Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 20 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 6)



Sambil duduk bersandar di sofa, Kim Bum terpekur menatap layar laptop di hadapannya.

Ia sudah terlalu sering memandangi foto-foto yang muncul silih berganti memenuhi seluruh layar laptop itu. Foto-foto yang dipotret dengan tangan dan kameranya sendiri.

Foto-foto dengan objek yang sama. Foto-foto wanita itu.

Ia tahu seharusnya ia tidak boleh lagi membenamkan diri dalam kenangan tentang wanita di foto itu. Ia tahu ia tidak pantas, tetapi ia merasa belum sanggup menghapus bayangan wanita itu dari pikiran, ataupun menghapus foto-fotonya dari laptop. Sampai sekarang.

Lamunannya buyar ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Tangannya otomatis menurunkan layar laptop, lalu bangkit dan berjalan ke pintu.

“Anneyong Haseyo.”


Kim Bum mengerjapkan mata melihat Kim So Eun berdiri di hadapannya dengan senyum lebar tersungging di wajah.

“Oh, Anneyong.” Kim Bum minggir sedikit ketika gadis itu berjalan masuk ke apartemennya sambil menggigil. “Kau sudah pulang?” Biasanya Kim So Eun belum pulang pada jam-jam segini.

“Ya, aku diizinkan pulang cepat karena flu. Biarkan aku masuk dulu. Dingin sekali di koridor ini.” Kim So Eun melepaskan sepatunya dan berganti mengenakan sandal Hello Kitty yang tersedia di jajaran sepatu dan sandal di samping pintu. Tadi pagi sebelum berangkat kerja, Kim So Eun mampir lagi untuk menaruh sepasang sandal yang sudah lama tidak dipakainya di apartemen Kim Bum. Biar praktis saja, ia punya sandal ganti di apartemen tetangganya itu.

Kim Bum menyadari suara Kim So Eun yang sengau dan baru teringat gadis itu sedang flu.

Ia cepat-cepat menutup pintu dan mengikuti Kim So Eun ke ruang tengah. Ia juga menyadari langkah gadis itu agak timpang.

“Hari ini kita tidak jadi makan Okonomiyaki,” kata Kim So Eun sambil berputar ke arah Kim Bum. Tanpa menunggu jawaban ia melanjutkan, “Tadi aku bertemu So Yi Hyun Eonni di bawah. Ia masak Sup Tahu dan kita disuruh ikut makan bersama. Dan ngomong-ngomong, kau punya Soju? Persediaan soju Song Chang Ui Oppa sudah habis. Aku disuruh minta padamu, makanya langsung ke sini begitu pulang.”

Soju adalah minuman distilasi asal Korea. Sebagian besar merek soju diproduksi di Korea Selatan. Walaupun bahan baku soju tradisional adalah beras, sebagian besar produsen soju memakai bahan tambahan atau bahan pengganti beras seperti kentang, gandum, jelai, ubi jalar, atau tapioka (dangmil). Minuman ini bening tidak berwarna dengan kadar alkohol yang berbeda-beda, mulai dari 20% hingga 45% alkohol berdasarkan volume (ABV). Kadar alkohol yang paling umum untuk soju adalah 20% ABV.

Soju

“Punya,” sahut Kim Bum setelah mencoba mengingat-ingat. Tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan. “Kau sudah menuruti saranku dan pergi ke dokter?”

Kim So Eun mengangkat sebelah alis. “Sebelum aku menyebarkan virus ke mana-mana?” Ia tertawa kecil. “Tentu saja sudah. Ayo cepat cari Soju-nya dan kita turun. Aku sudah lapar.”

Kim Bum tertegun. Ia menatap gadis di depannya dengan bingung. Tiba-tiba saja ia menyadari sesuatu. Tiba-tiba saja ia tahu kenapa kini ia sanggup melepaskan kenangan masa lalu itu.

* * *

Kim So Eun menatap Kim Bum berjalan ke lemari dapur dan mulai mencari-cari Soju simpanannya. Ternyata tetangganya itu tidak memperhatikan kakinya yang diperban.

Ya, tentu saja Kim Bum tidak menyadarinya karena pergelangan kaki Kim So Eun sendiri tertutup celana panjang. Tapi memangnya Kim Bum tidak menyadari langkahnya agak timpang? Sebenarnya Kim So Eun ingin laki-laki itu bertanya, sehingga ia bisa menceritakan kejadian di rumah sakit tadi siang. Memikirkannya saja sudah membuat Kim So Eun tersenyum-senyum. Nah, siapa yang menyangka ia bisa bertemu kembali dengan cinta pertamanya setelah tiga belas tahun?

Laptop yang setengah tertutup di meja menarik perhatiannya. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya sambil menunggu Kim Bum, Kim So Eun iseng-iseng menegakkan layar laptop dan melihat apa yang sedang dikerjakan laki-laki itu sebelum ia membunyikan bel pintu.

Foto seorang wanita berambut panjang sebahu terpampang jelas di layar. Wanita yang tersenyum lebar ke arah kamera itu jelas orang Asia, tetapi di latar belakang foto itu terlihat patung Liberty.

Siapa wanita itu?

Sebelum Kim So Eun sempat berpikir lebih jauh, fotonya lenyap dari layar dan digantikan foto lain. Masih wanita yang sama, namun di lokasi yang berbeda. Kim So Eun mulai heran ketika melihat foto-foto selanjutnya juga menampilkan wanita yang sama.

Apakah wanita ini model?

Lalu foto berikutnya muncul dan Kim So Eun tertegun. Kali ini wanita itu tidak sendirian di dalam foto. Kim Bum juga ada di sana. Sepertinya foto itu diambil di restoran. Mereka berdua duduk berdampingan dan tersenyum. Hanya saja si wanita tersenyum ke arah kamera seperti foto-foto sebelumnya, sedangkan Kim Bum tersenyum memandang wanita itu. Dan itu bukan senyum biasa. Di dalam foto itu Kim Bum tersenyum seakan-akan...

“Aku menemukannya!”

Kim So Eun tersentak mendengar suara Kim Bum. Wajahnya terasa panas dan ia merasa seakan ia tertangkap basah mengintip rahasia orang lain. Perasaannya tidak enak.

“Hanya ada satu botol,” kata Kim Bum sambil berjalan mendekatinya. “Tidak apa-apa, bukan?”

“Tentu,” kata Kim So Eun tergagap. Ia melirik laptop di meja dengan pandangan bersalah.

Kim Bum mengikuti arah pandang Kim So Eun dan melihat layar laptop-nya sudah terangkat. Ia tersenyum. “Kau sudah melihatnya, ya?” tanyanya.

Kim So Eun mengangkat bahu serba salah. Sebaiknya ia tidak berpura-pura bodoh. “Siapa wanita itu?” tanyanya.

Kim Bum menghampiri laptop dan mematikannya. “Wanita yang pernah kusukai,” jawabnya.

“Oh.”

“Tapi dia lebih menyukai sahabatku.”

“Oh...?”

“Mereka akan menikah,” kata Kim Bum lagi.

Kim So Eun membuka mulut ingin menanyakan sesuatu, tapi tidak jadi. Ia tidak tahu apakah pertanyaan yang ingin ditanyakannya itu terlalu pribadi.

“Kau benar,” gumam Kim Bum tiba-tiba sambil tersenyum samar, seakan bisa membaca pikiran Kim So Eun. “Karena itulah aku datang ke Seoul. Konyol sekali, bukan?”

Kim So Eun menggeleng. “Entahlah.” Ia berhenti sejenak, lalu bertanya ragu, “Lalu bagaimana sekarang?”

Jeda sesaat sementara Kim Bum berpikir. “Semenjak aku datang ke Seoul, aku jarang memikirkannya. Dan akhir-akhir ini aku hampir tidak pernah memikirkannya.”

“Bukankah itu bagus.”

“Ya, kurasa itu bagus,” gumam Kim Bum dengan nada melamun.

Melihat laki-laki itu agak murung, Kim So Eun buru-buru mengalihkan pembicaraan.

“Baiklah. Ayo, kita turun sekarang. Mereka pasti sudah menunggu kita.”

Ketika Kim So Eun akan berjalan ke pintu, ia mendengar Kim Bum bertanya, “Kakimu kenapa?”

Akhirnya! Kim So Eun tersenyum dan berputar kembali menghadap Kim Bum, lalu menunduk dan menarik ujung celana panjangnya ke atas, memperlihatkan pergelangan kaki kirinya yang diperban.

“Terkilir sewaktu di rumah sakit,” sahutnya dengan nada gembira. “Tidak parah.”

Kim Bum mengamati kaki Kim So Eun yang diperban. Kali ini keningnya berkerut. “Tidak sakit?”

