Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 23 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 13)



Menurut Paman aku sudah tinggal di Seoul selama satu bulan terakhir, piker Kim Bum sambil mengenakan jaket. Tetapi ia tidak ingat apa-apa. Hal terakhir yang diingatnya adalah ia masih berada di apartemennya di New York, galau karena mendengar berita pernikahan Park Shin Hye, berpikir sebaiknya ia pergi dari New York untuk sementara waktu. Hanya sampai di situ ingatannya.

Tetapi Kim Bum merasa sepertinya ia punya alasan bagus kenapa selama ini ia tinggal di Seoul. Pasti ada alasannya. Mungkin alasan awalnya adalah untuk menghindari Park Shin Hye juga menjernihkan pikiran, tapi pamannya berkata Kim Bum pernah menyebut-nyebut soal menetap dan bekerja di Seoul, bahkan katanya ia berencana mengadakan pameran hasil karyanya. Benarkah?

Kim Bum menghela napas pelan dan memejamkan mata. Kepalanya selalu bertambah sakit setiap kali ia mencoba mengingat-ingat. Ia membuka mata dan mengamati bayangannya di cermin. Sudah hampir seminggu ia dirawat di rumah sakit ini. Kini ia terlihat sehat. Kata dokter luka-luka di tubuhnya akan segera sembuh.

Kim Bum melirik meja kecil di samping tempat tidur. Kameranya terletak di sana, di samping serenceng kunci. Pamannya menemukan kedua benda itu di dalam mobil yang dipinjam Kim Bum pada saat terjadinya kecelakaan. Kim Bum mengenali kameranya, tetapi tidak tahu-menahu soal kunci itu.

“Aku yakin kamera ini milikmu,” kata pamannya dua hari yang lalu, ketika ia menyerahkan kamera, kunci, dan bungkusan itu kepada Kim Bum. “Kalau soal kunci, aku tidak yakin.”

“Kelihatannya seperti kunci pintu rumah,” gumam Kim Bum sambil memperhatikannya.

Song Seung Hun mengangkat bahu. “Jangan bertanya padaku. Kau sama sekali tidak pernah memberitahuku di mana kau tinggal, jadi aku tidak tahu apa-apa.”

Pamannya tidak bisa membantu dan saat ini Kim Bum sama sekali tidak yakin pada apa pun. Ia merasa seperti orang tolol gara-gara amnesia ini. Kata dokter ia menderita amnesia parsial atau amnesia sebagian. Tapi, karena luka-luka di kepalanya ternyata tidak terlalu berbahaya, dokter meyakinkan bahwa ingatannya akan kembali cepat atau lambat. Hanya saja ia tidak bisa mengingat kejadian selama satu bulan terakhir ini.

Kenapa begitu?

Kim Bum kembali menatap bayangannya yang pucat di cermin. Bagaimana kalau ia mencoba memukul kepalanya sendiri? Mungkin ingatannya bisa kembali. Ia bisa mencoba membenturkan kepalanya ke dinding...

Terdengar ketukan di pintu kamar rawatnya. Kim Bum menoleh tepat pada saat pintu terbuka dan Jung Yong Hwa melangkah masuk. Hari ini ia berpakaian santai, tanpa jas lab putih dan tanpa stetoskop yang tergantung di leher. Dan ia tersenyum begitu melihat Kim Bum.

“Kudengar kau diizinkan pulang hari ini,” sapa Jung Yong Hwa. “Bagaimana perasaanmu?”

Jung Yong Hwa adalah salah satu pengunjung setianya, selain paman dan ibunya sendiri.

Kim Bum memang mengenal Jung Yong Hwa, tetapi ingatannya hanya terbatas pada saat mereka masih kecil. Kim Bum berharap Jung Yong Hwa bisa memberikan lebih banyak keterangan daripada Song Seung Hun tentang keberadaannya di Seoul, tetapi sayangnya Jung Yong Hwa tidak bisa membantu banyak. Menurut Jung Yong Hwa, mereka memang kadang-kadang bertemu dan berhubungan melalui telepon sejak Kim Bum tiba di Seoul bulan lalu, tetapi mereka belum sempat berbicara banyak tentang masalah pribadi. Dan Jung Yong Hwa juga tidak tahu di mana Kim Bum tinggal.

“Aku merasa seperti orang bodoh,” gumam Kim Bum sambil tersenyum masam.

Jung Yong Hwa menatapnya dengan prihatin. “Jangan terlalu dipaksakan, Kim Bum. Pelan-pelan ingatanmu pasti kembali.”

“Semoga saja begitu,” gumam Kim Bum.

“Apa rencanamu sekarang?”

Kim Bum kembali menatap bayangannya di cermin dan menggeleng. “Entahlah. Kurasa aku akan tinggal di sini untuk sementara. Melihat apakah aku bisa sedikit mengingat apa yang sebenarnya kurencanakan di sini,” katanya, lalu mengangkat bahu.

“Ayahku ingin aku kembali ke New York, tapi aku belum berpikir sejauh itu.”

Kembali ke New York sekarang sepertinya bukan keputusan yang tepat, piker Kim Bum. Ia menjauh dari New York dengan satu alasan. Mungkin selama ia tinggal di Seoul ia sudah berhasil tidak terlalu memikirkan Park Shin Hye. Mungkin saja, Kim Bum hanya berharap itu benar. Tetapi sekarang setelah ia kehilangan ingatannya selama sebulan terakhir, segalanya kembali seperti dulu.

Ia kembali teringat pada Park Shin Hye. Wanita itu akan menikah dengan sahabat baik Kim Bum.

Kim Bum ingat saat Park Shin Hye memberitahunya dengan gembira bahwa ia akan menikah.

Apakah wanita itu tidak bisa melihat Kim Bum begitu tercengang sampai tidak bisa berkata-kata? apakah ia tidak bisa melihat jantung Kim Bum seakan berhenti berdetak begitu mendengar berita itu? Apakah ia tidak bisa melihat selama ini Kim Bum sangat menyukainya? Bahwa ia sangat berarti bagi Kim Bum?

Kim Bum bertanya-tanya kenapa benturan di kepalanya itu tidak membuatnya melupakan Park Shin Hye? Bukankah itu lebih baik? Dengan begitu ia tidak akan pernah ingat betapa ia menyukai wanita itu.

“Ngomong-ngomong, apakah kau masih tertarik menghadiri reuni pada tanggal sepuluh nanti?” tanya Jung Yong Hwa, membuyarkan lamunan Kim Bum. “Bertemu teman-teman lama mungkin bisa sedikit menghibur.”

Kim Bum mengangguk-angguk, lalu tersenyum. “Kurasa kau benar,” katanya. “Aku akan meneleponmu lagi nanti soal itu.”

“Oh ya, tadi kulihat ibumu sedang berbicara dengan dokter. Kurasa sebentar lagi selesai,” kata Jung Yong Hwa. “Kalian akan pulang naik apa? Aku bisa mengantar kalian pulang. Shift-ku sudah selesai hari ini.”

“Terima kasih, tapi Paman Song Seung Hun akan datang menjemput.”

Saat itu telepon Jung Yong Hwa berbunyi. “Sebentar ya?” katanya pada Kim Bum. Ia merogoh saku celana panjangnya dan mengeluarkan ponsel.

Kim Bum bergerak ke meja kecil di samping tempat tidur untuk melanjutkan tugasnya mengemasi barang. Ia senang karena akhirnya ia terbebas dari rumah sakit yang menyesakkan ini. Ia tidak tahan dengan bau obat yang tercium di seluruh penjuru rumah sakit. Pendek kata, ia benci rumah sakit.

“Oh, Kim So Eun.”

Kim So Eun? Kim Bum tersentak dan kepalanya berputar kembali ke wajah Jung Yong Hwa yang berseri-seri.

Jung Yong Hwa terus berbicara di ponsel dengan senyum lebar. “Ya, aku memang meneleponmu tadi, tapi kurasa kau pasti sedang sibuk... Tidak, tidak apa-apa... Kalau kau ada waktu, bagaimana kalau kutraktir makan siang?”

Sepertinya telepon dari pacarnya, pikir Kim Bum. Keningnya berkerut samar, berusaha mengingat. Sebelum ingatannya hilang, apakah ia sudah tahu Jung Yong Hwa punya pacar? Apakah ia pernah melihat pacar Jung Yong Hwa itu?

Kim Bum menghela napas panjang. Lihat sisi positifnya saja. Bagaimanapun juga, ia masih ingat namanya sendiri, orangtuanya, dan seluruh kejadian hidupnya sampai satu bulan lalu. Ia hanya tidak bisa mengingat kejadian selama satu bulan terakhir ini.

Hanya satu bulan. Dan ia yakin tidak ada hal penting yang perlu diingat.

* * *

“Keracunan makanan,” gerutu Yoon Eun Hye sambil melirik adiknya yang bertampang pucat.

“Kau pasti makan sembarangan selama di Busan.”

Lee Ki Kwang menggeleng lesu dan berjalan dengan langkah diseret-seret di sebelah Yoon Eun Hye. “Tidak makan apa-apa,” gumamnya. “Hanya jajan sedikit... di sana-sini.”

Yoon Eun Hye menggandeng lengan adiknya karena sepertinya Lee Ki Kwang tidak bisa berjalan tegak dan lurus tanpa dibantu. Ia merapatkan jaket dan syal Lee Ki Kwang ketika mereka keluar dari gedung rumah sakit. Rupanya sedang hujan. Lee Ki Kwang menggigil. Yoon Eun Hye menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu berkata kepada Lee Ki Kwang, “Kau tunggu di sini dulu sebentar. Aku akan memanggil taksi.”

Lee Ki Kwang mengangguk lemah. Ia sangat ingin berbaring saat ini. Perutnya sakit, dadanya sesak, kepalanya berat, dan lidahnya terasa pahit. Ia membenamkan mulut dan hidungnya di balik syal di sekeliling lehernya dan menggigil lagi.

“Kau pusing?” Lee Ki Kwang mendengar suara wanita di belakangnya. Ia menoleh dan melihat seorang wanita setengah baya sedang berbicara kepada laki-laki yang berdiri di sampingnya. Lee Ki Kwang tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas karena mereka berdiri menyamping. Lee Ki Kwang baru akan memalingkan wajah ketika laki-laki itu mengangkat wajah dan membuat Lee Ki Kwang tersentak kaget. Itu...?

“Aku baik-baik saja,” sahut laki-laki itu sambil tersenyum. Ia menoleh ke arah Lee Ki Kwang. Sesaat pandangan mereka bertemu, lalu ia menatap melewati bahu Lee Ki Kwang dan berkata, “Itu mobil Paman. Ayo, kita ke sana.”

Lee Ki Kwang tetap mengamati kedua orang itu dengan kening berkerut bingung dan mulut melongo sementara mereka berjalan melewatinya, menuju mobil sedan berwarna biru yang berhenti tidak terlalu jauh dari pintu rumah sakit

Wajah itu... Suara itu... Tidak salah lagi, pikir Lee Ki Kwang dalam hati. Itu Kim Bum

Kim Bum! Tetapi kenapa Kim Bum tidak menyapanya? Apakah Kim Bum tidak melihatnya tadi? Tidak, Lee Ki Kwang yakin Kim Bum melihatnya. Mereka sempat bertatapan. Lalu kenapa Kim Bum diam saja seperti tidak mengenalnya? Lalu...

“Kau sedang melihat apa?” Terdengar suara Yoon Eun Hye memanggilnya. “Aku sudah memanggil taksi. Ayo, naik.”

Lee Ki Kwang menoleh ke arah kakaknya dan berjalan pelan ke arah taksi yang sudah menunggu mereka. “Kim Bum Hyung,” gumamnya ketika ia sudah masuk taksi.

Yoon Eun Hye menyebut alamat mereka kepada sopir taksi dan menoleh ke arah adiknya.

“Kim Bum?” ulangnya. “Apa maksudmu?”

“Aku tadi melihatnya,” kata Lee Ki Kwang tegas. Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada ragu, “Tapi sepertinya dia tidak mengenaliku.”

“Kau yakin?”

Lee Ki Kwang mengerutkan kening. Perutnya yang sakit terlupakan sudah. Kepalanya juga tidak sakit lagi karena sibuk berpikir. “Ternyata selama ini dia ada di Seoul?” gumamnya pada diri sendiri. “Kenapa dia tidak menghubungi kita? Terutama Kim So Eun Noona. Dan siapa wanita yang bersamanya itu?”

“Wanita yang mana?”

Lee Ki Kwang tidak menjawab. “Kenapa dia tidak menyapaku tadi?”

“Kau sendiri kenapa tidak memanggilnya dan bertanya sendiri padanya?”

Lee Ki Kwang berpaling ke arah kakaknya. “Karena aku sedang lemas. Kepalaku sakit dan otakku tidak bekerja secepat biasanya.”

Yoon Eun Hye mengangkat sebelah alisnya dan menatap adiknya dari kepala sampai ke kaki. “Lemas? Sakit kepala?” Ia mengetuk pelan kepala Lee Ki Kwang. “Kalau begitu kenapa sekarang kau bisa berceloteh panjang-lebar?”

Lee Ki Kwang mengelus kepalanya yang bertopi. “Noona, apakah kita harus memberitahu Kim So Eun Noona?”

Yoon Eun Hye menghela napas dan berkacak pinggang. “Memangnya kau mau bilang apa pada Kim So Eun?” ia balas bertanya. “Kau mau bilang bahwa kau dengan kepalamu yang sedang sakit, matamu yang hampir terpejam, dan otakmu yang sedang berkabut itu, melihat Kim Bum bersama seorang wanita muda...”

“Tidak muda. Sepertinya sudah ibu-ibu,” sela Lee Ki Kwang.

“...di depan pintu rumah sakit, tapi dia tidak menyapamu dan mengutip kata-katamu sendiri… sepertinya dia tidak mengenalimu.” Yoon Eun Hye berhenti untuk menarik napas, lalu melanjutkan, “Jadi apa artinya itu?”

“Apa artinya?”

“Kau salah lihat,” seru Yoon Eun Hye samibl memukul pelan kepala adiknya lagi.

“Noona, kenapa memukul orang yang sedang sakit?” protes Lee Ki Kwang.

“Kau yakin itu Kim Bum?” tanya Yoon Eun Hye.

“Ya...”

“Seratus per—ah, tidak, seribu persen yakin?”

“Lumayan... cukup yakin... kurasa.” Lee Ki Kwang tertegun, lalu menatap kakaknya. “Atau mungkin aku salah ya?”

Yoon Eun Hye mendesah. “Sebaiknya kau tidak mengatakan apa-apa pada Kim So Eun. Walaupun dia tidak menunjukkannya, aku tahu sekarang dia sedang khawatir karena Kim Bum belum menghubunginya. Kalau kau tidak yakin orang yang kaulihat tadi itu Kim Bum, sebaiknya jangan membuat Kim So Eun berharap terlalu banyak.”

Lee Ki Kwang menggigit bibir dan memutar otak, lalu tiba-tiba ia berkata, “Noona, apakah mungkin Kim Bum Hyung sengaja memutuskan hubungan dengan Kim So Eun Noona?”

“Apa?”

“Laki-laki sering melakukannya, bukan? Kalau laki-laki sudah tidak suka pada seorang wanita, laki-laki itu tidak akan menemuinya lagi, tidak akan menghubunginya lagi.” Lee Ki Kwang menatap kakaknya dengan serius. “Melarikan diri.”

Tangan Yoon Eun Hye sudah terangkat ke kepala adiknya, tetapi kemudian berhenti. Ia menurunkan tangannya kembali dan memiringkan kepala. “Aku tidak suka mengakuinya,” kata Yoon Eun Hye dengan mata disipitkan, “tapi apa yang kau katakan tadi itu mungkin saja terjadi. Kim So Eun tidak pernah memikirkan kemungkinan itu, bukan?”

* * *

“Kim So Eun... Kim So Eun...”

Kim So Eun tersentak dan mengangkat wajah. Jung Yong Hwa menatapnya dari seberang meja sambil tersenyum. “Ya?” tanya Kim So Eun sambil mengerjapkan mata. Apakah Jung Yong Hwa sudah memanggilnya sejak tadi dan ia tidak mendengar?

“Akhir-akhir ini kulihat kau sering sekali melamun. Dan tidak bersemangat,” gumam Jung Yong Hwa dengan raut wajah cemas. “Kau sakit?”

Kim So Eun memaksakan seulas senyum lebar dan menggeleng. “Aku baik-baik saja. Aku sehat.”

Walaupun ia tersenyum lebar dan berpura-pura menyeruput jus apelnya dengan gembira, kenyataannya adalah Kim So Eun sangat resah. Kim Bum sudah menghilang hamper dua minggu, kalau dihitung dari Hari Natal. Tadinya Kim So Eun sudah ingin melapor ke polisi, tetapi dicegah oleh Yoon Eun Hye dan juga Song Chang Ui.

“Jung Yong Hwa.” Kim So Eun ragu sejenak. Ia menatap Jung Yong Hwa, lalu setelah berpikir-pikir ia memulai, “Kalau tetanggamu tidak pulang selama hampir dua minggu, apa yang akan kaulakukan?”

Alis Jung Yong Hwa terangkat. “Tetanggaku?” tanyanya heran.

“Kenapa?”

“Apakah Kau akan melapor kepada polisi?”

“Maksudmu, seandainya tetanggaku adalah anak di bawah umur?”

Kim So Eun menggeleng. “Orang dewasa.”

Jung Yong Hwa mengibaskan tangannya. “Kalau begitu aku tidak akan mencampuri urusan pribadinya. Bagaimanapun juga dia mempunyai kehidupan sendiri. Dia berhak pergi ke mana saja sesuka hatinya. Mau pulang atau tidak, aku tidak mungkin ikut campur, apalagi sampai melapor pada polisi.”

“Kau tidak berpikir mungkin sesuatu terjadi padanya?” desak Kim So Eun. “Misalnya saja... dia mengalami... kecelakaan?”

“Seandainya pun terjadi sesuatu, yang pertama kali dihubungi sudah pasti adalah keluarganya,” sahut Jung Yong Hwa tegas. Ia menatap Kim So Eun dengan penasaran. “Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”

“Tidak apa-apa,” sahut Kim So Eun cepat. Ia menggeleng dan tersenyum lebar. “Sekadar bertanya.”

Saat itu makanan pesanan mereka tiba. Setelah mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan makanan itu, Jung Yong Hwa kembali berkata, “Ngomong-ngomong soal kecelakaan, seorang temanku baru saja mengalami kecelakaan yang buruk.”

“Oh, ya?”

“Tidak ada yang tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi, tetapi mereka menemukannya dalam keadaan pingsan dan terluka di jalan sepi. Kepalanya terbentur keras dan sekarang sebagian ingatannya hilang.”

“Oh...” Berbagai pikiran buruk mulai melintas di benak Kim So Eun. Ia membayangkan teman yang diceritakan Jung Yong Hwa itu adalah Kim Bum. Ia membayangkan Kim Bum terbaring pingsan dan terluka di jalan sepi... Astaga! Tidak, itu tidak mungkin terjadi.

“Bagaimana keadaan temanmu itu sekarang?” tanyanya dengan nada prihatin.

“Kebingungan,” sahut Jung Yong Hwa dengan nada serius. “Dan rasa sakit di kepalanya akan terus mengganggunya selama beberapa waktu. Tapi kurasa dia baik-baik saja. Setidaknya dia masih mengingat keluarganya.”

Kim So Eun hanya mengangguk tanpa benar-benar memperhatikan kata-kata Jung Yong Hwa. Suatu kemungkinan baru terlintas dalam benaknya. Ia sudah memikirkan berbagai kemungkinan buruk sehubungan dengan menghilangnya Kim Bum, tetapi ia tidak pernah berpikir bahwa Kim Bum mungkin saja mengalami kecelakaan yang bisa membuatnya hilang ingatan. Bagaimana kalau itu yang terjadi? Bagaimana kalau Kim Bum terbangun dan sama sekali tidak tahu siapa dirinya sendiri? Tidak tahu siapa yang harus dihubungi dan siapa yang harus dimintai tolong?

Bunyi denting keras menyentakkan Kim So Eun dari lamunannya. Ia mengerjapkan mata dan mendapati sendoknya terlepas dari pegangan dan jatuh mengenai piringnya lalu jatuh ke lantai. “Maafkan aku,” gumamnya cepat. “Maaf... Maaf...”

“Tidak apa-apa,” sahut Jung Yong Hwa menenangkannya, lalu meminta pelayan mengambil sendok lain.

Kim So Eun menarik napas untuk menenangkan diri. “Maaf,” gumamnya sekali lagi.

Jung Yong Hwa tersenyum padanya. “Kim So Eun, apakah kau sibuk tanggal sepuluh nanti?”

“Tanggal sepuluh?” Kim So Eun mengerjapkan mata. “Memangnya kenapa?”

“Aku harus menghadiri reuni SMP-ku,” sahut Jung Yong Hwa agak malu. “Kalau kau tidak punya acara, aku ingin kau menemaniku ke sana.”

Kim So Eun tertegun.

Aku ingin kau menemaniku ke suatu acara tanggal sepuluh Januari nanti.

Acara apa?

Reuni SMP-ku.

Tidak masalah.

Kau tidak akan membuat janji lain pada hari itu?

Tidak akan.

Walaupun si dokter cinta mengajakmu keluar?

Kim So Eun menunduk menatap makanannya. Kim Bum pernah mengajaknya menghadiri suatu acara reuni. Sekarang Jung Yong Hwa juga mengajaknya ke acara reuni. Apakah reuni yang dimaksud kedua orang itu sama?

“Bagaimana Kim So Eun?” tanya Jung Yong Hwa. “Kau bisa ikut denganku?”

Kim So Eun menatap laki-laki di hadapannya dengan ragu. Ia sudah berjanji akan pergi dengan Kim Bum, jadi ia tidak bisa menerima ajakan Jung Yong Hwa. Tetapi masalahnya adalah sekarang ini Kim Bum entah ada di mana. Dan Kim So Eun tidak tahu apakah Kim Bum akan muncul untuk menagih janji Kim So Eun pada tanggal sepuluh nanti.

Di lain pihak, kalau Kim Bum belum muncul juga sampai hari itu, Kim So Eun ingin memastikan apakah ia bisa bertemu dengan Kim Bum di acara reuni itu. Siapa tahu laki-laki itu akan muncul di sana. Itu juga kalau reuni yang disebut-sebut kedua orang itu adalah reuni yang sama. Siapa tahu...

“Jung Yong Hwa,” kata Kim So Eun ragu sementara otaknya berputar mencari alasan, “sebenarnya aku sudah berjanji pada seorang temanku untuk menemaninya ke... ke... pesta ulang tahun laki-laki yang disukainya.” Ia berdeham. Alasan yang payah, tetapi hanya itu yang sempat terpikirkan dalam waktu singkat. “Tapi aku sendiri tidak tahu pasti kapan. Kalau acaranya bukan pada tanggal sepuluh, aku akan dengan senang hati pergi denganmu.”

Ia tidak suka berbohong pada Jung Yong Hwa, tetapi tidak ada cara lain. Kalau Kim Bum belum muncul sampai tanggal sepuluh nanti, dan kalau Kim So Eun melihatnya di acara reuni itu... lihat saja, Kim Bum akan tahu bagaimana rasanya diacak-acak sampai ibunya sendiri pun tidak akan bisa mengenalinya.

Bersambung…

Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8
Chapter 7
Chapter 6
Chapter 5
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...