Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 23 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 15)



Setiap kali melihat gadis itu, ia merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskannya.

Perasaan yang membuatnya bingung, perasaan yang mendorongnya melakukan sesuatu yang bahkan tidak dipahaminya sendiri. Lagi-lagi Kim Bum melirik Kim So Eun yang berdiri di ambang pintu, membiarkan Kim Bum dan Park Shin Hye masuk lebih dulu.

Kim So Eun sudah menuliskan alamat gedung apartemen yang ditempati Kim Bum sejak ia tiba di Seoul awal bulan Desember lalu. Jadi hari Minggu pagi ini ia mengajak Park Shin Hye mengunjungi apartemen itu. Begitu mereka tiba di gedung yang dimaksud, Kim So Eun sudah menunggu bersama para tetangganya. Kim Bum merasa serba salah ketika berkenalan dengan orang-orang asing yang mengaku sudah mengenalnya. Para tetangganya memang ramah, namun mereka memandang Kim Bum dengan sorot mata kasihan dan penasaran. Hal itu membuat Kim Bum merasa tidak nyaman, karena saat-saat seperti itulah ia merasa dirinya bodoh.

Setelah perkenalan singkat itu, Kim So Eun membawanya ke apartemen di lantai dua.

Apartemen nomor 201. Kim Bum berdiri di koridor di antara apartemen 201 dan 202, dan ia merasakan sesuatu. Sesuatu seperti... sepertinya ia sudah akrab dengan tempat itu.

Namun semakin ia berusaha memikirkannya, perasaan itu semakin menjauh.

Begitu memasuki apartemennya, Kim Bum memandang berkeliling. Ia mengenali beberapa benda yang dibawanya dari New York, tetapi selebihnya asing.

“Kim Bum, kau mengingat sesuatu?” tanya Kim So Eun dengan nada penuh harap.

Kim Bum menoleh ke arah Kim So Eun dan menggeleng. Raut wajah gadis itu pun berubah.

Melihat itu Kim Bum tiba-tiba merasa bersalah. Aneh sekali... Ia mendapati dirinya tidak ingin membuat gadis itu kecewa.

“Prince Smile.”

Lamunan Kim Bum buyar dan ia menoleh ke arah Park Shin Hye. Wanita itu sedang menunjuk sesuatu di lantai. “Ada apa?” tanya Kim Bum.

“Aku tidak pernah tahu kau suka sandal seperti ini,” kata Park Shin Hye sambil menunjuk sandal putih berbentuk kepala Hello Kitty yang tergeletak di dekat pintu masuk. Ia tertawa kecil. “Ini milikmu?”

Kim Bum melihat sandal itu, lalu mengangkat bahu. “Entahlah,” sahutnya ringan.

“Boleh kupakai?” tanya Park Shin Hye.

“Tentu saja. Ambil saja kalau kau mau,” sahut Kim Bum sambil berjalan ke kamar tidur, tidak terlalu peduli dengan masalah sandal. Ia tidak melihat ke arah gadis tetangganya saat itu. Ia tidak melihat Kim So Eun tersentak dan menatap Kim Bum tanpa berkedip. Kemudian matanya menyipit, ia mendengus pelan, dan memalingkan wajah.

* * *

“Kubilang juga apa?” seru Lee Ki Kwang sambil menatap Yoon Eun Hye dengan mata lebar.

“Noona lihat? Aku benar? Memang Kim Bum Hyung yang kulihat waktu itu di rumah sakit.” Ia menoleh ke arah Kim So Eun, Song Chang Ui dan So Yi Hyun yang menatapnya dengan penuh minat dan menjelaskan, “Aku melihat Kim Bum Hyung di rumah sakit.

Awalnya aku tidak yakin, karena dia sama sekali tidak menegurku atau menunjukkan tanda-tanda kalau dia mengenalku. Tapi sekarang kita tahu Kim Bum Hyung hilang ingatan. Itulah sebabnya.”

“Benarkah?” tanya Kim So Eun sambil menatap Lee Ki Kwang. “Kenapa kau tidak pernah berkata apa-apa padaku?”

Kim So Eun, Yoon Eun Hye, dan Lee Ki Kwang berkumpul di apartemen Song Chang Ui dan So Yi Hyun untuk membicarakan pertemuan singkat mereka dengan Kim Bum tadi. Sebenarnya Kim So Eun sudah menceritakan tentang keadaan Kim Bum semalam, ketika ia kembali dari acara reuni dalam keadaan bingung dan gelisah. Lalu pagi ini mereka kembali diperkenalkan kepada Kim Bum dan Park Shin Hye. Suasana perkenalan tadi terasa agak canggung.

“Waktu itu kami tidak yakin bahwa orang yang dilihat Lee Ki Kwang itu Kim Bum,” sahut Yoon Eun Hye membela diri. “Siapa yang menyangka bahwa Kim Bum hilang ingatan? Sekarang dia benar-benar seperti orang asing.”

“Aku pernah mendengar kasus tentang hilang ingatan, tapi kalau tidak salah orang itu sama sekali tidak ingat apa-apa. Dia lupa semuanya. Dia tidak ingat orangtuanya, bahkan namanya sendiri. Memangnya ada orang yang bisa kehilangan hanya sebagian ingatannya? Seperti yang dialami Kim Bum itu?” tanya Song Chang Ui bingung.

Lee Ki Kwang mengangguk. “Sepertinya aku pernah mendengar ada kasus begitu. Sebagian ingatan kita bisa hilang kalau kita mengalami trauma atau semacamnya.”

“Trauma apa?” gerutu Yoon Eun Hye pelan.

“Siapa wanita yang bersamanya tadi?” tanya So Yi Hyun tiba-tiba.

“Temannya dari New York,” jawab Kim So Eun pendek. Wanita yang pernah disukai Kim Bum, tambahnya dalam hati. Dan yang mungkin masih disukainya sampai sekarang kalau melihat betapa akrabnya mereka tadi. Kening Kim So Eun berkerut ketika ia mengingat cara Kim Bum tersenyum kepada Park Shin Hye. Dari tadi Kim Bum hanya berbicara kepada Park Shin Hye, membuat Kim So Eun merasa seperti orang bodoh. Karena itulah ia tidak berlama-lama di apartemen Kim Bum. Kedua orang itiu asyik membicarakan hal-hal yang tidak dipahaminya.

“Tapi, Kim So Eun apakah dia sama sekali tidak ingat apa pun?” tanya Song Chang Ui tiba-tiba, sepertinya belum benar-benar percaya kalau Kim Bum tidak ingat pada mereka. “Bahkan setelah ia melihat apartemennya?”

Kim So Eun menggeleng. “Sedikit pun tidak,” gerutunya, lalu mendesah keras. “Padahal aku berharap dia bisa mengingat sesuatu. Apa saja. Tapi...” Ia mengangkat bahu dan mendesah sekali lagi.

Keempat orang lainnya berpandangan.

“Kenapa dia tidak bisa ingat?” tanya Kim So Eun pada diri sendiri. Keningnya berkerut.

“Kenapa?”

“Jangan terlalu cemas. Kata dokter ingatannya bisa kembali kapan saja, bukan?”

Yoon Eun Hye berusaha menghibur.

Seakan tidak mendengar kata-kata Yoon Eun Hye, Kim So Eun bergumam lirih, “Kata-katanya sewaktu di stasiun... dia juga tidak ingat lagi.” Tiba-tiba ia berseru, “Dasar bodoh! Kenapa mengatakan hal-hal yang dengan mudah dilupakannya? Membuat orang bingung!”

Keempat orang yang duduk di sekitarnya terlompat kaget, tetapi cukup bijak untuk tidak membuka mulut.

Tepat pada saat itu ponsel Kim So Eun berbunyi. Dengan gerakan tidak sabar, Kim So Eun mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan menempelkannya ke telinga. “Ya?” sahutnya asal-asalan, lalu raut wajahnya berubah. “Jung Yong Hwa?”

* * *

Park Shin Hye menoleh ke arah Kim Bum. Laki-laki itu masih berdiri di dekat teras sambil berbicara dengan ayahnya di telepon. Tadi Kim Bum baru menyalakan laptop-nya ketika ayahnya menelepon untuk menanyakan keadaannya. Iseng-iseng Park Shin Hye mengambil alih laptop itu dan menemukan folder yang menyimpan foto-foto hasil jepretan Kim Bum selama di Seoul.

Foto-foto itu sudah pasti bukan foto asal jadi. Semuanya dipotret dengan teliti.

Sudut, fokus, dan objek yang dipotret sangat jelas. Senyum Park Shin Hye mengembang sementara ia melihat lembaran-lembaran foto itu. Kota Seoul dipotret dengan ahli.

Tapi itu bukan sesuatu yang aneh. Kim Bum tidak akan menjadi fotografer profesional yang terkenal di New York kalau hasil jepretannya tidak termasuk kategori mengagumkan.

Tiba-tiba gerakan tangan Park Shin Hye terhenti. Matanya terpaku pada foto di depannya.

Foto seorang gadis berjaket hijau di tengah-tengah kerumunan orang yang berlalu lalangdi jalan raya. Gadis itu berdiri membelakangi kamera, kepalanya menoleh ke samping. Wajahnya tidak terlalu jelas karena foto itu diambil dari jarak jauh. Selain sosok gadis dalam balutan jaket hijau itu, objek di sekitarnya termasuk juga kerumunan orang yang berlalu lalang, berwarna hitam-putih dan terlihat kabur.

Bahkan Park Shin Hye pun tahu foto ini foto yang menakjubkan. Seolah-olah kamera si fotografer hanya terpusat pada gadis itu dan dunia di sekelilingnya memudar.

Foto hitam-putih yang berikut juga sangat mengesankan. Objek utamanya lagi-lagi seorang gadis yang berdiri di lorong yang tidak terlalu lebar di antara dua rak buku tinggi, dengan latar belakang jendela kaca berukuran besar. Sinar matahari yang menembus kaca dan menggelapkan sosok gadis itu. Park Shin Hye hanya bisa melihat wajah gadis itu menunduk membaca sebuah buku di tangannya. Di mana tempat itu?

Mungkin di toko buku? Atau perpustakaan?

Tangan Park Shin Hye bergerak lagi, menampilkan foto lain. Foto kali ini tidak menampilkan siapa pun, hanya terlihat sebuah pintu kayu cokelat dengan tiga angka tertempel di bagian tengah atas pintu. Nomor 202. Di lantai di depan pintu terlihat sebuah kantong kertas merah muda berhias pita merah. Hadiahkah? Hadiah untuk seseorang di balik pintu bernomor 202 itu?

Dengan kening berkerut, Park Shin Hye berpikir. Pintu bernomor 202? Bukankah itu nomor apartemen Kim So Eun yang tinggal di seberang apartemen Kim Bum?

Foto berikut menegaskan kecurigaannya. Tidak diragukan lagi. Gadis di dalam foto yang ini adalah Kim So Eun. Foto close-up itu menampilkan Kim So Eun sedang duduk bertopang dagu. Kepalanya ditundukkan ke arah buku yang terbuka di meja.

Sepertinya gadis itu sedang membaca. Si fotografer mencurahkan seluruh perhatiannya pada profil Kim So Eun. Semua tentang gadis itu terlihat jelas. Mulai dari pandangan matanya yang terlihat agak kosong walaupun terarah ke buku di meja, helai-helai rambut hitam panjangnya yang terlepas dari sanggul asal-asalan di atas puncak kepalanya, sampai tiga tindikan di telinga kanannya.

Park Shin Hye tertegun. Ia mengenal Kim Bum dengan sangat baik. Ia tahu Kim Bum hanya akan memotret sesuatu yang membangkitkan minatnya. Kim Bum fotografer yang teliti, sedikit eksentrik, ia tidak akan mau membuang-buang waktu untuk memotret sesuatu yang masih dirasanya meragukan. Karena itulah semua hasil jepretannya selalu menakjubkan. Dan sekarang ia memotret Kim So Eun...

Seharusnya Park Shin Hye sudah bisa menduganya sejak ia melihat sorot mata Kim So Eun tadi.

Oh ya, Park Shin Hye tanpa sengaja memandang ke arah tetangga Kim Bum itu ketika ia bertanya soal sandal Hello Kitty. Dan Park Shin Hye langsung mengenali kilasan kaget dan sedih di mata itu. Hanya saja saat itu ia belum benar-benar paham. Tetapi kini sepertinya ia mulai mengerti.

Matanya menangkap amplop cokelat yang terselip di antara tumpukan buku di meja. Menurut firasatnya… Park Shin Hye meraih amplop itu dan melihat isinya. Ternyata isinya adalah hasil cetakan foto-foto yang ada di laptop tadi.

Kim Bum tidak boleh melihat foto-foto ini.

Pikiran itu tiba-tiba saja terlintas dalam benaknya. Park Shin Hye menelan ludah dan menatap foto di hadapannya tanpa berkedip. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang sedang dilakukannya. Ia tidak bisa menjelaskan kenapa ia melakukannya. Tanpa benar-benar berpikir panjang dan seolah-olah segalanya terjadi dalam mimpi, tangannya yang agak gemetar bergerak dan memasukkan amplop berisi foto itu ke tas tangannya yang berukuran besar. Setelah itu tangannya berpindah ke laptop tadi dan menghapus semua foto di folder itu.

Begitu foto-foto itu hilang dari pandangan, hati Park Shin Hye langsung dicengkeram perasaan bersalah. Astaga, apa yang sudah dilakukannya?

“Kurasa aku akan tinggal di sini.”

Suara Kim Bum membuat Park Shin Hye terlompat kaget. Ia cepat-cepat berdiri dan melihat Kim Bum ternyata sudah tidak berbicara di ponsel lagi. Sambil memaksakan seulas senyum, Park Shin Hye berdeham dan bertanya, “Ya?”

Kim Bum berjalan ke arah Park Shin Hye dan duduk di depan laptop-nya. “Aku akan tinggal di sini,” ulangnya.

Alis Park Shin Hye terangkat. “Oh? Kenapa?”

Kim Bum mendongak menatap Park Shin Hye. “Semua barangku ada di sini. Aku hanya punya sedikit barang di apartemen Cyanblue. Lagi pula,” katanya sambil memandang berkeliling, “aku merasa betah di sini.”

Park Shin Hye tidak berkata apa-apa. Perasaannya masih tidak enak. Kedua tangannya masih terasa dingin dan gemetar.

Kim Bum menoleh ke arahnya dan tersenyum, “Awalnya kukira di apartemen ini hanya ada tempat tidur. Ternyata Juga ada mesin pemanas air.”

“Ya... Kelihatannya begitu,” gumam Park Shin Hye.

“Ditambah lagi,” Kim Bum melanjutkan dengan perlahan, “orang-orang yang tinggal di gedung ini mungkin bisa membantuku mengingat sesuatu.”

Kening Park Shin Hye berkerut. “Tapi kaubilang kau tidak akan memaksakan diri untuk mengingat. Bukankah kepalamu bisa sakit?”

“Aku tidak akan memaksakan diri,” sahut Kim Bum.

“Bukankah kaubilang kalau tidak bisa mengingat juga tidak apa-apa?” desak Park Shin Hye lagi. “Kaubilang tidak mungkin ada kejadian penting dalam sebulan itu.”

Kim Bum menatapnya dengan bingung. Park Shin Hye sendiri juga bingung dengan perasaannya saat itu. Kenapa ia bersikap seperti itu?

“Aku memang pernah berkata begitu,” aku Kim Bum. Ia berhenti sejenak, lalu berkata dengan hati-hati, “Tapi terus terang saja, aku selalu merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa itu.”

Park Shin Hye menatap Kim Bum yang kebingungan. Mungkinkah sesuatu yang hilang itu...

Tidak, ia tidak ingin memikirkannya. Tidak ingin menebak-nebak dan memusingkan masalah itu. Ia tersenyum lebar dan berkata, “Aku kecewa kau merasa seperti itu.”

Kim Bum mengangkat wajah dan menatap Park Shin Hye. “Apa?”

“Kau merasa kehilangan, padahal aku ada di sini bersamamu. Apakah itu tidak cukup?” gurau Park Shin Hye.

“Maksudku bukan begitu,” sahut Kim Bum. Ia balas tersenyum. “Aku sangat senang kau menemaniku pada saat-saat seperti ini. Kau tahu benar aku sangat menghargaimu.”

Park Shin Hye mengangguk-angguk pelan, lalu bergumam, “Ya, aku tahu.” Ia hanya berharap ia belum terlambat menyadarinya. Setelah terdiam sejenak, Park Shin Hye mengangkat wajah dengan ragu. “Prince Smile...”

“Ya?”

“Kau tidak mau tahu kenapa aku tidak jadi menikah dengan Lee Hong Ki?”

Hening sejenak. Kim Bum menatap Park Shin Hye yang berjalan ke pintu kaca balkon. “Kurasa kau akan menceritakannya padaku kalau kau memang sudah siap,” sahut Kim Bum.

Park Shin Hye berbalik menghadap Kim Bum. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya.

“Selama ini aku selalu merasa dialah orang yang bisa membuatku bahagia,” Park Shin Hye memulai dengan pelan, “tapi aku salah.”

Kim Bum tidak berkata apa-apa. Ia bisa melihat bahwa Park Shin Hye terlihat gugup, tetapi ia memutuskan untuk membiarkan wanita itu mengatakan semua yang ingin dikatakannya dan ia akan mendengarkan.

“Orang yang selalu bisa membuatku bahagia bukan Lee Hong Ki,” Park Shin Hye melanjutkan. “Tapi Kim Bum.”

Kim Bum sama sekali tidak menduga akan mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Park Shin Hye. Sudah lama sekali ia berharap bisa mendengarnya. Dan kini setelah harapannya menjadi kenyataan, ia bahkan tidak bisa bereaksi saking kagetnya. Ia hanya bisa diam, tercengang, dan menatap Park Shin Hye lurus-lurus, seakan ia takut wanita itu akan mulai tertawa dan berkata ia hanya bercanda.

“Aku baru sadar setelah kau pergi,” Park Shin Hye melanjutkan. Kedua tangannya saling meremas walaupun ia tetap menatap mata Kim Bum. “Setelah kau meninggalkan New York, aku merasa semuanya berbeda. Segalanya tidak sama kalau kau tidak ada. Dan aku baru sadar aku... aku...,” Park Shin Hye menarik napas dalam-dalam, “... membutuhkanmu.”

Kim Bum masih belum bisa menemukan suaranya. Ia masih butuh waktu untuk mencerna kenyataan bahwa Park Shin Hye membutuhkannya. Park Shin Hye sendiri yang mengatakannya.

Wanita yang selama ini menjadi bagian terpenting dalam hidupnya berkata bahwa ia membutuhkan Kim Bum.

Park Shin Hye membasahi bibir dan tertawa gugup. “Prince Smile, jangan duduk diam saja seperti itu. Katakan padaku... apakah aku sudah terlambat? Sudah terlambat menyadarinya?”

* * *

Ia memang tidak membunyikan bel, tapi ia sudah mengetuk. Dua kali, malah. Sungguh, ia tidak bermaksud mengintip atau pun menguping. Karena Kim Bum tidak menyahut, Kim So Eun pun membuka pintu dan langsung mendengar suara Park Shin Hye. “Orang yang selalu bisa membuatku bahagia bukan Lee Hong Ki, tapi Kim Bum.”

Kalimat itu membuat Kim So Eun membeku dan kata-kata sapaan yang sudah akan meluncur dari lidahnya tercekat. Ia mengangkat wajah. Dari celah pintu yang terbuka, Kim So Eun melihat Park Shin Hye berdiri di dekat pintu kaca beranda, sedang menatap Kim Bum yang duduk di sofa.

Suara Park Shin Hye terdengar lagi. “Aku baru sadar setelah kau pergi. Setelah kau meninggalkan New York, aku merasa semuanya berbeda. Segalanya tidak sama kalau kau tidak ada. Dan aku baru sadar aku... aku...” Jeda sesaat, lalu, “... membutuhkanmu.”

Kim So Eun tidak bisa bergerak. Matanya beralih ke Kim Bum yang masih tetap diam.

“Prince Smile, jangan duduk diam saja seperti itu. Katakan padaku... apakah aku sudah terlambat? Sudah terlambat menyadarinya?” Suara Park Shin Hye yang gugup terdengar lagi.

Tiba-tiba Kim So Eun mendapati dirinya bertanya-tanya apakah ia ingin mendengar jawaban Kim Bum. Ya... Tidak... Ya... Tidak... Tetapi sebelum ia menetapkan pendirian, ia melihat Kim Bum bangkit dari sofa dan berjalan pelan ke arah Park Shin Hye. Ia meraih tangan Park Shin Hye dan menariknya ke dalam pelukan.

Napas Kim So Eun tertahan di tenggorokan. Matanya terpaku pada Kim Bum yang memeluk Park Shin Hye erat-erat dan membelai kepalanya. Itu bukan pelukan sambil lalu. Bukan juga pelukan bersahabat. Itu pelukan dalam arti sebenarnya. Pelukan yang diberikan kepada orang yang dicintai. Saat itu juga Kim So Eun mendadak merasa lemas, seakan seluruh tenaganya terserap keluar. Yang tersisa hanya rasa nyeri di dadanya.

“Mereka...?”

Kim So Eun tersentak dan menoleh. Ternyata Yoon Eun Hye sudah berdiri di belakangnya entah sejak kapan dan keningnya berkerut menatap Kim Bum dan Park Shin Hye yang berpelukan.

Kim So Eun buru-buru menutup pintu dengan perlahan dan berbalik menghadap Yoon Eun Hye.

Yoon Eun Hye menatapnya. “Kim So Eun, kau tidak apa-apa?” tanyanya hati-hati.

Kim So Eun memaksakan seulas senyum di wajahnya yang kaku. “Ya, memangnya kenapa, Eonni?” katanya cepat.

“Itu... Kim Bum...”

“Oh, itu.” Kim So Eun tertawa sumbang dan gugup. “Tadi aku ingin bertanya apakah mereka membutuhkan sesuatu. Tapi ternyata mereka sedang... eh, sibuk.” Kim So Eun membasahi bibirnya. “Sebaiknya kita tidak mengganggu mereka.”

Kim So Eun berjalan dengan cepat ke apartemennya, diikuti Yoon Eun Hye.

“Kim So Eun, kau masih belum sadar atau tidak mau mengaku?” tanya Yoon Eun Hye setelah mereka masuk ke apartemen.

“Apa maksud Eonni?”

“Tentang perasaanmu pada Kim Bum.”

Kim So Eun membuka mulut, tapi langsung menutupnya lagi. Perasaannya?

Perasaannya...

“Eonni,” sahut Kim So Eun setelah terdiam sejenak. “Sebentar lagi Jung Yong Hwa akan datang menjemputku. Aku harus bersiap-siap.”

Yoon Eun Hye menatapnya selama beberapa detik, lalu mengangguk.

Setelah Yoon Eun Hye keluar dan menutup pintu, Kim So Eun baru menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan. Kau masih belum sadar atau tidak mau mengaku?

Pertanyaan Yoon Eun Hye itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Kim So Eun sendiri tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. Ia tidak mau memikirkannya. Bagaimanapun juga, setelah melihat adegan tadi, jawaban atas pertanyaan Yoon Eun Hye sudah tidak penting sama sekali.

* * *

Setelah mengantar Park Shin Hye pulang dan mengambil sedikit barangnya dari apartemen Cyanblue, Kim Bum kembali ke apartemen lamanya. Gedung ini memang sudah tua, tapi orang memang tidak boleh menilai sesuatu dari penampilan luarnya saja. Kim Bum menyukai tempat itu dan suasananya yang sepi.

Ia ingin menyapa tetangganya dan mengabarkan bahwa ia akan kembali tinggal di sini, tetapi Kim So Eun tidak ada di apartemennya. Kim Bum sudah membunyikan bel dan mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Berarti tetangganya itu tidak ada di rumah.

“Kim Bum Hyung?”

Kim Bum melongok ke bawah melewati tangga dan melihat Lee Ki Kwang sedang mendongak ke arahnya. “Oh, Lee Ki Kwang.”

“Sedang mencari Kim So Eun Noona?” tanya Lee Ki Kwang.

“Ya,” sahut Kim Bum. “Tapi sepertinya dia sedang keluar.”

“Memang. Katanya dia ada janji dengan dokter itu.”

Kening Kim Bum berkerut. “Dokter apa? Apakah Kim So Eun-san sedang sakit?”

Lee Ki Kwang mengibaskan tangan. “Tidak, Kim So Eun Noona tidak sakit,” katanya cepat.

“Dokter itu bisa dibilang pacar Kim So Eun Noona. Tunggu, siapa namanya? Ah! Jung Yong Hwa. Oh ya, bukankah Hyung juga mengenalnya?”

Jung Yong Hwa? Pacar Kim So Eun? Kerutan di kening Kim Bum semakin dalam. Benar juga, waktu itu mereka menghadiri acara reuni bersama. Apakah Kim So Eun memang pacar Jung Yong Hwa? Sebenarnya masalah Kim So Eun itu pacar Jung Yong Hwa atau bukan sama sekali bukan urusan Kim Bum. Mereka berdua boleh-boleh saja pacaran, tidak ada yang melarang.

Tetapi kenapa Kim Bum merasa tidak menyukai kenyataan itu?

Bersambung…

Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6
Chapter 5
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

4 komentar:

  1. first ya! hohoho akhiirx
    eonni daebak bru beberapa jam yang llu,
    uudah update lagi.
    critax makin seru n menegangkan ^^
    tdi pertamax kimbum cemburu ma jong hwa,
    sekarang ganti so eun cemburu ma shin hye
    aku nggak sabar baca kelanjutanx ^^

    annisa hourai

    BalasHapus
  2. hahasikk.. udh d post sampe 15.
    aku blm smpat baca nih,, aku baca dlu ya kak. ^^


    _febi_

    BalasHapus
  3. oke, kak, aku tunggu klanjutan crazy love.. ^^

    _febi_

    BalasHapus
  4. Eonni.... Kelanjutannx dunk
    aku penasaraaaan...please lanjutin.... ya..yaaa *ngrayu*

    annisa hourai

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...