“Tentu saja sakit.”

“Bagaimana kakimu bisa terkilir?” tanya Kim Bum. Matanya kembali ke wajah Kim So Eun.

Aku menabrak seseorang di rumah sakit,” jawab Kim So Eun cepat dan penuh semangat.

“Hei, kau mau tahu siapa yang kutabrak?”

“Siapa?”

“Cinta pertamaku.”

“Oh?” Hanya itu reaksi Kim Bum, tapi Kim So Eun tidak peduli. Ia sedang bersemangat dan ingin bercerita.

“Dia sudah banyak berubah... Ya, itu memang sudah pasti. Lagi pula aku sendiri sudah lupa wajahnya tiga belas tahun yang lalu itu. Aku hanya ingat dia memakai topi putih.” Kim So Eun terdiam sejenak, seperti sedang melamun. “Aku tidak akan mengenalinya kalau perawat itu tidak memanggil namanya.”

Kim Bum membuka pintu dan Kim So Eun mengikutinya keluar. “Kau yakin memang dia orangnya?” tanya Kim Bum sambil menutup pintu.

“Ya, sudah kutanyakan langsung padanya.”

“Dia juga masih ingat padamu?”

Kim So Eun tertawa pelan. “Tidak, dia tidak ingat. Kami dulu memang bukan teman sepermainan dan dia memang tidak mengenalku. Aku tahu tentang dia karena dulu dia pernah membantuku dan aku terpesona. Dia sangat ramah.”

Kim Bum tidak berkomentar.

“Lihat.” Kim So Eun mengayunkan kaki kirinya ke depan. “Dia juga yang membalut kakiku. Dia dokter! Keren, kan?”

Kim Bum menatap kaki kiri yang diacungkan itu, lalu beralih menatap tangga di depannya. Setelah berpikir sejenak, ia menyerahkan botol Soju kepada Kim So Eun, lalu berjalan ke tangga dan duduk di anak tangga teratas, memunggungi Kim So Eun.

“Apa?” tanya Kim So Eun tidak mengerti.

Kim Bum menoleh dan menepuk punggungnya sendiri. “Ayo, biar kugendong sampai ke bawah. Kau pasti susah naik-turun tangga dengan kaki seperti itu.”

Kim So Eun ragu-ragu. Alisnya terangkat. “Kau yakin?”

“Tentu.”

“Aku lumayan berat.”

“Kelihatannya memang begitu.”

Kim So Eun berkacak pinggang. “Aishh, apa maksudmu sebenarnya?”

“Oh, ayolah. Aku hanya bercanda,” sela Kim Bum sambil tertawa kecil. “Aku mulai kedinginan, jadi tolong cepat.”

Kim So Eun menarik napas. “Sebaiknya kau tidak menyesal,” gumamnya sambil berdoa dalam hati semoga laki-laki itu tidak ambruk karena berat badannya. Setelah memantapkan hati, Kim So Eun merangkulkan kedua lengannya di leher Kim Bum dan membiarkan laki-laki itu menggendongnya.

“Wah, ternyata kau...”

Kim So Eun memukul bahunya. “Sudah kubilang!”

Kim Bum tertawa dan berdiri tanpa kesulitan. “Aku hanya ingin bilang ternyata kau tidak seberat yang kuduga.”

“Tidak seberat yang kauduga?” tanya Kim So Eun sambil mengerutkan kening. “Jadi maksudmu aku terlihat gemuk?” Suaranya agak melengking.

Kim Bum menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dan menuruni anak tangga dengan hati-hati.

“Apa katamu?” tanya Kim So Eun sambil bergerak-gerak ingin melihat wajah Kim Bum.

Kim Bum memperbaiki posisi Kim So Eun di punggungnya sambil mendesah, “Kau sadar aku sedang menggendongmu turun tangga? Kalau kau tidak mau kita jatuh terguling sepanjang jalan, sebaiknya kau tidak bergerak-gerak.”

“Tadi kaubilang aku tidak berat,” protes Kim So Eun.

“Kau memang tidak berat. Setidaknya tidak seberat yang kuduga.”

Kim So Eun kembali mengernyitkan kening tidak mengerti. “Lalu kenapa kaubilang kita bisa jatuh terguling kalau aku memang tidak berat?”

“Karena kalau kau bergerak-gerak, aku bisa kehilangan keseimbangan. Itu masalahnya,” sahut Kim Bum dengan nada seperti sedang menjelaskan kepada anak kecil berumur lima tahun kenapa manusia tidak bisa terbang seperti burung.

“Tidak mungkin,” balas Kim So Eun, masih tidak puas. “Kalau aku memang seringan bulu, meskipun sekarang aku berjumpalitan, kau tidak mungkin jatuh.”

Kim Bum tertawa. “Siapa bilang kau seringan bulu?”

Kim So Eun mengguncang-guncang bahu Kim Bum. “Jadi menurutmu aku gemuk?” pekiknya. “Ayo, bicara yang jelas!”

Tawa Kim Bum semakin keras. “Aduh, kau mencekikku.”

Kim So Eun tidak bisa menahan diri untuk ikut tertawa, tapi ia tetap merangkul leher Kim Bum erat-erat dan mengancam, “Jadilah pria sejati dan bicara yang jelas. Aku gemuk atau tidak?”

Dan pembicaraan tentang cinta pertama Kim So Eun pun untuk sementara terlupakan.

* * *

Kim Bum tidak bermaksud memulai perdebatan tentang berat badan. Sebenarnya topik itu juga bukan topik yang suka dibicarakannya. Terlebih lagi dengan wanita. Tetapi lebih baik berdebat tidak jelas tentang berat badan daripada mendengarkan gadis itu bercerita tentang cinta pertama yang baru dijumpainya setelah bertahun-tahun.

“Ngomong-ngomong, foto yang kau kirimkan padaku itu foto apa?” tanya Kim So Eun.

Kim Bum tersenyum kecil mengingat foto yang dikirimkan ke ponsel Kim So Eun tadi siang.

“Kau tidak tahu?” ia balas bertanya. “Belum tahu?”

“Sepertinya foto langit malam dan bintang,” jawab Kim So Eun ragu-ragu.

“Kau akan tahu saat kau akan tidur nanti. Tapi kau harus memadamkan lampu. Kau bahkan tidak boleh menyalakan lampu kecil di samping tempat tidurmu itu.”

“Kenapa?”

“Karena sesuatu yang indah akan terlihat saat gelap,” sahut Kim Bum penuh teka-teki.

“Aku masih tidak mengerti,” gerutu Kim So Eun.

Kim Bum tertawa dan mengalihkan pembicaraan. “Semua lampu di apartemenmu sudah bisa menyala, bukan?”

“Sudah,” sahut Kim So Eun lega.

“Berarti kau tidak akan bermalam di tempatku lagi hari ini?” tanya Kim Bum ketika mereka tiba di depan pintu apartemen Song Chang Ui dan So Yi Hyun.

“Bermalam...?” Kim So Eun terdengar kaget. “Apa maksudmu? Kau membuatnya terdengar seperti...” Lalu gadis itu mulai mengomel dalam bahasa ibunya sambil mengguncang-guncang bahu Kim Bum sekali lagi.

“Aduh, tunggu...,” kata Kim Bum susah payah di sela-sela tawanya.

Tepat pada saat itu pintu apartemen 101 terbuka dan Yoon Eun Hye berdiri di sana sambil memandangi mereka dengan mata lebar dan alis terangkat heran.

“Turunkan aku,” gumam Kim So Eun kaku dan buru-buru turun dari gendongan.

Kim Bum menurutinya, walaupun ia tidak mengerti kenapa sikap Kim So Eun tiba-tiba berubah.

“Eonni, aku sudah membawa Kim Bum dan juga Soju-nya,” kata Kim So Eun riang begitu kakinya kembali menginjak lantai. Ia bergegas menghampiri Yoon Eun Hye sambil menyodorkan botol Soju Kim Bum.

“Oh ya, bagus,” kata Yoon Eun Hye sambil memandang Kim Bum dengan senyum lebar penuh arti. “Ayo, masuk, Kim Bum. Semua sudah berkumpul dan sedang mengobrol di dalam. Mungkin kau bisa menyumbang obrolan menarik?”

* * *

“Siapa yang kaupilih?”

Kim So Eun sedang membantu So Yi Hyun di dapur ketika Yoon Eun Hye menghampirinya dan berbisik dengan nada mendesak. Kim So Eun menoleh dan melihat mata tetangganya berkilat-kilat penasaran.

“Apa maksud Eonni?” gerutu Kim So Eun salah tingkah, lalu kembali berkonsentrasi pada tugasnya memotong sayur.

“Kau sangat mengerti maksudku,” sela Yoon Eun Hye tanpa ampun, masih dengan suara berbisik mengingat So Yi Hyun sedang mencuci sayur tidak jauh dari mereka.

Yoon Eun Hye menyikut Kim So Eun. “Tadi saat menelepon, kau bercerita panjang-lebar padaku tentang cinta pertamamu yang sudah jadi dokter itu. Kau begitu gembira dan tersenyum begitu lebar sampai kukira mulutmu akan robek. Lalu tiba-tiba kau tertangkap basah sedang gendong-gendongan dengan Kim Bum.”

Mata Kim So Eun melebar kaget. “Gendong-gen...?” Teringat So Yi Hyun ada di dekat mereka, ia merendahkan suara. “Eonni!”

Yoon Eun Hye menatapnya dengan mata disipitkan. “Kau suka yang mana?”

Kim So Eun membuka mulut ingin membela diri, tapi tidak jadi. Tidak ada gunanya mengikuti permainan Yoon Eun Hye. Jadi ia hanya mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Tapi menurutku Kim So Eun dan Kim Bum cocok sekali.”

Kim So Eun dan Yoon Eun Hye serentak menoleh ke arah suara bernada kecil dan ramah itu.

So Yi Hyun memandang mereka berdua sambil tersenyum cerah. Matanya berkilat-kilat senang. “Bukankah begitu?”

“Tapi,” Kim So Eun mencoba menyela, “kami sungguh tidak ada hubungan apa-apa.”

“Ada hubungan juga tidak apa-apa,” timpal Yoon Eun Hye cepat.

“Benar sekali,” dukung So Yi Hyun. “Senang sekali melihat kalian berdua bersama.”

Kim So Eun mengerjap-ngerjapkan mata. “Tapi... tidak, maksudku...” Kenapa dua orang itu tiba-tiba berkomplot melawannya?

“Tentu saja kau tetap harus memilih salah satu,” tambah Yoon Eun Hye, mengingatkan Kim So Eun pada topik awal.

“Menurutku Kim Bum itu pria yang baik,” kata So Yi Hyun ringan sambil mengangkat bahu.

Kim So Eun menghembuskan napas dan menggeleng-geleng lagi. “Tapi aku tidak punya perasaan apa pun padanya. Aku tidak... menyukainya.”

“Siapa? Kim Bum?”

Sebelum Kim So Eun sempat menjawab pertanyaan Yoon Eun Hye itu, terdengar suara So Yi Hyun menyela, “Jangan berkata begitu kalau kau sendiri tidak yakin, Kim So Eun.”

Kim So Eun tertegun. Nah, apa maksudnya?

So Yi Hyun memandangnya dengan ramah dan senyum yang seakan menyatakan ia tahu lebih banyak daripada Kim So Eun sendiri. “Kita tidak mau mengatakan sesuatu yang nantinya akan kita sesali, bukan?”

Untungnya Kim So Eun tidak perlu menjawab karena tepat pada saat itu lagu Love Love Love-nya FT Island terdengar.

* * *

Sementara para wanita sibuk di dapur, para pria duduk mengobrol di ruang duduk.

Song Chang Ui sedang bercerita tentang masa mudanya dulu ketika ia masih bekerja sebagai petugas keamanan di sekolah menengah, salah satu topik yang paling disenanginya. Kim Bum berpikir tidak mungkin semua kejadian yang diceritakan Song Chang Ui itu benar. Mungkin ada beberapa bagian yang dilebih-lebihkan. Tetapi baik ia maupun Lee Ki Kwang tidak keberatan karena Song Chang Ui pintar bercerita dan selalu berhasil membuat mereka semua terhibur.

“Hari Natal selalu membuat anak-anak senang. Anak-anak perempuan sibuk merajut syal atau topi untuk anak-anak laki-laki yang mereka sukai. Bahkan dulu ada satu anak perempuan yang merajutkan syal hangat untukku,” kenang Song Chang Ui.

“Mungkin sebenarnya syal itu dirajutnya untuk anak laki-laki yang disukainya, tapi ternyata anak laki-laki itu menolak hadiahnya. Akhirnya karena tidak tega membuang syal itu, anak perempuan itu memberikannya kepada Song Chang Ui Hyung,” gurau Lee Ki Kwang.

Kim Bum tertawa.

“Kalian ini,” gerutu Song Chang Ui sambil mendecakkan lidah, lalu ia ikut tertawa kecil dan bertanya, “Lalu apakah kalian punya rencana istimewa pada Hari Natal tahun ini?”

Lee Ki Kwang mengangkat bahu. “Kalau aku tidak ada yang benar-benar istimewa. Paling-paling hanya berkumpul dengan beberapa temanku.”

“Tidak ada kencan istimewa?” Song Chang Ui terkekeh. “Tidak ada gadis yang cukup cantik untuk menarik perhatianmu di kampus?”

Lee Ki Kwang mendesah dan menggeleng kecewa.

“Bagaimana denganmu?” Song Chang Ui beralih ke Kim Bum. “Ada kencan istimewa?”

Kim Bum mengangkat wajah. “Aku? Hmm, aku belum tahu.”

“Belum tahu?” tanya Lee Ki Kwang. “Kenapa?”

“Aku belum mengajaknya.” Kim Bum berhenti sejenak, lalu meralat, “Sebenarnya sudah, hanya saja tidak secara langsung. Dia juga tidak menanggapi dengan serius.”

“Kau seharusnya bertanya langsung, Hyung.” kata Lee Ki Kwang memberi saran. “Zaman sekarang ini semuanya harus serba langsung. To the point. Benar tidak, Song Chang Ui Hyung? Kau harus bergerak cepat sebelum direbut orang lain. Lagi pula wanita juga tidak berbasa-basi kalau mau menolak kita.”

“Jadi kau pernah ditolak mentah-mentah?” tanya Song Chang Ui.

Sementara Lee Ki Kwang menceritakan salah satu kisah cintanya, Kim Bum berpaling ke arah dapur. Ia melihat Kim So Eun sedang memotong-motong sayur sambil mengobrol dengan Yoon Eun Hye dan So Yi Hyun. Bertanya langsung, ya? Bergerak cepat sebelum direbut orang lain. Hmm...

Kim Bum masih tetap mengamati Kim So Eun ketika gadis itu tiba-tiba merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel yang berbunyi nyaring. Lalu gadis itu sedikit terkesiap dan menjauh dari Yoon Eun Hye dan So Yi Hyun. Kim Bum tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Kim So Eun, tapi ia berhasil menangkap satu patah kata ketika Kim So Eun menjawab telepon. Dokter.

Kemudian pandangan Kim Bum terhalang ketika Yoon Eun Hye menghampiri meja sambil membawa piring dan sayuran.

“Sayuran sudah siap. Kita bisa mulai makan,” kata So Yi Hyun yang menyusul dari belakang.

“Di mana Kim So Eun?” tanya Song Chang Ui.

“Oh, dia sedang menerima telepon di dapur,” kata Yoon Eun Hye sambil tersenyum lebar.

“Telepon dari si dokter cinta.”

“Dari siapa?” Kim Bum bahkan tidak menyadari ia mengucapkan kata-kata itu dengan lantang dan jelas.

“Si dokter cinta,” Yoon Eun Hye mengulangi. “Cinta pertamanya yang sekarang sudah menjadi dokter. Sepertinya si dokter berencana mengajaknya kencan. Menyenangkan sekali.”

Kim Bum menoleh kembali ke dapur. Ia teringat kata-kata Lee Ki Kwang tadi. Hyung, kau harus bergerak cepat sebelum direbut orang lain.

* * *

“Terima kasih banyak,” kata Kim So Eun riang sambil menepuk-nepuk pundak Kim Bum ketika laki-laki itu menurunkannya di depan pintu apartemennya.

Kim Bum menegakkan tubuh dan mendesah. “Kau bertambah berat setelah makan.”

Kim So Eun tersenyum lebar. “Itu wajar, bukan? Lagi pula aku memang makan banyak tadi.”

Kim Bum mengangkat alis. “Aneh sekali. Kau tidak uring-uringan walaupun kubilang bertambah berat.” Ia menatap Kim So Eun sejenak. “Sepertinya kau sedang gembira.”

“Aku memang gembira.”

“Karena mendapat telepon dari si dokter cinta?”

“Dokter apa?” Kim So Eun memandangnya tidak mengerti.

“Cinta pertamamu itu.”

Kim So Eun mengangkat bahu, kembali tersenyum. “Ya, itu salah satu alasannya.” Ia menunduk menatap kaki kirinya, lalu kembali menatap Kim Bum sambil tersenyum. “Ia menanyakan keadaan kakiku.”

Kim Bum diam sejenak, seakan sedang berpikir. “Cepatlah masuk,” katanya tiba-tiba. “Nanti flumu bertambah parah.”

Agak heran, Kim So Eun mengiyakan dan membuka pintu.

“Kim So Eun?”

Kepala Kim So Eun berputar. “Apa?”

Dengan tangan memegang pegangan pintu apartemennya sendiri, Kim Bum menoleh menatap Kim So Eun. “Jangan lupa matikan semua lampu saat kau tidur nanti.”

Kening Kim So Eun berkerut samar. “Kau tahu aku tidak suka gelap.”

Kim Bum mengangkat bahu. “Coba saja dan kau akan lihat nanti.”

“Lihat apa?”

“Kalau kau tidak mencoba kau tidak akan tahu, bukan?” kata Kim Bum sambil tersenyum, lalu masuk ke apartemennya, meninggalkan Kim So Eun yang kebingungan sendiri.

Tiba-tiba lagu Love Love Love - FT Island terdengar dan membuat Kim So Eun tersentak. Ia menggigil, lalu bergegas masuk ke apartemennya sendiri sebelum mengeluarkan ponsel.

“Hallo?”

“Kim So Eun?”

Mendengar suara ibunya di ujung sana, Kim So Eun secara otomatis langsung berbicara dalam bahasa Jepang. “Halo, Bu!” Ia mengenakan sandal rumah dan menghempaskan diri ke sofa empuk, bersiap-siap mengobrol panjang-lebar dengan ibunya.

Dua jam kemudian, ketika ia keluar dari kamar mandi setelah mencuci muka, bersiap-siap tidur, Kim So Eun baru teringat kata-kata Kim Bum tadi.

“Matikan lampu?” gumamnya pada diri sendiri sambil berdiri di kamar tidurnya.

Kim So Eun berpikir sejenak, lalu mengangkat bahu. “Tidak ada salahnya dicoba.”

Ia berjalan ke sakelar lampu. Sebelah tangannya memegang dinding supaya ia tidak merasa tersesat dan tangan yang satu lagi menggapai sakelar lampu. Dengan sekali jentikan, lampu kamar tidurnya pun padam.

Seketika itu juga Kim So Eun mengerjap-ngerjapkan mata dan terkesiap. Langit-langit kamar tidurnya bertabur bintang! Bintang-bintang besar dan kecil memancarkan nyala kuning kehijauan yang samar.

“Astaga,” gumamnya pelan. Perlahan-lahan tangannya terlepas dari dinding dan ia melangkah ke tengah-tengah kamar, masih tetap mendongak menatap langit-langit kamar tidurnya dengan takjub. “Bagaimana...? Astaga,” gumamnya sekali lagi.

Kemudian ia menyadari foto yang dikirimkan Kim Bum ke ponselnya adalah foto langit-langit kamarnya. Ternyata sementara mengawasi tukang listrik memperbaiki kabel, Kim Bum melukis langit-langit kamar tidurnya menjadi langit bertabur bintang dengan cat khusus yang bisa menyala dalam gelap. Siapa yang menyangka laki-laki itu juga pandai melukis?

Kim So Eun teringat tulisan yang tertera di bawah foto yang dikirimkan Kim Bum tadi siang: Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang hanya bisa dilihat sewaktu gelap?

Kim So Eun masih tercengang. Kemudian ia meraih ponsel dan menekan beberapa tombol. Setelah menunggu sesaat, hubungan tersambung. “Kim Bum?” Ia mendongak menatap bintang-bintang yang menghiasi langit-langit kamarnya. “Kau apakan langit-langit kamarku?” Ia berhenti sejenak, lalu tersenyum. “Indah sekali. Terima kasih.”

Bersambung…

Chapter 5
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

2 komentar:

  1. annyeonggg... aku Febi kmbali lg k blog kakak. *LOL gaje.

    kyak,a bumppa udh ada benih-benih cnta nih.. ayo eunni cpatlah sadar, cpat jatuh cinta pd bumppa mksd.a . hahaha.
    ayo thor cpat bwt part slanjut.a. aku alwayss menunggu.I like FF bumsso. ^^

    BalasHapus
  2. lanjutan komenanku yg diatas. haha

    kakak FF.a romantis". aku suka, serasa baca novel, beneran deh kak bgus bgt... ayo kak yang semangat. cayoooo. hahaha



    _febi_

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...