Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 13 Agustus 2011
Spring Love (Chapter 18)
“Kenapa kau tidak mau mengajukan tuntutan?” tanya Kim Heechul dengan nada heran. “Setelah apa yang dilakukan penjahat itu padamu semalam, kenapa kau tidak mau menuntutnya? Kenapa?”
Kim So Eun menghela napas dan mengangkat wajah menatap kedua teman satu flatnya yang balas menatapnya dengan bingung. Baek Suzy dan Kim Heechul duduk di meja dapur, sedangkan Kim So Eun berdiri di dekat pintu kamarnya sambil mencengkeram cangkir Cappucino-nya. Perlahan-lahan Kim So Eun menghembuskan napas dan bergumam, “Karena tidak ada yang terjadi semalam.”
“Tidak ada yang terjadi?” ulang Kim Heechul lagi dengan suara meninggi. “Apa...?” Ia menghentikan kata-katanya dan melotot menatap Baek Suzy, meminta dukungan, namun Baek Suzy juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Saat itu bel pintu flat mereka berbunyi dan Kim Heechul pergi membuka pintu.
“Oh, Kim Bum. Rupanya kau. Masuklah.”
Kim So Eun menoleh ketika Kim Heechul berjalan kembali ke dapur bersama Kim Bum. Alis Kim So Eun berkerut samar melihat wajah Kim Bum yang pucat. “Kau sakit?” tanya Kim So Eun langsung.
Kim Bum tersenyum tipis dan menggeleng. Sebelah tangannya terulur ke depan, hendak menyentuh Kim So Eun, namun tiba-tiba ia mengurungkan niat dan malah menjejalkan kedua tangan ke saku celana panjangnya. Ia berdeham pelan dan menatap wajah Kim So Eun lurus-lurus. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.
Ada sesuatu dalam suara Kim Bum yang tidak Kim So Eun mengerti. Kim So Eun menatap mata Kim Bum, berusaha mencari tahu apa yang membuat perasaannya tiba-tiba gelisah. Namun ia mendapat kesan bahwa mata gelap yang balas menatapnya itu juga sedang melakukan hal yang sama, berusaha mencari tahu apa yang tersembunyi di dasar jiwa Kim So Eun.
“Aku baik-baik saja,” sahut Kim So Eun. Lalu ketika Kim Bum tetap diam, ia menambahkan, “Sungguh.”
“Hanya itu yang dikatakannya sepanjang pagi,” kata Kim Heechul kepada Kim Bum dengan nada muram. “Katanya dia tidak mau menuntut pria kemarin itu. Mungkin kau bisa membujuknya. Menyadarkannya. Aku harus pergi sekarang. Tekanan darahku bisa naik kalau aku lama-lama di sini.”
Baek Suzy menghembuskan napas dan meraih tasnya. “Aku juga akan membiarkan kalian berdua mengobrol di sini,” katanya sambil berdiri. “Sampai jumpa nanti malam, Kim So Eun. Bye, Kim Bum.”
Setelah Kim So Eun menutup pintu dan kembali ke dapur, ia melihat Kim Bum masih berdiri di tempatnya semula dan memandang kosong ke luar jendela dapur. Jelas sekali ada sesuatu yang mengganggu pikiran laki-laki itu. Sikapnya terlihat aneh. Ia agak pendiam pagi ini, juga murung. Kenapa?
“Kau sudah sarapan?” tanya Kim So Eun, menjaga suaranya terdengar ringan dan riang. “Kalau belum, kau boleh mencoba roti buatan Kim Heechul.”
Kim Bum mengerjap satu kali, lalu menoleh. “Tidak. Tidak usah,” gumamnya.
“Kalau begitu duduklah. Biar kubuatkan Teh saja.”
Kim Bum menurut dan duduk di kursi yang tadi diduduki Kim Heechul.
“Jadi kenapa kau datang ke sini pagi-pagi begini? Untuk memeriksa keadaanku?” Kim So Eun mulai berceloteh sementara ia berbalik memunggungi Kim Bum dan menyibukkan diri dengan cangkir dan daun Teh. “Jangan khawatir. Kau bisa lihat sendiri. Aku baik-baik saja. Aku juga tidak akan mengajukan tuntutan pada... orang itu karena tidak ada yang terjadi kemarin. Kau datang tepat pada waktunya. Oh ya, aku baru ingat aku belum berterima kasih padamu karena sudah menolongku. Pokoknya karena tidak ada yang terjadi dan aku juga baik-baik saja, aku tidak ingin masalah ini dibesar-besarkan. Aku tidak ingin ada skandal.” Ia tertawa pendek dan hambar. “Aku yakin agenku juga setuju.”
