Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 20 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 2)



Kim So Eun berdiri di koridor lantai dua gedung perpustakaan tempatnya bekerja, di samping mesin penjual kopi yang mengikuti tema bulan Desember, tiba-tiba saja sudah dipenuhi hiasan Natal. Kim So Eun memegang cangkir kertas berisi kopi panas dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga.

“Ya, aku akan pulang pada Hari Natal,” katanya di ponsel sambil memandang ke luar jendela kaca besar yang menghadap halaman depan gedung perpustakaan.

“Kau akan tinggal di sini sampai setelah Tahun Baru, bukan?” Suara berat ayahnya terdengar di ujung sana.

“Tentu saja,” sahut Kim So Eun sambil menyesap pelan kopinya. “Ngomong-ngomong, Apa Ibu masih di Tokyo, Yah?”

Sebenarnya ibu Kim So Eun keturunan Jepang-Korea. Kakeknya dari pihak ibu adalah orang Jepang dan neneknya orang Korea. Sedangkan ayah dan ibu Kim So Eun awalnya tinggal di Seoul, lalu tiga tahun lalu mereka pindah ke Incheon, kampung halaman ayahnya, untuk mencari suasana yang lebih tenang. Ayahnya memang tidak pernah terbiasa dengan hiruk-pikuk kota Seoul.

“Ya, tapi ibumu akan pulang minggu ini,” sahut ayahnya. “Katanya kesehatan kakekmu sudah membaik.”

“Baguslah,” kata Kim So Eun sambil mengangguk-angguk.

Minggu lalu ibunya pulang ke Tokyo karena mendengar kakek Kim So Eun harus menjalani operasi usus buntu, tetapi operasinya berhasil dengan baik dan kakeknya sudah sehat kembali.

Setelah meyakinkan ayahnya bahwa ia akan melewatkan Tahun Baru di Incheon, Kim So Eun menutup ponsel dan mengantonginya. Baru saja ia hendak menyesap kopinya, ponselnya bergetar. Ia mengeluarkannya dan melihat tulisan yang muncul di layar.

“Hallo Lee Ki Kwang, ada apa?” kata Kim So Eun begitu ponsel ditempelkan ke telinga.

“Kim So Eun Noona, punya waktu malam ini?” Terdengar suara ceria Lee Ki Kwang di ujung sana.

“Memangnya ada apa malam ini?”

“Yoon Eun Hye Noona, aku, dan Kim Bum Hyung mau pergi minum-minum malam ini,” jelas Lee Ki Kwang. “Anggap saja sebagai pesta kecil-kecilan menyambut tetangga baru. Sebelum itu kita akan makan malam bersama di tempat Song Chang Ui Hyung dan So Yi Hyun Noona.”

Mendengar nama Kim Bum, pikiran Kim So Eun langsung melayang ke kejadian kemarin malam dan tiba-tiba pipinya terasa panas. Ia memejamkan mata rapat-rapat, berusaha mengusir kenangan memalukan itu. Astaga! Tetangga barunya pasti menganggap dirinya semacam penguntit psycho atau tukang intip...

“Noona?”

Lamunannya buyar dan Kim So Eun berusaha memusatkan perhatiannya kepada Lee Ki Kwang. “Ya? Maaf, apa katamu tadi?”

“Jadi bagaimana? Noona bisa ikut?”

“Malam ini tidak bisa,” kata Kim So Eun setelah berpikir sesaat. “Seorang rekan kerjaku berulang tahun dan dia mengajak kami pergi makan dan karaoke. Aku sudah janji akan ikut.”

“Oh?” Suara Lee Ki Kwang terdengar agak kecewa.

“Nn. Kim So Eun.”

Kim So Eun menoleh ke arah suara wanita yang memanggilnya. Ia melihat salah seorang rekan kerjanya melambai ke arahnya. Di sampingnya berdiri seorang wanita berambut pirang. Orang asing, pikir Kim So Eun langsung. Di perpustakaan itu hanya Kim So Eun satu-satunya karyawan yang bisa berbahasa Inggris, jadi secara tidak langsung ia yang selalu diminta melayani pelanggan asing yang tidak bisa berbahasa Korea.

“Maaf, Lee Ki Kwang, aku harus kembali bekerja sekarang,” kata Kim So Eun cepat. “Kalian saja yang pergi hari ini. Mungkin aku akan ikut lain kali. Maaf ya?”

Setelah berkata begitu, ia menutup ponsel, membuang cangkir kertas bekas kopinya ke tong sampah di dekat sana, lalu berlari-lari kecil menghampiri rekan kerjanya yang sudah menunggu.

* * *

Kim So Eun menggigil. Uap putih keluar dari mulutnya setiap kali ia mengembuskan napas.

Ia melirik jam tangan. Sudah hampir tengah malam. Ternyata ia dan rekan-rekan kerjanya sudah menyanyi berjam-jam di karaoke. Ia berdeham. Kerongkongannya agak sakit karena terlalu banyak menyanyi. Sewaktu sedang sibuk menyanyi ia tidak merasa lelah, tetapi sekarang tubuhnya terasa pegal dan matanya berat. Ia hanya ingin cepat-cepat sampai di rumah dan tidur.

Sambil bersenandung pelan, ia menyusuri jalan kecil yang agak menanjak menuju gedung apartemennya. Jalan kecil itu sepi dan hanya diterangi lampu jalan yang remang-remang.

Lalu ia mendengar suara itu. Suara langkah kaki di belakangnya. Kim So Eun terkesiap pelan dan menelan ludah. Ia berusaha menenangkan diri. Mungkin ia salah dengar.

Kim So Eun tetap berjalan, walaupun langkahnya tanpa sadar semakin cepat dan memasang telinga. Benar! Ada orang di belakangnya!

Lalu memangnya kenapa kalau ada orang lain yang juga berjalan di jalan itu?

Memangnya jalan itu milikku sendiri? Kim So Eun menggerutu dalam hati, menyesali sifatnya yang mudah panik. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Yakinkan diri terlebih dahulu.

Diam-diam Kim So Eun berusaha melirik ke balik bahunya. Ia tidak berhasil melihat banyak. Ia hanya menangkap sosok seseorang yang berjalan tidak jauh di belakangnya.

Bulu kuduknya meremang. Rasa panik mulai menyerang tanpa mempedulikan bantahan akal sehat. Sementara ia mempercepat langkah, napasnya mulai memburu dan pikiran-pikiran buruk mulai berseliweran di benaknya.

Langkah kaki orang di belakangnya juga terdengar semakin cepat. Orang jahat? pikir Kim So Eun panik. Pemabuk? Atau lebih buruk lagi, pemerkosa?! Ya Tuhan, lindungilah diriku. Kejahatan di jalan-jalan sepi bukan hal baru lagi di kota besar seperti Seoul.

Kim So Eun langsung memanjatkan doa dalam hati. Kemungkinan lain terselip di otaknya.

Jangan-jangan... penguntit? Ini bukan pertama kalinya Kim So Eun dikuntit. Pengalaman itu membuatnya trauma.

Itu dia! Gedung apartemennya sudah terlihat. Kim So Eun lega sekali. Ia nyaris berlari, tapi kakinya terlalu kaku untuk bergerak lebih cepat lagi. Tiba-tiba...

“Hei...” Terdengar suara rendah seorang laki-laki di belakangnya dan Kim So Eun merasa bahunya dipegang. Kepanikannya meledak. Ia berputar dengan cepat sambil mengayunkan tas tangannya ke arah orang itu. Ia juga tidak lupa menjerit keras.

Tas tangannya mengenai sisi tubuh orang itu dengan bunyi gedebuk keras. Kim So Eun mengayunkan tasnya sekali lagi dan...

“Tunggu sebentar... Ini aku. Ini aku!”

Kim So Eun menghentikan ayunan lengannya dan melotot galak ke arah laki-laki yang mengangkat kedua tangan ke depan wajah untuk melindungi diri. Perlahan-lahan orang itu menurunkan tangan dan Kim So Eun baru melihat wajahnya dengan jelas.

“Kim Bum?” kata Kim So Eun dengan suara tercekik. Matanya terbelalak.

Walaupun tetangga barunya itu masih tergolong orang asing, tapi setidaknya Kim So Eun mengenalnya. Debar jantungnya yang liar pun agak mereda. “Astaga, kenapa kau mengendap-endap begitu?”

Kim Bum terlihat berbeda hari ini. Penampilannya lebih rapi daripada kemarin. Dan ia sudah bercukur. Kim So Eun jadi menyadari sebenarnya Kim Bum masih muda.

Wajahnya menarik dan tampan.

Kim Bum memasukkan kedua tangan ke saku jaket panjangnya. Ia balas menatap Kim So Eun dengan raut wajah kaget. “Aku tidak mengendap-endap. Bukankah tadi aku memanggilmu? Justru kau yang langsung menghantamku dengan tas,” katanya, membuat wajah Kim So Eun terasa panas karena malu. Suara pria itu terdengar lebih jelas hari ini, tidak serak seperti kemarin. Ia mengeluarkan sebelah tangan dari saku jaket dan menunjuk tas tangan Kim So Eun. “Ngomong-ngomong, kurasa kau sudah boleh menurunkan tasmu itu.”

Kepala Kim So Eun berputar ke samping, ke arah tangannya yang masih mengacungkan tasnya tinggi-tinggi. Ia yakin wajahnya sudah berubah merah padam. Ia cepat-cepat menurunkan tangan dan berkata dengan gelagapan, “Tapi kau tadi memang mengendap-endap. Kau tahu...”

Saat itu pintu rumah di sebelah kanan mereka terbuka dan seorang wanita tua melongokkan kepalanya ke luar. Ia menatap Kim So Eun dan Kim Bum bergantian lalu bertanya dengan kening berkerut, “Kalian baik-baik saja? Tadi aku mendengar ada yang menjerit.”

“Tidak apa-apa. Maafkan kami karena sudah mengganggu,” kata Kim Bum cepat sambil membungkuk.

Kim So Eun juga buru-buru melakukan hal yang sama sambil meminta maaf.

Wanita tua itu berdecak pelan. “Ada-ada saja anak muda zaman sekarang.” Lalu pintu kembali tertutup.

Kim So Eun memejamkan mata, menarik napas panjang, dan menghembuskannya dengan pelan untuk menenangkan diri. Kemudian ia berbalik dan berjalan tegak meninggalkan Kim Bum yang tertawa pelan.

“Tunggu aku,” kata laki-laki itu di sela-sela tawanya dan menyusul Kim So Eun.

“Menurutmu ini lucu?” tanya Kim So Eun dengan alis terangkat. “Kau tadi membuatku ketakutan. Kukira kau perampok. Atau penguntit. Atau... semacam itu.”

“Penguntit?”

Kim So Eun ragu sejenak. Lalu, “Ya. Memangnya kenapa? Banyak penguntit di Seoul, apa kau tahu itu? Ngomong-ngomong, kau baru minum-minum bersama Yoon Eun Hye Eonni dan Lee Ki Kwang, bukan?”

“Ya, benar,” sahut Kim Bum. Ia tahu Kim So Eun sedang mengalihkan pembicaraan, tapi ia tidak ingin mempermasalahkannya walaupun sebenarnya ia ingin tahu alasan di baliknya. “Setelah makan malam bersama Song Chang Ui Hyung dan So Yi Hyun Noona, mereka mengajakku minum-minum di Bar langganan mereka.”

“Aku minta maaf karena tidak bisa ikut,” kata Kim So Eun sambil menoleh ke arah Kim Bum.

Kim Bum tersenyum. “Tidak apa-apa. Lee Ki Kwang tadi bilang kau ikut merayakan ulang tahun rekan kerjamu.”

“Mm,” gumam Kim So Eun, lalu bertanya, “Lalu kenapa kalian bertiga tidak pulang bersama?”

Kim Bum mengangkat bahu. “Sepertinya mereka punya acara lain dengan teman-teman mereka.”

Kim So Eun mengangguk-angguk. Yoon Eun Hye dan Lee Ki Kwang memang sering berkumpul bersama teman-teman mereka setiap akhir pekan. Mereka tidak akan pulang sebelum lewat tengah malam.

Mereka berjalan bersama dalam keheningan selama beberapa detik, lalu Kim Bum membuka suara, “Kurasa Seoul sudah banyak berubah.”

Kim So Eun meliriknya sekilas dengan alis terangkat.

Kim Bum tersenyum melihat raut wajah tetangganya yang heran. “Keluargaku pindah ke New York lebih dari sepuluh tahun yang lalu,” jelasnya. “Ini pertama kalinya aku kembali ke Seoul sejak kami pindah.”

“Oh, New York?” gumam Kim So Eun.

“Kenapa?” tanya Kim Bum. “Kau pernah ke sana?”

Kim So Eun menggeleng-geleng dan tertawa pelan. “Tidak, New York kedengarannya jauh sekali.” Kemudian ia melirik teman seperjalanannya dan tidak bisa menahan diri untuk berkomentar, “Tapi bahasa Korea-mu bagus.”

