samping Kim So Eun, “lalu berhenti sebentar di depan toko ini, melongok ke dalam, seolah-olah kau ragu, lalu kau masuk. Bagaimana? Kita coba yang ini.”
Kim So Eun tersenyum dan mengangguk walaupun rasa lelah mulai menjalari tulangnya dan tubuhnya menggigil. Ditambah lagi kakinya terasa sakit dalam sepatu bot yang kekecilan. Tentu saja ini bukan pertama kalinya ia merasakan semua itu. Sebagai model pekerjaannya sangat menuntut waktu dan tenaganya. Ia pernah pulang ke rumah pada pukul dua pagi setelah tampil di Paris Fashion Week sepanjang hari dan harus keluar lagi dari rumah pada pukul empat pagi untuk acara pemotretan di Luxury. Jadi rasa lelah sama sekali tak asing baginya, malah kadang-kadang ia merasa ia membutuhkan perasaan lelah itu.
Sutradara Song Chang Ui mengangguk. “Kita akan mulai lima menit lagi,” katanya, lalu berjalan ke salah seorang kamerawan di sana.
Song Hye Gyo bergegas membawakan jaket untuk Kim So Eun.
“Terima kasih,” gumam Kim So Eun sambil mengenakan jaketnya dan menjejalkan tangan ke saku.
“Duduk di sini,” kata Song Hye Gyo sambil mendorong Kim So Eun ke salah satu bangku di dekat cahaya lampu dan mulai memperbaiki riasannya.
Ketika Song Hye Gyo pergi mengambil peralatannya yang lain, Kim So Eun memejamkan mata sejenak. Waktu istirahat yang di dapatkannya hanyalah sedikit waktu di sela-sela pekerjaan seperti ini. Kim So Eun tidak tahu apakah ada orang yang pernah menghargai lima menit waktu luang seperti dirinya. Tiba-tiba ia mencium aroma yang enak. Matanya terbuka dan langsung dihadapkan pada secangkir Cappucino yang mengepul.
“Capek?”
Mendengar suara rendah dan asing itu, Kim So Eun mengangkat wajah dan langsung bertatapan dengan mata gelap Kim Bum yang ramah. Sejak pertemuan pertama mereka pagi tadi, sepanjang hari itu mereka sama sekali belum sempat saling bicara.
Mereka sama sekali belum melakukan adegan bersama dan adegan mereka masing-masing diambil secara terpisah. Dan setiap kali tidak berada di depan kamera, Kim Bum langsung kembali pada perannya sebagai asisten Sutradara Song Chang Ui, sibuk di belakang kamera. Kim So Eun tahu dari Song Hye Gyo bahwa tujuan utama Kim Bum datang ke Paris sebenarnya memang untuk bekerja dengan Song Chang Ui dan laki-laki itu hanya setuju menjadi model di video musik ini tanpa dibayar adalah karena si penyanyi adalah teman baiknya.
Karena Kim So Eun tetap bergeming, Kim Bum meraih tangan Kim So Eun, ingin membuatnya menerima cangkir kertas yang disodorkan. Tetapi Kim So Eun langsung tersentak dan secepat kilat menarik kembali tangannya. Kim Bum mengerjap dan menatap Kim So Eun dengan alis terangkat heran. Walaupun udara terasa dingin, Kim So Eun merasa pipinya memanas. Selama beberapa detik tidak ada yang bergerak. Lalu Kim Bum menghela napas dan menempelkan cangkir kertas yang hangat itu ke tangan Kim So Eun.
“Ini. Minumlah. Kau akan merasa lebih baik,” katanya ringan.
Kim So Eun menggenggam cangkir kertas yang disodorkan itu dengan kedua tangan. Ia mendesah pelan ketika merasakan kehangatan menjalari ujung jari dan tangannya. Sedikit ketegangan pun menguap dari pundaknya.
“Sutradara Song Chang Ui memang agak keras, tapi dia selalu berhasil mendapat gambar yang bagus,” kata Kim Bum sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. “Kau akan lihat nanti.”
Kim So Eun menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat.
Tepat pada saat itu terdengar suara Sutradara Song Chang Ui yang menyatakan syuting akan dimulai lagi.
Kim Bum menoleh ke arah si sutradara, lalu kembali menatap Kim So Eun.
“Bertahanlah sebentar lagi,” katanya sambil tersenyum menghibur sebelum berbalik dan meninggalkan Kim So Eun.