“Karena itukah kau tidak pernah berkata apa-apa tentang kejadian waktu itu?” sela Kim Bum tiba-tiba.
Kim So Eun membalikkan tubuh sambil membawa secangkir Teh yang mengepul.
“Kejadian yang mana?”
“Yang berhubungan dengan almarhum kakakku.”
Dan dunia Kim So Eun pun menggelap seketika.
* * *
Segalanya terjadi begitu cepat di depan mata Kim Bum. Ia melihat Kim So Eun terhuyung dan cangkir yang dipegangnya oleng, membuat Teh yang mengepul itu tumpah mengenai tangannya, sebelum akhirnya jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping.
Kim Bum melompat berdiri, meraih tangan Kim So Eun dan menariknya ke bak cuci piring.
“Kau punya salep untuk luka bakar?” tanya Kim Bum sementara ia membasuh tangan Kim So Eun dengan air keran.
Kim So Eun tidak menjawab, tetapi Kim Bum merasakan ketegangan gadis itu dan tangannya yang kaku. Lalu perlahan-lahan Kim So Eun menarik tangannya dari genggaman Kim Bum dan berkata pelan, “Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa.”
Kim Bum mengamati Kim So Eun berbalik dan berjalan ke kamarnya. Jelas sekali Kim So Eun tidak ingin membicarakan masa lalunya itu, tetapi Kim Bum tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Ia tidak bisa tidur semalaman, ia merasa tersiksa, merasa bersalah, merasa sangat tak berdaya. Ia hampir gila setiap kali mengingat apa yang dikatakan Jang Geun Suk kepadanya. Ia harus berbicara dengan Kim So Eun. Ia harus tahu apa yang dipikirkan Kim So Eun tentang hal ini, karena ia sendiri tidak tahu apa yang harus dipikirkannya.
Kim Bum berdiri di ambang pintu kamar Kim So Eun, mengamati gadis itu mengeluarkan kotak obat dari laci dengan tangan gemetar, lalu berjalan ke tempat tidurnya dan duduk di sana. Hanya duduk dengan kotak obat di pangkuan tanpa melakukan apa-apa. Melihat itu Kim Bum masuk dan menghampiri Kim So Eun. Kim Bum berlutut di hadapan Kim So Eun dan mengambil kotak obat dari tangan gadis itu. Setelah menemukan obat yang dicarinya, Kim Bum menatap tangan Kim So Eun yang masih gemetar dan ragu sejenak. Lalu ia mengulurkan tangannya dan meraih tangan Kim So Eun. Kali ini Kim So Eun meringis.
“Ini harus segera diobati,” gumam Kim Bum pelan dan mulai mengoleskan obat ke tangan Kim So Eun.
Kim So Eun tidak menarik tangannya, namun juga tidak berkata apa-apa. Saat itu Kim Bum benar-benar merasakan kesunyian yang menyelubungi flat itu. Namun itu bukan kesunyian yang menenangkan. Ada ketegangan yang mencekam di sana yang membuat Kim Bum sulit bernapas.
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Kim So Eun tiba-tiba, memecah keheningan. Suaranya terdengar sangat datar dan hampa, seolah-olah tak berjiwa. Ia juga tidak memandang Kim Bum, tetapi memandang kosong ke luar jendela kamarnya, ke arah langit mendung Paris.
“Aku pergi mencari Jang Geun Suk kemarin malam. Dia menceritakan semuanya kepadaku,” kata Kim Bum pelan.
Masih tidak menatap Kim Bum, Kim So Eun menelan ludah dan bertanya, “Apa yang dikatakannya padamu? Apakah dia berkata bahwa aku yang...?” Kim So Eun tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Wajahnya mengernyit seolah-olah kesakitan.
“Katanya kakakku memaksamu,” sahut Kim Bum. Ia menunggu sejenak, namun karena Kim So Eun tidak berkata apa-apa, ia mendongak menatap Kim So Eun dan bertanya, “Apakah sejak awal kau sudah tahu siapa aku?”
