Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 22 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 9)



Denting bel pintu membuat Kim So Eun mengalihkan perhatiannya dari kesibukannya membungkus biskuit-biskuit cokelat yang akan diberikannya kepada Kim Bum sebagai hadiah Natal. Kim So Eun mengelap tangan di handuk yang tergantung di dekat lemari dan beranjak ke pintu. “Bukankah dia bilang satu jam lagi?” gumamnya pada diri sendiri.

Tetapi begitu membuka pintu, ia tidak melihat siapa pun di sana. “Siapa yang membunyikan bel pintu?” tanyanya heran. Ia mengerjap-ngerjapkan mata dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Orang iseng? Tetapi tidak terdengar suara atau bunyi apa pun di luar sana. Jangan-jangan... Jangan-jangan... Tidak, tidak. Kim So Eun memejamkan mata dan menggeleng cepat. Ia tidak akan berpikir tentang hantu atau semacamnya.

Tidak...

Ketika ia membuka mata kembali, barulah ia melihat sebuah kantong kertas merah muda berhias pita merah yang diletakkan di lantai di depan pintunya. “Oh? Apa itu?”

Ia membungkuk dan memungut kantong itu. Sebuah kartu kecil tergantung di pegangan talinya. Senyum Kim So Eun merekah begitu membaca tulisan di sana.

Hadiah Natal untukmu, Kim So Eun. Semoga kau merasa hangat pada Hari Natal ini.
Kim Bum.


Mata Kim So Eun menangkap secarik lain kertas kecil yang ditempelkan di kantong kertas itu. Aku pergi mengambil kereta kuda untuk menjemputmu. Tunggu saja di sini.

Masih tetap tersenyum, Kim So Eun menutup pintu dan masuk kembali ke apartemennya. Ia meletakkan kantong kertas itu di meja dan membuka pita merahnya dengan hati-hati. Dengan penasaran ia mengeluarkan sebuah kotak putih dan membuka tutupnya. Matanya melebar melihat isi kotak itu. Sepasang sarung tangan wol merah, topi wol merah, syal merah, dan penghangat telinga yang juga berwarna merah. Masing-masing memiliki nama Kim So Eun yang dijahit dengan benang berwarna emas. Kim So Eun mengenakan sarung tangan merah itu dan mengacungkan tangannya untuk mengagumi rasanya yang lembut dan hangat. Ia juga mencoba topi, syal, dan penghangat telinganya, lalu berlari ke kamar tidur dengan gembira untuk mematut diri di depan cermin. Kim Bum memiliki selera yang bagus, puji Kim So Eun dalam hati. Ia menepuk-nepuk pipinya dengan tangannya yang terbungkus sarung tangan sambil tersenyum.

* * *

“Bagaimana penampilanku?” tanya Kim So Eun ketika Kim Bum datang menjemputnya satu jam kemudian. Ia memutuskan mengenakan topi, syal, dan sarung tangan pemberian Kim Bum, dan memadukan semuanya dengan jaket panjang putih.

Kim Bum memandanginya dari ujung kepala ke ujung kaki dan tersenyum. “Sejauh ini, di antara semua teman kencanku di Korea, kau yang paling cantik,” pujinya.

Kim So Eun meringis. “Sejauh ini memang hanya aku satu-satunya orang yang pernah berkencan denganmu di Korea,” balasnya. Lalu ia menambahkan, “Hadiah Natalnya... terima kasih.”

“Aku senang kau menyukainya,” sahut Kim Bum ringan. Kemudian ia membawa Kim So Eun ke sedan putih yang diparkir di depan gedung apartemen. “Masuklah,” katanya.

Alis Kim So Eun terangkat. “Kau punya mobil?”

“Aku ingin bilang begitu,” sahut Kim Bum, “tapi bukan, aku meminjam mobil temanku.”

Kim So Eun masuk ke mobil dan memasang sabuk pengaman. Ketika Kim Bum juga sudah duduk di balik kemudi, Kim So Eun mengacungkan kantong kain bermotif hiasan Natal berwarna merah dan putih ke depan wajah Kim Bum.

“Apa ini?” tanya Kim Bum.

“Hadiah Natal,” sahut Kim So Eun sambil tersenyum lebar.

Kim Bum tertawa dan menerima kantong itu. Ia membaca kartu yang tergantung dari tali kantong itu dengan suara keras, “Untuk orang yang berkata ada banyak hal indah akan terlihat sewaktu gelap. Dari tetangga yang paling manis sedunia.” Ia mengangkat wajah menatap Kim So Eun dengan alis terangkat. “Tetangga paling manis sedunia?”

“Begitulah kenyataannya,” kata Kim So Eun, lalu tertawa. “Ayo, bukalah. Aku membuatnya sendiri.”

Kim Bum membuka kantong itu dan melihat isinya. Ternyata Kim So Eun membuat biscuit cokelat dengan berbagai bentuk dan berhias gula-gula, termasuk biskuit berbentuk pohon Natal yang bertuliskan Merry Christmas dan orang-orangan salju bertuliskan nama Kim Bum.

“Kau bisa membuat kue?” tanya Kim Bum sambil mengagumi bentuk-bentuk biscuit di dalam kantong itu.

Kim So Eun mengangguk. “Sedikit-sedikit,” sahutnya. “Aku juga akan memberikan satu kantong untuk Jung Yong Hwa.”

Kepala Kim Bum berputar ke arah Kim So Eun. “Kau akan memberinya biskuit yang sama?”

“Ya. Aku membuat banyak biskuit,” kata Kim So Eun polos. “Aku juga akan memberikannya kepada Yoon Eun Hye Eonni, Lee Ki Kwang, Song Chang Ui Oppa dan So Yi Hyun Eonni, dan rekan-rekan kerjaku di perpustakaan.”

Kim Bum memalingkan wajah dan mendesah. “Kau juga menuliskan pesan-pesan pribadi seperti ini?” tanyanya sambil mengacungkan kartu dan potongan biscuit bertuliskan namanya.

Kim So Eun diam sejenak, lalu berkata agak malu, “Tidak. Tidak sempat. Kurasa aku menghabiskan terlalu banyak waktu menghias biskuitmu sampai tidak sempat menghias biskuit yang lain. Jadi aku hanya memberi mereka biskuit polos dengan kartu ucapan Hari Natal.”

Mendengar itu Kim Bum tersenyum, lalu mengangguk. “Bagus, setidaknya biskuitku lebih bagus daripada biskuit yang lain.”

Alis Kim So Eun terangkat, tetapi ia diam saja. Kim Bum segera menyalakan mesin mobil dan mereka pun melaju meninggalkan gedung apartemen.

Mereka melaju mulus di jalan raya. Kim So Eun mengamati tangan Kim Bum yang memegang roda kemudi dengan ringan namun mantap. “Baru kali ini aku melihatmu menyetir,” komentar Kim So Eun. “Aku juga baru tahu kau bisa menyetir.”

Kim Bum tersenyum. “Ha! Kau terkesan padaku.” Ia mengalihkan perhatiannya dari jalanan untuk sesaat, menoleh ke arah Kim So Eun. “Benar, kan? Benar?”

Kim So Eun tertawa dan memukul pelan lengan Kim Bum dengan punggung tangannya.

“Perhatikan jalanan,” katanya. “Dan untuk menjawab pertanyaanmu, tidak, aku tidak terkesan padamu.”

“Oh, ya?” Kim Bum memiringkan kepalanya. “Padahal aku meminjam mobil ini untuk membuatmu terkesan. Tidak berhasil ya?”

Kim So Eun mengacungkan tangan dan menempelkan jari telunjuk dengan ibu jarinya.

“Sedikiiiit terkesan.” Ia tertawa lagi dan Kim Bum ikut tertawa. “Setidaknya kita tidak perlu naik kereta bawah tanah dan berdesak-desakan.”

“Baiklah,” kata Kim Bum mantap. “Mari kita lihat apakah kita bisa memperbaikinya.”

Kim So Eun mengangkat alis tidak mengerti, tetapi Kim Bum tidak menjelaskan lebih lanjut.

* * *

“Sungguh, kau tidak perlu membawaku ke tempat seperti ini,” kata Kim So Eun dengan wajah berseri-seri dan senyum lebar ketika menyadari Kim Bum membawanya ke salah satu restoran terkenal di Seoul, salah satu restoran kesukaan Kim So Eun sendiri.

Kim Bum meliriknya dan berkata, “Tapi melihat wajahmu sekarang, sepertinya pilihanku benar."

Seorang pelayan pria menempatkan mereka di salah satu meja di tengah ruangan.

Kim So Eun memandang sekelilingnya dengan kagum. Restoran itu bagus dengan interior bergaya pedesaan Inggris yang nyaman dan hangat. Pohon Natal besar penuh hiasan diletakkan di sudut ruangan. Lagu Natal lembut mengalun di udara. Kim So Eun hanya pernah satu kali ke sini sebelumnya, bersama Baek Suzy, dan restoran ini langsung menjadi salah satu restoran favorit mereka. Ia menyukai lantai kayunya, taplak mejanya yang berwarna hijau, tirainya yang tebal, lilin kecil dalam gelas, dan setangkai mawar yang diletakkan di setiap meja.

Kim So Eun mendesah senang dan kembali menatap Kim Bum yang duduk di hadapannya.

“Restoran ini memang kelihatannya nyaman, tapi makanan di sini mahal sekali. Percayalah padaku,” bisiknya dengan nada penuh rahasia.

“Kau pernah datang ke sini?” tanya Kim Bum.

Kim So Eun mengacungkan jari telunjuknya. “Cuma satu kali, ketika restoran ini baru dibuka.”

Pelayan yang tadi kembali membawakan menu. Setelah melihat sekilas daftar makanan dan harga yang tercantum di sana, Kim So Eun melirik Kim Bum dengan pandangan Was-was, lalu melirik pelayan yang sedang menunggu, dan kembali ke Kim Bum. Kim So Eun mencondongkan tubuhnya ke depan dan menutupi sisi wajahnya yang menghadap si pelayan dengan buku menu. “Kim Bum,” bisiknya pelan, supaya si pelayan tidak mendengar. “Kau yang traktir, bukan?”

Kim Bum menangkat wajah dari menu dan tersenyum. Ia juga ikut mencondongkan tubuhnya dan berbisik, “Tenang saja, aku punya kartu diskon di sini.”

Mata Kim So Eun melebar heran. “Kartu diskon?”

Kim Bum mengangguk, lalu mulai menyebutkan pesanannya kepada si pelayan yang mencatat dengan patuh. Sebenarnya pemilih restoran ini adalah pamannya, Song Seung Hun, karena itu Kim Bum boleh menggunakan hak istimewanya setiap kali ia makan di sana. Tetapi ia merasa tidak perlu memberitahu Kim So Eun tentang fakta kecil itu.

Setelah si pelayan pergi dengan daftar pesanan mereka, Kim So Eun kembali mendesah dan memandang berkeliling. “Aku suka sekali tempat ini. Sangat romantis. Lihat, orang-orang yang datang ke sini semuanya berpasangan.”

“Kudengar restoran ini memang dijalankan dengan konsep seperti itu,” kata Kim Bum. “Pemiliknya memang berjiwa romantis walaupun sampai sekarang belum menikah.”

“Kau kenal dengan pemiliknya?”

Kim Bum mengangkat wajah. “Oh, tidak. Aku hanya pernah mendengar gossip tentang dia,” sahutnya cepat. Sebelum Kim So Eun sempat berkomentar, Kim Bum mengalihkan pembicaraan, “Aku juga mendengar banyak orang mengajukan lamaran pernikahan di tempat ini.”

“Oh, ya?”

“Ya. Kalau kau datang ke sini pada Hari Valentine, kemungkinan besar kau akan melihat seorang pria berlutut di hadapan kekasihnya sambil mengacungkan cincin berlian.”

Mata Kim So Eun melebar senang. “Aku ingin sekali melihatnya,” katanya, lalu tiba-tiba bertanya, “Kim Bum, kartu diskonmu itu berlaku sampai kapan?”

“Kartu diskon? Memangnya kenapa?”

“Berlaku sampai kapan?” desak Kim So Eun.

“Masalahnya bukan berlaku sampai kapan,” elak Kim Bum buru-buru memutar otak mengarang alasan. “Kartu diskonku hanya bisa dipakai pada malam Natal ini, lalu... malam Tahun Baru, lalu...”

Kim So Eun berpikir-pikir. “Tahun Baru nanti aku ada di Incheon. Hmm... Bagaimana dengan Hari Valentine?”

“Hari Valentine?”

“Kaubilang restoran ini dibuat dengan konsep romantis. Jadi kupikir kartu diskonmu bisa dipakai pada Hari Valentine. Benar kan?” desak Kim So Eun.

Kim Bum mengangkat bahu. “Kurasa begitu.”

Mendengar itu Kim So Eun tersenyum manis dan bertanya, “Kim Bum, kau mau mengajakku ke sini lagi pada Hari Valentine nanti?”

Kim Bum menatap gadis di hadapannya dengan mata disipitkan. “Kenapa? Jangan katakan kau ingin aku melamarmu di sini pada Hari Valentine?”

Kim So Eun tertawa. “Aku tidak berani memimpikannya,” katanya ringan. “Hanya saja kita harus memanfaatkan kartu diskonmu, bukan? Lagi pula siapa tahu aku bisa menjadi saksi acara lamaran pernikahan. Bagaimana?? Kau akan mengajakku ke sini lagi?”

Setelah berpikir-pikir sejenak, Kim Bum mencondongkan tubuhnya ke depan. “Baiklah, aku akan mengajakmu,” katanya. “Dengan satu syarat.”

Alis Kim So Eun terangkat. “Apa syaratnya?”

“Aku ingin kau menemaniku ke suatu acara tanggal sepuluh Januari nanti.”

“Acara apa?”

Kim Bum tersenyum. “Reuni SMP-ku. Acaranya tidak berlebihan. Aku harus hadir dan aku sedang tidak ingin pergi sendiri.”

“Aah, aku mengerti,” gumam Kim So Eun sambil mengangguk-angguk. “Kalau acaranya ternyata membosankan, setidaknya masih ada aku yang bisa kauajak bicara. Bukankah itu yang kaupikirkan?”

Kim Bum mengangkat bahu. “Seperti itulah. Bagaimana? Setuju?”

Kim So Eun mengangguk mantap. “Setuju.”

“Tanggal sepuluh Januari.”

“Tidak masalah.”

“Kau tidak akan membuat janji lain pada hari itu?”

“Tidak akan.”

“Walaupun si dokter cinta mengajakmu keluar?”

“Dokter cinta siapa?”

“Cinta pertamamu itu.”

“Ooh...” Kim So Eun terdiam sejenak, berpikir-pikir, seakan ia baru teringat soal Jung Yong Hwa. Setelah beberapa detik yang dirasa Kim Bum mencekam, Kim So Eun membuka suara, “Baiklah.”

Kim Bum menghembuskan napas pelan, baru sadar kalau ia menahan napas.

Pundaknya tiba-tiba terasa ringan. “Kalau begitu, aku akan mengajakmu ke sini lagi pada Hari Valentine nanti.”

“Kau memang tetangga paling baik sedunia,” puji Kim So Eun sambil menangkupkan kedua tangan dengan gembira.

“Tentu saja,” sahut Kim Bum, tepat ketika pelayan datang membawakan pesanan mereka. “Sebaiknya kita cepat makan, karena kita harus pergi ke tempat lain setelah ini. Dan kita tidak boleh terlambat.”

“Oh?” Wajah Kim So Eun berseri-seri. “Kita mau ke mana lagi?”

Kim Bum menatap Kim So Eun dan tersenyum. “Itu kejutan.”

Bersambung…

Chapter 8
Chapter 7
Chapter 6
Chapter 5
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...