Kim So Eun menatap punggung Kim Bum yang menjauh sejenak, lalu menunduk menatap cangkir Cappucino yang masih penuh dan bergetar dalam genggamannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya, dan meletakkan cangkir itu ke tanah.
* * *
Akhirnya syuting hari itu selesai juga.
Kim So Eun mengusap-usap bagian belakang lehernya sambil mengumpulkan barang-barangnya. Ia menatap jam yang tertera di layar ponsel. Kalau ia bergegas, ia bisa naik kereta bawah tanah yang terakhir. Besok ia harus bangun pagi-pagi karena ia diminta tiba di lokasi syuting jam delapan pagi. Sekarang ini ia hanya ingin tidur.
“Kim So Eun.”
Kim So Eun berbalik ketika mendengar Sutradara Song Chang Ui memanggilnya.
“Ya?”
“Kau akan pulang sendirian?” tanya Sutradara Song Chang Ui.
“Ya,” sahut Kim So Eun dan tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa. Aku masih sempat naik kereta terakhir.”
Sutradara Song Chang Ui mengerutkan kening sejenak. “Sekarang sudah terlalu larut. Tidak baik membiarkan seorang gadis berjalan sendirian,” katanya. Kemudian ia memandang berkeliling, ke arah para staf produksi yang sedang sibuk mengumpulkan dan merapikan perlengkapan. Matanya berhenti pada Kim Bum yang sedang membantu mengangkat perlengkapan ke mobil van. “Hei, Kim Bum,” seru Sutradara Song Chang Ui.
Kim Bum menoleh. “Ya?”
“Kau bisa mengantar Kim So Eun pulang?” tanya Sutradara Song Chang Ui dalam bahasa Inggris kepada Kim Bum. “Aku tidak mau dia pulang sendirian malam-malam begini.”
Mata Kim So Eun melebar. “Tidak,” katanya cepat. Terlalu cepat dan terlalu keras sampai kedua pria itu menoleh memandangnya. Kim So Eun menggoyang-goyangkan tangan dan tersenyum gugup. “Tidak perlu repot-repot,” katanya dengan suara yang diusahakan tidak terdengar panik. “Aku bisa sendiri. Sungguh.”
Kim Bum berjalan menghampiri mereka. “Aku tidak keberatan,” katanya. “Lagipula, aku setuju dengan Hyung. Sekarang sudah malam dan sebaiknya ada yang mengantarmu pulang. Kau tinggal di mana?”
Kim So Eun menggoyangkan tangannya lagi. Kali ini lebih cepat. “Sungguh, aku tidak perlu diantar. Aku bisa pulang sendiri. Aku sudah terbiasa pulang sendiri,” katanya sambil meraih tas dan topinya. Ketika ia melihat Kim Bum membuka mulut seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, Kim So Eun cepat-cepat membungkuk. “Selamat malam,” katanya cepat, lalu berbalik tanpa menunggu jawaban dan berjalan pergi.
Mengamati punggung Kim So Eun yang menjauh, Song Chang Ui bergumam, “Rasanya tidak benar membiarkannya pulang sendirian malam-malam begini.”
Kim Bum menoleh. “Tapi dia sendiri tidak mau ditemani,” balasnya. Lalu ia mengangkat bahu. “Hyung tidak perlu cemas. Tidak akan terjadi apa-apa.”
Song Chang Ui mendecakkan lidah dengan pelan. “Tapi tetap saja...,” gumamnya enggan. Ia menghela napas dan berbalik. “Ya sudahlah. Ayo, Kim Bum. Kita bereskan tempat ini dan pulang.”
“Ya. Tentu saja,” gumam Kim Bum. Namun ia tidak beranjak dari tempatny aberdiri sampai sosok Kim So Eun menghilang di belokan di seberang jalan sepi itu.
* * *
Sementara itu Kim So Eun meragukan keputusannya sendiri. Jalanan sudah sepi. Stasiun kereta bawah tanah juga tiba-tiba terlihat remang-remang dan menakutkan. Hanya ada segelintir orang yang berdiri menunggu kereta. Kim So Eun tidak suka tempat sepi.
Kepanikan mulai meresapi otaknya dan membuat tubuhnya menggigil.
Apakah tadi sebaiknya ia menerima tawaran Kim Bum untuk mengantarnya pulang? Tapi ditemani laki-laki yang baru ditemuinya hari ini juga sama sekali bukan pilihan yang pantas dipertimbangkan.
Sepanjang perjalanan pulang Kim So Eun menyibukkan pikirannya dengan mengingat jadwal kerjanya selama sebulan ke depan, berusaha mengabaikan keadaan kereta yang hampir kosong dan dua pria berpenampilan kusam yang berdiri di dekat pintu sambil mengobrol dan menenggak bir. Ketika ia akhirnya tiba di City Hall, Kim So Eun baru bernapas sedikit lebih lega. Hanya sedikit. Karena sekarang ia harus berjalan kaki ke flatnya. Memang tidak jauh dari stasiun, tapi ia tetap merasa paranoid kalau harus berjalan sendirian malam-malam.
Sambil terus menyibukkan pikirannya sehingga tidak berpikiran macam-macam, Kim So Eun berjalan cepat menyusuri jalan dari bebatuan yang mengarah keflatnya. Ia baru bisa benar-benar bernapas lega ketika sudah mendekati gedung flat.
New Moon di lantai satu gedung itu masih buka dan masih ramai. Cahaya lampu yang terang, suara orang tertawa, bercakap-cakap dan bunyi denting gelas membuat Kim So Eun merasa santai.
Baru saja ia merasa lega, tiba-tiba bunyi keras di belakangnya membuatnya terperanjat, disusul suara yang mengumpat. Kim So Eun terkesiap, berputar cepat, dan membelalak.
“Oh, sialan,” gerutu sesosok bayangan gelap di bawah salah satu pohon yang berjejer di tepi jalan. Bayangan itu sepertinya sedang membungkuk dan mengangkat sesuatu dari tanah.
Kim So Eun seakan terpaku di tempat. Tidak bisa bergerak, tidak bisa bersuara, tidak bisa bernapas. Dengan mata terbelalak ia menatap bayangan itu membetulkan letak... tong sampah?
“Jangan panik. Ini aku. Aku menabrak tong sampah. Tapi tidak perlu khawatir. Tong sampahnya baik-baik saja.”
Kim So Eun mengerjap mengenali suara itu sementara bayangan gelap tadi melangkah ke bawah sinar lampu jalan sambil mengangkat kedua tangan. Mata Kim So Eun melebar setelah wajah laki-laki itu terlihat jelas. “Kau...?”
Kim Bum menurunkan tangan dan tersenyum lebar.
“Sedang apa kau di sini?” tanya Kim So Eun heran bercampur curiga. Ia memandang berkeliling, lalu kembali menatap Kim Bum. Matanya disipitkan. “Kau mengikutiku?”
Kim Bum tidak langsung menjawab. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia berkata dengan nada merenung, “Kau tahu, ini pertama kalinya kau mengucapkan lebih dari dua kata padaku. Dan aku baru tahu kau punya logat Paris yang jelas. Sebenarnya sudah berapa lama kau tinggal di sini?”
Kim So Eun terdiam sejenak dan tetap menatap laki-laki di hadapannya. Lalu, tanpa menjawab pertanyaan Kim Bum, ia bertanya sekali lagi, “Sedang apa kau di sini?”
Kim Bum menjejalkan kedua tangan ke saku jaket abu-abunya dan mengangkat bahu. “Karena kau tidak mau diantar pulang, aku memutuskan untuk mengikutimu.”
Kening Kim So Eun berkerut tidak mengerti. “Kenapa?”
“Hanya untuk memastikan kau baik-baik saja. Memastikan kau tiba di rumah dengan selamat,” sahut Kim Bum ringan. “Hyung—maksudku sutradara kita itu—takut sesuatu terjadi padamu.”
Kim So Eun mengerjap bingung. “Oh.”
“Jadi,” kata Kim Bum sambil mendongak memandang gedung di depannya, “kau tinggal di sini?”
Kim So Eun menoleh, mengikuti arah pandang Kim Bum, lalu kembali menatap laki-laki itu. “Ya.”
Mendengar nada suara Kim So Eun, mata Kim Bum beralih kembali kepada Kim So Eun dan ia tertawa pendek. “Tidak perlu curiga begitu. Aku tidak minta diajak masuk,” katanya. Ia menatap Kim So Eun dari kepala sampai ke kaki, lalu kembali ke wajahnya dan berkata, “Lagi pula kau bukan tipeku.”
Kim So Eun mengerjap kaget, membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Otaknya berkutat mencari balasan yang cocok, tetapi tidak ada satu pun yang terpikirkan olehnya. Otaknya mendadak kosong. Ia hanya bisa menatap laki-laki yang tersenyum lebar itu dengan kesal.
“Baiklah. Karena kau sudah sampai di rumah dengan selamat, aku pergi dulu,” kata Kim Bum sambil mengangkat sebelah tangan. “Sampai jumpa besok.”
Ketika laki-laki itu berbalik dan mulai melangkah pergi, Kim So Eun baru berhasil memikirkan selusin cara membalas kata-kata Kim Bum tadi. Tapi tentu saja sudah terlambat. Dengan kesal Kim So Eun membalikkan tubuh sambil menggali tasnya, mencari kunci pintu tangga depan.
“Siapa laki-laki itu?”
Jantung Kim So Eun hampir jatuh ke tanah ketika Baek Suzy tiba-tiba sudah ada tepat didepan wajahnya. “Ya Tuhan, Baek Suzy!” Kim So Eun menempelkan tangan ke dada. “Sedang apa kau di sini?”
Baek Suzy memberi isyarat dengan ibu jarinya ke arah New Moon yang ramai. “Aku sedang bersama teman-temanku,” katanya. “Kebetulan aku melihatmu dengan laki-laki itu. Siapa dia?”
“Rekan kerja,” sahut Kim So Eun, masih merasa kesal pada diri sendiri karena membiarkan dirinya terlihat seperti orang bodoh di depan Kim Bum.
Alis Baek Suzy terangkat. “Dan dia mengantarmu pulang? Kim So Eun, aku tidak pernah meliahtmu diantar pulang oleh laki-laki.”
“Tidak, dia tidak mengantarku,” sela Kim So Eun cepat, “dia mengikutiku.”
Kali ini alis Baek Suzy berkerut. “Dia mengikutimu sampai ke sini? Untuk apa?”
Kim So Eun tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke belakang. Kim Bum sudah tidak terlihat. Ia menggeleng dan mendesah. “Entahlah. Aku lelah sekali dan aku mau tidur,” katanya sambil mengeluarkan kunci dari tas dan berjalan melewati Baek Suzy. “Sana, kembalilah kepada teman-temanmu.”
“Oh ya, Kim So Eun,” panggil Baek Suzy. “Park Shin Hye menelepon mencarimu berkali-kali hari ini. Katanya ponselmu tidak bisa dihubungi.”
Kim So Eun baru teringat ia mematikan ponselnya selama proses syuting agar tidak mengganggu. Ia mendesah berat. “Park Shin Hye. Oh, Tuhan, aku hampir lupa. Aku berjanji akan menyerahkan artikelnya besok.” Ia menghembuskan napas panjang. Bahunya melesak. “Kurasa aku harus membatalkan rencanaku untuk tidur.”
Selain bekerja sebagai model, Kim So Eun juga bekerja sebagai editor freelance disalah satu majalah fashion populer di Paris. Ia sangat suka dan tahu banyak soal dunia fashion, jadi ketika Park Shin Hye, mantan teman seprofesi dan putri pemilik majalah itu, meminta bantuannya menulis artikel fashion untuk majalahnya, Kim So Eun dengan senang hati menerima pekerjaan itu. Namun sekarang ia mulai mempertanyakan keputusannya sendiri untuk membantu Park Shin Hye karena sepertinya ia sekarang bukan hanya bertugas menulis artikel fashion, tetapi juga sering diminta mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan Park Shin Hye sendiri sebagai editor chief karena temannya itu bukan tipe orang yang bisa mengambil keputusan sendiri.
Baek Suzy menatapnya dengan tatapan prihatin. “Aku rasa sudah waktunya kau memilih salah satu, Kim So Eun. Model atau editor majalah. Kau tidak bisa melakukan keduanya dengan jadwalnya yang sekarang. Memangnya kau tidak capek?”
Kim So Eun memutar kunci dan membuka pintu, lalu ia berbalik menatap temannya.
“Jangan khawatir. Aku bisa mengatasinya,” katanya sambil tersenyum.
Ia tidak pernah memberitahu siapa-siapa, tetapi kesibukan adalah perlindungannya. Kesibukan bisa mengalihkan perhatiannya. Kesibukan bisa membuatnya tidak memikirkan hal-hal yang tidak ingin dipikirkannya. Misalnya hal-hal yang berhubungan dengan Kim Bum.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar