Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 13 Agustus 2011
Spring Love (Chapter 8)
“Sudah berapa lama?” tanya Kim Heechul kepada Baek Suzy.
Baek Suzy mengangkat bahu. “Tiga minggu? Sekitar itulah.”
Mereka berdua duduk berhadapan di meja dapur dengan cangkir di tangan. Baek Suzy menyesap kopi paginya seperti biasa sementara Kim Heechul menggenggam secangkir Cappucino.
“Dia benar-benar sudah berubah, bukan?” tanya Kim Heechul lagi.
“Dia tidak gila kerja seperti dulu,” kata Baek Suzy sambil mengangguk. “Jadwal kerjanya juga tidak sepadat dulu.”
“Dan dia makan dengan teratur. Biasnaya dia bahkan hampir tidak pernah... oh, aku tidak mau memikirkan dia dulu yang jarang makan,” kata Kim Heechul gemetar, lalu menyesap Cappucinonya. “Aku jadi ingin bertemu dengan orang yang bernama Kim Bum itu.”
Baek Suzy merenung. “Aku rasa mereka berdua...” Ia berhenti sejenak, lalu menatap Kim Heechul. “Kim Heechul, mungkinkah dia menyukai laki-laki itu? Bagaimanapun juga, mereka masih berhubungan walaupun syuting video musik itu sudah selesai.”
Saat itu pintu kamar Kim So Eun terbuka dan kedua orang di meja dapur serentak menoleh ke arahnya. Kim So Eun berdiri di ambang pintu dalam balutan jubah tidur dan dengan wajah seseorang yang jelas-jelas baru bangun tidur. Itu adalah perubahan lain yang disadari teman-temannya dalam diri Kim So Eun selama tiga minggu terakhir. Waktu tidurnya juga membaik.
“Selamat pagi, Sunshine,” sapa Kim Heechul riang. “Ayo bergabung dengan kami dan Cup Cake – Cup Cake lucu yang baru kubuat ini.”
Kim So Eun menguap lebar, lalu menatap kedua temannya. “Apa yang sedang kalian bicarakan?”
“Tentang bagaimana Kim Bum berhasil membuatmu berubah,” sahut Kim Heechul langsung, dan tersenyum lebar ketika Kim So Eun menatapnya dengan mata disipitkan. “Dan kami sama sekali tidak mengeluh.”
Kim So Eun menyeduh secangkir Teh hijau untuk dirinya sendiri dan bergabung dengan mereka di meja. Ia meraih salah satu Cup Cake cokelat dari piring besar di atas meja, lalu menatap kedua temannya bergantian. “Apa?” tanyanya.
Kedua temannya hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum lebar. “Apa yang akan kau lakukan hari ini?” tanya Kim Heechul.
“Hmm, ini enak sekali,” sahut Kim So Eun setelah menggigit Cup Cake-nya. “Siang nanti aku harus pergi menemui Park Shin Hye. Dia sudah kembali ke Paris dan katanya banyak yang mau diceritakannya padaku. Aku rasa dia juga mau mengajakku menemui salah satu perancang busana yang akan ditampilkannya dalam majalah. Lalu setelah itu aku ada jadwal pemotretan.”
Kim Heechul meletakkan cangkir Cappucinonya dengan pelan, lalu berdeham. “Kau tidak pergi menemui Kim Bum-mu hari ini?” tanyanya, memasang sikap pura-pura tidak terlalu tertarik, namun gagal total.
Kim So Eun mengangkat bahu. “Entahlah,”gumamnya. “Mungkin hari ini tidak akan sempat.”
“Ngomong-ngomong, kau akan mengajaknya ke pertunjukan perdanaku nanti?” tanya Baek Suzy tiba-tiba.
Kim Heechul menjentikkan jari. “Ya, benar. Ajak saja dia. Aku sudah penasaran ingin bertemu Kim Bum-mu itu. Aku sering mendengar tentang dia tapi belum pernah melihat orangnya. Ide yang bagus, Baek Suzy,” katanya cepat. Ia kembali menatap Kim So Eun dengan wajah berseri-seri. “Baek Suzy pernah bilang dia tinggi dan tampan. Benar-benar tipeku.”
Kim So Eun mengerutkan alis, lalu tertawa pendek. “Oh, Tuhan.”
Kim Heechul mengibaskan tangan. “Tenang saja,” katanya ringan. “Aku hanya akan mengagumi dari jauh. Aku tidak pernah merampas milik temanku sendiri.”
Kim So Eun mendengus. “Milik...”
“Telepon dia sekarang,” sela Baek Suzy cepat. “Tanyakan padanya apakah dia bisa datang ke pertunjukanku atau tidak. Dia boleh mengajak teman-temannya, tentu saja. Semakin banyak orang yang datang menonton pertunjukan itu semakin baik. Ini peran penting pertamaku. Peranku memang hanya sebagai sahabat tokoh utamanya, tapi kupastikan pada kalian bahwa itu peran yang sangat penting.”
Kim So Eun mendongak menatap jam kecil di atas kulkas. “Telepon sekarang?” tanyanya.
“Ya. Biar aku tahu berapa lembar tiket yang harus kuberikan kepadamu,” kata Baek Suzy.
Kim So Eun masuk kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya, lalu kembali ke dapur dengan ponsel ditempelkan ke telinga. Beberapa detik kemudian ia menggeleng dan mematikan ponsel. “Sedang sibuk. Nanti saja baru kutelepon lagi,” katanya. Lalu ia kembali melirik jam. “Sebaiknya aku mandi sekarang.”
Kim Heechul tetap diam, menunggu sampai Kim So Eun mengunci diri di kamar mandi, lalu bergegas berbisik kepada Baek Suzy dengan penuh semangat, “Kau dengar tadi? Aku menyebut Kim Bum-nya dua kali dan...”
“Dan dia tidak membantah,” Baek Suzy menyelesaikan kalimat Kim Heechul sambil tersenyum. “Menarik sekali.”
* * *
Satu jam kemudian Kim So Eun sudah berada di dalam mobil VW Pink nyetrik milik Park Shin Hye dan mendengarkan temannya itu bercerita tentang apa yang dialaminya selama liburan di Korea.
“Jadi pesta ulang tahun kakekmu diadakan besar-besaran?” tanya Kim So Eun.
“Ya. Mereka mengundang banyak orang,” sahut Park Shin Hye dari balik kemudi.
“Tentu saja itu bagus bagiku. Kau tahu aku suka berada di antara banyak orang. Dan yang lebih baik adalah banyak di antara para tamu yang bisa berbahasa Inggris. Aku tidak merasa aneh sendiri dan aku bertemu dengan banyak orang yang menarik.”
Kim So Eun tersenyum, memahami maksud temannya. “Maksudmu, banyak pria menarik?”
Park Shin Hye tertawa. “Itu juga,” akunya. “Oh, liburan kali ini sangat hebat.”
Ketika Park Shin Hye menghentikan mobil di depan sebuah gedung bergaya modern di daerah Secret Garden, Kim So Eun mengerutkan kening. “Park Shin Hye, kenapa kita berhenti di sini? Aku kira kita mau pergi menemui perancang busana itu.”
“Oh, aku harus memberikan barang titipan kepada seseorang,” kata Park Shin Hye sambil mengambil sebuah bungkusan dari kursi belakang mobil. “Ada teman ibuku ingin mengirimkan ginseng kepada anak laki-lakinya yang tinggal di Paris. Dan, dia menitipkannya kepadaku.”
“Oh,” gumam Kim So Eun sambil keluar dari mobil.
“Tapi aku yakin itu hanya alasan,” kata Park Shin Hye lagi. “Aku yakin dia dan ibuku berkomplot ingin menjodohkanku dengan anak laki-lakinya.”
Alis Kim So Eun terangkat. “Oh, ya?”
“Wanita itu menunjukkan foto anaknya kepadaku,” aku Park Shin Hye. “Di foto itu anak laki-lakinya memang terlihat sempurna menurut penilaianku. Tapi siapa tahu? Foto bisa dipermak di sana-sini. Mungkin orang aslinya tidak sesempurna di foto.”
“Karena itu kau mengajakku?” tebak Kim So Eun sambil meringis.
Park Shin Hye tersenyum meminta maaf. “Kalau ternyata laki-laki itu berbeda jauh dengan foto yang kulihat, aku tidak ingin berlama-lama di sini. Kau bisa menjadi alasanku untuk cepat-cepat kabur.”
“Kalau ternyata dia sesempurna di foto?”
