Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 13 Agustus 2011
Spring Love (Chapter 19)
“Kim So Eun, bagaimana menurutmu?”
Kim So Eun tersentak dari lamunannya dan mengangkat wajah. “Hm?”
Kim Heechul mengangkat alis dan menyesap Teh Hijau-nya. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya sekali lagi.
“Tentang apa?”
“Oh, bagus. Dia tidak mendengarkan kita dari tadi,” kata Baek Suzy sambil memutar bola matanya. “Apa yang kau lamunkan pagi-pagi begini, Kim So Eun?”
Kim So Eun mengangkat bahu. “Tidak ada.”
“Dia selalu begini kalau sudah berhari-hari tidak bertemu dengan Kim Bum. Kau ingat sewaktu Kim Bum pergi ke Delstress Dragons? Dia juga seperti ini,” kata Kim Heechul pada Baek Suzy. “Ngomong-ngomong sudah beberapa hari ini Kim Bum tidak kelihatan. Ke mana dia?”
Kim So Eun menyesap Teh herbalnya dan memandang ke luar jendela dapur. Memang sudah beberapa hari ini ia tidak bertemu dengan Kim Bum. Tepatnya sejak Kim So Eun mengucapkan kata-kata terkutuk itu. Sampai sekarang Kim So Eun belum bisa melupakan ekspresi wajah Kim Bum saat itu, seolah-olah kata-kata Kim So Eun melumpuhkannya seketika. Dan sampai sekarang perasaan bersalah itu masih mengimpit dadanya, membuatnya tidak tenang, tidak bisa tidur, tidak bisa makan, dan nyaris tidak bisa bernapas.
Ia ingin menelepon Kim Bum untuk menjelaskan bahwa maksud kata-katanya waktu itu tidak seburuk yang terdengar, namun ia selalu mengurungkan niatnya di saat-saat terakhir. Ia takut Kim Bum masih marah padanya. Ia takut Kim Bum menolak berbicara dengannya. Tapi kalau dipikir-pikir, bukankah keadaan sekarang ini juga sudah seperti itu? Kata-katanya yang gegabah itu telah melukai perasaan Kim Bum dan sekarang laki-laki itu tidak pernah menghubunginya lagi. Ide itu membuat Kim So Eun semakin tertekan.
“Kim So Eun, kau tahu Kim Bum pergi ke mana?”
Kim So Eun tersentak lagi, tetapi ia terselamatkan dari keharusan menjawab pertanyaan Baek Suzy ketika bel pintu flat mereka berbunyi. Baek Suzy bangkit dari tempat duduknya dan pergi membuka pintu. Tidak lama kemudian ia masuk kembali ke dapur bersama Park Shin Hye.
“Hai, teman-teman. Aku tahu aku datang pada waktu yang tepat. Aku sudah mencium aroma telur dan roti gandum dari depan pintu. Asal kalian tahu, aku belum sempat sarapan dan sekarang perutku benar-benar keroncongan,” kata Park Shin Hye riang, benar-benar bertentangan dengan apa yang dirasakan Kim So Eun saat itu.
Kim Heechul mengibaskan tangan. “Duduk dan makanlah. Aku tidak pernah menolak memberikan makanan kepada gadis-gadis kurus yang mengeluh dirinya kelaparan.”
“Jadi apa yang sedang kalian bicarakan?” tanya Park Shin Hye sambil menuang secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
“Tentang Kim So Eun yang sering melamun dan Kim Bum yang tidak terlihat akhir-akhir ini,” sahut Kim Heechul ringan.
Park Shin Hye mengangguk-angguk dan menyesap kopinya. “Benar juga. Waktu itu dia berkata padaku ada sedikit pekerjaan di Wexford.”
“Jadi sekarang ini Kim Bum ada di Wexford? Pantas saja,” kata Baek Suzy, lalu menoleh ke arah Kim So Eun. “Kau tidak pernah bilang.”
Karena aku sendiri juga tidak tahu. Kim So Eun menggigit bibir dan menoleh menatap Park Shin Hye. Kim Bum pergi ke Wexford? Kenapa Park Shin Hye bisa tahu itu?
“Oh, ya, Kim So Eun, aku datang ke sini untuk meminta bantuanmu.” Suara Park Shin Hye menembus pikiran Kim So Eun yang kusut. “Ada satu artikel yang ingin kutampilkan di majalahku dan kupikir kau bisa...”
“Maaf, Park Shin Hye,” sela Kim So Eun cepat, nyaris tanpa berpikir. “Kurasa aku tidak bisa membantumu kali ini.”
Park Shin Hye terlihat agak kaget. “Oh,” gumamnya. “Kau sibuk sekali?”
“Ya.” Kim So Eun tersenyum sekilas, menghabiskan Teh-nya dan berdiri. “Malah sekarang aku harus pergi kalau tidak mau diomeli fotograferku karena datang terlambat.”
“Kau punya jadwal pemotretan hari ini? Bukankah tadi kau bilang...”
“Aku tahu jadwalku sendiri,” Kim So Eun memotong kata-kata Kim Heechul dengan ketus dan menatap temannya dengan mata disipitkan. “Dan aku sangat sibuk hari ini.”
Kim Heechul mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. “Oh, baiklah, Sayang. Simpan cakarmu.”
Setelah menggumamkan selamat tinggal yang tidak jelas, Kim So Eun meraih jaket dan tasnya dari kamar, lalu bergegas meninggalkan flatnya yang mulai terasa menyesakkan. Di luar, ia mendongak menatap langit yang tumben-tumbennya cerah. Bertentangan dengan suasana hatinya dan menarik napas dalam-dalam, namun usahanya itu tidak berhasil melenyapkan beban dalam dadanya. Juga tidak berhasil membuat suasana hatinya membaik.
Sebenarnya Kim So Eun tidak punya jadwal kerja pagi ini, namun ia terlalu resah untuk duduk di rumah tanpa melakukan apa-apa, terlebih lagi setelah Park Shin Hye datang dan berkata bahwa Kim Bum sedang berada di Wexford. Kim So Eun menghembuskan napas dengan keras. Ia harus menenangkan diri. Ia harus pergi ke tempat yang bisa membuatnya tenang. Mungkin ia bisa ke salon. Atau ke pusat perbelanjaan. Ya, berbelanja selalu berhasil membuatnya gembira.
Namun anehnya, ia akhirnya tidak jadi pergi ke salon atau ke Pusat Perbelanjaan. Tanpa benar-benar disadarinya, langkah kakinya membawanya kembali ke taman kecil yang pernah dikunjunginya bersama Kim Bum. Tempat ia dan Kim Bum pernah makan Sandwich Ikan dan Kentang Goreng paling enak di Paris. Tempat yang justru selalu mengingatkannya pada Kim Bum.
Benar-benar menyedihkan.
Taman itu sudah dipenuhi bunga, tepat seperti yang pernah dikatakan Kim Bum, namun Kim So Eun hampir tidak memerhatikan keadaan di sekelilingnya. Ia hanya menyusuri jalan setapak di samping kolam dengan kepala tertunduk dan memikirkan... memikirkan... Astaga, ada apa dengannya? Kim So Eun meringis dan memukul kepalanya sendiri. “Bodoh. Jangan terus memikirkan orang itu.”
Tetapi kalau ia memang tidak mau memikirkan orang itu, kalau ia memang tidak seharusnya memikirkan Kim Bum, kenapa di antara semua tempat yang bisa dikunjunginya di Paris ia justru datang ke sini? Ia benar-benar menyedihkan. Benar-benar...
Kim So Eun terkesiap keras ketika lengannya mendadak dicengkeram, disusul suara rendah dan datar yang berkata, “Kau mau terjun ke dalam kolam?”
Kim So Eun mengerjap dan baru menyadari bahwa ia sudah berjalan menjauh dari jalan setapak dan malah mengarah ke kolam. Apakah ia terlalu asyik melamun sampai tidak memerhatikan jalan di depannya? Lalu Kim So Eun tertegun. Tunggu...
Suara itu... Suara itu! Ia menoleh dengan cepat dan matanya langsung bersirobok dengan mata gelap Kim Bum yang menatapnya dengan muram.
* * *
Kim Bum menyandarkan punggung ke sandaran bangku taman dan mendongakkan wajahnya ke arah langit Paris yang cerah. Mengherankan sekali. Cuaca di Paris selalu bertentangan dengan suasana hatinya. Kim Bum menghembuskan napas dan menundukkan kepalanya kembali.
Sudah beberapa hari berlalu sejak ia terakhir kali bertemu dengan Kim So Eun. Ia juga tidak berusaha menemui gadis itu. Ia tahu Kim So Eun butuh waktu untuk menenangkan diri dan berpikir. Kim Bum juga begitu. Namun sampai sekarang ia tidak berhasil menyingkirkan perasaan bersalah dari dalam hatinya. Ia juga tidak berhasil mengusir bayangan Kim So Eun dari benaknya, terutama ketika Kim So Eun berkata bahwa ia selalu teringat pada orang yang telah menyakitinya setiap kali melihat Kim Bum.
Kenyataan itu membuat Kim Bum frustrasi. Ia pernah berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan melakukan apa pun demi melindungi dan menjauhkan Kim So Eun dari rasa sakit. Tetapi bagaimana kalau orang yang selalu membuat Kim So Eun menderita adalah Kim Bum sendiri? Apa yang bisa dilakukan Kim Bum kalau begitu?
