Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 13 Agustus 2011
Spring Love (Chapter 25)
Ketika melihat Kim Bum berdiri di ambang pintu, napas Kim So Eun langsung tercekat. Ia hanya bisa mematung menatap Kim Bum. Ia bahkan tidak sadar dirinya memanggil nama Kim Bum.
Kim Bum masih terlihat seperti dulu, walaupun gaya rambutnya kini agak berbeda dan wajahnya terlihat pucat dan lelah. Kim So Eun tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Kim Bum karena ia tidak bisa membaca apa yang tersirat di balik mata gelap yang menatapnya dengan tajam itu.
“Kim Bum,” sapa Song Hye Gyo ceria. “Lihatlah siapa di sini. Kau masih ingat pada Kim So Eun, kan?”
Suara Song Hye Gyo seolah-olah menyadarkan Kim Bum. Ia tersenyum samar dan bergumam, “Ya, aku ingat.”
“Menurutku kita harus minum-minum bersama. Untuk mengenang masa lalu dan merayakan pertemuan kita kembali. Mungkin setelah sesi pemotretan ini? Bagaimana menurut kalian?” tanya Song Hye Gyo penuh semangat.
Baik Kim Bum maupun Kim So Eun tidak menjawab. Mereka hanya bertatapan. Lalu Kim Bum menoleh ke arah Song Hye Gyo dan berkata, “Noona, maafkan aku, tapi bisakah Noona meninggalkan kami berdua sebentar?”
“Oh.” Song Hye Gyo mengerjap bingung. Ia menatap Kim Bum, lalu beralih kepada Kim So Eun.
“Tidak apa-apa, Eonni,” gumam Kim So Eun.
Sebelah alis Kim Bum terangkat mendengar Kim So Eun berbicara dalam bahasa Korea.
Setelah Song Hye Gyo keluar, ruang rias itu pun diselimuti keheningan yang menegangkan. Setidaknya menurut Kim So Eun. Selama beberapa detik… yang terasa seperti beberapa menit…tidak ada yang bersuara. Sampai sekarang Kim So Eun sama sekali tidak tahu apa yang akan dikatakannya kalau ia sudah bertemu dengan Kim Bum. Otaknya sama sekali tidak bisa berpikir.
“Jadi kau bisa berbahasa Korea,” kata Kim Bum tiba-tiba. Dan ia mengatakannya dalam bahasa Korea.
Kim So Eun tersentak dan mengangkat wajah. “Ya.”
Hening lagi.
“Jadi bagaimana kabarmu?”
“Bagaimana kabarmu?”
Mereka berdua mengatakannya bersamaan dan rasanya aneh. Kim So Eun tidak tahu kenapa mereka berubah menjadi seperti ini. Sejak kapan mereka saling bersikap canggung? Kenapa Kim Bum berubah pendiam seperti ini? Apakah dua tahun memang sudah terlalu lama? Apakah segalanya memang sudah berubah?
“Aku baik-baik saja,” kata Kim So Eun, menjawab pertanyaan Kim Bum lebih dulu.
“Dan kau sendiri?”
Kim Bum menghela napas dalam-dalam dan menunduk sejenak. Lalu ia mengangkat wajah dan menatap Kim So Eun. “Aku... aku senang kau baik-baik saja, ”katanya singkat, tidak menjawab pertanyaan Kim So Eun. “Kurasa sebaiknya aku membiarkanmu bersiap-siap. Aku juga harus bersiap-siap. Kita harus bekerja.”
Kim So Eun mengerjap kaget ketika Kim Bum langsung berbalik dan berjalan ke arah pintu yang ditutup ketika Song Hye Gyo keluar tadi. Begitu saja? Setelah dua tahun berlalu hanya itu yang ingin dikatakan Kim Bum kepadanya?
Kim Bum membuka pintu dengan gerakan cepat, mengagetkan dua orang yang sedang berdiri di balik pintu. Song Hye Gyo dan Yoon Eun Hye melompat mundur dan terlihat salah tingkah. Jelas sekali mereka baru tertangkap basah karena menguping.
Kim Bum benar-benar akan pergi tanpa berkata apa-apa. Tidak, Kim So Eun tidak bisa membiarkannya. Kalau tidak sekarang, tidak akan ada lagi kesempatan lain. Dan sebelum Kim So Eun sempat berpikir lebih jauh, ia langsung berseru, “Apakah hanya itu yang ingin kaukatakan padaku?” Ia tidak bisa membiarkan Kim Bum pergi begitu saja.
Ia tidak tahu kenapa Kim Bum bersikap seperti itu, tetapi ia tidak akan membiarkannya. “Hanya itu?”
Sejenak Kim Bum masih berdiri di ambang pintu, memunggungi Kim So Eun, menghadap Yoon Eun Hye dan Song Hye Gyo yang masih berdiri di tempat walaupun mereka berdua tidak berani memandang wajah Kim Bum. Lalu dengan satu gerakan Kim Bum menutup pintu kembali dan berbalik menghadap Kim So Eun.
“Tentu saja tidak,” cetus Kim Bum. Ia berjalan menjauhi pintu dan menghampiri Kim So Eun. “Terlalu banyak yang ingin kukatakan padamu sampai aku tidak tahu harus memulai dari mana.”
“Aku bisa menunggu sementara kau berpikir,” kata Kim So Eun.
Kim Bum mengacak-acak rambut dengan tangan, lalu berkacak pinggang, menunduk sebentar untuk mengendalikan diri. “Selama ini aku menunggu karena kupikir kau butuh waktu,” kata Kim Bum dengan suara rendah. “Kukira aku sudah membuat keputusan yang benar. Tidak, aku yakin aku sudah membuat keputusan yang benar dengan membiarkanmu pergi. Kau memang butuh waktu untuk berpikir. Dan kupikir pada saatnya nanti, kalau kau tidak bisa datang padaku, aku yang akan pergi mencarimu. Tapi sekarang aku bertanya-tanya apakah aku sudah menunggu terlalu lama. Apakah seharusnya aku tidak menunggu sampai dua tahun baru pergi mencarimu?”
Kim So Eun tidak berkata apa-apa. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang Kim Bum bicarakan.
Kim Bum menghembuskan napas dengan keras. “Katakan padaku, apa yang dimilikinya yang tidak kumiliki?”
Alis Kim So Eun berkerut bingung. “Apa? Siapa?”
“Laki-laki itu, Kim So Eun,” cetus Kim Bum sambil mengibaskan sebelah tangan dengan tidak sabar. “Kenapa kau memilih dia? Dia... oh, sialan. Lupakan saja kata-kataku tadi. Aku hanya bicara sembarangan.”
Kim Bum berbalik dan berjalan dengan langkah lebar ke pintu. Dan ketika kali ini ia membuka pintu dengan satu gerakan cepat, bukan hanya kakaknya dan Song Hye Gyo yang ada di balik pintu, tetapi juga beberapa staf lain. Mereka semua serentak terkesiap dan melompat mundur ketika Kim Bum tiba-tiba muncul di hadapan mereka dengan wajah menakutkan.
Kim So Eun sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan Kim Bum tadi. Laki-laki mana? Siapa? Apa Kim Bum sudah gila? Kekesalan Kim So Eun pun terbit.
“Kenapa kau marah-marah?” serunya kepada Kim Bum. “Sebenarnya apa yang sedang kau bicarakan? Laki-laki mana yang kau maksud? Aku benar-benar tidak mengerti. Bicaralah yang jelas.”
Sekali lagi Kim Bum membanting pintu di hadapan semua orang yang berusaha menguping itu dan berbalik menghadap Kim So Eun. “Jangan pura-pura tidak mengerti, Kim So Eun. Kau tahu jelas siapa yang kumaksud. Aku melihat kalian berdua dengan mata kepalaku sendiri. Apakah kau ingin aku menjelaskan setiap detailnya?”
Kim So Eun membalas tatapan Kim Bum dengan mata menyala-nyala. “Ya,” katanya keras. “Jelaskan padaku karena aku tidak mengerti apa yang sedang kau ocehkan.”
“Minggu lalu aku pergi ke Tokyo untuk mencarimu,” kata Kim Bum. “Dan ketika aku tiba di gedung apartemenmu, aku melihatmu bersama seorang laki-laki. Dan kalian berdua...”
“Kau datang ke apartemenku?” sela Kim So Eun kaget. “Dari mana kau tahu tempat tinggalku?”
“Kim Heechul yang memberitahuku. Tapi...”
“Kim Heechul??”
“Ya, Kim Heechul. Tapi bukan itu intinya. Aku melihatmu keluar dari gedung apartemenmu bersama seorang laki-laki dan... dan kalian terlihat... terlihat... akrab.”
Alis Kim So Eun terangkat. “Apa? Aku tidak merasa pernah keluar dari apartemen bersama laki-laki mana pun dan terlihat akrab seperti istilahmu itu,” bantah Kim So Eun. “Lagi pula apa maksudmu dengan akrab?”
Kim Bum mengernyit, seolah-olah kenangan yang berkelebat dalam benaknya sama sekali bukan sesuatu yang menyenangkan. “Kau benar-benar ingin aku menggambarkannya?” tanyanya.
“Ya, karena aku yakin aku jelas tidak pernah melakukan apa yang kau katakana itu. Itu hanya berarti satu hal… Kau salah lihat.”
“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, Kim So Eun,” kata Kim Bum sambil menjejalkan kedua tangan ke saku celananya dengan sikap frustrasi. “Aku bisa mengenalimu di mana saja. Dan aku melihatmu di sana. Tersenyum pada laki-laki itu dan menggandeng tangannya seolah-olah...”
“Itu bukan aku,” sela Kim So Eun sambil melipat tangan di depan dada. Sungguh, Kim Bum sudah gila. Itu satu-satunya penjelasan untuk ocehannya yang tidak ada ujung-pangkalnya ini.
Kim Bum mendesah kesal. “Bukan kau? Kalau yang kulihat itu bukan kau, lalu siapa? Memangnya kau punya saudara perempuan yang wajahnya sangat mirip dengan...”
Mata Kim So Eun menyipit tajam, lalu membentak, “Ya! Aku memang punya Adik Perempuan dan aku yakin aku sudah pernah mengatakannya padamu!”
* * *
Bahkan sebelum Kim So Eun membuka mulut untuk membentaknya, Kim Bum sudah menyadari apa yang terlupakan olehnya. Ia melupakan kenyataan bahwa Kim So Eun memang memiliki Adik Perempuan yang wajahnya mirip dengannya. Kim Bum tertegun menatap Kim So Eun yang balas menatapnya dengan mata menyala-nyala marah. Kalau begitu yang dilihatnya keluar dari gedung apartemen itu adalah...
Seolah-olah bisa membaca pikiran Kim Bum, Kim So Eun berkata lagi, “Sudah pasti yang kaulihat itu adalah Adik Perempuanku, Park Ji Yeon. Asal kau tahu, wajah kami memang sangat mirip.”
Kim Bum masih agak kesulitan menemukan suaranya. Kalau itu memang Adik Perempuan Kim So Eun, berarti selama seminggu ini ia sudah mengacaukan diri sendiri tanpa alasan. Rasa lega langsung membanjiri dirinya. “Kupikir...”
“Kau tidak berpikir,” sela Kim So Eun, jelas-jelas masih marah. “Tapi coba sekarang pikirkan ini. Kalau aku melakukan apa pun yang kaukatakan tadi, kenapa aku repot-repot belajar bahasa Korea? Kenapa pula aku datang ke sini dan menerima pekerjaan ini walaupun aku tahu Yoon Eun Hye adalah kakakmu?” Kim So Eun berhenti untuk menarik napas, lalu mendengus dan berjalan melewati Kim Bum.
Tetapi Kim Bum menangkap pergelangan tangan Kim So Eun dan menahannya. “Jadi kau memang sengaja datang ke sini untuk mencariku?” tanyanya sambil menunduk menatap Kim So Eun. “Kenapa?”
Kim So Eun berusaha melepaskan diri, tetapi Kim Bum tidak membiarkannya.
Akhirnya Kim So Eun menyerah dan mendongak menatap Kim Bum. “Tadi kaubilang kau pergi ke Jepang mencariku. Kenapa?” ia balas bertanya.
Kim Bum mendapati dirinya menatap ke dalam mata Kim So Eun. Sejenak ia ragu, apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau apakah hal itu terlalu berisiko.
“Kenapa?” tanya Kim So Eun sekali lagi.
“Karena aku merindukanmu,” kata Kim Bum pelan.
Mata Kim So Eun melebar kaget dan napasnya tercekat.
“Karena aku membutuhkanmu,” lanjut Kim Bum. “Karena kurasa kau sudah cukup lama berpikir dan sekarang saatnya kau kembali padaku. Karena aku ingin kau tahu bahwa perasaanku sekarang masih sama seperti dulu. Dan karena aku ingin tahu apakah kau sudah percaya padaku, walaupun hanya sedikit.”
Kim So Eun membuka mulut, tetapi tidak ada yang keluar.
Ia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
“Aku ingin kau percaya padaku,” lanjut Kim Bum, masih menggenggam tangan Kim So Eun. “Aku ingin kau percaya ketika kukatakan bahwa aku tidak akan pernah menyakitimu. Kalau perlu, aku bersedia menghabiskan sisa hidupku menebus apa yang dilakukan kakakku padamu. Asal kau tetap bersamaku. Di sisiku.”
Kim So Eun menggeleng-gelengkan kepala. Tidak, tidak... Ia tidak pernah menyamakan Kim Bum dengan kakaknya dan ia tidak pernah menyalahkan Kim Bum atas apa yang dilakukan kakaknya. Ia tidak ingin Kim Bum merasa bersalah dan ia tidak ingin Kim Bum menebus apa pun. Tetapi saat ini ia masih tidak mampu bersuara karena air mata mulai mencekat tenggorokannya.
“Dan di atas segalanya,” lanjut Kim Bum, “aku ingin kau percaya padaku ketika kukatakan bahwa aku mencintaimu.”
Kim So Eun hampir yakin jantungnya berhenti berdebar sesaat dan ia harus memaksa dirinya bernapas karena kalau tidak ia pasti akan pingsan di tempat.
Otaknya juga mendadak kosong sejenak. Selain suara Kim Bum dan debar jantungnya sendiri yang kembali berdebar keras, Kim So Eun tidak bisa mendengar apa-apa lagi.
Dunia seolah-olah mengecil di sekeliling mereka berdua.
“Itulah yang ingin kukatakan padamu pada saat terakhir kali kita bertemu,” kata Kim Bum. Matanya tidak lepas dari mata Kim So Eun. “Itulah yang ingin kukatakan padamu.”
Sebutir air mata jatuh ke pipi Kim So Eun dan ia menghapusnya dengan tangannya yang bebas. Kemudian ia menunduk menatap tangannya yang lain yang masih berada dalam berada dalam genggaman Kim Bum. Perlahan-lahan ia menarik tangannya. Kali ini Kim Bum membiarkannya, walaupun dengan enggan. Kim Bum sama sekali tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Kim So Eun. Ia merasa sangat gugup.
Jantungnya berdebar begitu keras. Ia sudah mencurahkan seluruh perasaannya. Ia sudah melakukan semua yang bisa dilakukannya. Sekarang semua terserah pada Kim So Eun.
Hidupnya... hidupnya kini ada di tangan Kim So Eun.
Kim So Eun kembali mendongak menatap mata Kim Bum. Air matanya tidak bisa berhenti mengalir. Perlahan-lahan ia maju selangkah mendekati Kim Bum, lalu berjinjit, dan melingkarkan kedua lengannya di leher Kim Bum, dan menyandarkan dagu di bahunya.
Sejenak Kim Bum tetap diam tak bergerak. Ia terlalu tercengang untuk bergerak. Ia terlalu takut untuk bergerak. Ia takut ini hanya mimpi. Ia takut kalau ia bergerak maka mimpi ini akan buyar dan Kim So Eun akan meninggalkannya. Tetapi ia bisa merasakan kehangatan Kim So Eun, bisa merasakan debar jantung Kim So Eun di dadanya, bisa mendengar tarikan napas Kim So Eun di telinganya. Dan ia bisa mendengar suara Kim So Eun...
“Aku,” gumam Kim So Eun lirih, “percaya padamu.”
Kata-kata itu hanya berupa bisikan, tetapi itu sudah cukup bagi Kim Bum. Ia memejamkan mata sementara rasa lega dan bahagia membanjiri dirinya. Rasanya seolah-olah beban berat yang menghimpit dadanya selama ini akhirnya terangkat.
Akhirnya ia bisa bernapas.
Saat itulah ia baru bisa menggerakkan kedua tangannya yang sejak tadi terkulai di sisi tubuhnya. Dan ketika kedua lengannya melingkari tubuh Kim So Eun, ia merasa benar. Ia merasa mulai sekarang ia akan baik-baik saja. Mulai sekarang segalanya akan baik-baik saja.
Lalu ia mendengar Kim So Eun kembali berbisik, “Dan... terima kasih karena sudah menungguku.”
* * *
“Mereka berpelukan,” bisik salah seorang kru yang mengintip dari lubang kunci pintu ruang rias.
Mata Yoon Eun Hye melebar. Ia termasuk orang yang ikut berdiri bergerombol bersama para kru yang penasaran dengan apa yang terjadi di balik pintu ruang rias.
“Mereka berpelukan?” tanyanya penuh semangat. Lalu keningnya berkerut samar.
“Astaga... Jangan-jangan gadis itulah alasan Kim Bum berubah senewen selama ini. Mungkinkah? Jadi itu orangnya...”
“Sekarang mereka berpandangan,” kru yang sedang mengintip itu kembali melaporkan dan semua orang di belakangnya serentak ber-“oh” dan “ah” denga ngembira. “Gadis itu menangis, tapi juga tersenyum. Dan sekarang Kim Bum menyentuh pipinya dan...”
Tiba-tiba ponsel Yoon Eun Hye berbunyi, membuatnya terkesiap keras dan terlompat kaget. Sambil menggerutu ia buru-buru menjauh dari kerumunan orang yang penasaran itu dan menempelkan ponsel ke telinga. “Ya? Ibu? Ada apa?”
Ia berhenti sejenak dan mendengar apa yang dikatakan ibunya. “Ya, Kim Bum ada di sini. Dia tidak menjawab telepon? Mungkin dia mematikannya. Memangnya ada apa Ibu mencarinya? …Mau menjodohkannya lagi? Ya ampun. Dengar, sebaiknya lupakan saja niat Ibu untuk menjodohkan Kim Bum. Aku jamin dia tidak akan mau.... Kenapa tidak mau? Karena sudah ada gadis yang disukainya. Itulah sebabnya.... Aku juga baru tahu.... Tenang saja, kurasa Kim Bum akan segera memperkenalkannya kepada Ibu. Oh ya, Ibu tidak punya masalah dengan orang keturunan Jepang, bukan?”
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
annyeong haseo
BalasHapusadmin yang baik,aku boleh ga nge post ceritaku ke blog unni yang bagus ini?
gomawo
wooow, speecless baca endingnya, romantis banget. Q suka banget endingnya. Akhirnya mereka bisa bersatu setelah melewati konflik batin diantara mereka. ini FF favoritku, thaks for make my day. Ditunggu cerita yang lainnya ya....
BalasHapusAuthooooR...NAngguNg amaT nie???
BalasHapus“Gadis itu menangis, tapi juga tersenyum. Dan sekarang Kim Bum menyentuh pipinya dan...”
Kalooo yg PARt ini di Lanjutkaan pasti AQ lebiH menggelepaR-gelepaR..wkwkwkwkwk
Yg Right Man AQ BLum BaCaaaaa...TommoRoW yeH..
INI FF JEMPOOOOOOOOOOLLL >>>KESIMPULAN
bagus, aku suka
BalasHapus