Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 24 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 18)



Kim So Eun belum memutuskan bagaimana ia harus bersikap dalam berhubungan dengan Kim Bum. Apakah sebaiknya ia kembali menjaga jarak dari laki-laki itu? Tetapi siang ini mereka sudah makan dan mengobrol bersama seperti dulu ketika Kim Bum belum hilang ingatan, dan Kim Bum datang ke perpustakaan untuk mencarinya. Kembali menghindari laki-laki itu akan terasa aneh.

Tetapi kalau ia kembali dekat dengan Kim Bum, justru Kim So Eun sendiri yang berisiko mengalami sakit hati karena terpaksa menyaksikan Kim Bum dan Park Shin Hye bersama.

Bayangan Kim Bum yang memeluk Park Shin Hye kembali menghunjam otaknya. Kim So Eun menggeleng kuat-kuat, tidak sudi mengingat itu. Pada saat-saat seperti inilah ia membenci pikirannya yang suka melayang tanpa arah.

Sambil membetulkan letak topi wol yang agak miring karena gelengan kepalanya yang terlalu keras tadi, Kim So Eun sejenak berhenti melangkah di depan gedung apartemennya dan menengadah menatap langit malam yang suram. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras, uap putih keluar dari mulutnya dan menghilang di depan matanya.

“Bodoh,” gerutunya kepada bayangan wajah Kim Bum di langit malam. “Bodoh...”

Dengan langkah gontai ia menaiki tangga gedung apartemen sambil merogoh tas tangannya mencari kunci pintu. “Di mana lagi benda itu?” tanyanya pada diri sendiri.

Ia sudah berdiri di depan pintu apartemennya tetapi kuncinya masih belum ketemu.

“Hei.”

Suara berat yang tiba-tiba terdengar begitu dekat di belakangnya itu membuat Kim So Eun terkesiap dan terlompat kaget. Ia berputar begitu cepat sampai tas tangannya terlepas dari pegangan, jatuh ke lantai, dan isinya berhamburan. Punggungnya menempel ke pintu apartemennya sementara matanya terbelalak ketakutan menatap sosok tinggi dan kabur di hadapannya.

“Ada apa? Kenapa?” tanya orang di hadapannya dengan nada cemas.

Suara itu menembus bunyi debar jantung Kim So Eun yang menghentak keras di telinganya dan ia mulai menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Sosok yang tadinya terlihat kabur di matanya pun berubah jelas begitu debar jantungnya yang keras mereda. Kim Bum... Orang yang berdiri di hadapannya dan menatapnya dengan alis berkerut bingung bercampur cemas adalah Kim Bum.

Sebagian ketakutan Kim So Eun berubah menjadi amarah. Walaupun lega, suaranya masih agak bergetar ketika ia mendesis, “Demi Tuhan, jangan pernah sekali-kali...”

Melihat kebingungan Kim Bum dan menyadari bahwa ia berbicara dalam bahasa Jepang, Kim So Eun berhenti sejenak untuk menarik napas, berdeham, dan berkata dengan suara lebih tenang dalam bahasa Korea. “Jangan pernah melakukan hal itu lagi.”

Kim Bum heran melihat Kim So Eun yang berdiri gemetar di depannya. “Melakukan apa? Kau baik-baik saja?” tanyanya sambil menatap Kim So Eun dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, lalu kembali terpaku pada wajah Kim So Eun yang pucat. “Apa yang terjadi?”

Tidak mau membalas tatapan Kim Bum, Kim So Eun berjongkok dan mulai mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan. “Tidak apa-apa,” sahut Kim So Eun kaku. “Kenapa kau mengendap-endap begitu?”

“Aku tidak mengendap-endap,” bantah Kim Bum sambil ikut berjongkok dan membantu mengumpulkan barang-barang Kim So Eun. “Aku berjalan seperti biasa menaiki tangga dan melihatmu sibuk mencari-cari sesuatu di tasmu. Mencari ini?” Ia mengacungkan kunci pintu apartemen Kim So Eun yang dipungutnya dari lantai.

Kim So Eun mendongak dan menatap kunci di tangan Kim Bum. “Ya,” sahutnya dan berdiri setelah mengumpulkan semua barangnya.

Kim Bum ikut berdiri, tetapi ia tidak mengulurkan kunci itu kepada Kim So Eun. Ia terlihat sedang berpikir. “Ini pernah terjadi sebelumnya, bukan?” tanyanya tiba-tiba.

“Apa?”

Kim Bum tidak langsung menjawab. Ia berpikir lagi, lalu berkata, “Apakah aku pernah membantumu mencari sesuatu?”

“Tidak,” sahut Kim So Eun. Tiba-tiba teringat pada waktu Kim Bum baru pindah ke sini dan membuatnya terkejut di jalan sepi, ia menambahkan, “Tapi kau memang pernah membuatku terkejut seperti yang kaulakukan tadi.” Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutnya, Kim So Eun langsung menyesal. Sekarang Kim Bum pasti akan bertanya kenapa ia bereaksi begitu berlebihan ketika disapa tadi.

Tetapi Kim Bum hanya mengangguk-angguk dan menatap Kim So Eun sejenak, lalu bertanya, “Kau pulang lebih cepat dari dugaanku. Tapi kenapa Jung Yong Hwa tidak mengantarmu pulang?”

Kim So Eun agak kaget karena Kim Bum mendadak mengubah arah pembicaraan mereka.

“Oh... Tadi dia memang mau mengantarku pulang, tapi karena dia harus cepat-cepat pulang untuk merayakan ulang tahun kakeknya, aku minta diturunkan di stasiun saja.”

Alis Kim Bum berkerut samar. “Kau tidak ikut merayakan ulang tahun kakeknya?”

“Apa? Tidak,” kata Kim So Eun, heran mendengar kata-kata Kim Bum.

“Jadi tadi kalian pergi ke mana?”

“Jung Yong Hwa ingin membeli buku langka untuk kakeknya,” Kim So Eun menjelaskan.

“Kebetulan aku tahu tempat yang menjual buku-buku antik, jadi Jung Yong Hwa memintaku menemaninya ke sana.”

Kim Bum mendadak merasa ia bisa bernapas lebih mudah. “Ah, begitu. Tadinya kukira...”

Kim So Eun menatapnya dengan alis terangkat heran. “Kau kira apa?”

“Kukira dia akan mengajakmu. Kukira kalian... karena...” Kim Bum mendesah dan mengangkat bahu. “Kukira dia ingin mengajakmu bertemu dengan keluarganya.”

Alis Kim So Eun berkerut. “Kaukira dia ingin memperkenalkanku kepada keluarganya? Maksudmu... Oh...”

“Tapi aku senang ternyata dia tidak mengajakmu.”

Mata Kim So Eun terangkat ke wajah Kim Bum. Apa katanya tadi?

Kim Bum menatap lurus ke mata Kim So Eun. “Kata-kataku waktu itu... sewaktu aku memintamu menerima Jung Yong Hwa,” gumamnya pelan. Ia terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku berharap bisa menarik kembali kata-kata itu.”

Kim So Eun tidak sadar ia sedang menahan napas. Jantungnya juga sekaan berhenti sejenak, lalu kembali berdebar keras secepat kereta api ekspres. Seluruh perhatiannya terpusat pada kalimat terakhir Kim Bum. Apa maksudnya? Kim So Eun berusaha menahan harapannya yang mulai melambung. Ia tidak ingin terlalu berharap. Harapan yang dihempas kembali ke tanah akan terasa sangat menyakitkan. Tapi apa maksud laki-laki itu?

Kim So Eun berusaha mencari suaranya yang seakan menguap begitu saja. “Kenapa?” tanyanya lirih. Suaranya terdengar agak tercekat, bahkan di telinganya sendiri.

Kim Bum menarik napas dalam-dalam. “Karena...,” katanya sambil mengangkat bahu, “karena aku...”

Apakah jantungku berhenti berdegup? pikir Kim So Eun. Kenapa aku tidak bisa mendengar apa pun selain suara Kim Bum? Menunggu kata-kata Kim Bum selanjutnya.

Karena... karena aku...

Tiba-tiba Kim Bum membalikkan tubuh dan bersin.

* * *

Kim Bum membiarkan Kim So Eun mendorongnya masuk ke apartemen dan membiarkan gadis itu mengomelinya tentang mudahnya terkena flu pada musim dingin, apalagi kalau ia berkeliaran seharian di luar demi mencari objek yang menarik untuk difoto.

Omelan gadis itu terasa menenangkan. Pengalihan yang bagus. Dan Kim Bum merasa bersyukur karenanya. Dua menit yang lalu ia hampir mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak pernah dipikirkannya. Ia hampir berkata ia tidak suka melihat Kim So Eun bersama Jung Yong Hwa. Hampir berkata ia berharap Kim So Eun bisa tersenyum kepadanya seperti gadis itu tersenyum kepada Jung Yong Hwa.

Dan hampir berkata ia menyukai Kim So Eun.

Dari mana datangnya pikiran itu? Kim Bum menggeleng, berusaha menarik dirinya kembali pada apa yang dikatakan Kim So Eun saat itu. “Bagaimana kau tahu aku berkeliaran seharian mencari objek untuk difoto?” tanyanya sambil melepas sepatu dan mengenakan sandal rumah.

“Tentu saja aku tahu. Aku sering ikut denganmu berkeliling Seoul kalau kau sedang ingin mencari inspirasi,” Kim So Eun menjelaskan sambil lalu.

Seperti yang selalu dilakukannya selama ini begitu memasuki apartemen Kim Bum,

Kim So Eun langsung membuka sepatu dan memakai sandal Hello Kitty-nya tanpa berpikir.

Tetapi Kim Bum memerhatikan hal itu. Ia menatap sandal di kaki Kim So Eun dengan alis terangkat, lalu beralih menatap Kim So Eun yang saat itu langsung menyalakan lampu dan pemanas ruangan. Ia kembali menatap sandal itu dan perlahan-lahan kesadaran baru tumbuh dalam dirinya.

Tetapi kata-kata Kim So Eun tadi menarik perhatiannya. Kim Bum melepas jaket dan syalnya, lalu bertanya dengan nada heran, “Jadi aku sudah banyak mengambil foto sejak aku tiba di Seoul?”

“Mm,” gumam Kim So Eun tanpa memandangnya dan mengeluarkan kotak obat dari salah satu laci di ruang duduk.

Kim Bum tertegun melihat gadis itu sepertinya mengenal baik seluk-beluk apartemennya. “Tapi kenapa aku tidak pernah melihat foto-foto yang pernah kuambil?” tanya Kim Bum sambil menghempaskan diri ke sofa.

Kim So Eun menghampirinya dengan obat dan segelas air. Kim Bum menelan obatnya dengan patuh. “Bukankah biasanya kau menyimpan foto-fotomu di laptop?” Tanya Kim So Eun.

“Biasanya begitu, tapi kulihat tidak ada apa-apa di sana,” sahut Kim Bum, lalu merenung. “Aku jadi ingin tahu foto-foto apa saja yang pernah kuambil.”

Kim So Eun bergumam tidak jelas dan mengangkat bahu, jelas menganggap hal itu tidak perlu dipusingkan.

“Apakah sebelumnya aku sudah tahu bahwa kau tidak suka kuning telur?” Tanya Kim Bum tiba-tiba.

“Apa?”

“Saat makan siang tadi, Jung Yong Hwa sudah tahu kau tidak suka kuning telur. Apakah sebelum ini aku juga sudah tahu?”

Agak heran, Kim So Eun menjawab, “Ya, kau tahu soal itu.” Jeda sejenak, lalu, “Memangnya kenapa?”

Kim Bum menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan, lalu menatap Kim So Eun. Aku tidak ingin Jung Yong Hwa tahu lebih banyak tentang dirimu daripada aku, katanya dalam hati, tetapi ia tidak mungkin mengucapkannya. Kim So Eun pasti akan terkejut dan kembali menghindarinya. Dan Kim Bum tidak mau hal itu terjadi.

“Tidak apa-apa,” akhirnya ia berkata, lalu tiba-tiba bertanya, “kenapa kau begitu terkejut ketika aku menyapamu tadi?”

Gerakan Kim So Eun terhenti, kaget karena Kim Bum mendadak membelokkan percakapan.

“Tidak apa-apa,” ia mengelak. “Hanya terkejut karena aku tidak mendengarmu naik tangga.”

Kim Bum menatapnya dan menggeleng pelan. Gadis itu boleh membantah semaunya, tetapi Kim Bum yakin Kim So Eun tadi ketakutan. “Kau ketakutan,” kata Kim Bum, “bukan sekadar terkejut. Kenapa?”

Kim So Eun mengangkat bahunya dengan gerakan sambil lalu. “Sudah kubilang, tidak apa-apa.”

Kim Bum menatap gadis itu dan tiba-tiba sesuatu melintas dalam benaknya. Ia tertegun. “Kau tidak suka gelap,” gumamnya pelan.

Kepala Kim So Eun berputar cepat ke arah Kim Bum yang sedang mengadah menatap langit-langit ruang duduk dengan alis berkerut. “Apa katamu?” tanya Kim So Eun.

“Kau pernah berkata padaku kau tidak suka gelap,” kata Kim Bum sekali lagi dengan nada melamun. “Benar, bukan?”

“Kau sudah ingat?” tanya Kim So Eun, alisnya terangkat.

“Tidak. Belum,” sahut Kim Bum. Pikiran tentang Kim So Eun yang tidak suka gelap tiba-tiba terbesit dalam benaknya. Entah bagaimana, ia bisa mengingat sesuatu tentang gadis itu. Dan ingatan tentang hal kecil itu membuatnya senang. Akhirnya. Akhirnya ia mengingat sesuatu tentang Kim So Eun. “Kim So Eun?”

Kim So Eun menatapnya dengan was-was. “Apa?”

“Apakah sebelum ini…sebelum aku hilang ingatan…aku sudah tahu kenapa kau tidak suka gelap?” tanya Kim Bum sambil menoleh ke arahnya.

Tubuh Kim So Eun berubah kaku dan ia mengerjap-ngerjapkan mata. “Tidak,” sahutnya cepat. “Kurasa tidak.”

“Kau mau menceritakannya kepadaku?”

Kim So Eun menatap Kim Bum dengan ragu. Jemarinya bertautan dan ia menggigit bibir.

“Kejadiannya sudah lama,” katanya kaku. “Kenapa kau ingin tahu?”

“Kenapa kau tidak ingin aku tahu?” Kim Bum balas bertanya.

Kim So Eun mendesah keras. “Karena itu sama sekali bukan masalah besar,” katanya sambil merentangkan kedua tangannya. “Seorang pemabuk salah mengenaliku sebagai Baek Suzy.”

“Baek Suzy?”

“Aku pernah bercerita soal Baek Suzy kepadamu. Tapi tentu saja sekarang kau sudah tidak ingat lagi,” kata Kim So Eun sambil menghempaskan dirinya ke salah satu sofa, agak jauh dari Kim Bum dan menunduk menatap kedua tangannya. “Dia saudara perempuanku. Karena wajah kami yang sangat mirip, kami jadi terlihat seperti saudara kembar.”

Alis Kim Bum terangkat heran. Kim So Eun punya saudara perempuan yang sangat mirip dengannya? Seperti saudara kembar?

“Dan dia model terkenal,” lanjut Kim So Eun sambil tersenyum ke arah Kim Bum.

Kali ini alis Kim Bum berkerut. Baek Suzy? Model terkenal? Tunggu... Bukankah tadi siang pamannya berkata tentang Kim Bum yang menghadiri pertunjukan balet dengan seorang wanita yang mirip Baek Suzy? Baek Suzy yang dikenal sebagai model terkenal di Korea? Kalau begitu, wanita yang dilihat pamannya bersama Kim Bum di pertunjukan balet malam Natal itu... Kim So Eun?

“Kau tentu tahu orang terkenal punya banyak penggemar.” Suara Kim So Eun menarik Kim Bum kembali ke alam sadar. “Baek Suzy juga punya banyak penggemar. Beberapa di antaranya cukup...,” Kim So Eun tertawa pendek, “...cukup berani. Kadang-kadang malah suka mengganggu Baek Suzy. Menguntitnya... ya, semacam itu.”

Mata Kim Bum menyipit. Ia mulai merasakan firasat buruk. Sepertinya ia tahu ke mana arah cerita ini, tetapi ia berharap dugaannya salah. “Apakah mereka juga mengganggumu?” tanyanya was-was.

Kim So Eun tidak langsung menjawab. Setelah beberapa saat berdiam diri, seakan sedang berpikir apakah ia harus menjawab dengan jujur atau mengelak, ia mulai bergumam, “Kejadiannya musim panas dua tahun lalu. Hari sudah larut dan aku sedang dalam perjalanan pulang. Jalanan sepi dan gelap. Dan laki-laki itu mabuk. Dia salah mengenaliku sebagai Baek Suzy.”

Kim Bum langsung terduduk tegak. Matanya menatap lurus ke arah Kim So Eun. “Apa yang dilakukannya padamu?” Ia tidak suka membayangkan... Semoga pikirannya salah...

Kim So Eun menelan ludah dengan susah payah. “Ke-kejadiannya sudah lama. Maksudku...”

“Kim So Eun.” Kim Bum bergerak cepat menghampiri Kim So Eun dan berlutut di hadapan gadis itu, membuat mata mereka sejajar. Ia meraih tangan Kim So Eun dan memaksa gadis itu menatapnya. “Apa yang dilakukannya padamu?” tanyanya sekali lagi dengan suara yang diusahakannya terdengar tenang.

“Dia mencengkeram bahuku dan mendorongku ke dinding,” gumam Kim So Eun sambil menunduk. Saat itu Kim Bum merasakan tangan Kim So Eun yang berada dalam genggamannya gemetar. “Dia begitu dekat. Akub isa merasakan... merasakan napasnya yang bau mengenai wajahku. Lalu dia mencoba... mencoba... Maksudku, tangannya... tangannya bergerak terus. Aku sudah berusaha melawan. Sungguh. Aku mencoba sebisaku, tapi dia sangat kuat. Dia mabuk. Dan... dan... tangannya terus bergerak...”

Suara Kim So Eun mulai pecah.

Tanpa berkata apa-apa, Kim Bum langsung mengulurkan tangan dan merangkul Kim So Eun. Tubuh gadis itu gemetar dan Kim Bum mempererat pelukannya. Amarah timbul dalam dirinya. Ia merasa sangat marah sampai ia hampir tidak bisa menahan diri.

Seumur hidupnya ia tidak pernah berpikir untuk bertindak kasar. Tidak pernah satu kali pun. Tetapi kini ia tiba-tiba merasakan desakan hebat untuk menghajar pemabuk yang mengasari Kim So Eun itu. Tidak, menghajar saja tidak cukup. Ia bahkan bisa membunuh orang itu.

“Tapi aku tidak apa-apa,” kata Kim So Eun cepat dan memaksakan tawa hambar. “Aku menjerit dan menjerit terus. Untungnya tepat pada saat itu ada dua polisi yang berpatroli di sekitar sana. Mereka mendengar jeritanku. Pemabuk itu tidak sempat melakukan apa-apa selain... selain... menyentuh. Maksudku, dia tidak sempat bertindak lebih jauh.”

Kim Bum melepaskan pelukannya dan menatap Kim So Eun. “Polisi menahan orang itu, bukan?”

Kim So Eun mengangguk. Kemudian seakan tersadar bahwa ia begitu dekat dengan Kim Bum, ia bergerak gelisah dan bergeser menjauh sedikit dari Kim Bum. “Seperti yang sudah kukatakan padamu, aku baik-baik saja dan aku bisa menjaga diri. Sungguh.” Ia menatap Kim Bum dan tersenyum. “Sebenarnya, Kim Bum, kau tahu benar aku bisa menjaga diri karena aku pernah menghajarmu ketika kau baru pindah ke sini. Kukira kau penguntit.”

Alis Kim Bum terangkat heran. “Oh, ya?”

“Tentu saja,” sahut Kim So Eun dan tertawa kecil. “Kau sampai berteriak minta ampun.”

Seolah-olah punya pikiran sendiri, sebelah tangan Kim Bum terangkat dan menyentuh pipi Kim So Eun. “Aku yakin kau bisa menjaga diri,” gumamnya sambil tersenyum, “tapi kau tidak akan mengalami hal seperti itu lagi. Aku berjanji.”

Mereka berpandangan beberapa saat. Kim Bum bisa melihat sinar heran dalam mata Kim So Eun. Gadis itu pasti bingung dengan ucapannya. Kim Bum sendiri tidak paham kenapa ia selalu mengatakan hal-hal tidak terduga saat di dekat Kim So Eun.

Sambil berdeham Kim Bum menurunkan tangannya dari pipi Kim So Eun dan berdiri.

“Kau sudah makan malam?” tanyanya ringan, dan melihat gadis itu agak heran dengan arah percakapan yang tiba-tiba berubah.

Kim So Eun menggeleng.

“Bagaimana kalau kita pergi makan?”

Kening Kim So Eun berkerut tidak setuju. “Kau masih mau berkeliaran malam-malam walaupun sudah mulai flu?”

“Di dekat-dekat sini saja,” kata Kim Bum sambil mengenakan jaketnya. “Tentunya ada tempat makan di sekitar sini?”

Kim So Eun ragu sejenak, lalu menggerutu, “Ada Warung tenda pinggir jalan yang dulu sering kita kunjungi di dekat sini.”

“Bagus.” Kim Bum tersenyum lebar. “Kita makan di sana saja. Ayo.”

Tadi ketika ia berlutut di hadapan Kim So Eun dan menatap ke dalam mata gadis itu, hati Kim Bum terasa sakit. Apa yang baru saja didengarnya dari Kim So Eun benar-benar membuatnya merasa sulit bernapas. Kim So Eun memang kini baik-baik saja. Ia gadis yang kuat. Tetapi apa yang akan terjadi kalau Kim So Eun terluka? Apa yang akan terjadi kalau sesuatu yang buruk menimpa Kim So Eun? Apa yang akan terjadi? Apa yang akan terjadi pada Kim Bum? Bagaimana Kim Bum harus menanggungnya?

Kesadaran itu sangat mengejutkan dan Kim Bum butuh beberapa saat untuk mencernanya. Dari mana datangnya perasaan yang begitu kuat itu?

Akhirnya Kim So Eun mendesah pelan dan tersenyum. Senyum tulus kedua dalam hari itu, dan Kim Bum merasa seakan ia baru menerima penghargaan. Senyum gadis itu memiliki pengaruh terhadap dirinya. Membuatnya perasaannya membaik.

Membuatnya merasa gembira. Membuatnya merasa seolah-olah ia bisa menghadapi dunia.

Kim Bum tiba-tiba menyadari selama Kim So Eun berada di dekatnya, segalanya akan baik-baik saja. Dirinya juga akan baik-baik saja.

Selama gadis itu ada di sisinya...

Dan saat itu juga kesadaran lain menerjang dirinya. Sepertinya ia, Kim Bum.

Kim Bum, telah jatuh cinta kepada Kim So Eun.

Astaga, apakah itu mungkin?

Bersambung…

Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...