Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 24 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 19)



“Jadi polisi sudah sudah tahu siapa yang menyerangmu waktu itu?” tanya Kim So Eun dengan mata terbelalak. “Mereka benar-benar sudah tahu siapa orangnya?”

Mereka duduk berhadapan di warung mi langganan mereka dengan dua mangkuk ramen panas di meja. Kim Bum baru saja bercerita tentang apa yang dikatakan pamannya tadi siang tentang kecelakaan yang menimpanya dan membuatnya hilang ingatan itu.

Kim Bum mengangkat bahu. “Begitulah kata pamanku. Tapi pada tahap ini kurasa mereka hanya memiliki kecurigaan. Belum bisa dipastikan.”

“Itu juga sudah bagus. Itu berarti polisi kita benar-benar sudah bekerja keras,” kata Kim So Eun penuh semangat. Ia berhenti sejenak, lalu berkata dengan kening berkerut, “Kim Bum, mungkinkah orang-orang itu penagih hutang?”

“Aku tidak punya hutang.”

Kim So Eun meringis. “Kau kan tidak ingat apa-apa.”

Sebenarnya sejak tadi ada sesuatu yang ingin ditanyakan Kim So Eun kepada Kim Bum, tetapi ia terus menundanya. Ia melirik Kim Bum yang makan dengan lahap di hadapannya. Apakah ia harus bertanya? Tetapi untuk apa pula ia bertanya? Ia tahu ia hanya akan sakit hati, tetapi... Ia melirik Kim Bum sekali lagi, lalu bertanya dengan suara yang diusahakan terdengar ringan, “Oh ya, di mana Park Shin Hye? Kau tidak mengajaknya makan bersama kita?”

“Dia pergi ke luar kota,” sahut Kim Bum singkat tanpa mengangkat wajah dan terus melahap ramen-nya.

“Oh?” Kim So Eun mengerjapkan mata. Bahunya merosot. “Jadi karena Park Shin Hye sedang tidak ada, kau baru datang mencariku? Begitu?” gumamnya kecewa.

“Apa?” tanya Kim Bum sambil mengangkat wajah.

“Tidak. Tidak apa-apa,” sahut Kim So Eun cepat sambil menggeleng. Ia merasa kesal pada diri sendiri karena sudah menanyakan hal tidak berguna tadi. Memangnya apa yang diharapkannya dari Kim Bum? Astaga, ia harus berhenti berharap yang tidak-tidak, sebelum ia berubah gila dan tidak bisa membedakan impian dengan kenyataan.

Sadarlah, Kim So Eun. Hadapi kenyataan. Kenyataan apa? Kenyataan bahwa saat ini Kim Bum duduk di hadapannya, mengobrol dengannya, tersenyum kepadanya dengan cara yang selalu diingatnya? Ya Tuhan, seperti kenyataan dan impian mulai bercampur aduk dalam pikirannya. Bagaimana ini?

Tiba-tiba lagu Love Love Love - FT Island terdengar di antara hiruk-pikuk warung mie itu. Kim So Eun tersentak kaget, bergegas mengaduk-aduk tas tangannya dan mengeluarkan ponselnya yang berbunyi nyaring.

“Hei, aku pernah mendengar lagu itu,” komentar Kim Bum tertegun. Ia memang ingat lagu itu adalah nada dering ponsel Kim So Eun.

“Tentu saja kau pernah dengar. FT Island kan salah satu Band paling top di Korea. Dan lagu ini sudah menjadi nada dering ponselku sejak lagunya pertama kali dirilis,” kata Kim So Eun tidak sabar.

“Setidaknya aku mengingat satu hal lagi tentang dirimu,” gumam Kim Bum.

Kim So Eun tidak mendengarnya karena ia sudah menempelkan ponsel ke telinga.

“Hallo? Oh, Jung Yong Hwa.”

Kim Bum langsung menyipitkan mata dan mengamati Kim So Eun yang berbicara dengan Jung Yong Hwa di ponsel.

“Bagus sekali,” kata Kim So Eun sambil tersenyum. “Aku ikut senang kalau kakek-mu menyukai hadiahnya... Tidak apa-apa... Apa?” Kim So Eun melirik ke arah Kim Bum yang masih menatapnya lekat-lekat. “Ya, aku sedang makan. Kau sendiri sudah selesai makan malam?... Oh, begitu... Baiklah, sampai nanti.”

Ketika Kim So Eun menutup ponselnya, Kim Bum bertanya dengan nada yang diharapkan tidak mencerminkan apa yang dirasakannya, “Mau apa dia?”

“Hanya ingin berterima kasih karena aku sudah memilihkan buku yang disukai kakeknya,” jelas Kim So Eun ringan.

“Pesta ulang tahunnya sudah selesai?” tanya Kim Bum acuh tak acuh, agak kesal melihat Kim So Eun tersenyum sementara berbicara dengan Jung Yong Hwa tadi. Kenapa gadis itu begitu gampang tersenyum pada orang lain selain Kim Bum?

“Kata Jung Yong Hwa mereka baru akan mulai makan,” kata Kim So Eun. Ia melihat apa yang sedang dilakukan Kim Bum dan mendecakkan lidah dengan pelan. “Kim Bum, jangan menusuk-nusuk tempura-mu seperti itu. Serpihannya terbang ke mana-mana. Kau ini kenapa?”

* * *

Jung Yong Hwa menutup ponsel sambil tersenyum. Ia gembira karena Kim So Eun sudah memilihkan hadiah yang bagus untuk kakeknya. Sebenarnya ia ingin mengajak gadis itu ke sini hari ini, tetapi ia lalu berpikir mungkin saat ini masih terlalu cepat memperkenalkan Kim So Eun kepada keluarganya. Gadis itu mungkin akan merasa terbebani.

Jung Yong Hwa bahkan belum menyatakan perasaannya kepada Kim So Eun, tetapi seharusnya gadis itu sudah tahu. Walaupun begitu, tetap saja saat ini masih terlalu cepat. Dan seandainya pun ia ingin memperkenalkan Kim So Eun kepada keluarganya, ia harus memulai dari kedua orangtuanya. Jadi pesta keluarga besar-besaran tempat semua kerabat dekat dan jauh berkumpul sudah pasti bukan tempat yang sesuai.

“Jung Yong Hwa,” panggil ibunya dari ambang pintu ruang duduk rumah kakeknya yang besar. “Sedang apa di sana? Semuanya sudah berkumpul di ruang makan.”

Jung Yong Hwa bangkit dari sofa dan mengikuti ibunya ke ruang makan utama.

“Lee Ji Hoon baru saja datang,” kata ibunya dengan suara pelan. “Sepertinya dia terlibat masalah lagi.”

Jung Yong Hwa mengerutkan kening. Lee Ji Hoon, sepupu yang lebih tua daripada Jung Yong Hwa, memang terkenal selalu terlibat masalah. Ayah Lee Ji Hoon, Bae Yong Jun, adalah kakak ibu Jung Yong Hwa dan ia sudah berusaha keras mengendalikan putra satu-satunya itu, tetapi sepertinya usahanya selalu menemui jalan buntu. Sejak kecil Lee Ji Hoon selalu bermasalah di sekolah. Ia tidak tertarik belajar, dan ketika sudah dewasa, ia juga tidak tertarik untuk bekerja dengan serius.

“Paman Bae Yong Jun juga sudah datang?” tanya Jung Yong Hwa kepada ibunya.

Ibunya mengangguk.

“Kalau begitu, sebaiknya aku pergi menyapanya dulu sebelum ke ruang makan,” kata Jung Yong Hwa.

Jung Yong Hwa pergi ke aula depan, mendapati pamannya dan Lee Ji Hoon sedang berbicara serius.

Melihat kedatangan Jung Yong Hwa, kedua pria itu berhenti bercakap-cakap. Bae Yong Jun merentangkan kedua lengannya dan tersenyum lebar. “Jung Yong Hwa, senang sekali bertemu denganmu lagi. Sudah lama kau tidak datang mengunjungiku.”

Jung Yong Hwa membungkukkan badan dalam-dalam ke arah pamannya. “Maafkan aku, Paman. Memang seharusnya aku mengunjungi Paman.”

“Tidak apa-apa,” sela pamannya ramah. “Aku bisa mengerti bagaimana rasanya bekerja di rumah sakit. Dokter hebat memang selalu sibuk.”

Jung Yong Hwa melihat pamannya melirik Lee Ji Hoon ketika mengucapkan kalimat terakhir. Yang dilirik pura-pura tidak mendengar. Lee Ji Hoon memang tidak pernah menyukai Jung Yong Hwa karena ayahnya selalu memuji-muji Jung Yong Hwa di depannya, tetapi Jung Yong Hwa sendiri juga tidak terlalu menyukai sepupunya itu.

“Apa kabar, Hyung?” sapa Jung Yong Hwa, memaksakan diri bersikap ramah kepada sepupunya yang terlihat lebih tua daripada umurnya yang baru 35 tahun.

“Tentu saja sangat baik, seperti yang bisa kaulihat sendiri,” balas Lee Ji Hoon acuh tak acuh.

Jung Yong Hwa tersenyum tipis, lalu berkata kepada pamannya, “Semua sudah menunggu di ruang makan.”

“Kau duluan saja,” kata pamannya. “Ada yang ingin kubicarakan dengan sepupumu sebentar.”

Jung Yong Hwa membungkukkan badan sekali lagi, lalu berputar dan berjalan meninggalkan mereka berdua.

Begitu Jung Yong Hwa menghilang dari pandangan, Bae Yong Jun berputar menghadap putranya. “Sebaiknya kau punya alasan yang bagus untuk ini,” kata Bae Yong Jun dengan nada rendah dan marah. “Jelaskan kepadaku kenapa polisi menghubungimu?

Kenapa mereka menuduhmu terlibat dalam penyerangan terhadap seorang pria?”

Lee Ji Hoon meringis. “Ayah sudah tahu?” katanya dengan nada tidak peduli.

“Aku hanya memberinya sedikit pelajaran. Itu masalah pribadi. Dan aku bisa membereskannya. Ayah tidak perlu ikut campur.”

Ayahnya terkesiap marah. “Apa katamu? Apa...”

“Apakah Ayah juga mendengar bahwa orang itu hilang ingatan?” potong Lee Ji Hoon halus.

“Orang yang hilang ingatan tidak bisa ingat apa-apa. Jadi tidak bisa mengajukan tuntutan apa-apa. Ditambah lagi, tidak ada saksi mata.”

Bae Yong Jun tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya. Ia tahu anaknya memang bermasalah, tetapi ini adalah pertama kalinya Lee Ji Hoon menunjukkan sikap seperti itu tepat di depan ayahnya.

“Yang perlu Ayah lakukan,” lanjut Lee Ji Hoon dengan nada ringan sambil tersenyum lebar dan menepuk bahu ayahnya, “adalah pura-pura tuli dan bisu tentang masalah ini.”

Kedua pria itu tidak tahu bahwa Jung Yong Hwa tadi tidak langsung pergi ke ruang makan.

Jung Yong Hwa masih bisa mendengarkan percakapan mereka. Apa yang baru saja didengarnya membuatnya tercengang sampai ia tidak bisa bergerak selama beberapa saat. Hanya ada satu pertanyaan yang berputar-putar dalam otaknya saat itu.

Mungkinkah orang yang dibicarakan Lee Ji Hoon itu adalah Kim Bum?

Ketika ia mendengar langkah kaki yang semakin mendekati tempatnya berdiri, Jung Yong Hwa cepat-cepat bersembunyi di balik pintu, walaupun itu bukan tempat yang cocok untuk bersembunyi. Bae Yong Jun berjalan melewatinya dengan langkah lebar, terlalu marah untuk menyadari bahwa Jung Yong Hwa bersembunyi di balik pintu dan menguping pembicaraan mereka.

Jung Yong Hwa baru melangkah keluar dari tempat persembunyiannya ketika Lee Ji Hoon berjalan lewat dengan santai sambil bersenandung pelan. “Hyung,” panggil Jung Yong Hwa.

Lee Ji Hoon berhenti melangkah dan menoleh ke balik bahunya. Alisnya berkerut ketika melihat Jung Yong Hwa berdiri di belakangnya. “Sedang apa kau di situ?”

Jung Yong Hwa mengabaikan pertanyaan itu. “Apakah Hyung menyerang orang itu pada Hari Natal?” tanyanya langsung.

Lee Ji Hoon membalikkan tubuh menghadap Jung Yong Hwa. Kepalanya dimiringkan, lalu sudut mulutnya terangkat dan ia meringis. “Wah, ternyata ada yang menguping di sini.”

Tanpa menghiraukan komentar sinis itu, Jung Yong Hwa bertanya sekali lagi, “Apakah Hyung menyerang orang itu pada Hari Natal?”

Lee Ji Hoon melangkah menghampirinya dan berdiri tepat di depan Jung Yong Hwa. “Memangnya kenapa? Apa urusannya denganmu?” tanya Lee Ji Hoon dengan nada datar. Lalu matanya menyipit dan ia bertanya lagi, “Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa tahu kejadiannya pada Hari Natal?”

Jung Yong Hwa tetap berdiri tegak dan menatap lurus ke mata sepupunya. “Karena aku mengenal orang itu.”

Alis Jun terangkat tinggi. “Temanmu, hah? Ternyata dunia ini sempit, bukan?” katanya pelan, lalu seulas senyum mengancam tersungging di bibirnya. “Sebaiknya kau tidak ikut campur dalam masalah ini, Jung Yong Hwa.”

Jung Yong Hwa tidak takut. Juga tidak mundur. Ia tetap menatap sepupunya dengan tenang.

“Atau?” tanyanya datar.

“Atau kau akan menyesal. Percayalah padaku,” kata Jun dengan nada rendah.

“Kalau kau memang sepintar yang dikatakan ayahku, kau akan pura-pura tuli dan bisu tentang masalah ini.”

Wajah Jung Yong Hwa tidak menampilkan ekspresi apa-apa, tetapi ia tidak mengalihkan tatapan dari sepupunya. “Pura-pura tuli dan bisu?” gumamnya, masih dengan nada datar yang sama. “Kurasa orang yang Hyung serang itu tidak akan bersedia berpura-pura tuli dan bisu begitu ingatannya kembali.”

Alis Lee Ji Hoon berkerut dan matanya menyipit.

“Ya, Hyung,” kata Jung Yong Hwa pelan, seolah-olah ia bisa membaca jalan pikiran sepupunya. “Dia tidak akan selamanya hilang ingatan. Ingatan itu akan kembali. Malah,” Jung Yong Hwa tersenyum dingin, “saat ini mungkin dia sudah ingat.”

Setelah berkata begitu, Jung Yong Hwa berbalik dan berjalan ke ruang makan, bergabung kembali dengan keluarganya, meninggalkan Lee Ji Hoon yang berdiri kaku dan wajah pucat.

* * *

Selama makan malam bersama itu Lee Ji Hoon tidak bisa tenang. Sesekali ia melirik ke arah Jung Yong Hwa yang mengobrol dengan kakeknya. Apa maksud Jung Yong Hwa tadi? Apa maksudnya ingatan orang itu mungkin sudah kembali?

Lee Ji Hoon memutar otak. Selama ini ia tidak pernah berpikir orang sok tahu yang dihajarnya waktu itu bisa membahayakan dirinya. Ketika mendapat kabar orang itu hilang ingatan dan sama sekali tidak bisa mengingat apa pun tentang penyerangan terhadap dirinya, Lee Ji Hoon sangat lega. Ia tidak pernah berpikir orang yang amnesia bisa ingat kembali. Tidak pernah mengira orang itu bisa membahayakan dirinya.

Apakah Jung Yong Hwa berbohong padaku? pikir Lee Ji Hoon curiga. Mungkinkah Jung Yong Hwa hanya ingin menakut-nakutinya? Mungkinkah orang yang waktu itu diserangnya sudah bisa ingat kembali?

Lee Ji Hoon mencengkeram sendoknya erat-erat. Sial! Seharusnya ia menghabisi orang itu saat itu juga. Kenapa ia tidak melakukannya? Kenapa? Sial!

Tanpa sadar ia memukulkan tinjunya ke meja karena kesal. Pukulannya tidak terlalu keras, tetapi cukup keras sampai semua orang di meja menoleh ke arahnya, termasuk kakeknya. Sambil menggumamkan permintaan maaf tidak tulus dan menundukkan kepala ke arah kakeknya dan orang-orang lain di sekeliling meja, Lee Ji Hoon kembali menatap piring di hadapannya dan memasukkan makanan ke mulutnya tanpa merasakan apa-apa.

Sekarang bukan saatnya berpikir apakah Jung Yong Hwa berbohong atau tidak. Lee Ji Hoon harus memastikan keselamatan dirinya terlebih dahulu. Bagaimanapun juga ia harus membereskan masalah ini. Ia tidak bisa mengambil risiko orang yang diserangnya itu teringat kembali dan langsung menunjuk Lee Ji Hoon sebagai orang yang menyerangnya. Kalau itu terjadi, polisi tidak akan ragu-ragu menahannya, karena sekarang ini pun polisi sudah mencurigai dirinya.

Kening Lee Ji Hoon berkerut. Kalau dipikir-pikir, kenapa polisi bisa sampai curiga padanya?

Ia yakin tidak ada saksi mata saat itu. Hanya ada anak-anak buahnya dan ia yakin mereka tidak akan buka mulut. Siapa yang melaporkannya?

Lee Ji Hoon menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan, berusaha tidak menarik perhatian orang-orang kepadanya. Sekarang ini, ia tidak mau memikirkan masalah bagaimana polisi bisa mencurigai dirinya. Yang paling penting saat ini adalah memastikan orang yang hilang ingatan itu akan tetap hilang ingatan selamanya.

Bersambung…

Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3 ... Chapter 18
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...