Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 20 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 4)



“Eonni, Lee Ki Kwang sudah pulang?” tanya Kim So Eun sambil melangkah masuk ke apartemen 102.

Yoon Eun Hye menutup pintu dan menyusul Kim So Eun ke ruang tamu. “Belum. Sepertinya hari ini dia akan pulang malam.” Alisnya berkerut sedikit ketika mengamati Kim So Eun.

“Kau sedang flu, ya? Suaramu sengau.”

“Ya,” gumam Kim So Eun lesu. Ia sudah merasakan gejala flu sejak pagi dan sudah minum obat, tetapi ternyata tidak berpengaruh karena keadaannya tidak membaik. Ia menghembuskan napas keras dan duduk di salah satu bantal yang ada di lantai ruang tamu. Ia menopangkan siku di atas meja dan mengeluh, “Bagaimana ini?” Ia menoleh ke arah Yoon Eun Hye dan baru menyadari tetangganya itu berpakaian rapi.

“Kau mau pergi, Eonni?”

Yoon Eun Hye menatap bayangannya di cermin bulat yang tergantung di dinding. “Ya. Pergi makan malam dengan teman.” Setelah bentuk rambutnya dianggap sempurna, Yoon Eun Hye menoleh menatap Kim So Eun. “Ngomong-ngomong, kenapa kau mencari Lee Ki Kwang?”

Kim So Eun berdiri dan menghampiri Yoon Eun Hye dengan ekspresi merajuk. “Aku mau memintanya mengganti bola lampu di apartemenku.”

“Oh,” gumam Yoon Eun Hye sambil mengangguk. “Bola lampu sebelah mana?”

“Ruang duduk.” Kim So Eun belum pernah mengganti bola lampu dan Yoon Eun Hye sama saja.

Selama ini mereka selalu meminta bantuan Lee Ki Kwang untuk melakukan pekerjaan semacam itu. Itulah keuntungan punya saudara laki-laki. Bisa dimintai tolong.

“Lee Ki Kwang belum pulang,” ulang Yoon Eun Hye. “Bagaimana dengan Kim Bum?”

Kim So Eun menggeleng. “Belum pulang juga.”

Yoon Eun Hye mendecakkan lidah. “Ke mana semua pria itu saat dibutuhkan?” gerutunya.

“Ada Song Chang Ui Oppa,” kata Kim So Eun sambil tersenyum geli begitu teringat Song Chang Ui.

“Tapi aku tidak tega memintanya memanjat-manjat tangga demi mengganti bola lampu. Kakinya yang terkilir itu masih sakit setelah kemarin terjatuh di tangga.”

Yoon Eun Hye tertawa kecil. “Berarti kau harus menunggu Lee Ki Kwang atau Kim Bum pulang. Tidak ada pilihan lain.”

“Tapi, Eonni, apartemenku gelap gulita,” Kim So Eun mengerang. Ia tidak suka gelap.

Ia takut gelap. Memang usianya sudah 25 tahun, tapi apa boleh buat? Sampai sekarang ia masih harus menyalakan lampu kecil kalau tidur.

“Jangan berlebihan,” kata Yoon Eun Hye sambil mengenakan jaketnya. “Hanya ruang dudukmu yang gelap. Kamar tidurmu tidak.”

“Kau mau pergi sekarang, Eonni?” tanya Kim So Eun dengan nada cemas.

“Teman-temanku sudah menunggu,” kata Yoon Eun Hye. Ia berjalan ke jendela dan menyibakkan tirai.

“Di luar masih hujan deras,” kata Kim So Eun, berharap Yoon Eun Hye akan menunggu hujan reda sehingga ada yang menemaninya di sini.

“Aku bisa bawa payung,” kata Yoon Eun Hye sambil mengangkat bahu. “Tidak enak kalau aku sampai datang terlambat.” Ia berjalan ke pintu dan mengenakan sepatunya. Kemudian ia menoleh dan menambahkan, “Tentu saja kau boleh menunggu di sini kalau kau mau.”

“Eooni, tunggu dulu!”

Tepat pada saat itu lagu Love Love Love-nya FT Island terdengar nyaring. Nada dering ponsel Kim So Eun. Ia cepat-cepat menjawab. “Hallo?”

