Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 24 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 20)



Kim Bum dan Jung Yong Hwa duduk berhadapan di salah satu kafe tidak jauh dari rumah sakit tempat Jung Yong Hwa bekerja. Jung Yong Hwa baru saja selesai menceritakan semua yang diketahuinya tentang peristiwa penyerangan terhadap Kim Bum dan kemungkinan besar bahwa saudara sepupunyalah yang bertanggung jawab.

“Aku benar-benar minta maaf,” kata Jung Yong Hwa sambil menunduk.

Kim Bum mengerjap, baru pulih dari kekagetannya setelah mendengarkan cerita Jung Yong Hwa. Ia mengibaskan tangan dan membantah ringan, “Minta maaf untuk apa? Kau sama sekali tidak bersalah.”

“Aku tidak pernah menduga bahwa orang yang menyerangmu ternyata adalah salah satu anggota keluargaku.”

“Tetap saja itu bukan kesalahanmu,” kata Kim Bum, berusaha menenangkan Jung Yong Hwa yang terlihat sangat resah.

Jung Yong Hwa mengangkat wajah menatap Kim Bum. “Aku juga sudah memberikan keterangan kepada polisi,” katanya mantap. “Aku memang tidak punya bukti nyata, tapi setidaknya keteranganku sedikit-banyak bisa membantu mereka. Bagaimanapun juga, mereka sudah lebih dulu mencurigai sepupuku itu.”

Kim Bum menghembuskan napas panjang. “Sayang sekali aku masih belum ingat apa-apa, jadi aku sama sekali tidak bisa memberikan keterangan tambahan apa pun,” gumamnya sambil menggeleng-geleng. Ia terdiam sejenak dan mengerutkan kening, lalu bergumam dengan nada melamun, “Kalau dipikir-pikir, akulah satu-satunya yang bisa mengenali orang yang menyerangku, bukankah begitu? Semuanya tergantung pada apa yang kuingat.”

Kim Bum mengangkat bahu. “Hanya sedikit,” ia membenarkan. Dan hanya tentang Kim So Eun. “Sebenarnya aku ingin tahu kenapa sepupumu itu menyerangku. Itu juga kalau memang dia yang melakukannya. Aku ingin tahu alasannya.”

Jung Yong Hwa mengangguk-angguk. “Ya. Aku juga tidak tahu. Dan dia sudah pasti tidak akan menceritakannya padaku kalau kutanya,” katanya sambil tersenyum masam.

“Kuharap aku bisa membantu lebih dari ini.”

Kim Bum ikut tersenyum. “Kau sudah sangat membantu, Jung Yong Hwa. Terima kasih karena sudah menceritakannya kepadaku.”

Saat itu ponsel Kim Bum berbunyi. Sekilas ia menatap layar ponsel dan mengerjap, lalu menempelkannya ke telinga. “Oh, Park Shin Hye. Ada apa?... Besok pagi?... Baiklah, sampai ketemu nanti.”

“Park Shin Hye?” tanya Jung Yong Hwa ketika Kim Bum menutup ponsel.

“Ya. Dia akan kembali dari Seogwipo besok pagi, jadi dia memintaku menjemputnya di stasiun,” sahut Kim Bum.

“Ngomong-ngomong, dia akan segera kembali ke Amerika, bukan?” tanya Jung Yong Hwa.

“Mm.”

“Lalu bagaimana denganmu? Kau juga akan kembali ke Amerika?”

Kim Bum mengangkat alisnya dengan heran. “Aku? Kenapa harus kembali ke Amerika?”

Alis Jung Yong Hwa berkerut heran. “Jadi kalian akan berhubungan jarak jauh? Menurutmu itu bisa berhasil?”

Kim Bum mengerjap. “Hubungan jarak jauh?” gumamnya, lalu memiringkan kepala sedikit. “Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Tunggu, bukankah kalian...” Jung Yong Hwa ragu sejenak, berpikir-pikir, lalu berkata, “Kau pernah bilang akan mengajak teman wanitamu ke reuni dan memperkenalkan kepadaku. Kukira Park Shin Hye orangnya. Jadi dia bukan pacarmu?”

“Bukan,” sahut Kim Bum, walaupun ia tidak yakin tentang siapa wanita yang dimaksud Jung Yong Hwa.

Tiba-tiba ponsel Kim Bum berbunyi lagi. Ia melirik layar ponselnya sekilas dan tersenyum lebar. “Ya, Kim So Eun,” katanya di ponsel, tidak menyadari Jung Yong Hwa yang baru akan menyesap kopi mengangkat wajah menatapnya. “Iya, aku sudah tahu... Apa?... Baiklah, aku akan menjemputmu dan kita akan pergi bersama... Ya, ya, ya... Aku ke sana sekarang.”

“Ada masalah?” tanya Jung Yong Hwa ketika Kim Bum menutup ponsel.

Kim Bum, yang masih tersenyum, menatap Jung Yong Hwa. “Apa? Oh, tidak. Tidak ada masalah. Tapi aku harus pergi sekarang,” sahutnya. “Ngomong-ngomong, Jung Yong Hwa, sekali lagi, terima kasih.”

Jung Yong Hwa menatap Kim Bum yang berjalan cepat keluar dari pintu kafe dengan termenung. Ia melihat dengan jelas perbedaan raut wajah dan nada suara Kim Bum ketika berbicara di ponsel tadi. Dan Jung Yong Hwa jadi bertanya-tanya sendiri. Kalau bukan Park Shin Hye, apakah mungkin... Kim So Eun?

* * *

“Ini tidak kebanyakan?”

Kim So Eun menoleh ke arah Kim Bum yang berjalan di sampingnya sambil mengintip ke dalam kantong plastik besar berisi bahan makanan yang dijinjingnya. “Tidak,” sahut Kim So Eun sambil tersenyum dan melirik kantong plastik lain yang dijinjingnya sendiri.

“Memangnya kau lupa kita akan memasak untuk enam orang malam ini?”

“Kau benar juga,” gumam Kim Bum dan balas tersenyum.

Mereka sedang berjalan pulang ke gedung apartemen mereka setelah membeli cukup banyak bahan makanan. Malam ini mereka akan berkumpul di tempat Song Chang Ui dan So Yi Hyun untuk makan malam bersama, seperti yang sering mereka lakukan, walaupun tentu saja Kim Bum sudah tidak ingat lagi sekarang.

Kim So Eun menggigil kedinginan dan meniup-niup tangannya yang tidak bersarung tangan. “Ah, dingin sekali,” gumamnya. “Ngomong-ngomong, Kim Bum, di mana mobilmu? Kenapa kau tidak membawanya hari ini?”

“Sudah kukembalikan,” sahut Kim Bum sambil menatap Kim So Eun. “Kedinginan?”

Kim So Eun memindahkan kantong plastiknya ke tangan kiri dan meniup tangan kanannya yang sepertinya hampir berubah menjadi es. “Kau tidak merasa dingin?”

“Tidak terlalu,” sahut Kim Bum. “Sudah tahu cuaca sedang dingin-dinginnya, kenapa tidak memakai sarung tangan?”

“Kau sendiri juga tidak memakai sarung tangan,” protes Kim So Eun.

“Tapi aku masih punya saku jaket,” kata Kim Bum sambil menggerak-gerakkan tangan yang dijejalkan ke saku jaket panjangnya. “Kenapa kau membeli jaket yang tidak ada sakunya?”

“Karena bagi wanita saku itu tidak penting,” balas Kim So Eun. “Yang penting modelnya bagus.”

“Dasar wanita,” kata Kim Bum sambil mendesah panjang. “Sini, kupinjamkan sakuku.”

Kim So Eun mengangkat alis. Sebelum ia sempat bertanya apa maksud Kim Bum, laki-laki itu sudah menggenggam tangan Kim So Eun dan memasukkan tangan mereka ke saku jaket.

Terkejut, Kim So Eun mendongak menatap Kim Bum. Mendadak saja ia tidak bisa bernapas dan jantungnya... astaga, jantungnya berdebar begitu keras sampai ia takut jantungnya akan meledak.

Mata Kim Bum menatap lurus ke matanya, lalu laki-laki itu tersenyum. “Lebih hangat, bukan?” tanya Kim Bum ringan dan mempererat genggamannya pada tangan Kim So Eun.

Lebih hangat? pikir Kim So Eun pusing, lalu ia mengerjap dan mengangguk. Ya, memang hangat. Kehangatan tangan Kim Bum menjalari dirinya, sampai ke wajahnya yang mulai terasa panas. Kim So Eun yakin wajahnya memerah. Astaga...

Mereka kembali berjalan berdampingan seperti itu, dengan tangan Kim Bum yang menggenggam tangannya di dalam saku jaket. Kim So Eun bertanya-tanya apakah ia sedang bermimpi. Apakah yang menggenggam tangannya benar-benar adalah tangan Kim Bum?

Mungkin aku memang sedang bermimpi, pikir Kim So Eun. Beberapa hari terakhir ini Kim Bum kembali seperti dulu, seperti sebelum kecelakaan. Kim Bum mengunjunginya di perpustakaan, makan siang dengannya, meneleponnya, mengobrol dengannya, tersenyum kepadanya seperti dulu.

Kim So Eun berusaha menahan diri, berkata pada diri sendiri bahwa semua ini tidak mungkin terjadi. Ia mungkin akan terbangun suatu hari nanti dan Kim Bum kembali jauh darinya. Tetapi Kim So Eun tidak bisa menahan diri. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini sejak Kim Bum mengalami kecelakaan dan hilang ingatan. Ia merasa bahagia setiap kali Kim Bum tersenyum kepadanya. Mungkin ia tidak boleh berharap banyak, tetapi dalam situasi ini apa lagi yang dimilikinya selain harapan?

Harapan bahwa Kim Bum akan kembali mengingatnya dan mengingat perasaan yang dulu ada... Kim So Eun menggeleng untuk menghentikan pikirannya. Perasaan apa? Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Jangan...

Tiba-tiba ia mendengar Kim Bum mendesah keras dan berkata, “Aku benar-benar berharap ingatanku segera kembali.”

Kim So Eun menoleh dan menatapnya dengan heran. “Oh? Kenapa tiba-tiba berpikir seperti itu? Bukankah dulu kau bilang tidak ingat juga tidak apa-apa?”

Kim Bum tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik, ia berkata, “Itu sebelum aku sadar aku sudah melupakan sesuatu yang penting.”

Alis Kim So Eun terangkat. “Sesuatu yang penting? Apa itu?”

Mereka berhenti melangkah. Saat itu Kim So Eun baru sadar mereka sudah tiba di depan gedung apartemen. Kim Bum yang menarik napas dalam-dalam, lalu berputar menghadap Kim So Eun. “Kim So Eun,” katanya hati-hati, “aku tahu aku mungkin tidak bisa menjelaskannya dengan baik. Aku juga tidak tahu kenapa dan bagaimana, tapi aku yakin dengan apa yang kurasakan. Sejak bertemu denganmu di acara reuni itu, aku...”

“Prince Smile?”

Mereka berdua serentak menoleh ke arah suara dan Park Shin Hye berdiri di tangga gedung apartemen, tidak jauh dari mereka. Kim So Eun langsung menyentakkan tangannya dari genggaman Kim Bum. Kim Bum meliriknya sekilas, lalu kembali menatap Park Shin Hye.

“Park Shin Hye?” katanya heran. “Kenapa kau ada di sini? Bukankah kau bilang kau akan pulang besok?”

Park Shin Hye berjalan menghampiri mereka sambil tersenyum ragu, kemudian ia membungkukkan badannya sedikit ke arah Kim So Eun. “Selamat malam, Kim So Eun.”

Kim So Eun buru-buru balas membungkuk dan menggumamkan selamat malamnya.

Park Shin Hye kembali menatap Kim Bum. “Ada sedikit perubahan rencana,” katanya, menjawab pertanyaan Kim Bum tadi. “Akhirnya kami pulang sore tadi. Dan aku ke sini untuk memberimu kejutan. Ternyata kau tidak ada di rumah.”

“Ya, tadi kami pergi berbelanja,” kata Kim Bum. “Sudah lama menunggu?”

Park Shin Hye tersenyum dan mengangguk. “Lumayan.”

“Kau terus menunggu di luar sini?” tanya Kim Bum lagi.

Park Shin Hye mengangguk lagi. “Kalau tidak, aku harus menunggu di mana?”

“Udaranya sangat dingin,” kata Kim Bum cepat. “Sebaiknya kita masuk sekarang, sebelum kau jatuh sakit.”

Kim Bum baru mulai bergerak, lalu ia berbalik ke arah Kim So Eun dan berkata, “Maaf, Kim So Eun...”

“Tidak apa-apa,” Kim So Eun buru-buru menyela sambil memaksakan seulas senyum.

“Sini. Berikan kantong plastiknya kepadaku. Aku akan memberikannya kepada So Yi Hyun Eonni.”

“Terima kasih,” kata Kim Bum pendek, lalu naik ke lantai dua bersama Park Shin Hye.

Kim So Eun menatap punggung kedua orang itu sampai menghilang di lantai dua, lalu ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Kini ia tahu bagaimana rasanya terbangun dari mimpi indah dan dihadapkan pada kenyataan.

Rasanya menyakitkan.

* * *

Kim Bum sangat terkejut ketika melihat Park Shin Hye berdiri di tengah-tengah tangga gedung apartemennya. Terlebih lagi ketika ia baru saja akan mengungkapkan perasaannya kepada Kim So Eun. Ketika ia baru saja akan berkata, Aku juga tidak tahu kenapa dan bagaimana, tapi aku yakin dengan apa yang kurasakan. Sejak bertemu denganmu di acara reuni itu, aku merasa kau adalah seseorang yang penting dalam hidupku.

Astaga! Apakah ia benar-benar akan berkata seperti itu tadi? Kedengarannya sangat konyol, tetapi itu kenyataannya. Kim So Eun memang penting baginya.

“Prince Smile.” Suara Park Shin Hye membuyarkan lamunannya. “Apakah kau marah karena aku tiba-tiba muncul tanpa menelepon lebih dulu?”

Kim Bum menoleh ke arah Park Shin Hye. “Tidak,” sahutnya singkat, lalu tersenyum. “Aku tidak marah. Tapi kalau kau menelepon lebih dulu, kau tidak perlu menunggu di luar dalam cuaca dingin seperti ini.”

“Maaf,” kata Park Shin Hye. “Kukira kau pasti ada di rumah.”

Kim Bum membuka pintu apartemennya dan masuk. Park Shin Hye menyusul di belakangnya.

Setelah mengenakan sandal rumah, Kim Bum pergi menyalakan pemanas ruangan.

“Prince Smile, di mana sandal itu?” tanya Park Shin Hye tiba-tiba.

Kim Bum menoleh. “Sandal?”

“Sandal Hello Kitty itu.”

Kim Bum tertegun. Park Shin Hye memang selalu mengenakan sandal itu setiap kali ia datang ke apartemen Kim Bum. Tetapi itu sebelum Kim Bum sadar sandal Hello Kitty itu sebenarnya milik Kim So Eun. Dan setelah menyadari sandal itu milik Kim So Eun, ia...

“Eh, ternyata sandal itu milik orang lain,” sahut Kim Bum. Ia mengeluarkan sepasang sandal putih dari lemari di dekat pintu. “Pakai ini saja.”

Park Shin Hye terdiam, kemudian ia tersenyum tipis dan memakai sandal yang ditunjukkan.

“Mau minum apa?” tanya Kim Bum dari dapur.

“Tidak usah,” sahut Park Shin Hye sambil melepaskan syal dan jaketnya. “Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan denganmu. Karena itu aku datang ke sini.”

“Ada apa?”

Park Shin Hye duduk di sofa, melipat tangannya di pangkuan, dan mendongak menatap Kim Bum yang berdiri bersandar di meja makan.

“Lee Hong Ki meneleponku,” katanya.

Alis Kim Bum terangkat, tidak menduga akan mendengar nama temannya juga adalah mantan tunangan Park Shin Hye. “Oh? Ada masalah apa?”

Park Shin Hye tersenyum samar, lalu menarik napas. “Dia ingin aku memikirkan kembali soal hubungan kami.” Ia terdiam sejenak, dan bertanya, “Bagaimana menurutmu, Prince Smile?”

Kim Bum mengangkat bahu. “Kurasa kau sendiri yang harus memutuskannya, Park Shin Hye. Bukan aku.”

Park Shin Hye menunduk. “Kau benar,” gumamnya pelan. “Baiklah. Kurasa untuk mendapatkan jawaban langsung, aku harus bertanya langsung. Bukankah begitu?”

Kim Bum tidak mengerti, tetapi ia diam saja.

“Prince Smile, bagaimana perasaanmu padaku?” tanya Park Shin Hye sambil menatap lurus ke mata Kim Bum.

Pertanyaan langsung itu mengejutkan Kim Bum, walaupun seharusnya ia sudah bisa menduganya. Sejak Park Shin Hye berkata ia sudah memutuskan pertunangan dengan Lee Hong Ki dan menyatakan perasaannya kepada Kim Bum, Kim Bum belum menjawabnya. Awalnya ia sangat terkejut mendengar pengakuan bahwa Park Shin Hye memutuskan hubungan dengan Lee Hong Ki karena wanita itu menyadari ia menyukai Kim Bum. Apakah ia merasa senang ketika Park Shin Hye menyatakan perasaannya waktu itu? Ya, Kim Bum memang sangat senang, karena ia juga merasakan…tidak, ia mengira ia juga merasakan hal yang sama terhadap Park Shin Hye. Saat itu ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya selain memeluk Park Shin Hye.

Namun sejak saat itu sampai sekarang Kim Bum sama sekali belum menjawab perasaan Park Shin Hye. Sebenarnya sejak awal ada sedikit perasaan ragu yang menyelinap ke dalam hatinya, hanya saja ia tidak mau mengakuinya. Park Shin Hye datang kepadanya. Hanya itulah yang penting saat itu. Tetapi semakin lama, Kim Bum keraguan itu semakin besar, diikuti oleh kesadaran dan kepastian perasaan yang tidak dipahaminya terhadap orang lain. Seseorang yang sudah dilupakannya, namun kembali ke dalam hidupnya dan membuat hatinya tergerak.

“Prince Smile.” Suara Park Shin Hye menyadarkannya dari lamunan. “Bagaimana perasaanmu kepadaku?”

Kim Bum menunduk dan menarik napas dalam-dalam. “Kau,” gumamnya pelan, “teman yang baik.”

Park Shin Hye terdiam sesaat. Lalu ia mengerjap dan tersenyum tipis. “Teman yang baik?” katanya lirih. “Begitukah? Teman?”

“Ya,” sahut Kim Bum pelan. Ia belum pernah merasa seyakin ini seumur hidupnya.

* * *

Kim So Eun keluar dari apartemen Song Chang Ui sambil menghembuskan napas. Kenapa harus ia yang melakukannya? Setelah mendengar kalau Park Shin Hye datang ke sini, So Yi Hyun menyuruh Kim So Eun mengajaknya ikut makan bersama.

“Tidak sopan, bukan, kalau kita tidak mengundangnya makan bersama?” kata So Yi Hyun tadi.

“Ah, So Yi Hyun Eonni,” sela Yoon Eun Hye yang sedang mencuci sayur. “Biar saja Kim Bum bisa mengajaknya sendiri kalau dia mau. Kenapa kita ikut-ikutan?”

“Aku rasa sebaiknya kita mengundangnya,” sahut So Yi Hyun, lalu berpaling ke arah Kim So Eun. “Kim So Eun, kau mau naik dan memberitahu mereka?”

Dan Kim So Eun tidak mungkin menolak, bukan?

Ia baru akan menaiki tangga ketika ia mendengar pintu apartemen lantai dua terbuka dan tertutup, lalu langkah kaki menuruni tangga. Sebelum Kim So Eun sempat bereaksi, sosok Kim Bum terlihat di hadapannya. Juga Park Shin Hye.

“Kim So Eun?” tanya Kim Bum agak kaget.

Mata Kim So Eun beralih dari Kim Bum ke Park Shin Hye, lalu kembali ke wajah Kim Bum.

Tersenyumlah, kata Kim So Eun pada diri sendiri. Senyum.

“Aku baru saja mau naik ke apartemenmu,” kata Kim So Eun cepat, berharap senyum yang tersungging di bibirnya tidak terlihat konyol. “So Yi Hyun Eonni menyuruhku mengajak Park Shin Hye ikut makan malam bersama.”

Park Shin Hye melirik Kim Bum yang berdiri di depannya, lalu menatap Kim So Eun dan tersenyum.

“Terima kasih, Kim So Eun,” katanya, “tapi aku harus pergi sekarang. Mungkin lain kali...”

“Oh, begitu?”

Park Shin Hye membungkukkan badan sedikit, lalu berkata kepada Kim Bum, “Prince Smile, kau tidak perlu mengantarku pulang. Aku bisa sendiri.”

Kim Bum mencegatnya ketika Park Shin Hye hendak berjalan melewatinya. “Sudah kubilang aku akan mengantarmu pulang,” gumamnya.

Mata Kim So Eun terpaku pada tangan Kim Bum yang memegang siku Park Shin Hye dan tiba-tiba saja ia tidak bisa bernapas. Dengan susah payah ia mengalihkan tatapan dan diam-diam menarik napas sementara kedua orang itu berjalan melewatinya.

“Kalian makan saja dulu,” kata Kim Bum tiba-tiba.

Kim So Eun menoleh dan mendapati Kim Bum sedang menatapnya.

“Tidak perlu menungguku,” lanjut Kim Bum. Setelah tersenyum singkat, ia berbalik dan berjalan pergi bersama Park Shin Hye.

Dada Kim So Eun terasa berat. Ia menarik napas dalam-dalam karena kalau tidak begitu sepertinya udara tidak masuk ke paru-parunya. Tetapi itu tidak terlalu berhasil.

Dadanya masih terasa sesak.

Seharusnya ia tahu. Seharusnya ia sadar. Mimpi tidak akan bertahan lama. Ia boleh saja hidup dalam mimpi, tetapi cepat atau lambat kenyataan akan mendesak masuk.

Dan ketika kenyataan mendesak masuk dan berhadapan denganmu, kau hanya bisa menerima.

Kim So Eun tahu ia sudah hidup dalam mimpi selama beberapa hari terakhir ini. Dan kini sudah saatnya menerima kenyataan. Ia tahu itu. Ia tahu...

* * *

Kim Bum menepati janjinya. Ia mengantar Park Shin Hye sampai ke depan gedung apartemennya.

Mereka jarang berbicara selama perjalanan. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.

“Kau sudah sampai,” kata Kim Bum memecah keheningan ketika mereka berhenti di pintu depan gedung.

“Prince Smile.” Park Shin Hye berbalik menghadapnya. “Masuklah sebentar. Ada yang ingin kutunjukkan kepadamu.”

Kim Bum mengikuti Park Shin Hye masuk ke apartemennya yang kecil namun rapi. Setelah menyalakan lampu, Park Shin Hye langsung berjalan ke meja kerja, membuka laci, dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat besar. Ia ragu sesaat sebelum berbalik dan menghadap Kim Bum.

“Ini,” katanya sambil menyodorkan amplop cokelat itu kepada Kim Bum.

“Apa ini?”

“Seharusnya aku tidak melakukannya,” kata Park Shin Hye sambil tersenyum kecil, “tapi sudah kulakukan dan aku meminta maaf.” Ia menatap Kim Bum. “Aku mengambil itu dari apartemenmu.”

Dengan heran, Kim Bum membuka amplop dan mengeluarkan beberapa lembar foto.

Alisnya terangkat tidak mengerti ketika menatap foto-foto itu. Foto kota Seoul, orang-orang yang berlalu lalang, taman kota, kuil. Ia tidak mengerti. Ia mengangkat wajah dan menatap Park Shin Hye. “Apa ini?” tanyanya sekali lagi.

“Lihatlah terus,” kata Park Shin Hye. “Kau akan mengerti.”

Kim Bum terus melihat foto-foto di tangannya. Dan tiba-tiba gerakan tangannya terhenti. Alisnya berkerut samar menatap foto yang terpampang di hadapannya. Foto seorang gadis di tengah kerumunan orang yang berlalu-lalang. Gadis itu berdiri membelakangi kamera, tetapi Kim Bum langsung tahu bahwa gadis itu adalah Kim So Eun.

Bagaimana ia bisa yakin itu Kim So Eun kalau wajah gadis di foto itu tidak terlihat?

Entahlah. Tetapi ia yakin itu Kim So Eun.

Tangannya bergerak lagi. Foto selanjutnya adalah foto Kim So Eun di perpustakaan.

Lagi-lagi Kim Bum yakin siluet gadis yang berdiri di antara dua rak tinggi itu adalah Kim So Eun.

Kenapa? Kenapa ia yakin sekali?

Karena ia sendirilah yang memotret foto-foto ini. Ia yang memotret Kim So Eun.

Ya, itulah sebabnya.

Tangannya bergerak lagi menampilkan foto lain dan napas Kim Bum tercekat. Foto close-up Kim So Eun.

Tunggu. Ia ingat hari itu. Kim Bum mengerutkan kening, berusaha mengingat. Hari itu ia melihat Kim So Eun sedang duduk sendirian di kafe. Mata gadis itu terarah ke buku yang terbuka di meja di hadapannya, tetapi sudah jelas perhatiannya tidak ditujukan ke buku itu. Ia sedang melamun. Dan saat itu Kim So Eun terlihat begitu cantik sampai Kim Bum terdorong untuk memotretnya, mengabadikan saat itu.

Tetapi kenapa Kim Bum tidak bisa mengingat lebih banyak? Ia ingin mengingat lebih banyak. Ia ingin tahu lebih banyak.

“Kau yang memotret semua itu, Prince Smile,” Park Shin Hye membuka suara. “Kau sangat ahli. Foto-foto itu sangat bagus.”

Kim Bum mengangkat wajah dan menatap Park Shin Hye dengan bingung. “Kau tadi bilang kau mengambil foto-foto ini dari apartemenku? Kenapa?”

Park Shin Hye menggigit bibir, lalu tersenyum tipis. “Entahlah,” katanya sambil merentangkan tangan dan mengangkat bahu. “Kurasa aku cemburu.”

“Cemburu?”

Park Shin Hye memiringkan kepala dan menatap Kim Bum. “Aku mengenalmu, Prince Smile. Kau selalu mengambil foto-foto sesuai sudut pandangmu, sesuai dengan apa yang kaulihat dan apa yang kau rasakan. Dan caramu memotret Kim So Eun...” Park Shin Hye terdiam sejenak.

“Setelah melihat foto Kim So Eun, aku tahu. Aku bisa merasakannya.”

“Merasakan apa?”

“Kau menyukainya,” kata Park Shin Hye pelan. “Benar, bukan?”

Kim Bum tidak menjawab.

Park Shin Hye menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Lalu ia mendongak menatap Kim Bum sambil tersenyum muram. “Ya, kurasa pertanyaanku waktu itu akhirnya terjawab,” gumamnya. “Aku memang sudah terlambat.”

Bersambung…

Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3 ... Chapter 18
Chapter 2 ... Chapter 19
Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...