“Tentu saja,” kata Kim Bum tegas. “Walaupun tinggal di luar negeri, kami masih berkomunikasi dalam bahasa Korea.”

Kim So Eun tersenyum mengerti. “Sama seperti keluargaku.” Melihat Kim Bum tidak mengerti maksudnya, ia menjelaskan, “Aku berbicara dalam bahasa Jepang dengan ibuku.”

“Ibumu orang Jepang?” tanya Kim Bum. Ia sudah menduga gadis itu tidak terlalu mirip orang Korea. Apalagi ketika mereka pertama kali bertemu, gadis itu mengucapkan serentetan kata yang tidak dipahaminya.

Kim So Eun mengangguk. “Kakekku dari pihak Ibu adalah orang Jepang dan Nenekku orang Korea. Ibuku dilahirkan dan dibesarkan di Jepang. Lalu Ibu pindah ke Korea setelah menikah dengan Ayah, jadi aku lahir di sini. Tapi aku sangat lancar berbahasa Jepang. Ibuku mengajariku sejak kecil.”

Mereka tiba di gedung apartemen dan berjalan menaiki tangga. Ketika Kim So Eun sudah sampai di depan pintu apartemennya, ia berbalik menghadap Kim Bum yang ada di belakangnya. “Bahumu... sakit tidak?”

Kim Bum menggerak-gerakkan bahunya sejenak, lalu tersenyum lebar. “Kurasa tidak apa-apa,” sahutnya ceria, “aku tidak akan lumpuh walaupun tadi kau menghajarku keras sekali dengan tasmu yang berat itu. Apa isinya? Batu?”

Kim So Eun tersenyum malu dan mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya.

Alis Kim Bum terangkat. “Oh, Sara Forestier,” katanya, menyebut judul aslinya setelah membaca judul dalam tulisan Korea yang tercetak di buku yang dipegang Kim So Eun.

“Kau tahu buku ini?” tanya Kim So Eun heran. Tidak banyak orang yang tahu dan membaca karya sastra klasik.

Kim Bum mengabil buku itu dari tangan Kim So Eun dan membuka-buka halamannya.

“Aku pernah membacanya,” katanya. “Tapi aku baru tahu buku itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Korea.”

“Kau membaca versi aslinya?” tanya Kim So Eun kagum.

Kim Bum mengangkat wajah dari buku itu. “Apa? Oh, tidak. Yang kubaca adalah yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Aku tidak bisa berbahasa Prancis.” Ia mengembalikan buku itu kepada Kim So Eun. “Kau?”

Kim So Eun menggeleng. “Bahasa Prancis-ku sangat payah. Dulu masih ada Kim Hyun Joong Oppa yang bisa mengajariku bahasa Prancis. Sekarang aku terpaksa belajar sendiri, dan sering kali aku tidak punya waktu untuk itu.”

“Kim Hyun Joong?”

“Dia orang yang dulu tinggal di apartemen yang kau tempati sekarang. Orang yang sangat baik. Dia sudah beberapa kali pergi ke Paris dan selalu membawakan kami hadiah kalau pulang dari sana. Sewaktu terakhir kali kembali dari Paris, dia juga membawakan CD lagu Prancis untukku, walaupun saat itu dia sedang punya banyak masalah,” kata Kim So Eun sambil melamun. Lalu ia mendesah keras, “Kadang-kadang aku merindukannya.”

“Kalian berdua sangat dekat?”

Mata Kim So Eun beralih ke wajah Kim Bum. “Dekat? Maksudmu seperti...? Oh, tidak. Hubungan kami tidak seperti itu.” Lalu ia mengucapkan kalimat berikut dalam bahasa ibunya tanpa sadar. “Jalan pikirannya aneh sekali, orang ini.”

“Lagi-lagi mengomel dalam bahasa asing,” gumam Kim Bum sambil tersenyum.

Kemudian ia menatap langsung ke mata Kim So Eun dan berkata, “Kau gadis yang menarik, Kim So Eun.”

Mata Kim So Eun melebar menatap laki-laki yang berdiri di depannya. Pasti ia salah dengar. Kim Bum bilang apa tadi? Dia gadis yang menarik? Menarik dalam arti apa?

Menarik dalam arti “menyenangkan”? Atau...? Tetapi mereka baru saling mengenal, jadi tidak mungkin menarik dalam arti yang lebih dalam dan rumit dan membingungkan, bukan?