“Kau boleh menyingkir jauh-jauh dan membiarkan aku mengurusnya sendiri,” gurau Park Shin Hye.
Kim So Eun menghela napas lalu menggeleng-geleng. Ia kembali mendongak menatap gedung di hadapannya. Kebetulan sekali laki-laki yang ingin ditemui Park Shin Hye bekerja di studio Song Chang Ui. Mungkin ia bisa menemui Kim Bum sebentar sementara Park Shin Hye menemui siapa pun yang ingin ditemuinya itu. Tentu saja itu kalau Kim Bum tidak terlalu sibuk.
* * *
Kim Bum sedang mengedit gambar bersama salah seorang editor ketika ponselnya berbunyi. Ia menatap layar ponselnya. Dari kakaknya? Kim Bum keluar dari ruangan untuk menerima telepon. “Hai, Noona,” sapanya pendek.
“Hei, Kim Bum. Aku harap aku tidak mengganggumu,” suara Yoon Eun Hye yang halus terdengar di ujung sana.
“Tidak. Tidak apa-apa,” sahut Kim Bum sambil keluar ke koridor dan menutup pintu di belakangnya. “Ada apa?”
“Sudah beberapa hari ini aku bermaksud meneleponmu, tapi entah kenapa aku lupa,” kata Yoon Eun Hye. “Ini soal Ibu dan ambisinya.”
Kim Bum duduk di salah satu bangku yang berderet di koridor dan tersenyum kecil. Ia bisa menebak arah pembicaraan kakaknya. “Ibu dan ambisinya,” ulangnya pelan.
“Ya. Minggu lalu Ibu pergi menghadiri pesta. Jangan tanyakan padaku pesta apa. Aku tidak tahu. Dan dia bertemu dengan seorang temannya, atau kenalannya, atau semacamnya...”
“Dan temannya, atau kenalannya, atau semacamnya itu punya seorang anak perempuan?” tebak Kim Bum.
“Ya. Dan kebetulan sekali anak perempuan orang itu akan pulang ke Paris. Jadi Ibu bertanya padanya apakah dia boleh menitipkan ginseng kepada gadis itu untuk diberikan kepadamu.”
“Mm-hmm. Ginseng. Benar-benar kreatif.”
“Jadi aku ingin memperingatkanmu bahwa Ibu masih belum menyerah dalam usahanya menjodohkanmu, walaupun kau sudah melarikan diri sampai ke seberang samudra,” kata Yoon Eun Hye sambil tertawa.
“Aku sudah menduganya,” desah Kim Bum.
“Apa?”
“Tadi pagi dia sudah meneleponku.”
“Siapa? Ibu?”
“Bukan,” sahut Kim Bum singkat. “Wanita itu.”
“Wanita yang mana? Maksudmu yang ingin dijodohkan Ibu denganmu?” Tanya Yoon Eun Hye heran.
“Mm-hmm.”
“Oh, jadi dia sudah ada di Paris? Bagaimana rupanya? Apa katanya?”
Kim Bum tertawa. “Noona, aku belum bertemu dengannya. Dia hanya meneleponku tadi. Aku rasa Ibu yang memberikan nomor teleponku kepadanya. Dia tidak berkata apa-apa, hanya bahwa Ibu menitipkan ginseng untukku. Kami akan bertemu nanti.”
Ia melirik jam tangannya. “Malah sebentar lagi dia akan datang ke sini.”
“Oh, Kim Bum, kau harus menceritakannya kepadaku nanti. Aku ingin tahu bagaimana rupanya. Kata Ibu wanita itu cantik dan akan sangat cocok untukmu. Tapi aku rasa Ibu selalu berkata begitu tentang semua wanita yang ingin dijodohkannya denganmu,” kata Yoon Eun Hye penasaran. “Apakah kau akan mengajaknya makan siang? Aku rasa di sana sekarang masih siang, bukan? Siapa tahu kau akan menyukai yang satu ini.”
Kim Bum meringis. “Aku sangat meragukannya. Noona jangan terlalu berharap. Dan tolong katakan pada Ibu untuk berhenti menjodoh-jodohkan aku. Aku benar-benar tidak mau ikut dalam permainan ini lagi.”
