Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 23 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 14)



“Kau akan datang ke acara reuni malam ini, kan?” tanya Jung Yong Hwa di ujung sana.

“Ya,” sahut Kim Bum sambil membidik kuil Bongeunsa dengan kameranya. Earphone di telinganya yang terhubung dengan ponsel di saku jaketnya membuatnya bisa tetap memotret sambil berbicara dengan Jung Yong Hwa.

“Kau mau kujemput?”

“Tidak usah. Aku sudah tahu tempatnya dan aku sudah meminjam mobil dari pamanku.”

“Kau masih meminjam mobil pamanmu?” Nada suara Jung Yong Hwa terdengar ragu.

“Memangnya kenapa?”

“Setelah apa yang terjadi padamu waktu itu?”

Kim Bum tertawa kecil. “Aku tidak ingat apa-apa soal itu, jadi aku sama sekali tidak merasa takut atau semacamnya.”

Jung Yong Hwa hanya bergumam dan berkata, “Kudengar ibumu sudah kembali ke Amerika?”

“Ya. Kemarin sore. Kakak iparku sudah melahirkan. Saking gembiranya ibuku langsung pulang ke New York dengan pesawat pertama, meninggalkan anaknya yang baru keluar dari rumah sakit ini.”

“Tapi kau merasa sehat, bukan? Obatmu tetap kau minum?”

“Astaga, kau terdengar seperti ibuku. Padahal tadinya aku sudah sempat merasa lega karena ibuku kembali ke New York dan membiarkan aku tenang sedikit,” gurau Kim Bum sambil tertawa. Ia mengubah sudut kameranya dan melanjutkan, “Aku sangat sehat. Kau tidak perlu khawatir.”

“Baiklah,” kata Jung Yong Hwa sambil mendesah. “Sampai jumpa nanti malam.”

Setelah melepaskan earphone dan memasukkannya ke saku, Kim Bum kembali mencari objek yang bagus untuk dipotret. Setelah ini mungkin ia bisa pergi ke Tamra Forest. Pohon-pohon gundul juga bisa menjadi objek yang bagus kalau dipotret dengan benar.

Sejak keluar dari rumah sakit lima hari yang lalu, Kim Bum tinggal di apartemen di Cyanblue, menghabiskan waktunya dengan berkeliling Seoul dan memotret apa saja yang menarik perhatiannya. Ia yakin ia sudah pernah melakukan semua itu selama sebulan terakhir sejak ia tiba di Seoul, tetapi karena ia tidak ingat apa-apa, ia memutuskan untuk melakukannya sekali lagi. Siapa tahu bisa membantu mengembalikan ingatannya sedikit demi sedikit. Tetapi sejauh ini ia tidak mengingat apa pun. Semuanya tetap terasa asing dan baru baginya.

Tidak ingat juga tidak apa-apa. Itulah yang selalu dikatakannya pada diri sendiri.

Awalnya memang berhasil. Ia tidak terlalu mempedulikan rentang waktu satu bulan yang hilang dari ingatannya. Ia yakin tidak ada hal penting yang harus diingat dan dokter berkata ingatannya perlahan-lahan akan kembali. Jadi ia tidak berniat memaksakan diri dan membuat sakit kepalanya bertambah parah.

Tetapi akhir-akhir ini ia mulai merasa ada sesuatu yang hilang. Ia tidak tahu apa.

Hanya saja setiap kali ia bangun tidur, makan, atau berkeliling Seoul, ia selalu merasa ada sesuatu yang kurang. Ia berusaha keras mengabaikannya, tetapi tidak berhasil.

Akhirnya ia berpikir itu mungkin semacam efek samping yang diderita otaknya yang malang. Hanya itu penjelasan yang mungkin.

* * *

Kim Bum baru saja akan meninggalkan apartemennya ketika ponselnya berdering. Ia menatap layar ponsel itu dan tidak mengenali nomor yang muncul di sana.

“Hallo?” gumamnya datar ketika ponsel sudah ditempelkan ke telinga.

“Prince Smile?”

Seluruh perhatian Kim Bum langsung terpusat pada suara wanita yang terdengar di ponselnya itu. Hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilnya Prince Smile. “Park Shin Hye?” gumamnya ragu.

Wanita di ujung sana tertawa. “Aku senang kau masih ingat padaku,” katanya dalam bahasa Inggris yang lancar. “Bagaimana kabarmu?”

Butuh sesaat untuk mencari suaranya kembali. Kim Bum berdeham untuk mengendalikan diri dan menjawab dalam bahasa Inggris juga, “Aku sangat baik. Kau ada di mana sekarang?”

“Di Seoul.”

“Apa?”

Park Shin Hye tertawa lagi. “Di Seoul,” ulangnya. “Aku baru saja tiba. Aku diutus perusahaanku untuk mengikuti pelatihan selama sebulan di sini.”

“Kau masih di bandara?”

“Tidak. Aku sudah di apartemen milik perusahaan,” sahut Park Shin Hye. “Ngomong-ngomong, kau sedang sibuk sekarang?”

“Oh, aku akan pergi menghadiri reuni sekolahku. Kenapa?”

“Ah, tidak. Aku hanya ingin mengajakmu makan malam bersama. Tapi kalau kau ada acara lain, tidak apa-apa. Lain kali saja.”

Kim Bum terdiam sejenak, lalu bertanya, “Kau mau menemaniku ke sana?

Kemungkinan acaranya akan membosankan, jadi ada sebaiknya kalau aku punya seseorang yang bisa kuajak mengobrol.”

“Kalau kau tidak keberatan, aku mau saja.”

Kurang-lebih satu jam kemudian Kim Bum tiba di gedung apartemen tempat Park Shin Hye menginap. Wanita itu sudah menunggunya di lobi gedung. Begitu melihat Kim Bum, Park Shin Hye langsung tersenyum cerah dan melambai. Kim Bum menghela napas panjang sebelum balas melambai dan menghampirinya.

Park Shin Hye masih terlihat sama seperti terakhir kali Kim Bum melihatnya di New York.

Masih tetap cantik dengan rambut panjang sebahu dan gaya anggun seperti biasa.

Melihat Park Shin Hye membuat hati Kim Bum terasa nyeri, membuktikan bahwa ia sama sekali belum melupakan wanita itu. Tetapi kalaupun Kim Bum pernah berusaha melupakan Park Shin Hye, dan kalaupun ia pernah berhasil melupakannya walaupun hanya sedikit, semua itu sama sekali tidak berarti karena amnesia sialan yang dideritanya ini. Kini ia kembali ke awal.

“Kudengar kau mendapat kecelakaan,” kata Park Shin Hye ketika mereka sudah berada di dalam mobil.

“Siapa yang mengatakannya padamu?” tanya Kim Bum sambil tetap memperhatikan jalanan di depannya.

“Ayahmu,” sahut Park Shin Hye sambil tersenyum. “Aku mengunjungi ayahmu sebelum aku datang ke sini.”

Park Shin Hye dan Kim Bum sudah berteman dekat sejak Kim Bum pindah ke New York. Rumah orangtua Park Shin Hye tepat berada di sebelah rumah orangtua Kim Bum. Orangtua Park Shin Hye memang orang Korea, tetapi mereka sudah lama tinggal dan menjadi warga negara Amerika.

Mereka bersekolah di highschool yang sama, tetapi kuliah di tempat yang berbeda.

Walaupun begitu, mereka tetap berhubungan dekat. Kim Bum selalu menyukai Park Shin Hye sejak kecil dan mengira Park Shin Hye merasakan hal yang sama. Ternyata ia salah. Park Shin Hye lebih memilih sahabat Kim Bum dan bulan Juni nanti mereka akan menikah.

“Tidak parah,” gumam Kim Bum.

Park Shin Hye mengangkat alis. “Tidak parah?” ulangnya. “Kata ayahmu kau mengalami gegar otak sampai sebagian ingatanmu hilang.”

Kim Bum mengangkat bahu sambil lalu, mencoba meringankan situasi itu. “Hanya sejak aku tiba di Seoul sampai kecelakaan itu terjadi. Hanya satu bulan. Tidak penting.”

“Kau yakin?”

“Ya,” sahut Kim Bum tegas, tetapi hatinya berkata sebaliknya.

“Aku senang kau tidak melupakanku,” kata Park Shin Hye.

Kim Bum menatapnya sekilas dan tersenyum. “Ngomong-ngomong, apa kabar Lee Hong Ki?” tanya Kim Bum, berusah mengubah bahan pembicaraan. “Sibuk mengurus rencana pernikahan kalian?”

Park Shin Hye mendesah dan memandang ke luar jendela.

Merasa heran dengan reaksi Park Shin Hye, Kim Bum kembali menoleh sejenak. “Hei, ada apa?”

Sesaat tidak terdengar jawaban, lalu Park Shin Hye menghembuskan napas dan menoleh menatap Kim Bum. “Aku bisa jujur padamu, bukan?”

“Kau tahu benar jawabannya.”

“Ya, aku tahu,” gumam Park Shin Hye sambil tersenyum tipis. “Aku tahu kau teman yang bisa diandalkan.”

“Jadi,” kata Kim Bum datar. “Ada apa?”

“Lee Hong Ki dan aku...” Park Shin Hye mengangkat bahu. “Ya, pernikahan kami batal.”

* * *

Kim Bum tiba di acara reuni sebelum Jung Yong Hwa. Aula resepsi yang terang benderang itu sudah penuh orang dan musik dari band beranggotakan lima orang mengalun lembut di seluruh penjuru ruangan. Awalnya ia merasa agak gugup, tetapi ternyata ada beberapa teman lamanya yang masih mengenalinya dan langsung menariknya bergabung dengan kelompok mereka untuk mengobrol tentang masa lalu. Jung Yong Hwa benar. Acara ini bisa menghiburnya. Kim Bum merasa santai, bebas mengobrol tentang masa lalu yang masih diingatnya. Kalaupun ada beberapa hal yang sudah terlupakan, semua orang akan memakluminya karena tidak semua orang bisa mengingat kejadian lebih dari sepuluh tahun yang lalu dengan jelas.

Ia menoleh ketika Park Shin Hye menarik lengan jaketnya dan berkata ia akan pergi ke toilet sebentar. Kim Bum mengangguk dan memandangi Park Shin Hye yang berjalan pergi. Kim Bum tidak tahu harus berpikir apa ketika Park Shin Hye berkata ia dan Lee Hong Ki mungkin tidak jadi menikah.

“Kenapa tiba-tiba?” tanya Kim Bum waktu itu.

Park Shin Hye tersenyum muram. “Kurasa aku terlambat menyadari bahwa kami sama sekali tidak cocok.” Lalu ia menggeleng cepat. “Tidak, tidak. Aku belum terlambat. Justru lebih baik aku menyadarinya sekarang daripada setelah kami menikah nanti. Bukankah begitu?”

Kim Bum diam saja, tidak tahu harus berkata apa. Juga tidak tahu harus berpikir apa atau merasakan apa.

Park Shin Hye menoleh dan tersenyum kepada Kim Bum. “Walaupun begitu, Prince Smile, aku sangat sedih sekarang ini,” akunya. “Jadi aku datang ke sini supaya kau bisa menghiburku. Kau tidak keberatan, bukan?”

“Sama sekali tidak,” sahut Kim Bum, membalas senyum Park Shin Hye. “Kau selalu bisa menangis di bahuku kalau memang mau.”

Dan Kim Bum memang bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Tidak ada yang tidak akan dilakukannya untuk Park Shin Hye.

Setelah mengobrol beberapa saat dengan teman-teman lamanya, Kim Bum memisahkan diri dengan alasan ingin mencari minuman. Ia berjalan ke meja minuman di dekat jendela untuk mengambil segelas sampanye. Ia menyesap minumannya dengan pelan dan memandang ke luar jendela. Salju mulai turun lagi. Ia berdiri di sana selama beberapa saat, memandangi butiran salju yang melayang-layang di luar.

Lagi-lagi ia merasa ada yang hilang.

Keningnya berkerut samar. Tentu saja ada yang hilang. Ia tahu benar ada sesuatu yang hilang. Hanya saja ia tidak tahu apa yang hilang. Dan apakah sesuatu yang hilang itu penting atau tidak.

Ia menarik napas dalam-dalam. Ya... mungkin bukan sesuatu yang penting.

Kim Bum berputar membelakangi jendela dan memandang ke sekeliling ruangan.

Aula besar itu mulai ramai. Orang-orang terlihat gembira, saling tersenyum, tertawa, dan mengobrol. Seorang kenalannya tersenyum dan melambai ke arahnya. Ia balas tersenyum dan mengangkat gelas.

Tepat pada saat itulah Kim Bum melihatnya.

Wanita itu baru memasuki ruangan. Ia memakai gaun biru gelap sebatas lutut, rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Mata Kim Bum tidak berkedip mengamati wanita itu menyalami beberapa orang sambil tersenyum lebar. Aneh... Kim Bum menyadari dirinya tidak bisa mengalihkan pandangan.

Ia melihat wanita itu mengambil segelas minuman dari nampan yang disodorkan seorang pelayan sambil bercakap-cakap dengan seseorang yang berdiri di sampignya.

Jung Yong Hwa. Sebelum Kim Bum sempat berpikir lebih jauh, wanita itu mengangkat wajah dan memandang ke seberang ruangan. Tepat ke arah Kim Bum.

Mata mereka bertemu dan waktu serasa berhenti.

Aneh sekali. Otak Kim Bum tidak mengenalnya. Ia yakin ia tidak mengenal wanita itu.

Tetapi kenapa sepertinya hatinya berkata sebaliknya?

Kenapa hatinya seakan berkata padanya bahwa ia merindukan wanita itu?

* * *

Akhirnya Kim So Eun menerima ajakan Jung Yong Hwa ke pesta reuni itu. Setelah ia berada di dalam mobil, Kim So Eun mulai merasa agak konyol. Apakah ia benar-benar berpikir ia mungkin akan bertemu dengan Kim Bum di acara itu? Astaga, ia memang bodoh.

Kemungkinan Kim Bum hadir di acara yang sama seperti yang akan dihadirinya bersama Jung Yong Hwa ini adalah satu dibanding... seribu. Bahkan mungkin sejuta! Apa yang ia pikirkan tadi?

“Kau agak pendiam malam ini.”

Kim So Eun menoleh dan menatap Jung Yong Hwa. “Ya?”

“Kau sama sekali belum berbicara sejak kita berangkat tadi,” gumam laki-laki itu sambil tersenyum. Ia melirik Kim So Eun sekilas, lalu kembali memerhatikan jalanan di depan.

“Maaf,” gumam Kim So Eun, merasa agak bersalah. “Aku teman mengobrol yang payah malam ini, bukan?”

“Bukan begitu. Hanya saja kelihatannya kau sedang punya masalah.” Jung Yong Hwa menoleh ke arahnya sejenak. “Ada yag bisa kubantu?”

Kim So Eun tersenyum dan menggeleng. “Tidak. Tidak ada masalah.”

Begitu mereka tiba di gedung tempat reuni itu diselenggarakan dan begitu mereka masuk ke aula resepsi, Kim So Eun langsung merasa seperti orang luar. Ia kembali menyesali keputusannya untuk datang ke acara ini. Ia tidak masuk SMP yang sama dengan Jung Yong Hwa, jadi ia sama sekali tidak mengenal siapa-siapa di sini. Jung Yong Hwa sudah jelas akan banyak mengobrol dengan teman-temannya, mengobrol tentang masa lalu yang sama sekali tidak dipahami Kim So Eun. Apa pula yang bisa diobrolkannya?

Tetapi sudah terlanjur. Ia sudah ada di sini dan sebaiknya ia tidak mengecewakan Jung Yong Hwa. Kim So Eun pun memasang senyum manis kepada orang-orang yang diperkenalkan Jung Yong Hwa kepadanya dan berbasa-basi sejenak.

Ketika mereka sedang mengobrol dengan dua orang teman lama Jung Yong Hwa, seorang pelayan dengan naman penuh gelas berisi minuman ringan berhenti di samping Kim So Eun dan menyodorkan nampannya. Kim So Eun mengambil segelas cairan bergelembung itu dan tersenyum berterima kasih kepada si pelayan. Sambil menyesap minumannya, mata Kim So Eun menjelajahi ruangan. Ketika gerakan matanya terhenti pada seorang laki-laki di seberang ruangan, Kim So Eun terkesiap pelan dan terbelalak. Laki-laki itu berdiri di dekat jendela besar, sebelah tangan memegang gelas minuman dan tangan lain dimasukkan ke saku celana panjang putihnya. Ia juga sedang menatap Kim So Eun. Tidak salah lagi. Laki-laki itu Kim Bum. Kim Bum ada di sana.

Begitu melihat Kim Bum, hal pertama yang dirasakan Kim So Eun adalah rasa lega. Karena Kim Bum baik-baik saja, tidak terluka, tidak mengalami kecelakaan, atau hal-hal buruk semacam itu. Kemudian perasaan itu dengan cepat berubah menjadi kejengkelan.

Kalau laki-laki itu memang sehat-sehat saja dan tidak kurang suatu apa pun, kenapa ia tidak menghubungi Kim So Eun? Kenapa ia menghilang selama ini? Kenapa?

Jung Yong Hwa masih mengobrol dengan teman-temannya. Sambil tetap menatap Kim Bum yang berdiri seperti patung di sana, Kim So Eun meletakkan gelasnya dengan keras ke salah satu meja di dekatnya dan berderap menyeberangi ruangan. Sekarang laki-laki itu harus menerima amukan Kim So Eun, setelah itu Kim Bum harus memberikan penjelasan.

Kim Bum menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu matanya kembali terpaku kepada Kim So Eun, seakan-akan ingin memastikan gadis itu memang berjalan ke arahnya. Pandangan matanya terlihat bingung, tidak pasti.

Kim So Eun berhenti tepat di depan Kim Bum, mendongak menatap wajah Kim Bum dengan tajam dan berkacak pinggang. Kekesalan Kim So Eun semakin menjadi-jadi ketika melihat Kim Bum menatapnya dengan tatapan bingung tak berdosa.

“Kau...” Kim So Eun mulai membuka mulut, lalu menahan lidahnya karena ia sadar suaranya terlalu keras. Ditambah lagi ia berbicara dalam bahasa Jepang. Sambil menahan keinginannya untuk berteriak-teriak, Kim So Eun menghela napas panjang dan bertanya dengan nada rendah, dalam bahasa Korea, “Ke mana saja kau selama ini?”

Kim Bum hanya menatapnya sambil mengerjapkan mata, masih terlihat bingung.

Kim So Eun menghela napas sekali lagi dan memejamkan mata sejenak. “Tolong jangan pura-pura tidak mengerti apa maksudku.”

Mata Kim Bum melebar. “Kau mengenalku?”

Kim So Eun terdiam sejenak, berusaha menahan diri sementara ia mengangkat sebelah alisnya dan menatap Kim Bum dengan curiga. Laki-laki ini keterlaluan. Memangnya dia tidak bisa melihat bahwa Kim So Eun sedang tidak berada dalam suasana hati yang baik untuk bercanda?

“Kau mengenalku?” tanya Kim Bum lagi. Nada suaranya mendesak dan penuh harap.

Aneh, pikir Kim So Eun sambil menatap Kim Bum dengan saksama. Akhirnya ia balas bertanya dengan nada datar, “Namamu Kim Bum?”

Kim Bum mengangguk. “Ya.”

“Kau fotografer dan baru datang dari New York?”

“Ya.”

“Punya saudara kembar?”

“Tidak.”

Kim So Eun berkacak pinggang. “Dan kau masih berani bertanya apakah aku mengenalmu?”

“Tunggu, aku...”

“Kim So Eun.”

Kepala Kim So Eun berputar dan ternyata Jung Yong Hwa sudah ada di belakangnya.

“Jung Yong Hwa.”

Jung Yong Hwa menatap Kim Bum dan tersenyum. “Oh, Kim Bum? Kau sudah datang rupanya.”

Kim So Eun mengerjap-ngerjapkan mata dan memandang Jung Yong Hwa dan Kim Bum bergantian.

“Kau kenal dengan Kim Bum?” tanyanya heran.

Sekarang giliran Jung Yong Hwa yang mengangkat alis heran. “Ya, dia temanku,” sahutnya, lalu balik bertanya, “Kau juga mengenalnya?”

“Ya,” Kim So Eun mengangguk. “Dia tetanggaku.”

“Tetanggamu?”

“Tetanggaku?” Kim Bum menimpali dengan bingung.

Kepala Kim So Eun kembali berputar ke arah Kim Bum. “Dengar, Kim Bum, aku sedang tidak ingin bercanda saat ini. Jadi kalau kau tidak mau mengatakan padaku ke mana kau selama ini, maka...”

“Tunggu dulu, Kim So Eun,” sela Jung Yong Hwa sambil memegang lengan Kim So Eun. “Sepertinya ada yang harus kujelaskan padamu lebih dulu.”

Masih tetap berkacak pinggang, Kim So Eun menatap Jung Yong Hwa dengan heran.

“Kim So Eun, kau bilang Kim Bum ini tetanggamu?” tanya Jung Yong Hwa sekali lagi sambil menunjuk ke arah Kim Bum yang memandang mereka berdua bergantian.

“Apartemennya tepat di sebelah apartemenku. Dan dia sudah membuatku… dan kami semua khawatir karena menghilang tanpa kabar sejak Hari Natal.” Kim So Eun melemparkan tatapan sebal ke arah Kim Bum. Dan setelah apa yang dikatakannya di stasiun waktu itu, pikirnya geram. “Dan sekarang dia memasang tampang tidak berdosa.”

“Kim So Eun.” Suara Jung Yong Hwa pelan dan berusaha menenangkan Kim So Eun.

“Apa?”

“Dia benar-benar tidak mengenalmu.”

Kim So Eun menatap Jung Yong Hwa dengan alis terangkat. Mungkin ia salah dengar? “Apa?”

“Dia benar-benar tidak mengenalmu.”

Jadi Kim So Eun tidak salah dengar. Sekarang ia mulai bingung.

Jung Yong Hwa melirik ke arah Kim Bum yang sedang menatap mereka dengan penuh minat.

“Aku pernah bercerita tentang temanku yang mengalami kecelakaan buruk dan hilang ingatan, bukan? Dialah orangnya. Kim Bum.”

“Apa?” Kim So Eun tercengang. Kali ini ia pasti salah dengar. Ia yakin.

“Dia ditemukan dalam keadaan pingsan dan terluka di jalan sepi tepat pada Hari Natal. Dia langsung dilarikan ke rumah sakit oleh orang-orang yang menemukannya. Dan setelah beberapa hari, dia sadar kembali tanpa ingatan apa pun atas kejadian yang terjadi selama satu bulan terakhir. Dia bahkan tidak ingat pernah datang ke Seoul. Hal terakhir yang diingatnya adalah ketika dia masih berada di apartemennya di New York,” Jung Yong Hwa menjelaskan, tetapi buru-buru menambahkan begitu melihat wajah Kim So Eun berubah pucat, “tapi kau tidak perlu khawatir. Selain ingatannya yang hilang, dia sepenuhnya sehat.” Ia berhenti sejenak dan menatap Kim So Eun yang diam mematung dengan mata terbelalak. “Kim So Eun, kau tidak apa-apa?”

Sehat? Itu bagus, tapi... Oh, astaga! Sebelah tangan Kim So Eun terangkat menutupi mulutnya sendiri. Hilang ingatan? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Pada Hari Natal?

Berarti setelah Kim Bum mengantarnya ke stasiun kereta?

“Dia benar-benar tidak mengenalku?” Suara Kim So Eun keluar dalam bentuk bisikan tidak percaya.

Jung Yong Hwa menggeleng.

Kim So Eun tertegun dan menoleh ke arah Kim Bum. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” bisiknya pelan. “Padahal tadinya kukira... Aku tidak percaya ini.” Ia berhenti sejenak, menunduk, lalu tersentak kembali menatap Kim Bum dengan raut wajah cemas. “Kau baik-baik saja, Kim Bum? Kau terluka?”

Kim Bum menatapnya sambil tersenyum sopan dan agak ragu. “Seperti kata Jung Yong Hwa, aku tidak apa-apa.” Ia berhenti sejenak, lalu bertanya dengan hati-hati, “Tadi kau bilang kita bertetangga?”

Kim So Eun membasahi bibirnya yang tiba-tiba saja kering. “Ya,” gumamnya. Matanya masih terpaku pada wajah Kim Bum. Kim Bum hilang ingatan? Kim Bum tidak mengenalnya? Tidak ingat apa pun?

“Tadi kudengar Jung Yong Hwa memanggilmu Kim So Eun?” Kim Bum melanjutkan.

Kim So Eun mengangguk pelan. “Kim So Eun,” sahutnya dengan suara agak bergetar.

Kim Bum bahkan tidak ingat namanya. Kenyataan itu membuatnya agak sakit hati.

“Kuharap kau memaklumi keadaanku,” kata Kim Bum sambil mengulurkan tangan.

“Senang berkenalan denganmu... sekali lagi. Dan kurasa aku membutuhkan bantuanmu.”

Kim So Eun menatap tangan yang terulur itu dengan kening berkerut. Ini aneh sekali.

Orang yang berdiri di depannya ini adalah Kim Bum, tapi juga bukan Kim Bum. Apakah ia sedang bermimpi? Tapi kenapa mimpi ini terasa nyata sekali?

“Prince Smile?”

Kim So Eun menoleh dan melihat seorang wanita anggun dengan rambut sebahu yang dicat cokelat sudah berdiri di samping Kim Bum. Kim So Eun mengerjap. Wanita itu sepertinya tidak asing.

“Oh, Park Shin Hye.” Kim Bum menarik lengan wanita itu mendekat. “Coba dengar, Kim So Eun ini ternyata mengenalku. Dia tetanggaku.”

Wanita yang dipanggil Park Shin Hye itu menoleh ke arah Kim So Eun dan tersenyum. “Benarkah? Itu bagus sekali,” katanya. Ia kembali menatap Kim Bum. “Setidaknya sekarang kau tahu di mana kau tinggal selama ini.”

Kim Bum jelas-jelas senang. Ia memandang Jung Yong Hwa dan Kim So Eun bergantian. “Ini temanku yang baru datang dari New York, Park Shin Hye,” katanya.

Park Shin Hye mengulurkan tangan kepada Jung Yong Hwa, lalu kepala Kim So Eun sambil berkata ramah, “Senang berkenalan dengan kalian.”

Tiba-tiba Kim So Eun ia ingat di mana ia pernah melihat wanita itu. Di laptop Kim Bum.

Kim So Eun pernah melihat banyak foto wanita itu di laptop Kim Bum. Jadi Park Shin Hye adalah wanita yang pernah diceritakan Kim Bum? Wanita yang disukai Kim Bum tetapi justru akan menikah dengan teman baiknya itu? Dan sekarang wanita itu ada di sini?

“Aku ingin melihat apartemen yang kutempati selama ini.” Suara Kim Bum menembus otak Kim So Eun.

Kim So Eun mendongak dan menyadari tiga pasang mata menatapnya. “Tentu saja,” katanya cepat. “Mungkin kau bisa mengingat sesuatu kalau kau kembali ke apartemen itu.”

Kim Bum tersenyum. “Mungkin saja. Tapi kurasa aku tidak seoptimis itu. Mungkin tidak ingat juga tidak apa-apa.”

Alis Kim So Eun terangkat. “Apa maksudmu?”

“Kim Bum selalu sakit kepala kalau berusaha mengingat,” sela Park Shin Hye, “jadi sebaiknya dia tidak memaksakan diri.”

“Lagi pula,” tambah Kim Bum dengan senyum lebar, “menurutku dalam sebulan tidak akan ada banyak hal yang terjadi. Jadi aku tidak ingin membuang-buang waktu mengingat hal-hal yang tidak penting.”

Apa? Apa?! Kim So Eun hampir tidak mempercayai telinganya sendiri. Ia berpaling ke arah Kim Bum dan membuka mulut, “Tidak pen...”

Tetapi ia tidak bisa menyelesaikan ucapannya. Ia melihat Kim Bum sedang tersenyum lebar, tetapi laki-laki itu sedang menatap Park Shin Hye, bukan Kim So Eun. Senyumnya yang hangat itu juga ditujukan kepada Park Shin Hye, bukan Kim So Eun.

Dan tiba-tiba saja hati Kim So Eun terasa sangat nyeri.

Bersambung…

Chapter 10 ... Chapter 11
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7
Chapter 6
Chapter 5
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...