Kemudian Kim Bum memiringkan kepala dan keningnya berkerut samar. “Sepertinya aku pernah melihatmu sebelum ini,” gumamnya.

Seketika itu juga ekspresi wajah Kim So Eun berubah santai dan ia tersenyum mengerti.

“Aah... Aku tahu maksudmu.”

“Apa?”

“…Sepertinya aku pernah melihatmu sebelum ini…,” ulang Kim So Eun, lalu menoleh ke arah Kim Bum. “Sudah ribuan kali aku mendengar kalimat itu. Yang kau maksud pasti Baek Suzy.”

Alis Kim Bum terangkat tidak mengerti. “Baek Suzy?”

“Baek Suzy model yang lumayan terkenal di sini. Kau pasti pernah melihatnya di majalah dan televisi,” jelas Kim So Eun.

Kim Bum tertawa kecil. “Maksudmu, wajahmu mirip model terkenal?” tanyanya geli.

“Apa? Bukan, bukan!” Kim So Eun tertawa. “Baek Suzy itu Adik perempuan-ku. Walaupun usia kami hanya berbeda satu tahun, tapi kata orang wajah kami sangat mirip, seperti saudara kembar. Orang-orang sering salah mengenaliku sebagai Baek Suzy. Pemabuk yang dulu menguntitku juga begitu.”

“Oh? Kau punya saudara Permpuan?” gumam Kim Bum heran, lalu terdiam sejenak dan menambahkan, “Apa maksudmu dengan pemabuk yang menguntitmu?”

Wajah Kim So Eun memerah. Ia menjawab agak tergagap. “Kejadiannya sudah cukup lama. Dia salah mengenaliku sebagai Baek Suzy.” Sebelum Kim Bum sempat bertanya lebih jauh, ia buru-buru menambahkan, “Tapi semuanya baik-baik saja, jadi tidak ada yang perlu dibesar-besarkan.”

Sejenak Kim Bum tidak berkata apa-apa, seakan sedang berpikir, lalu ia berkata pelan, “Jadi kau punya saudara perempuan yang sangat mirip denganmu, seperti saudara kembar? Begitu maksudmu?”

Kim So Eun menghembuskan napas, merasa lega karena Kim Bum tidak mendesaknya. “Ya. Wajah kami hampir mirip, hanya gaya rambut kami yang berbeda, dan dia sedikit lebih tinggi dariku. Sifat kami berdua memang tidak sama, tapi juga tidak benar-benar bertolak belakang. Kami tinggal bersama di sini sampai dia pindah ke luar negeri musim panas tahun lalu karena ada kontrak kerja,” jelasnya tanpa ditanya. Ia sudah terlalu sering menjawab berbagai pertanyaan dari orang-orang yang salah mengenalinya sebagai Baek Suzy. Karena sudah tahu pertanyaan-pertanyaan yang selalu ditanyakan, kini ia cenderung langsung mengatakan segalanya sebelum ditanya. “Oh, sebelum kau bertanya, tidak, kami tidak bisa bertelepati atau semacamnya, walaupun kami memang dekat. Kadang-kadang aku bisa merasakan apa yang dia rasakan dan begitu juga sebaliknya, tapi hanya sebatas itu. Kami bukan cenayang. Dan satu lagi, aku tidak ikut menjadi model karena aku memang tidak bercita-cita menjadi model.”

Kim Bum tersenyum mendengar penjelasan panjang-lebar itu. Punggungnya disandarkan ke pintu dan kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket. Kemudian ia tertawa. “Jadi kau bukan cenayang dan kau tidak mau menjadi model. Ada lagi yang harus kuketahui?”

Sesaat Kim So Eun menatap laki-laki di hadapannya dengan bingung, lalu wajahnya memerah. “Tidak ada. Maafkan aku karena sudah terlalu banyak bicara.” Ia menggigil dan baru menyadari mereka sudah terlalu lama berdiri di luar pintu seperti ini. “Dingin sekali,” katanya cepat. “Kalau begitu, selamat malam.”

Kim Bum tersenyum. “Selamat malam.”

Sebenarnya kemungkinan Kim Bum pernah melihat Baek Suzy di majalah atau televise sangat kecil. Kim Bum sudah tinggal di luar negeri selama hampir separuh hidupnya dan ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang artis atau model Korea.

Bersambung…

Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...