“Kim So Eun!” Terdengar suara riang di seberang sana dengan latar belakang suara hujan.

Alis Kim So Eun terangkat. “Kim Bum?”

“Kim So Eun,” panggil Kim Bum sekali lagi. “Sedang apa kau?”

“Tidak sedang apa-apa.”

“Apa yang terjadi dengan suaramu?”

“Hanya sedikit flu. Ada apa menelepon?” Sebelum Kim Bum sempat menjawab, Kim So Eun melanjutkan lagi, “Ah, aku tahu. Setiap kali mau meminta bantuan kau selalu menelepon-ku.”

“Bingo!” seru Kim Bum gembira. “Walaupun baru bertetangga dua minggu, ternyata kita sudah bisa saling memahami. Aku senang sekali.”

Kim So Eun tertawa hambar. “Baiklah, ada apa?”

“Kim So Eun, kau tahu sekarang sedang hujan?”

“Ya.”

“Aku baru turun dari bus dan sekarang sedang duduk menunggu di halte bus.”

“Lalu?”

“Hujannya deras sekali.”

“Lalu?”

“Bukankah sudah jelas? Aku tidak membawa payung dan aku sudah kedinginan. Aku bosan menunggu hujan berhenti. Ditambah lagi hujannya tidak mau berhenti-berhenti.”

Kim Bum berhenti sejenak dan berdeham. “Jadi, kau bisa menjemputku?”

“Menjemputmu?”

Kim Bum buru-buru meralat, “Mengantarkan payung untukku. Bisa? Tolong? Aku bersedia menemanimu sepanjang Hari Natal... oh, kau akan pulang ke Incheon pada Hari Natal, ya? Kalau begitu aku akan menemanimu sepanjang malam Natal minggu depan kalau kau mau mengantarkan payung untukku.”

Kim So Eun tidak butuh waktu lama untuk berpikir. “Tunggu di sana. Aku akan datang.”

“Ada apa dengan Kim Bum?” tanya Yoon Eun Hye yang ternyata belum pergi. Ia heran menatap Kim So Eun yang buru-buru mengenakan sepatunya kembali.

“Dia lupa membawa payung dan tidak bisa berjalan pulang dalam hujan sederas ini,” jelas Kim So Eun cepat.

“Jadi kau mau menjemputnya?”

Kim So Eun mengangguk. “Lebih cepat dia pulang, lebih cepat dia bisa membantuku memasang bola lampu baru.” Lalu seakan baru terpikir akan sesuatu, ia menambahkan sambil menggerutu, “Dan bukan karena aku berharap dia menemaniku pada malam Natal.”

* * *

Kim Bum duduk di bangku panjang yang tersedia di halte bus sambil memandangi hujan yang turun dengan lebat. Tidak mungkin ia bisa berjalan pulang tanpa membuat dirinya basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tentu saja kalau ia menerima tawaran Paman Song Seung Hun yang ingin meminjamkan mobil untuknya, ia tidak perlu berdesak-desakan di kereta atau bus dan tidak perlu berbasah-basah ria. Tetapi tidak apa-apa. Memang ini yang diinginkannya. Ia menghembuskan napas dan memperhatikan uap putih yang keluar dari mulutnya seperti asap rokok. Ia menggigil kedinginan. Tadi ia sudah menelepon Kim So Eun dan gadis itu bilang sendiri kalau ia bersedia datang menjemputnya. Jadi Kim Bum hanya perlu menunggu dengan sabar.

Sebuah bus berhenti di halte dan beberapa penumpang turun sambil memegang payung masing-masing. Kim Bum meringis. Sepertinya hanya ia sendiri yang tidak mempersiapkan payung. Dulu ia memang tidak pernah membutuhkan payung. Ia selalu mengendarai mobil sendiri ke mana pun ia pergi. Ia memperhatikan orang-orang yang baru turun dari bus itu membuka payung dan langsung berjalan menembus hujan.

Pulang ke rumah masing-masing.

Tinggal seorang laki-laki bermantel cokelat panjang yang sedang membuka paying hitam besar. Kim Bum sekilas memperhatikan laki-laki yang berdiri di sampingnya itu.

Masih muda, mungkin sebaya Kim Bum, dengan rambut hitam yang dipotong pendek dan rapi. Wajahnya tampan. Orang-orang yang melihatnya pasti akan berpikir laki-laki itu orang yang ramah. Merasa tidak sopan karena memelototi orang lain, Kim Bum memalingkan wajah kembali memandang hujan di luar sana. Ia melirik jam tangannya dan mendesah sekali lagi. Kenapa Kim So Eun lama sekali?

“Maaf.”

Kim Bum menoleh. Laki-laki yang tadi dipelototinya sedang menatapnya dengan ragu.

“Kim Bum?” tanya laki-laki itu masih dengan sikap ragu-ragu.

“Ya,” gumam Kim Bum kaget. Bagaimana orang itu bisa tahu namanya?

Kerutan ragu di wajah laki-laki bermantel cokelat itu menghilang. Wajahnya berubah cerah dan ia menghampiri Kim Bum. “Kim Bum! Ternyata benar kau. Awalnya aku tidak yakin. Wah, kau sudah berubah.” Melihat Kim Bum yang masih sibuk mengingat-ingat, ia menambahkan, “Sudah lupa padaku? Ini aku. Jung Yong Hwa.”

“Jung Yong Hwa?” gumam Kim Bum dengan kening berkerut. Lalu perlahan-lahan dalam benaknya terbayang seorang anak laki-laki berambut aneh yang sangat tertarik dengan pelajaran biologi. Mata Kim Bum terbelalak senang. “Jung Yong Hwa! Astaga! Lama tidak bertemu. Senang sekali melihatmu lagi, Teman. Apa kabar?”

* * *

Kim So Eun berjalan cepat sambil mencoba bersiul untuk menghibur diri, tetapi tidak berhasil.

Cuaca yang dingin dan flu membuat siulannya seperti bunyi balon kempes. Ia sudah hampir sampai di halte bus yang dimaksud Kim Bum. Tepat di belokan jalan itu.

“Nah, itu Kim Bum,” gumam Kim So Eun pada diri sendiri ketika membelok dan melihat sosok Kim Bum yang berdiri di halte bus. Oh, ternyata Kim Bum tidak sendirian. Ia asyik mengobrol dengan seorang laki-laki bermantel cokelat panjang sambil tertawa-tawa akrab. Namun sebelum Kim So Eun sempat menghampiri mereka untuk melihat dan mendengar lebih jelas, laki-laki bermantel cokelat itu menjabat tangan Kim Bum, membuka payungnya dan berjalan menembus hujan, meninggalkan Kim Bum sendirian di halte bus. Kim So Eun melihat Kim Bum mendongak memandangi hujan yang terus turun.

Laki-laki itu bahkan tidak sadar ketika Kim So Eun menghampirinya.

“Aku sudah datang.”

Kim Bum menoleh dengan cepat. Alisnya terangkat begitu menyadari Kim So Eun sudah berdiri di dekatnya. Senyumnya mengembang. “Kau benar-benar datang! Kau baik sekali. Sungguh!”

Kim So Eun mengulurkan payung lipat yang dibawanya untuk Kim Bum. “Memangnya kaupikir aku tidak akan datang?”

“Aku tidak tahu kalau kau benar-benar ingin menghabiskan malam Natal bersamaku,” gurau Kim Bum riang.

“Terserah apa yang kaupikirkan,” sela Kim So Eun ringan, sudah terbiasa dengan Kim Bum yang suka bercanda dan berbicara seenaknya.

Kim Bum menerima payung lipat yang disodorkan dan mengerutkan kening.

“Sepertinya flumu lebih parah daripada yang kukira.”

“Aku sudah minum obat. Besok juga sembuh,” Kim So Eun membantah sambil mengamati Kim Bum yang membuka lipatan payungnya. “Ngomong-nomong, tadi aku melihatmu berbicara dengan seseorang. Temanmu?”

Kim Bum mengangguk. “Teman sekolahku dulu. Kami kebetulan bertemu di sini. Hebat sekali, bukan?” katanya gembira. “Kami tidak sempat berbicara banyak karena dia harus mengunjungi pasiennya yang tinggal di sekitar sini. Oh ya, sekarang dia sudah menjadi dokter. Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengannya setelah sekian lama. Dan dia yang mengenaliku lebih dulu.”

Kim So Eun menarik lengan Kim Bum. “Ayo, kita mengobrol sambil jalan saja. Dingin sekali,” katanya. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah supaya Kim Bum bisa memasang bola lampu untuknya. “Lalu kau sudah menanyakan nomor teleponnya?”

“Ya. Kami juga sudah berencana bertemu besok,” sahut Kim Bum puas. Ia menoleh menatap Kim So Eun yang berjalan di sampingnya. “Ngomong-ngomong soal dokter, kalau besok flumu belum sembuh, sebaiknya kau ke dokter.”

Kim So Eun mendesah. “Sudah kubilang, aku punya obat dan sudah kuminum. Besok juga sembuh.”

“Kau mau kukenalkan kepada temanku yang tadi itu? Dia kan dokter.”

“Tidak perlu. Aku sudah punya dokter langganan.”

Tiba-tiba Kim Bum memegang siku Kim So Eun dan menariknya menepi tepat ketika sebuah mobil melewati mereka. Kim So Eun agak heran mendapat perlakuan seperti itu dari Kim Bum. Lebih heran lagi ketika ia menyadari laki-laki itu secara tidak mencolok telah bertukar posisi dengannya, sehingga kini Kim So Eun berjalan di bagian dalam jalan dan Kim Bum berjalan di sebelah luar. Menurut Kim So Eun sikap seperti itu sangat sopan dan penuh perhatian.

Sejak Kim Bum pindah ke apartemen 201 dua minggu yang lalu, Kim So Eun sudah memperhatikan bahwa Kim Bum selalu bersikap sopan walaupun gaya bicaranya asal-asalan.

Ia juga tetangga dan teman yang baik. Di samping itu, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Kim Bum sering mampir ke perpustakaan tempat Kim So Eun bekerja dan mengajaknya makan bersama.

Karena sering menghabiskan waktu bersama, Kim So Eun yakin sikap Kim Bum yang sopan itu bukan karena laki-laki itu ingin memamerkan diri, tapi karena memang sudah terbiasa melakukannya sehingga ia sendiri pun tidak menyadarinya. Kim Bum selalu membuka dan menahan pintu untuk Kim So Eun setiap kali mereka masuk dan keluar dari ruangan. Kalau mereka berjalan bersama seperti sekarang ini, Kim Bum selalu berjalan tepat di sampingnya, tidak pernah di depan atau di belakangnya. Tindakan kecil itu membuat Kim So Eun sangat terkesan. Zaman sekarang jarang sekali ada pria yang bersikap seperti itu. Mungkinkah sikap seperti itu didapat Kim Bum dari Amerika?

Tetapi semua sopan santun itu tidak terlalu berarti kalau seorang laki-laki tidak bisa melakukan satu hal yang paling penting.

Kim So Eun mendongak menatap Kim Bum sambil tersenyum manis. “Ngomong-ngomong, Kim Bum, kau bisa memasang bola lampu?”

* * *

“Lihat? Tinggal diputar begini saja,” kata Kim Bum sambil menunjukkan cara memasang bola lampu di ruang duduk apartemen Kim So Eun. “Kau benar-benar harus belajar. Masa pekerjaan segampang ini tidak bisa dilakukan? Harus menunggu orang lain melakukannya untukmu?”

Kim So Eun yang memegangi senter cemberut saja. “Aku takut kesetrum,” gerutunya pelan.

“Tidak akan kesetrum kalau kau hati-hati.”

Kim So Eun mencibir.

“Nah, selesai,” kata Kim Bum sambil turun dari tangga. “Coba nyalakan.”

Kim So Eun menjentikkan sakelar lampu. Tidak ada yang terjadi. Ruangan tetap gelap.

“Kim Bum, sebenarnya kau bisa memasang bola lampu atau tidak?” tanya Kim So Eun curiga.

Kim Bum mendongak menatap bola lampu yang baru dipasangnya dengan kening berkerut. “Sepertinya ini bukan masalah bola lampu yang rusak,” katanya. “Ada masalah dengan kabel listrikmu.”

“Lalu?”

“Kalau memang itu masalahnya, aku tidak bisa membantu.”

“Apa?”

Kim Bum mengangkat bahu. “Aku bukan tukang listrik. Sebaiknya kau memberitahu Song Chang Ui Hyung dan menelepon tukang listrik besok. Biar mereka yang memeriksa kerusakannya.”

“Tapi... Tapi...”

“Kenapa?” Kim Bum berbalik menghadap Kim So Eun.

“Bagaimana denganku?”

“Bagaimana denganmu?”

“Itu...” Kim So Eun menautkan jari-jarinya di depan dada dan tersenyum salah tingkah.

“Aku tidak suka gelap.”

Walaupun ruangan itu hanya disinari lampu senter yang remang-remang, Kim So Eun bisa melihat senyum yang tersungging di bibir Kim Bum. Sudah pasti laki-laki itu menertawakannya.

“Kalau kau takut gelap, diam di kamar tidur saja. Di sana kan lampunya masih bisa menyala,” kata Kim Bum sambil menahan tawa.

“Tapi aku kan sering mondar-mandir di sini,” Kim So Eun membela diri sambil menggerakkan tangannya ke sekeliling ruang tamu. “Perasaanku tetap tidak enak kalau gelap gulita.”

“Nyalakan lilin.”

“Sama saja.”

“Jadi kau mau bagaimana?”

Kim So Eun memiringkan kepala. “Aku bisa menumpang di tempat Yoon Eun Hye Eonni, tapi kebetulan dia sedang tidak ada di rumah. Dan aku tidak mau merepotkan Song Chang Ui Oppa dan So Yi Hyun Eonni.”

“Kau mau aku menemanimu di sini?” tanya Kim Bum setelah memikirkan arah pembicaraan Kim So Eun.

Kim So Eun menggeleng. “Sudah kubilang aku tidak suka gelap. Tidak peduli ada yang menemani atau tidak, pokoknya aku tidak suka gelap.”

Kim Bum mendesah. “Jadi aku tidak bisa mengajakmu nonton film di bioskop ya?”

“Apa?” tanya Kim So Eun sambil mengerjapkan mata. Apa hubungan film bioskop dengan pembicaraan mereka?

“Di bioskop, kan gelap.”

“Aah, itu.” Kim So Eun paham. “Tapi itu berbeda.”

“Berbeda bagaimana? Sama-sama gelap.”

“Kalau di bioskop perhatianku sepenuhnya tertuju ke film yang diputar dan aku tidak merasa gelap.”

“Berarti kau mau kalau kuajak nonton?”

Bagaimana pembicaraan mereka bisa sampai ke masalah nonton? “Tentu saja,” sahut Kim So Eun, lalu menambahkan, “Kalau kau yang bayar.”

Kim Bum tersenyum. “Baiklah, jadi bagaimana sekarang? Kau tidak mau tetap di sini. Mau menunggu di tempatku?”

Wajah Kim So Eun berseri-seri. “Ya!”

“Tunggu dulu.” Kim Bum mengangkat sebelah tangan dan mengerutkan kening.

“Kau selalu seperti ini? Begitu bersemangat karena akan masuk ke apartemen laki-laki?”

“Tidak!” Kim So Eun mendorong bahu Kim Bum sambil tertawa.

“Kalau begitu kau sedang berusaha merayuku?” gurau Kim Bum sementara dirinya didorong ke pintu. “Kau harus tahu bahwa aku bukan laki-laki yang mudah dirayu.”

“Aku bahkan tidak akan bermimpi merayumu,” bantah Kim So Eun di sela-sela tawanya.

“Bagiku kau hanya tetanggaku yang usil dan banyak bicara.”

“Jadi kau tidak menganggapku laki-laki? Ah, aku tersinggung,” kata Kim Bum sambil memegangi dada dengan ekspresi terluka.

Ini bukan pertama kalinya Kim So Eun masuk ke apartemen 201 setelah ditempati Kim Bum. Seperti biasanya, apartemen itu tidak berantakan, malah terkesan kosong.

“Sebenarnya aku sudah lama ingin mengatakan ini padamu,” kata Kim So Eun sambil duduk di sofa empuk di ruang tamu sementara Kim Bum menyalakan pemanas. Hujan di luar masih belum berhenti. “Apartemenmu terlihat kosong, apa kau tahu itu?”

“Memang,” sahut Kim Bum. “Aku jarang di rumah, jadi untuk apa membeli barang-barang yang tidak berguna? Kau mau minum?”

Kim So Eun mengangguk. “Teh juga boleh,” katanya. “Ngomong-ngomong, Kim Bum, kau fotografer, bukan?”

“Ya. Kenapa?”

“Kenapa aku tidak melihat satu lembar foto pun di sini?” tanya Kim So Eun sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Maksudku, foto hasil jepretanmu.”

“Biasanya aku menyimpan foto-fotoku di komputer. Aku jarang mencetaknya, apalagi memajangnya,” terdengar suara Kim Bum dari dapur.

“Padahal aku ingin melihat foto-foto yang kau ambil,” gumam Kim So Eun dengan nada menyesal.

Kim Bum muncul sambil membawa dua cangkir teh. “Lain kali akan kutunjukkan padamu.”

Kim So Eun mengangkat kedua kakinya dan duduk bersila di sofa. Ia menyesap tehnya dan berkata, “Kau juga bekerja sebagai fotografer sewaktu tinggal di Amerika?”

Kim Bum menghembuskan napas pelan, meletakkan cangkir tehnya di meja, dan menyandarkan punggung ke sandaran sofa. “Ya,” sahutnya pelan.

“Kau senang di sana?”

“Tentu.”

Kim So Eun mengangkat alis, lalu menyandarkan kepala ke sandaran sofa dan menguap kecil. “Lalu sekarang kau ingin bekerja di Seoul?”

“Ya,” sahut Kim Bum, mengingat kalau ia memang pernah menyebut-nyebut tentang keinginannya untuk menetap di Seoul.

“Kenapa?”

Kim Bum mengangkat bahu acuh tak acuh. “Menjadi fotografer itu bisa di mana saja. Tidak harus terikat di satu tempat, bukan? Aku ingin mencari suasana baru dan menurutku Seoul kota yang sangat menarik.”

“Suasana baru?” Kepala Kim So Eun berpindah ke lengan sofa. Ia tersenyum kecil. “Orang yang membutuhkan perubahan suasana biasanya ingin melupakan sesuatu. Bukankah begitu?”

Kim Bum tidak menjawab. Hanya mengangkat alis dan tersenyum samar.

“Aku jadi ingin tahu apa yang ingin kaulupakan. Atau siapa.”

Kim Bum tidak langsung menjawab pertanyaan Kim So Eun karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Beberapa saat kemudian ia menoleh dan mendapati gadis itu tengah berbaring di sofa dengan mata terpejam. Tidur? Ia bangkit dan menghampiri Kim So Eun untuk memastikan. Benar, gadis itu sudah pulas. Flu membuat orang gampang mengantuk. Tanpa suara Kim Bum pergi ke kamar tidur dan keluar dengan membawa selimut tebal. Ia menyelimuti Kim So Eun dengan hati-hati, lalu berdiri di sana dan merenung.

Setelah beberapa saat ia mengeluarkan ponsel dan berjalan kembali ke kamar tidur. Ia menutup pintu kamar dan menempelkan ponsel ke telinga. Menunggu hubungan tersambung.

“Halo, Ibu? ... Ini aku.” Kim Bum tersenyum mendengar rentetan omelan ibunya di ujung sana. “Baiklah, aku minta maaf karena baru menelepon Ibu sekarang, tapi aku yakin Ibu bisa mengerti.” Kali ini suara ibunya terdengar lebih tenang. Kim Bum melanjutkan, “Apa kabar Ayah?... Baguslah... Aku baik-baik saja. Ibu tidak usah khawatir... Aku tahu, Bu. Aku mengerti.” Ibunya menanyakan sesuatu di ujung sana.

Nada suaranya hati-hati. Kim Bum mengerutkan kening, tersenyum tipis, lalu bergumam pelan, “Wanita itu?... Aneh sekali. Aku baru sadar aku jarang sekali memikirkannya sejak aku tiba di Korea.” Kim Bum mendengar kata-kata ibunya di ujung sana, lalu berkata lagi, “Ya, itu bagus, bukan?”

Bersambung…

Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...