Sebelum ia sempat menjawab pertanyaan itu, ponselnya berbunyi. Kim Bum menghembuskan napas dan mengeluarkan ponselnya yang terdengar memekakkan di tengah-tengah taman sunyi itu.
“Halo?”
“Kim Bum?” Suara Yoon Eun Hye terdengar agak resah di ujung sana. “Kau sedang di mana? Sibuk?”
“Oh, Noona. Tidak, aku sedang tidak sibuk. Ada apa?”
“Dengar, aku tidak ingin membuatmu khawatir, tapi kurasa kau harus tahu.”
Kim Bum mengerutkan kening. “Ada apa? Ayah dan Ibu...?”
“Mereka baik-baik saja, Kim Bum. Jangan khawatir. Ini bukan soal mereka,” kata Yoon Eun Hye cepat. Lalu ia terdiam sejenak, ragu. “Tapi aku tidak tahu bagaimana reaksi mereka kalau mereka mendengar berita itu.”
“Berita apa?”
Yoon Eun Hye menarik napas. “Kudengar Jang Geun Suk baru kembali dari Paris. Apakah kau bertemu dengannya di Paris?”
“Ya.”
“Apakah dia mengatakan sesuatu kepadamu? Tentang Kim Hyun Joong Oppa?”
Kim Bum tidak menjawab, malah balik bertanya, “Apa yang dikatakannya tentang Hyung?”
Kerutan di kening Kim Bum semakin dalam dan wajahnya berubah muram sementara ia mendengarkan cerita kakak perempuannya. Beberapa menit kemudian, ia berkata, “Aku tahu, Noona. Jangan khawatir. Aku akan membereskannya.”
Kim Bum menutup dan mengembalikan ponselnya ke saku dengan pelan. Berita yang disampaikan kakak perempuannya tadi tidak benar-benar membuatnya terkejut, namun tidak berarti ia memperkirakan hal itu akan terjadi. Kim Bum menarik napas dan menghembuskannya dengan keras. Ia harus pulang ke Seoul. Tetapi sebelum itu ia harus menghubungi para manajernya. Masalah ini harus segera diatasi sebelum bertambah runyam.
Kim Bum baru saja berdiri dari bangku dan hendak berbalik pergi ketika sudut matanya menatap sosok seorang wanita di jalan setapak tidak jauh darinya. Kim Bum menoleh. Dugaannya benar. Yang sedang berjalan menyusuri jalan setapak di tepi kolam itu memang Kim So Eun. Sepertinya gadis itu sedang melamun karena ia melangkah dengan pelan dan dengan kepala tertunduk. Dan mengarah ke kolam.
Astaga.
Dalam beberapa langkah, Kim Bum sudah tiba di samping Kim So Eun dan mencengkeram lengannya. “Kau mau terjun ke dalam kolam?”
Kim So Eun tersentak kaget dan mengangkat wajah. Matanya mengerjap satu kali, lalu melebar sementara otaknya mencerna siapa yang berdiri di hadapannya.
“Kim Bum,” gumamnya pelan, lalu memandang sekelilingnya dengan bingung.
Setelah memastikan Kim So Eun berdiri agak jauh dari kolam, Kim Bum melepaskan cengkeramannya dan menjejalkan kedua tangan ke dalam saku celana. Selama beberapa detik mereka hanya berdiri dan berpandangan tanpa berkata apa-apa.
Akhirnya Kim Bum membuka suara. “Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini.”
Kim So Eun mengangguk dan berdeham. “Aku juga. Kudengar kau pergi ke Wexford.”
“Aku kembali ke Paris kemarin sore.”
“Oh, begitu.” Ia menatap Kim Bum sejenak, lalu dengan resah memalingkan wajah ke arah pepohonan di sebelah kirinya dan bergumam, “Maafkan aku.”
“Untuk apa?”
Kim So Eun menggigit bibir sejenak dan kembali menatap Kim Bum. “Karena kata-kataku waktu itu. Aku tidak bermaksud... Aku hanya...” Kim So Eun menghentikan kata-katanya yang kacau dan menarik napas panjang untuk mengendalikan diri. “Waktu itu aku sedang tidak berpikir jernih. Maafkan aku.”
Kim Bum mendesah dan tersenyum tipis. “Tidak usah meminta maaf. Kau tidak bersalah.”
Kim So Eun menunduk sejenak. Ketika ia mengangkat wajah lagi, Kim Bum sudah duduk di salah satu bangku taman di dekat kolam. Kim So Eun menghampiri bangku itu dan duduk di samping Kim Bum. Selama beberapa saat mereka hanya duduk di sana tanpa saling bicara. Suara yang terdengar hanyalah suara gemeresik dedaunan yang ditiup angin dan suara lalu lintas di kejauhan.
“Aku akan kembali ke Korea,” kata Kim Bum tiba-tiba.
Terkejut, Kim So Eun mengangkat wajah dan menoleh menatap Kim Bum. “Kenapa?”
Kim Bum tersenyum samar, tidak langsung menjawab. Ia tidak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya kepada Kim So Eun tanpa membuat gadis itu khawatir. “Ada sedikit masalah keluarga,” katanya setelah berpikir sejenak.
“Masalah keluarga?”
“Mm,” gumam Kim Bum, lalu menarik napas dalam-dalam. “Karena itu aku harus pulang lebih cepat daripada yang kurencanakan.”
Kim So Eun memalingkan wajah dan menggigit bibir. “Kapan?” tanyanya.
“Secepatnya.”
Kim So Eun menatapnya dengan heran. Ia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi.
“Aku bukannya ingin menghindarimu, Kim So Eun,” kata Kim Bum lembut, seolah-olah bisa membaca pikiran Kim So Eun. “Aku tidak akan bisa menghindarimu walaupun aku ingin.”
Kim So Eun menatap Kim Bum tidak mengerti.
Kim Bum membuka mulut hendak menjelaskan, namun mengurungkan niatnya.
Saat ini bukan saat yang tepat untuk menyatakan perasaannya. Kim So Eun pasti akan mundur teratur begitu mendengarnya. Bahkan mungkin akan menarik diri dan menghindari Kim Bum selamanya. Kalau itu terjadi, Kim Bum tidak yakin ia bisa mengatasinya.
Tetapi saat ini ia sangat ingin mengatakan apa yang dirasakannya, apa yang ada dalam hatinya. Kim Bum menoleh ke arah Kim So Eun. “Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu sejak dulu,” katanya. Lalu ia tersenyum. “Sampai sekarang aku belum mengatakannya karena... ya, karena berbagai alasan. Dan alasan utamanya adalah karena aku takut.”
Kim So Eun masih tidak mengerti, namun ia mendapati dirinya menahan napas mendengar Kim Bum yang berbicara dengan suara yang rendah dan pelan.
“Kalau aku mengatakannya, reaksi apa yang akan kauberikan? Apakah kau akan menerima pengakuanku? Apakah kau akan percaya padaku? Apakah kau masih akan menatapku seperti ini? Tersenyum padaku seperti ini? Atau apakah justru kau akan menjauh dariku? Meninggalkanku?” Saat itu Kim Bum menatap mata Kim So Eun menarik napas panjang. “Tapi aku tahu aku harus mengatakannya padamu. Aku tidak mungkin menyimpannya selamanya. Entah bagaimana reaksimu nanti setelah mendengarnya, aku hanya berharap satu hal padamu.”
Menatap mata Kim Bum membuat Kim So Eun tidak bisa berpikir. Sesuatu dalam mata Kim Bum membuat Kim So Eun berdebar-debar, membuat tenggorokannya tercekat, dan membuat hatinya terasa nyeri.
“Jangan pergi dariku. Tetaplah di sisiku.”
Kim So Eun tidak bisa mengalihkan pandangan dari mata Kim Bum. Ia masih tidak bisa berpikir. Ia masih tidak bisa bersuara. Ia masih tidak bisa mendengar apa pun selain suara Kim Bum. Sedetik kemudian ia menyadari dirinya masih menahan napas menunggu kata-kata Kim Bum selanjutnya. Namun ternyata Kim Bum hanya tersenyum kecil penuh rahasia dan bergumam lirih, “Karena itu... maukah kau menungguku?”
Kim So Eun tertegun. Kim Bum sedang menatapnya dengan penuh harap. Matanya yang gelap seolah-olah bisa melihat ke dalam jiwa Kim So Eun. Saat itulah pertama kalinya Kim So Eun mengerti apa yang dimaksud dengan tenggelam dalam mata seseorang. Tatapan Kim Bum membuatnya sulit bernapas, seolah-olah dunia mengecil di sekeliling mereka, menyelubungi mereka.
“Aku tidak akan menuntut banyak. Aku juga tidak akan membebanimu. Aku hanya memintamu menunggu sampai aku menyelesaikan masalahku. Sampai saat itu tiba, jangan pergi ke mana-mana. Tetaplah bersamaku,” pinta Kim Bum.
“Kim Bum, aku...”
“Pada saat kita bertemu lagi nanti, kalau perasaanmu masih belum berubah, kalau kau masih merasa sulit percaya padaku, kalau kau tidak mau melihatku lagi, tidak mau berurusan denganku lagi, kau hanya perlu mengatakannya dan aku akan menuruti apa pun yang kaukatakan.”
Kim So Eun menatap Kim Bum sesaat, lalu menunduk. Kalau Kim Bum menatapnya seperti itu, Kim So Eun merasa hatinya melemah. Dan sebelum ia benar-benar menyadari apa yang dilakukannya, ia mengangguk.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar