Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 13 Agustus 2011

Spring Love (Chapter 11)



Hari sudah menjelang sore ketika Kim Bum terjaga. Kepalanya masih terasa berat, namun tidak berputar-putar lagi. Ia turun dari tempat tidur dan menyadari bahwa kakinya juga terasa lebih mampu menopang tubuhnya. Ia meraba keningnya. Sepertinya suhu tubuhnya juga sudah turun. Bagus. Ia ingin cepat-cepat sembuh. Ia benci merasa tidak berdaya seperti ini.

Ia baru mau bangun dan berjalan ke pintu ketika ponselnya berdering. Seulas senyum tipis muncul di wajahnya ketika melihat siapa yang meneleponnya. “Mm, Noona,” gumamnya begitu ponsel ditempelkan ke telinga.

“Pembicaraan kita kemarin belum selesai, Kim Bum,” kata kakaknya tanpa basa-basi.

“Tapi, ngomong-ngomong, ada apa dengan suaramu?”

“Tidak apa-apa, Noona,” ujar Kim Bum, lalu berdeham pelan. “Tenggorokanku hanya agak kering.”

“Baiklah,” kata Yoon Eun Hye tanpa curiga. “Kalau begitu, bagaimana kelanjutan ceritamu kemarin?”

Kim Bum mendesah dalam hati. Ia ingat pembicaraan terakhir dengan kakaknya. Saat itu kakaknya bertanya apakah ia sudah bertemu dengan seseorang di Paris.

Sebenarnya Kim Bum belum ingin bercerita kepada kakaknya tentang Kim So Eun. Ia memang menyadari bahwa Kim So Eun mulai menerimanya dan ia senang dengan hubungan mereka sekarang. Mereka sering bertemu, mengobrol, dan menghabiskan waktu bersama. Namun entah kenapa Kim Bum selalu merasa masih ada sebagian diri Kim So Eun yang menahan diri. Seolah-olah gadis itu masih tidak sepenuhnya percaya padanya.

Tetapi apakah itu hanya perasaannya sendiri?

“Kim Bum, aku sedang bicara padamu.”

Kim Bum harus menyeret perhatiannya kembali kepada suara kakaknya di telepon. “Maaf, Noona,” katanya. “Sekarang aku masih bingung.”

“Katakan padaku, apakah dia cantik?” tanya Yoon Eun Hye, mengabaikan kata-kata Kim Bum.

“Ya,” gumam Kim Bum, lalu menarik napas dan mengembuskannya. “Seperti boneka.”

“Apa?”

Kim Bum tertawa pendek. “Dia punya mata seperti mata boneka. Setidaknya itulah yang kupikirkan ketika aku pertama kali bertemu dengannya.”

“Begitukah? Lalu apa lagi?”

Kim Bum kembali mengenang pertemuan pertamanya dengan Kim So Eun. “Awalnya dia terlihat dingin dan sulit didekati. Tapi kalau kau berhasil mendekatinya dan mengenalnya lebih baik, kau akan tahu bahwa dia sebenarnya orang yang menarik. Dan semakin kau mengenalnya, kau akan mendapati dirimu merasa...” Ia terdiam. Kata-kata itu sudah berada di ujung lidahnya. Kau akan mendapati dirimu merasa gembira setiap kali berada di dekatnya. Tetapi ia tidak mungkin mengatakannya kepada kakaknya. Akhirnya ia hanya bergumam, “Ya, begitulah.”

“Kau mendapatkan semua kesan itu hanya pada pertemuan pertama?” Tanya Yoon Eun Hye dengan nada tidak percaya. “Astaga, dia pasti gadis yang luar biasa. Berarti kali ini Ibu sudah membuat pilihan yang benar?”

“Apa?” Kim Bum mengerutkan kening. “Apa hubungan semua ini dengan Ibu?”

“Kita sedang membicarakan gadis yang ingin dijodohkan Ibu denganmu, bukan? Gadis yang kau temui kemarin siang?” Yoon Eun Hye balas bertanya. “Atau apakah kita sedang membicarakan dua orang yang sama sekali berbeda?”

Kim Bum mengerang dalam hati. Ternyata yang dimaksud kakaknya adalah Park Shin Hye yang ditemui Kim Bum kemarin siang, bukan Kim So Eun. Astaga, otaknya sudah kacau. “Oh, maksud Noona gadis yang itu?” gumam Kim Bum datar.

“Kau membicarakan gadis yang berbeda,” sela Yoon Eun Hye blak-blakan. “Ternyata aku benar. Kau memang sudah bertemu dengan seseorang di sana.”

Kim Bum menghela napas dan menghembuskannya panjang-panjang. Akhirnya seulas senyum tersungging di bibirnya. “Ya,” gumamnya, lalu cepat-cepat menambahkan sebelum kakaknya bisa menyela, “tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya.”

“Kenapa? Lalu kapan?” tanya kakaknya bingung.

Sulit mengelak dari kakaknya, tetapi akhirnya Kim Bum berhasil memutuskan hubungan dan mendesah berat. Lalu tiba-tiba ia menoleh ke arah pintu kamarnya yang tertutup. Apakah Kim So Eun masih ada di luar sana? Rasanya agak tidak mungkin.

Kim Bum sudah tidur lebih lama daripada yang direncanakan. Mungkin gadis itu sudah pulang.

Kim Bum berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ruang duduknya sunyi senyap. Seberkas perasaan kecewa melandanya ketika menyadari bahwa Kim So Eun sudah tidak ada. Sebenarnya ia ingin terbangun dan mendapati Kim So Eun masih ada di sana. Ia ingin melihat gadis itu, melihat gadis itu tersenyum padanya dengan cara yang selalu membuat hatinya terasa ringan.

Kim Bum kembali mendesah berat dan berbalik hendak pergi ke dapur. Tetapi tiba-tiba ia melihat sesuatu dari sudut matanya. Ia berbalik menghampiri sofa panjang di ruang duduk dan dihadapkan pada pemandangan yang tidak diduganya, namun membuat seulas senyum tersungging di bibirnya.

Ternyata Kim So Eun belum pulang. Gadis itu masih ada di sana dan saat ini ia sedang berbaring menyamping di sofa, lututnya ditekuk dan kepalanya disandarkan ke lengan sofa. Tertidur pulas.

Kim Bum sedang mempertimbangkan apakah ia harus membangunkan Kim So Eun atau tidak ketika gadis itu mendadak terjaga dan langsung terkesiap keras.

“Ini aku,” gumam Kim Bum cepat ketika Kim So Eun melompat berdiri dan menjauh dari sofa. Ia menatap Kim Bum dengan mata terbelalak kaget dan... takut? Jantung Kim Bum mencelos. Astaga, itu adalah tatapan yang dulu sering dilihat Kim Bum pada awal perkenalan mereka. Tatapan Kim Bum beralih ke tangan Kim So Eun yang terkepal di sisi tubuhnya. Alis Kim Bum berkerut samar ketika melihat tangan Kim So Eun gemetar.

Kenapa tangan gadis itu gemetar? “Ini aku,” gumam Kim Bum sekali lagi.

Kim So Eun mengerjap satu kali, dua kali, dan Kim Bum melihat sinar ketakutan itu menghilang dari mata Kim So Eun. Gadis itu tertawa pendek dan berkata ringan, “Tentu saja aku tahu itu kau.”

Benarkah? tanya Kim Bum dalam hati. Benarkah Kim So Eun tadi tahu bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Kim Bum? Lalu kenapa Kim So Eun bereaksi seperti itu?

Kenapa ia ketakutan begitu?

Kim Bum menatap Kim So Eun dengan tajam dan bertanya-tanya.

Kenapa selama sesaat tadi aku mendapat kesan kau mengira aku adalah orang lain?

* * *

Jantung Kim So Eun masih berdebar kencang. Seluruh tubuhnya terasa dingin dan kaku. Selama sesaat ia dilanda kepanikan yang membuatnya mati rasa. Matanya terbelalak menatap sosok di hadapannya. Namun perlahan-lahan sosok kabur itu semakin jelas. Lalu ia melihat Kim Bum. Kim Bum. Yang berdiri di depannya adalah Kim Bum.

“Ini aku.” Kim So Eun mendengar kata-kata yang diucapkan dengan perlahan itu. Ia mengerjap satu kali, dua kali, lalu mendengar kata-kata itu lagi. Kali ini lebih jelas. “Ini aku.”

Sedetik kemudian Kim So Eun mulai menyadari apa yang terjadi dan di mana dirinya berada saat itu. Ia menatap Kim Bum yang berdiri di hadapannya dengan wajah cemas dan alis berkerut samar. Lalu ia menyadari bahwa sikapnya yang berlebihan mungkin membuat Kim Bum heran. Kim So Eun menjilat bibirnya yang kering dan mencoba tertawa. Kedengarannya sumbang. “Tentu saja aku tahu itu kau,” katanya. Lalu karena Kim Bum terus menatapnya dengan alis berkerut tanpa berkata apa-apa, Kim So Eun cepat-cepat berdeham dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu sekarang?”

Kim Bum menatapnya sambil tersenyum kecil. “Sudah lebih baik,” sahutnya agak lemah. “Karena kau ada di sini.”

Saat itu debar jantung Kim So Eun yang sudah kembali normal kembali melonjak begitu mendengar kata-kata Kim Bum. Apa-apaan ini? Kim Bum selalu suka bercanda.

Lalu kenapa Kim So Eun berdebar-debar hanya karena kata-kata ringan dan tidak berarti itu? Kim So Eun cepat-cepat mengendalikan diri dan berdeham. “Kau mau makan sesuatu? Aku sudah membuat Teh ketika kau tidur tadi. Dan kau juga harus makan sedikit. Setelah itu minum obat.”

Kim So Eun tidak yakin apakah Kim Bum menyadari usahanya untuk mengalihkan pembicaraan atau tidak, tetapi laki-laki itu tidak berkomentar apa-apa. Kim Bum mengikuti Kim So Eun ke dapur dan duduk diam di meja dapur sementara Kim So Eun menuangkan Teh dan menyiapkan sandwich untuknya.

“Jadi apa yang kaulakukan selama aku tidur?” tanya Kim Bum ketika Kim So Eun sudah duduk di hadapannya dengan sepotong sandwich di tangan.

“Melihat-lihat flatmu,” sahut Kim So Eun ringan. “Membongkar semua lemari dan laci yang ada.”

“Asal kau tahu, ini flat kakak perempuanku,” kata Kim Bum. “Jadi kalau kau menemukan barang-barang mencurigakan, itu bukan milikku.”

Kim So Eun tersenyum melihat Kim Bum mengunyah sandwich-nya. Setidaknya selera makannya sudah membaik. “Aku hanya bercanda,” kata Kim So Eun. “Setelah aku berkeliling flatmu sampai bosan, aku menelepon ibu dan adikku. Oh, jangan khawatir, aku memakai ponselku sendiri.”

“Kau pasti bosan setengah mati,” gumam Kim Bum.

Kim So Eun mengangkat bahu.

“Aku minta maaf karena kau terpaksa menemani orang sakit di hari liburmu,” kata Kim Bum, “sementara aku yakin kau pasti sudah memiliki segudang rencana untuk hari liburmu.”

Kim So Eun memiringkan kepala, berpikir apakah ia harus jujur atau tidak. Akhirnya ia lalu menghela napas dan berkata, “Tidak juga. Aku hanya ingin ke salon dan berbelanja sedikit hari ini. Setelah itu aku berencana membujukmu makan malam bersamaku.”

Kim Bum tersenyum. “Setidaknya sebagian rencanamu berhasil. Kita memang sedang makan malam bersama sekarang,” katanya sambil mengayunkan tangan ke arah sandwich di atas meja.

“Kau benar,” sahut Kim So Eun, lalu tertawa.

Sejenak Kim Bum hanya tertegun menatapnya. Sebelum Kim So Eun sempat bertanya, laki-laki itu kembali menunduk menatap sandwich-nya dan berdeham. “Karena kau sudah berbaik hati menemaniku hari ini, aku akan melakukan hal yang sama untukmu. Aku akan menemanimu seharian penuh. Kalau aku sudah sembuh nanti.”

Mata Kim So Eun bersinar-sinar. “Kau akan menemaniku seharian penuh?”

Kim Bum mengangguk. “ya.”

“Dan kita akan melakukan apa pun yang kuinginkan?”

Kim Bum mengangguk lagi. “Tentu saja.”

“Apa pun?”

Kim Bum menyipitkan mata dan tersenyum. “Dengan anggapan kau tidak akan memintaku melakukan sesuatu yang melanggar hukum, ya, aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan selama satu hari itu.”

Senyum Kim So Eun mengembang, dan ia sama sekali tidak tahu apa pengaruh senyumnya terhadap Kim Bum. Saat itu Kim Bum memang bersedia melakukan apa saja. Apa saja. Agar ia selalu bisa melihat Kim So Eun tersenyum padanya seperti itu.

Hanya padanya. Dan sebelum ia benar-benar menyadari apa yang dilakukannya, kata-kata itu sudah meluncur dari lidahnya. “Katakan padaku kau tidak tertarik pada Kim Heechul.”

Alis Kim So Eun terangkat. “Apa?”

Kim Bum mendesah dan memejamkan mata. Sebelah tangannya terangkat memegang kening. “Lupakan saja. Aku tidak tahu apa yang kukatakan,” gumamnya pelan, lalu bangkit dari kursi sambil membawa cangkir Teh-nya. “Aku mau berbaring di sofa.”

Kening Kim So Eun berkerut bingung sementara ia menatap Kim Bum yang berjalan pelan ke arah ruang duduk. “Kenapa kau mengira aku tertarik pada Kim Heechul?” tanyanya langsung. “Kau tahu benar dia gay.”

Kim Bum berhenti melangkah, lalu perlahan-lahan berbalik menghadap Kim So Eun. Ia menghembuskan napas dan mengangkat bahu. “Entahlah,” ujarnya lirih. “Mungkin karena dia memiliki mata indah yang bisa membuat wanita mana pun melupakan kenyataan bahwa dia seorang gay?” Kim Bum terdiam sejenak.

Ia mengerang. “Astaga. Otakku benar-benar kacau. Aku sedang tidak bisa berpikir jernih. Lupakan saja kata-kataku.”

Ketika Kim Bum hendak berbalik lagi, Kim So Eun berkata, “Aku tidak tertarik padanya. Sudah kukatakan padamu kemarin.”

“Tapi kau bilang kau merasakan sesuatu untuknya,” kata Kim Bum, masih mengingat jelas pembicaraan mereka kemarin di flat Kim So Eun.

Kim So Eun mengangkat bahu. “Kau tidak bertanya padaku apakah aku merasakan sesuatu untuk Kim Heechul.”

“Aku ingat jelas aku menanyakannya,” Kim Bum menegaskan. “Dan aku ingat kau menjawab ya.”

“Kim Bum,” sela Kim So Eun pelan, “kau bertanya apakah aku merasakan sesuatu. Kau tidak menyebut untuk siapa.”

Kim Bum terlihat bingung. “Lalu?”

Kim So Eun menarik napas dalam-dalam. “Aku... memang merasakan sesuatu,” katanya pelan. Matanya menatap lurus ke mata Kim Bum. Debar jantungnya semakin jelas terdengar dan ia bertanya-tanya apakah Kim Bum juga bisa mendengarnya. “Tapi bukan... eh, bukan untuk... Kim Heechul.”

Kim Bum masih berdiri di sana. Kerutan di alisnya perlahan-lahan menghilang ketika kata-kata Kim So Eun akhirnya diserap otaknya yang masih terasa berkabut.

Keheningan di ruangan itu mendadak dipecahkan bunyi bel pintu.

Begitu Kim So Eun membuka pintu, Park Shin Hye berdiri di hadapannya sambil tersenyum lebar. “Hai, Kim So Eun, kau masih ada di sini?” tanyanya ceria.

Kim So Eun mengerjap. “Oh, Park Shin Hye, hai. Masuklah.” Ia melangkah ke samping dan membiarkan Park Shin Hye berjalan masuk.

“Aku sedang dalam perjalanan pulang dari kantor dan kupikir sebaiknya aku mampir untuk melihat keadaan Kim Bum,” kata Park Shin Hye ringan. Ia menoleh ke arah Kim Bum dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu sekarang?”

Kim Bum mengangkat sebelah tangan dan tersenyum. “Aku sudah merasa jauh lebih baik sekarang. Terima kasih atas perhatianmu.”

“Kau sudah makan?” tanya Park Shin Hye. “Aku bisa membelikan sesuatu. Atau membuatkan sesuatu.”

“Tidak. Tidak perlu,” sahut Kim Bum. “Aku sudah makan sedikit tadi. Aku hanya ingin istirahat sekarang.”

“Oh,” gumam Park Shin Hye sambil mengangguk-angguk, terlihat agak kecewa walaupun ia berusaha keras menjaga wajahnya tetap datar.

Kim Bum mengalihkan pandangan ke arah Kim So Eun. “Kim So Eun, sebaiknya kau juga pulang sekarang. Kau pasti lelah,” katanya. “Aku sudah terlalu banyak merepotkanmu. Kalian berdua. Hari ini. Aku sudah tidak apa-apa sekarang.”

“Oh.” Kim So Eun memandangnya, lalu memandang Park Shin Hye, lalu kembali menatap Kim Bum. “Baiklah kalau begitu.”

“Aku bisa mengantarmu pulang kalau kau mau,” Park Shin Hye menawarkan diri.

“Ya, tentu saja,” sahut Kim So Eun, lalu ia pergi ke ruang duduk untuk mengambil tas dan jaketnya. Ketika ia kembali, Park Shin Hye sudah berdiri di ambang pintu bersama Kim Bum.

“Kalau ada apa-apa, jangan ragu-ragu menghubungiku,” kata Park Shin Hye kepada Kim Bum.

Kim Bum tersenyum. “Baiklah. Terima kasih banyak.”

Ketika Park Shin Hye berbalik dan mulai berjalan pergi, Kim So Eun menoleh ke arah Kim Bum.

“Jangan lupa minum obat dan langsung tidur,” katanya pelan. Lalu ia melirik meja makan yang masih belum dibereskan dan menambahkan, “Kau tidak perlu membereskan mejanya sekarang. Kalau besok kau masih belum merasa lebih baik kau harus...”

Aliran kata-katanya terhenti ketika Kim Bum tiba-tiba menempelkan telapak tangannya di kedua sisi kepala Kim So Eun. Secara naluriah Kim So Eun menarik diri, namun tangan besar yang menangkup pipi dan menempel di telinganya itu tidak bergerak.

Kim So Eun tidak bisa bergerak. Hanya bisa berdiri di sana dan mendongak menatap Kim Bum dengan mata melebar kaget. Tangan Kim Bum terasa besar. Dan hangat. Sama sekali tidak menakutkan. Sesaat jantung Kim So Eun seolah-olah berhenti berdegup, lalu mulai berdebar dan semakin lama semakin cepat. Ia tidak bisa bernapas. Oh, Tuhan...

“Berhentilah merasa cemas,” kata Kim Bum pelan. Seulas senyum tersungging di bibirnya. “Aku pasti akan minum obat dan langsung naik ke tempat tidur. Aku tidak akan membereskan meja makannya sekarang. Dan kalau besok aku masih merasa seperti mayat hidup, aku akan langsung pergi ke rumah sakit. Oke?”

Kim So Eun hanya bisa mengangguk tanpa suara.

“Bagus.” Senyum Kim Bum melebar. Ia menurunkan tangannya ke bahu Kim So Eun.

“Sekarang pergilah. Aku akan meneleponmu nanti.”

Saat ini Kim So Eun baru menyadari bahwa ia sedang menahan napas. Akhirnya ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk.

* * *

“Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kau mengenalnya?” tanya Park Shin Hye ketika ia melajukan mobilnya meninggalkan gedung apartemen Kim Bum.

Kim So Eun menoleh. “Hm?”

“Kim Bum,” kata Park Shin Hye. Ia melirik Kim So Eun sekilas, lalu kembali menatap jalan di depannya. “Sudah berapa lama kau mengenal Kim Bum?”

“Tidak terlalu lama.”

Park Shin Hye tersenyum lebar. “Dia sangat tampan, bukan?”

Kim So Eun memaksa diri balas tersenyum. “Mm.”

“Dan sangat sopan.”

“Mm.” Kim So Eun memandang ke luar jendela. Dan sangat baik, pikirnya. Sangat menyenangkan, sangat...

“Aku menyukainya.”

Kepala Kim So Eun berputar kembali menatap Park Shin Hye. “Apa?”

Park Shin Hye tertawa senang. “Aku menyukainya, Kim So Eun. Sangat menyukainya,” katanya tegas. “Aku senang ibuku memaksaku pulang ke Korea waktu itu. Kalau aku tidak pulang, aku tidak akan menghadiri pesta ulang tahun kakekku dan tidak akan pernah bertemu dengan ibu Kim Bum yang berniat menjodohkanku dengan putranya.”

Tiba-tiba saja Kim So Eun merasa seolah-olah tekanan udara di dalam mobil berkurang dengan cepat. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan pelan. Berat. Udara terasa berat. Ada apa ini?

“Aku mengatakannya padamu karena kau temanku. Karena itu kau harus membantuku,” lanjut Park Shin Hye.

Kim So Eun mengerjap. Ada sesuatu dalam nada suara Park Shin Hye yang membuatnya heran.

Park Shin Hye menoleh menatapnya sejenak dan tersenyum. “Kim So Eun, kau mau membantuku, bukan?”

Oh, Tuhan. Kim So Eun menarik napas dalam-dalam. Apa yang harus dikatakannya?

Ya, ia akan membantu Park Shin Hye walaupun sebenarnya ia tidak ingin melakukannya?

Atau tidak, ia tidak akan membantu Park Shin Hye mendekati Kim Bum? Tetapi kalau Park Shin Hye bertanya kenapa Kim So Eun tidak mau membantu, apa yang harus dikatakannya?

Bahwa ia sendiri juga...

Kim So Eun tertegun. Apa? Astaga... Apa yang dipikirkannya tadi? Tidak, itu tidak mungkin. Kim So Eun memalingkan wajah, memandang kosong ke luar jendela. Jari-jari tangannya mendadak terasa dingin dan dadanya mendadak terasa nyeri. Apa pun yang saat ini disangkanya sedang dirasakannya sangat tidak mungkin. Sangat tidak mungkin.

“Kim So Eun?”

Panggilan Park Shin Hye menembus otak Kim So Eun yang kalut. Kim So Eun menoleh dan berusaha memasang wajah datar. “Ya?”

Park Shin Hye memandangnya dengan tatapan bertanya. “Jadi bagaimana? Kau akan membantuku, bukan?”

Kim So Eun berharap Park Shin Hye tidak mendesaknya seperti itu. Lagi pula Park Shin Hye bukan wanita pemalu yang membutuhkan bantuan mak comblang untuk menjalin hubungan dengan pria mana pun. Namun karena ia sedang tidak ingin berdebat panjang-lebar, Kim So Eun memaksakan seulas senyum kecil dan bergumam, “Tentu.”

Senyum Park Shin Hye mengembang. Kim So Eun kembali memalingkan wajah ke luar jendela dan menghela napas panjang. Apa pun yang saat ini disangkanya sedang dirasakannya sangat tidak mungkin. Sangat tidak mungkin.

Karena ia sama sekali tidak boleh lupa siapa Kim Bum sebenarnya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...