Kim So Eun tidak langsung menjawab. Setelah diam beberapa saat, ia mengangguk pelan. “Aku tahu tentang dirimu dari tabloid,” gumam Kim So Eun dengan nada melamun. “Karena kau termasuk artis terkenal di Korea dan karena artis-artis Korea juga populer di Jepang, para wartawan Jepang suka meliput segala sesuatu yang terjadi pada artis Korea. Artikel tentang kecelakaan yang menimpa saudara kandung Kim Bum pun menjadi bahan yang menarik untuk dimuat dalam tabloid.”
Kim Bum menunduk dan memejamkan mata, berusaha menenangkan gemuruh dalam dadanya. “Kenapa kau tidak pernah berkata apa-apa sebelum ini, Kim So Eun?”
Kim So Eun mendengus pelan dan menggeleng. “Jangan mengira aku tidak membenci kakakmu. Aku membencinya. Aku membencinya karena apa yang dilakukannya padaku. Aku begitu membencinya sampai ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri. Tapi sebelum aku bisa melaksanakan niatku, dia sudah meninggal. Tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Apa lagi yang bisa dikatakan kalau begitu?” Seulas senyum sinis dan hambar terukir di bibirnya. “Lagi pula kalau waktu itu kukatakan padamu apa... apa yang dilakukan kakakmu… kakakmu yang sudah meninggal tiga tahun lalu padaku, apakah kau akan percaya?”
Kim Bum tidak bisa menjawab dan ia merasakan desakan kuat untuk melukai diri sendiri.
“Sudah kuduga,” gumam Kim So Eun. Ia menarik tangannya dari genggaman Kim Bum, berdiri dan berjalan ke arah jendela. Sejenak keheningan pun kembali menyelimuti ruangan. Lalu Kim Bum mendengar Kim So Eun mendesah lirih dan berkata, “Orangtuaku... Merekalah alasan utama aku tidak pernah berkata apa-apa tentang kejadian itu. Seumur hidupku aku belum pernah melakukan sesuatu yang membuat mereka terpaksa menanggung rasa malu. Mereka bangga pada anak-anak mereka. Mereka bangga padaku. Kalau mereka sampai tahu masalah ini... Kalau ayahku sampai tahu masalah ini, aku tidak berani membayangkan bagaimana perasaannya.”
“Kim So Eun...”
“Sebenarnya ada dua hal yang bisa disyukuri dalam kejadian ini, kalau kita bisa menyebutnya rasa syukur,” sela Kim So Eun, masih memunggungi Kim Bum. “Selama kejadian itu aku lemas tak berdaya, nyaris tidak sadarkan diri, sehingga aku tidak terlalu kesakitan walaupun aku tahu siapa lelaki itu, dan ingin berontak, ingin melawannya. Dan yang kedua, aku tidak hamil.”
“Kim So Eun...”
Saat itu Kim So Eun berbalik dan menatap Kim Bum lurus-lurus. “Kalau dipikir-pikir, kurasa bagus juga karena sekarang kau sudah tahu semuanya,” katanya. Ia menarik napas dalam-dalam sekali lagi dan menghembuskannya. “Aku lega.”
Kim Bum sama sekali tidak mengerti apa maksud Kim So Eun. Ia pun berdiri dan berdiri di hadapan Kim So Eun dan menunggu gadis itu melanjutkan.
Kim So Eun membalas tatapannya, namun Kim Bum menyadari bibir bawah Kim So Eun bergetar samar. Setelah ragu sejenak, Kim So Eun membuka mulut dan berkata, “Aku lega kita bisa mengakhiri semua ini.”
Kening Kim Bum berkerut tidak mengerti.
Kim So Eun tidak langsung menjawab, hanya menatap Kim Bum tanpa berkedip selama beberapa detik, lalu berkata, “Kau pasti merasa jijik padaku.”
Kim Bum terkejut, sama sekali tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu.
“Apa? Tidak. Aku tidak....”
“Aku juga merasa jijik pada diriku sendiri,” sela Kim So Eun.
Kim Bum mengulurkan tangan. “Kim So Eun, tolong jangan...”
Namun Kim So Eun mengernyit dan menjauh dari uluran tangan Kim Bum. “Kurasa aku telah membuat kesalahan,” katanya dengan suara tercekat. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Ia terlihat tegang dan tertekan. “Ketika kupikir kita bisa berteman, kurasa aku salah. Kita tidak pernah bisa berteman. Tidak akan pernah.”
“Apa yang sedang kau bicarakan?” tanya Kim Bum bingung. Rasa frustrasi mulai menjalari dirinya. Frustrasi melihat luka besar yang dialami Kim So Eun. Frustrasi karena melihat Kim So Eun begitu menderita. Frustrasi karena ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menolong Kim So Eun. Frustrasi karena Kim So Eun menarik diri darinya.
Kim So Eun menelan ludah dengna susah payah. Air mata mulai membayang di matanya. “Sekarang kau tidak akan bisa lagi memandangku tanpa memikirkan apa yang pernah terjadi antara aku dan kakakmu.”
“Tidak... Itu tidak benar.”
“Dan aku tidak bisa memandangmu tanpa teringat pada kakakmu dan apa yang pernah dilakukannya padaku.”
Kata-kata yang diucapkan dengan tajam dan jelas itu menghujam jantung Kim Bum. Dadanya terasa sakit dan sekujur tubuhnya lumpuh. Ia menatap Kim So Eun tanpa berkedip, tanpa bernapas. Ia membuka mulut, namun tidak ada suara yang keluar.
* * *
Ya Tuhan...
Kim So Eun menggigit bibirnya keras-keras. Apa yang sudah dilakukannya? Ia tidak bermaksud mengatakannya. Sungguh. Namun kata-kata itu meluncur dari mulutnya tanpa sempat dicegah. Melihat Kim Bum yang berdiri mematung di depannya membuat hatinya terasa perih. Melihat kilatan kaget dan terluka di mata Kim Bum membuatnya inign menarik kembali kata-katanya. Oh, betapa ia berharap bisa menarik kembali kata-katanya.
Tetapi sudah terlambat. Ia tidak bisa menarik kembali kata-katanya. Kim So Eun menarik napas dalam-dalam dan meraba keningnya dengan sebelah tangan.
“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku... aku...”
Kim Bum mengangkat sebelah tangan, menghentikan kata-kata Kim So Eun. Ia menghembuskan napas dengan pelan dan bergumam, “Kurasa... sebaiknya aku pergi.” Dan sebelum Kim So Eun sempat membuka mulut lagi, Kim Bum sudah berbalik dan berjalan ke arah pintu. Sama sekali tidak menatap Kim So Eun.
Kesadaran bahwa ia telah menyakiti perasaan Kim Bum membuat hati Kim So Eun serasa dicabik-cabik. Ia tidak ingin Kim Bum berpikir Kim So Eun menyamakannya dengan kakaknya karena itu sama sekali tidak benar. Kim Bum sangat berbeda dengan kakaknya. Hanya saja... hanya saja...
“Kim So Eun.” Suara Kim Bum yang pelan dan berat membuat Kim So Eun mengangkat wajah. Kim Bum berhenti di ambang pintu kamar dan berbalik menghadap Kim So Eun. “Aku mewakili kakakku meminta maaf padamu. Walaupun aku sendiri tidak akan pernah bisa memaafkannya atas apa yang dilakukannya padamu, aku tetap ingin mewakilinya meminta maaf padamu.”
Kim So Eun menelan ludah dengan susah payah, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya dan mengaburkan pandangannya.
“Aku juga ingin kau tahu,” lanjut Kim Bum tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Kim So Eun, “aku bukan kakakku. Aku tidak akan pernah menyakitimu.”
Kim So Eun menggigit bibir. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Jangan menangis... Jangan menangis... Jangan...
“Apakah kau percaya padaku?”
Kim So Eun menelan ludah dengan susah payah, namun tidak menjawab.
Kim Bum tersenyum sedih. “Kuharap kau bisa. Kalau bukan sekarang, mungkin suatu hari nanti.”
Setelah berkata seperti itu, Kim Bum pun pergi. Kim So Eun mendengar pintu depan flatnya dibuka dan ditutup. Setelah itu barulah Kim So Eun membiarkan air matanya tumpah, bersamaan dengan rasa sakit besar yang menyebar dari dadanya yang sesak ke sekujur tubuhnya.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar