Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 23 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 11)



“Terima kasih karena sudah mengantarku,” kata Kim So Eun kepada Kim Bum ketika mereka sudah tiba di stasiun. “Keretaku akan datang sebentar lagi. Kau tidak perlu menungguku.”

“Tidak apa-apa,” kata Kim Bum. Ia mengikuti Kim So Eun masuk ke stasiun sambil menjinjing tas pakaian gadis itu. “Kau naik kereta apa?”

“Kereta Sancaka. Itu yang paling cepat,” sahut Kim So Eun. Ia duduk di salah satu kursi dan memeriksa tas tangannya, memastikan tiketnya sudah ada.

Kim Bum duduk di kursi di sebelah Kim So Eun dan memperhatikan gadis itu. Tadinya Kim Bum mengira Kim So Eun akan membawa koper besar, karena para wanita biasanya membawa banyak barang kalau bepergian, tetapi ternyata gadis itu hanya membawa tas tangan kecil dan satu tas jinjing berisi pakaian. Kata Kim So Eun, ia masih memiliki banyak pakaian di rumah orangtuanya di Incheon, jadi ia tidak perlu membawa banyak pakaian. Malah sebenarnya ia tidak perlu membawa pakaian sama sekali.

“Jam berapa kau akan tiba di Incheon?” tanya Kim Bum.

Kim So Eun melirik jam tangannya. “Dari sini ke Incheon hanya butuh sekitar dua jam dua puluh menit. Pokoknya hari belum gelap kalau aku tiba di Incheon.” Ia menoleh ke arah Kim Bum. “Kenapa?”

“Telepon aku kalau sudah sampai.”

“Baiklah,” sahut Kim So Eun ringan. Lalu ia terdiam sejenak, memiringkan kepala dan bertanya, “Tapi kenapa aku harus meneleponmu?”

“Supaya aku tahu kau sudah tiba dengan selamat.”

“Untuk apa? Aku bukan anak kecil lagi.” protes Kim So Eun. “lagi pula, bukankah ponselmu sedang diperbaiki?”

“Ah, benar,” gumam Kim Bum sambil menepuk keningnya. “Kalau begitu, biar aku yang meneleponmu nanti.”

Kim So Eun tidak sempat menjawab karena tiba-tiba lagu Love Love Love - FT Island terdengar nyaring. Ia mengeluarkan ponselnya yang berkedip-kedip dari tas tangan dan membaca tulisan yang muncul di layar. Alisnya terangkat dan ia cepat-cepat menempelkan ponsel ke telinga. “Hallo? Jung Yong Hwa?”

Kepala Kim Bum berputar cepat ke arah Kim So Eun. Gadis itu berdiri dari kursinya dan berjalan agak menjauh. Kim Bum sempat mendengar Kim So Eun berkata, “Kau sudah menerimanya?” Lalu ia tidak bisa mendengar apa-apa lagi.

Kemungkinan besar Jung Yong Hwa menelepon Kim So Eun untuk berterima kasih atas biscuit pemberian Kim So Eun. Tadi, dalam perjalanan ke stasiun, Kim So Eun meminta Kim Bum mengantarnya ke rumah sakit tempat Jung Yong Hwa bekerja untuk menyerahkan hadiah Natal.

Kim Bum tidak punya alasan untuk menolak, tentu saja, tetapi ia membiarkan Kim So Eun masuk ke rumah sakit sendiri sementara ia menunggu di mobil. Ia tidak ingin Jung Yong Hwa tahu bahwa ia mengenal Kim So Eun. Belum waktunya. Tetapi ternyata Jung Yong Hwa sedang sibuk menangani salah seorang pasien sehingga Kim So Eun tidak bisa menemuinya dan terpaksa menitipkan biskuit itu kepada seorang suster jaga.

Kim Bum mengangkat wajah ketika Kim So Eun duduk kembali di kursi di sampingnya. “Si dokter cinta?” tanya Kim Bum datar.

“Ya. Dia menelepon karena sudah menerima biskuitnya dan ingin berterima kasih,” sahut Kim So Eun ringan. Ia terdiam sejenak, lalu bertanya, “Ngomong-ngomong, kenapa kau selalu menyebutnya dokter cinta?”

“Apa yang kau suka darinya?” Kim Bum balas bertanya. Sebenarnya ia tidak ingin tahu, tetapi rasa penasarannya tidak bisa ditahan lagi.

“Apa?”

“Apa yang membuatmu suka padanya? Kenapa dia bisa menjadi cinta pertamamu?”

“Oh, itu.” Kim So Eun tersenyum dan merenung. “Aku menyukainya karena dulu dia pernah membantuku mencari kalungku yang terjatuh.” Ia tertawa pelan dan melanjutkan, “Kedengarannya memang konyol, tapi begitulah kenyataannya, terutama setelah dia berhasil menemukan kalungku dan tersenyum padaku.”

“Kalung?” Kening Kim Bum berkerut samar.

“Ya. Kalung pemberian nenekku. Aku selalu memakainya. Nah, ini dia,” kata Kim So Eun sambil menarik kalung yang dikenakannya dari balik syal dan kerah sweter tebalnya. Kalung dengan liontin berbentuk kata “Kim So Eun”.

Kim Bum mengamati kalung itu dengan saksama. Kerutan di keningnya bertambah.

Kalung itu...

Tiba-tiba terdengar pengumuman melalui pengeras suara bahwa kereta dengan tujuan Incheon akan segera berangkat.

“Oh, aku harus segera pergi,” kata Kim So Eun sambil mengumpulkan barang-barangnya dan berdiri.

Kim Bum juga ikut berdiri, walaupun masih terus sibuk menggali ingatannya. Ada sesuatu yang terasa mengganjal tentang kalung itu. Di mana ia pernah melihat kalung itu. Di mana? Tiba-tiba Kim Bum tersentak. Ia ingat sekarang.

Ia mengangkat wajah dan memandang ke arah Kim So Eun. Gadis itu sudah tiba di pintu gerbong kereta dan sedang melambai ke arahnya. Kim Bum baru akan mengangkat tangannya sendiri untuk balas melambai, ketika tiba-tiba ia merasakan dorongan besar untuk melakukan sesuatu. tanpa berpikir panjang, Kim Bum berseru memanggil Kim So Eun dan berlari-lari kecil ke arah gadis itu yang sudah menaiki tangga pintu gerbong.

Kim So Eun memutar tubuh dan menatap Kim Bum dengan tatapan heran dan kening berkerut. “Kenapa berteriak-teriak seperti itu?” katanya dengan nada rendah. “Nanti orang-orang akan berpikir aku sudah mencuri dompetmu atau semacamnya.”

Kim Bum tidak langsung menjawab. Ia menatap Kim So Eun sambil tersenyum lebar.

“Kim So Eun.”

“Ada apa?”

Kim Bum menunduk dan tertawa pelan, menertawakan sikapnya sendiri yang gegabah.

Merasa heran dengan sikap Kim Bum, Kim So Eun bertanya sekali lagi, “Ada apa?”

Kim Bum kembali menatap wajah Kim So Eun. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang mendorongnya, tetapi ia merasa harus mengatakannya sekarang. Tidak peduli apa yang dipikirkan Kim So Eun nantinya, pokoknya Kim Bum harus mengatakannya. “Kim So Eun, ada yang ingin kutanyakan padamu.”

“Ya?” Mata Kim So Eun melebar menunggu.

“Kau bisa melupakan Jung Yong Hwa?”

Alis Kim So Eun terangkat tinggi. “Apa?”

“Kau bisa melupakannya,” tanya Kim Bum tegas sambil menatap lurus ke dalam mata Kim So Eun yang bingung, “dan mulai benar-benar... benar-benar melihatku?”

* * *

Oh! Kim So Eun merasa jantungnya berdebar kencang. Tangannya mencengkeram pegangan besi di ambang pintu gerbong kereta dengan erat. Ia mengerjapkan mata dan menatap Kim Bum. Laki-laki itu memang tersenyum, tetapi entah kenapa Kim So Eun tidak merasa Kim Bum sedang bercanda. Tidak, laki-laki itu serius. Apakah Kim Bum berusaha mengatakan bahwa ia menyukai Kim So Eun?

Kim So Eun menahan napas, matanya terbelalak, dan jantungnya berdebar kencang. Perasaan apa ini?

“Kau tidak perlu mengatakan apa-apa sekarang,” kata Kim Bum sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket. “Aku tahu sekarang bukan waktu yang tepat.” Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Mereka sedang berada di stasiun kereta dan sebentar lagi kereta Kim So Eun akan berangkat. Benar-benar pilihan waktu yang buruk.

Kim So Eun diam menunggu kelanjutan kata-kata Kim Bum. Ia merasa seperti disihir.

Tidak bisa bergerak. Tidak bisa berkata-kata.

“Sebenarnya ada hal lain yang ingin kukatakan padamu. Mengenai ingatan masa kecilmu. Tapi akan kuceritakan nanti saat kau kembali,” kata Kim Bum perlahan. Lalu ia tersenyum dan melanjutkan, “Saat kau kembali nanti, aku akan ada di sini.”

Setelah itu pengumuman terakhir terdengar melalui pengeras suara dan pintu gerbong tiba-tiba bergerak menutup, membuat Kim So Eun tersentak mundur selangkah.

Kim Bum mengangkat sebelah tangannya untuk melambai sementara kereta mulai bergerak perlahan. Kim So Eun terus menatap Kim Bum yang tetap berdiri di tempatnya.

Kemudian sosok Kim Bum pun semakin kecil dan akhirnya menghilang dari pandangan.

Ini aneh. Kim So Eun menutup mulut dengan sebelah tangan dan perlahan berjalan ke tempat duduknya. Dengan agak lemas ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi.

Pemandangan di luar sana berlalu dengan cepat, silih berganti, tetapi Kim So Eun tidak peduli. Kata-kata Kim Bum tadi membuat jantungnya berjumpalitan.

Kau bisa melupakannya dan mulai benar-benar... benar-benar melihatku?

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, selama ini Kim So Eun sudah melihat Kim Bum. Selalu melihat Kim Bum. Hanya saja ia tidak menyadarinya sampai... sekarang? Atau semalam?

Kata-kata Kim Bum kemarin sore terngiang-ngiang di telinganya. Berhati-hatilah, Kim So Eun.

Setelah kencan ini, kau mungkin akan jatuh cinta padaku.

Jatuh cinta pada Kim Bum? Kim So Eun tidak pernah memikirkan hal itu. Ia belum tahu bagaiman perasaannya, tapi saat ini suatu perasaan aneh yang menyenangkan timbul dalam hatinya.

Di samping perasaan senang yang terbit di hatinya, ada juga perasaan janggal.

Kim So Eun merasa agak tidak tenang. Mungkin seharusnya ia mengatakan sesuatu tadi.

Sesuatu apa? Ya, apa saja, selain diam mematung menatap Kim Bum. Kalau tadi ia mengatakan sesuatu, mungkin ia tidak akan merasa resah seperti ini. Mungkin saja...

Tiba-tiba saja Kim So Eun tidak sabar ingin segera tiba di Incheon dan menunggu telepon dari Kim Bum.

* * *

Kim Bum melajukan mobil di sepanjang jalan raya yang cukup ramai, sibuk berpikir dan menyusun rencana. Ia memang ingin mengungkapkan perasaannya kepada Kim So Eun, tetapi pilihan waktunya tadi payah sekali. Kim So Eun membuatnya merasa gembira, tenang, dan... hidup. Memang masih banyak yang ingin dikatakannya kepada gadis itu, tetapi kali ini ia harus memilih waktu yang cocok sebelum mencoba menjelaskan semuanya.

Tiba-tiba suatu pikiran terbesit dalam benak Kim Bum. Mungkinkah Kim So Eun akan mengira Kim Bum hanya menganggapnya sebagai tempat pelampiasan karena wanita yang dulu pernah disukainya akan menikah dengan sahabatnya? Kim Bum terpekur dan mengangguk-angguk. Mungkin saja. Kalau begitu Kim Bum harus meyakinkannya.

Ia terlalu sibuk memikirkan masalah itu sampai tidak menyadari keberadaan mobil hitam di belakangnya. Sebenarnya mobil hitam itu sudah mengikutinya sejak Kim Bum berangkat dari apartemen tadi siang untuk mengantarkan Kim So Eun ke stasiun.

Ketika Kim Bum membelokkan mobil ke jalan sepi yang merupakan jalan pintas ke apartemen pamannya, mobil hitam yang selama ini tetap menjaga jarak di belakang langsung melesat maju melewati mobil Kim Bum. Kim Bum buru-buru menginjak rem ketika mobil hitam itu berhenti di depannya, menghalangi jalan. Kening Kim Bum berkerut. “Apa-apaan ini?” Ia melihat ke belakang dan menyadari mobil hitam lain sudah berhenti di belakang mobilnya.

Sebelum Kim Bum sempat memahami apa yang sedang terjadi, sekitar lima pria berjaket hitam dan bertampang seram keluar dari kedua mobil di depan dan belakangnya. Mereka terlihat seperti Mafia. Kim Bum mencium adanya bahaya, tetapi tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang kecuali mencari tahu apa yang diinginkan orang-orang aneh itu.

Dengan perasaan was-was ia membuka pintu mobilnya dan melangkah keluar. Ia menatap kelima orang yang berdiri di depannya, lalu mengangkat kedua tangannya ke depan. “Dengar siapa pun yang sedang kalian cari saat ini, saya yakin kalian salah orang.”

“Tidak. Tidak salah.”

Kim Bum berbalik cepat dan berhadapan dengan pria berpenampilan rapi yang berumur tiga puluhan, atau mungkin lebih tua dari itu. Sebatang rokok terselip di antara bibirnya yang tipis. Rambut di atas kepalanya sudah mulai menipis, tetapi alisnya lebat. Dan hidungnya agak bengkok. Kim Bum mengerutkan kening. Ia pernah melihat orang itu.

“Kau tidak ingat lagi padaku?” tanya pria itu dengan nada sinis. Mulutnya melengkung membentuk senyum mengejek.

Kim Bum teringat pada orang aneh di gedung pertunjukan balet kemarin. “Anda yang ada di gedung pertunjukan kemarin?” tanyanya dengan nada ragu.

Alis lebat pria itu terangkat, masih tersenyum sinis. Ia mengepulkan asap rokoknya dan berkata puas, “Ah, rupanya kau ingat juga.”

“Tapi aku...”

“Coba ingat-ingat lagi,” potong pria itu tajam. “Sebelum itu kita sempat bertemu.”

Kim Bum kembali memutar otak. Siapa pria ini? Apa yang diinginkannya? ”Kau sama sekali tidak ingat?” Mata kecil pria itu menusuk mata Kim Bum. “Bagaimana kalau kukatakan padamu bahwa masih ada masalah yang belum selesai di antara kita?” Tanya pria itu. Ia mengangguk-angguk dan melanjutkan, “Harus kuakui pukulanmu cukup keras, tapi kurasa sekarang saatnya kau menerima balasan dariku.”

Tiba-tiba Kim Bum teringat. Pria ini adalah pria yang mengganggu Yoon Eun Hye di tengah jalan malam itu. Kim Bum memang sempat meninjunya dan sekarang ia ingin membalas dendam? Apakah pria itu salah satu anggota Mafia? Sial! Ia sama sekali tidak ingin terlibat dengan Mafia. Kim Bum memandang berkeliling, mengamati anak buah pria itu, mempertimbangkan kelemahan situasinya saat itu. Ia tidak yakin bisa mengalahkan lima orang bertampang garang itu. Tetapi bagaimanapun juga ia harus mencobanya. Tidak ada cara lain.

“Sepertinya kau mulai ingat, bukan?” tanya pria itu. Ia menyeringai, membuang sisa rokoknya ke tanah, dan menginjaknya. “Mungkin sekarang kita bisa mulai mengajarimu supaya tidak ikut campur urusan orang lain.”

Ia melambaikan tangannya dan kelima anak buahnya bergerak maju menyerang Kim Bum. Kim Bum sempat menghindar dari beberapa tinju yang melayang ke arahnya dan sempat meninju rahang beberapa orang pria. Tetapi mereka terlalu banyak dan terlalu ganas. Sementara Kim Bum sibuk menghindar, ia tidak menyadari salah satu dari pria itu mengambil tongkat bisbol dari dalam mobil dan menghampirinya dari belakang.

Kim Bum berputar dan terkejut melihat tongkat bisbol yang diayunkan ke arahnya.

Hal terakhir yang terlintas dalam benaknya adalah ia harus menelepon Kim So Eun sore itu.

Lalu kepalanya serasa meledak, diikuti percikan cahaya menyilaukan, lalu segalanya berubah gelap.

* * *

Sudah hampir jam tujuh malam.

Kim So Eun mengalihkan pandangan dari jam dinding ke ponsel yang tergeletak di meja dan menghembuskan napas. Kenapa belum menelepon? Lagi-lagi Kim So Eun melirik jam dinding. Ia sudah tiba di Incheon sekitar tiga jam yang lalu, tetapi Kim Bum belum menelepon sampai sekarang. Bukankah laki-laki itu bilang akan meneleponnya?

Kim So Eun tidak tahu kenapa ia bisa seresah itu. Tetapi ia memang resah. Ia menggigit-gigiti kuku dan kembali menatap ponselnya.

Akhirnya ia meraih ponselnya dan mulai memencet beberapa tombol, lalu menempelkan ponsel ke telinga. “Hallo? Yoon Eun Hye Eonni?” Ia mendengarkan sesaat, lalu melanjutkan, “Ya, aku sudah di Incheon. Eonni ada di mana sekarang?... Oh, begitu. Eonni, ngomong-ngomong Eonni sudah bertemu dengan Kim Bum?”

Kim So Eun kembali menggigit kukunya. “Belum? Oh... Ah, tidak apa-apa. Ponselnya sedang rusak jadi aku tidak bisa meneleponnya. Ya... Ya, tidak apa-apa... Kalau Eonni bertemu dengannya... Ya... Ya... Terima kasih. Ya.”

Kim So Eun menutup telepon dan mengembuskan napas panjang. Ia menggigit bibir dan menatap ponsel yang ada dalam genggamannya. Apakah ia harus mencoba? Hanya untuk memastikan? Ia kembali memencet beberapa tombol di ponselnya dan menempelkan ponsel ke telinga. Setelah menunggu sejenak terdengar suara operator telepon yang menyatakan bahwa ponsel yang dituju sedang tidak aktif. Kim So Eun menutup ponsel. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan keras.

“Kenapa melamun sendiri di sini?” Terdengar suara berat ayahnya dari belakang.

“Kau tidak membantu ibumu menyiapkan makan malam?”

“Ya,” sahut Kim So Eun cepat dan segera bangkit.

Tidak apa-apa. Kim Bum mungkin memang sedang sibuk saat ini. Ia pasti akan menelepon Kim So Eun nanti malam. Pasti.

* * *

Dua jam yang lalu...

Song Seung Hun baru saja akan meninggalkan apartemennya untuk menghadiri pesta Natal yang diadakan salah seorang rekan bisnisnya ketika telepon di apartemennya berdering. Ia bermaksud mengabaikannya karena sebelah tangannya sudah membuka pintu depan, tetapi akhirnya ia menyerah dan masuk kembali ke apartemen.
“Yeoboseyo?” katanya dengan nada agak kesal. Ia melirik jam tangan Rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Semoga saja ini tidak memakan waktu lama. Ia tidak ingin sampai terlambat menghadiri perayaan itu dan memberikan kesan buruk.

“Apakah saya sedang berbicara dengan Tn. Song Seung Hun?” tanya suara seorang pria di ujung sana. Nada suaranya resmi dan kaku.

Kening Song Seung Hun berkerut samar. “Benar. Saya sendiri.”

“Tn. Song Seung Hun,” lanjut pria di ujung sana, “kami dari kepolisian.”

Kerutan di kening Song Seung Hun bertambah. Kepolisian?

“Maaf, ada masalah apa? Apakah ada yang bisa saya bantu?” Ia mendengarkan sejenak, lalu mengangguk dan berkata, “Benar, itu mobil saya. Saat ini keponakan saya yang memakai mobil itu.” Jeda sesaat sementara Song Seung Hun mendengarkan kata-kata polisi itu. Tiba-tiba rahangnya menegang dan wajahnya memucat. Ia mencengkeram gagang telepon lebih erat dan suaranya terdengar tegang ketika ia berkata, “Anda serius?... Seberapa parah keadaannya?... Saya segera ke sana.”

Bersambung…

Chapter 10
Chapter 9
Chapter 8
Chapter 7
Chapter 6
Chapter 5
Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...