“Memangnya kenapa? Bukankah kau belum pernah bertemu dengan gadis ini? Bukannya aku membela Ibu, tapi kau jangan berkata tidak sebelum kau... Tunggu, aku mencium sesuatu di sini.” Yoon Eun Hye terdiam sejenak, lalu bertanya curiga, “Kim Bum, apakah kau sudah bertemu dengan seseorang di sana?”
Senyum Kim Bum melebar. Kakaknya memang sangat tajam. Ia baru hendak menjawab ketika seseorang memanggilnya. Ia mendongak dan melihat salah seorang rekan kerjanya berkata bahwa ada tamu untuknya di bawah. Kim Bum mengangguk dan mengangkat sebelah tangan untuk berterima kasih. Kemudian ia berkata kepada kakaknya di telepon. “Dengar, Noona, aku harus pergi sekarang.
Aku rasa wanita itu sudah datang. Lain kali saja kita bicara lagi.”
“Kim Bum...”
“Aku tutup dulu, Noona.”
Kim Bum langsung menutup ponsel sambil tersenyum puas. Kakaknya pasti uring-uringan. Oh, itu sudah pasti. Tapi Kim Bum akan membiarkan kakaknya menebak-nebak dulu. Setidaknya untuk sementara.
* * *
Kim So Eun menatap ponselnya dengan kening berkerut. Kenapa ponsel Kim Bum masih sibuk? Ia menghembuskan napas dan kembali menghampiri Park Shin Hye yang duduk di salah satu sofa yang tersedia setelah memberikan nama orang yang ingin ditemuinya kepada si resepsionis.
Park Shin Hye mendongak menatapnya. “Kenapa? Temanmu tidak ada?” tanyanya.
“Mungkin sedang sibuk,” sahut Kim So Eun dan duduk di samping Park Shin Hye.
Tidak lama kemudian Park Shin Hye menyikutnya. “Coba lihat. Aku rasa itu dia.”
Kim So Eun menoleh ke arah meja resepsionis. Ada seorang laki-laki bertubuh tinggi di sana, berbicara kepada resepsionis. Hmm, bukankah itu...? Kim So Eun mengerjap kaget. Kim Bum?
“Astaga, dia kelihatan persis seperti di fotonya,” gumam Park Shin Hye bersemangat. “Sama persis. Sempurna.”
Kim So Eun menoleh menatap temannya yang mengamati Kim Bum dengan mata berkilat-kilat memuji. Mendadak saja jantungnya mulai berdebar lebih keras. Oh, Tuhan. Jangan katakan bahwa orang yang dijodohkan dengan Park Shin Hye adalah Kim Bum.
Kemudian Kim Bum menoleh ketika si resepsionis menunjuk ke arah Kim So Eun dan Park Shin Hye. Mata Kim Bum langsung tertuju pada Kim So Eun dan senyumnya pun mengembang. Oh, Tuhan, kenapa ia harus tersenyum seperti itu? pikir Kim So Eun tanpa sadar. Kim So Eun kembali melirik Park Shin Hye. Tentu saja Park Shin Hye juga melihat senyum itu. Dan kilatan baru yang dilihatnya di mata Park Shin Hye menegaskan kecurigaannya.
“Kim So Eun, kenapa kemari?” tanya Kim Bum sambil menghampiri Kim So Eun dengan langkah lebar. Dan senyum terkutuk itu masih tersungging di bibirnya.
Kim So Eun menyadari kepala Park Shin Hye berputar cepat ke arahnya. “Kau mengenalnya?” bisik Park Shin Hye dengan nada heran.
Kim So Eun cepat-cepat berdiri dan memaksa bibirnya tersenyum. “Hai, Kim Bum.”
“Aku baru berencana mengajakmu makan siang bersama nanti,” kata Kim Bum, masih menatap Kim So Eun. “Ternyata kau sudah datang ke sini.”
“Eh, sebenarnya...” Kim So Eun menoleh ke arah Park Shin Hye yang juga sudah berdiri di sampingnya. “Ini temanku, dan eh...” Ia benar-benar tidak tahu bagaimana menjelaskan keadaan ini karena ia sendiri masih bingung.
Park Shin Hye dengan tangkas mengambil alih keadaan. Ia mengulurkan tangan ke arah Kim Bum dan menyunggingkan senyum cerah yang sudah sering ditunjukkannya di depan kamera.
“Halo,” katanya lancar. “Aku Park Shin Hye, orang yang meneleponmu tadi pagi.”
Kim Bum menjabat tangannya. “Oh?” Ia juga terlihat agak bingung sementara ia memandang Park Shin Hye dan Kim So Eun bergantian. “Jadi...”
“Sebenarnya Kim So Eun hanya menemaniku ke sini untuk menemuimu,” Park Shin Hye menjelaskan dengan lancar. “Aku tidak tahu ternyata kalian berdua saling mengenal. Ini kejutan yang menyenangkan.”
“Rupanya begitu. Ini memang kejutan,” kata Kim Bum sambil mengangguk-angguk kecil. Lalu ia menyadari sesuatu. “Oh ya, maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Aku Kim Bum. Senang berkenalan denganmu. Teman Kim So Eun adalah temanku juga.”
Park Shin Hye menyodorkan bungkusan yang dipegangnya. “Ini titipan dari ibumu.”
“Terima kasih. Aku minta maaf karena sudah merepotkanmu,” kata Kim Bum.
“Aku sama sekali tidak keberatan.”
Kim So Eun melirik Park Shin Hye dan harus mencegah dirinya memutar bola matanya. Wajah Park Shin Hye jelas-jelas menunjukkan bahwa ia sangat tertarik dengan yang ada di depan matanya.
“Ngomong-ngomong,” kata Kim Bum lagi sambil menatap Kim So Eun dan Park Shin Hye bergantian, “tadinya aku bermaksud mengajak Kim So Eun makan siang bersama. Bagaimana kalau kau juga ikut dengan kami? Kau sudah berbaik hati membawakan titipan ibuku sampai ke kantorku, paling tidak aku bisa mentraktirmu makan siang.” Ia melirik jam tangannya, lalu menatap Kim So Eun, “Bagaimana kalau kira-kira satu setengah jam lagi?”
“Aku tidak bisa,” sahut Kim So Eun, agak kaget menyadari nada suaranya terdengar ketus. “Ada pekerjaan siang ini.”
Kim Bum mengangkat alis.
Kali ini Kim So Eun menjaga suaranya tetap terkendali dan cepat-cepat menambahkan, “Aku akan makan. Tenang saja. Aku pasti makan. Hanya saja aku tidak akan punya cukup waktu untuk makan siang di luar.”
“Itu bagus,” kata Kim Bum sambil tersenyum kecil.
“Aku bebas siang ini,” sela Park Shin Hye tiba-tiba.
Kim Bum mengalihkan tatapan dan senyumnya dari Kim So Eun dan mengarahkannya kepada Park Shin Hye. “Baiklah,” katanya ringan. “Bagaimana kalau satu setengah jam lagi kita bertemu di Secret Garden Plaza? Kita bisa menemukan banyak pilihan di sana.”
“Tentu saja,” sahut Park Shin Hye.
Kepala Kim So Eun tiba-tiba terasa berdenyut-denyut. Astaga, ada apa lagi dengan dirinya? Ia sudah cukup tidur dan cukup makan. Kenapa kepalanya kembali bermasalah?
Beberapa menit kemudian mereka berdua sudah duduk kembali di dalam VW Pink Park Shin Hye dan Kim So Eun harus mendengarkan celotehan Park Shin Hye yang menggebu-gebu.
“Ini benar-benar kebetulan kan, Kim So Eun?” tanya Park Shin Hye sambil tertawa. “Ternyata Kim Bum itu temanmu. Dunia memang sempit. Kenapa kau tidak pernah bilang kau punya teman setampan itu?”
Kim So Eun hanya tersenyum dan bergumam tidak jelas.
“Dan apakah sudah kubilang bahwa dia sama persis dengan foto yang kulihat?” lanjut Park Shin Hye. “Ini benar-benar hebat. Kim So Eun, kau harus menceritakan semua tentang dia kepadaku.”
Kim So Eun menoleh menatap temannya. “Kenapa aku?”
Park Shin Hye tertawa. “Apakah itu juga perlu ditanya? Kau temannya dan kau tahu lebih banyak tentang dirinya. Sudah jelas kau bisa membantuku.”
Tidak tahu apa yang harus dikatakannya, Kim So Eun kembali tersenyum, lalu memalingkan wajah ke luar jendela dan menghembuskan napas pelan.
Oh, Tuhan...
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar