Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 24 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 23)



“Kenapa Kim Bum harus mengadakan pamerannya bertepatan dengan Hari Valentine?” desah Yoon Eun Hye ketika ia dan Kim So Eun sedang berdiri di tepi jalan, menunggu lampu lalu lintas berubah warna. Suaranya terdengar tidak jelas karena hidung dan mulutnya dibenamkan di balik syal tebal yang melilit lehernya. Angin sore ini memang lebih dingin daripada hari-hari sebelumnya.

“Eonni sendiri juga tidak ada acara, kan, malam ini?” Kim So Eun balas bertanya sambil tersenyum.

“Oh, astaga! Haruskah kau mengingatkanku soal itu?” Yoon Eun Hye melotot, lalu mendesah lagi. “Tapi mungkin aku bisa cuci mata sedikit di pameran itu.”

Lampu lalu lintas berubah warna dan mereka menyeberang dengan cepat, lega karena setidaknya mereka kembali bergerak. Berdiri diam begitu saja membuat mereka semakin kedinginan.

“Ngomong-ngomong, Kim Bum benar-benar sudah tidak apa-apa?” Tanya Yoon Eun Hye, sementara mereka berjalan cepat ke arah galeri tempat pameran Kim Bum diadakan. “Maksudku, baru beberapa hari di rumah sakit, dia sudah memaksa minta pulang.”

“Kurasa dia masih sakit di sana-sini, tapi karena dia laki-laki, dia tidak akan mengakuinya,” jawab Kim So Eun. “Segala persiapan sudah dilakukan untuk pameran ini dan para sponsor tidak akan mau menundanya. Kim Bum sendiri juga pasti tidak mau.”

Begitu mereka tiba di galeri dan menitipkan jaket, Yoon Eun Hye memandang berkeliling dan bergumam, “Wah, banyak juga yang datang. Baiklah, Kim So Eun, sampai juga lagi nanti. Aku harus beredar dulu.”

Kim So Eun mengangkat alis tidak mengerti.

Yoon Eun Hye tersenyum. “Cuci mata,” katanya. “Cuci mata.”

Setelah ditinggal Yoon Eun Hye, Kim So Eun masuk ke ruangan pameran dan mencari-cari Kim Bum. Tidak ada. Kim Bum tidak terlihat. Mungkin sedang sibuk. Ini kan pamerannya.

Pasti banyak orang yang ingin berbicara dengannya. Sambil mendesah pelan, Kim So Eun memutuskan untuk melihat-lihat sendiri dulu.

Tempat ini cukup ramai. Ternyata banyak orang yang tertarik dengan hasil karya Kim Bum. Beberapa orang wartawan juga terlihat. Kim So Eun jadi bertanya-tanya apakah Kim Bum memang sehebat itu? Apakah Kim Bum memang terkenal seperti yang pernah dikatakan Yoon Eun Hye?

Kalau dilihat dari foto-foto yang tergantung di dinding itu, Kim Bum memang hebat.

Bagaimana Kim Bum bisa memotret sesuatu yang begitu biasa dan membuatnya begitu luar biasa? Misalnya foto hitam-putih yang menampilkan tangan seseorang yang terangkat ke arah matahari, seolah-olah ingin menggapai matahari. Entah bagaimana cara Kim Bum memotretnya, tetapi sinar matahari yang menyelinap di antara celah jemari itu terlihat sangat indah dan berkilau.

Kim So Eun terus bergerak dari satu foto ke foto lain, terus berhenti di setiap foto untuk memandanginya dan terus terkagum-kagum. Ia memang tidak mengerti fotografi, tetapi ia tahu foto bagus. Dan Kim Bum sudah jelas memang sangat berbakat seperti yang dikatakan Yoon Eun Hye.

Tiba-tiba sebuah foto menarik perhatiannya. Kim So Eun mengerjap dan menahan napas.

Foto yang tergantung di depannya adalah foto seorang wanita berjaket hijau yang berdiri di tengah-tengah kerumunan orang yang berlalu-lalang di jalan raya. Wanita yang menjadi objek utama dalam foto itu berdiri membelakangi kamera. Selain warna hijau dari jaket yang dikenakan wanita itu, segala sesuatu di sekitarnya, termasuk juga kerumunan orang yang berlalu-lalang berwarna hitam-putih dan terlihat kabur, seolah-olah dunia di sekeliling wanita itu memudar di mata sang fotografer.

“Kau sudah datang?”

Sebuah suara pelan menyentakkan Kim So Eun dan ia langsung berputar. “Kim Bum.”

Matanya melebar dan seulas senyum tersungging di bibirnya begitu melihat Kim Bum.

Kim Bum berdiri di sampingnya.

* * *

Sebenarnya Kim Bum sudah melihat Kim So Eun sejak gadis itu memasuki ruangan pameran.

Saat itu ia sedang berbicara dengan beberapa orang penting, sehingga ia tidak bisa langsung menemui gadis itu. Begitu ia bisa menyelinap keluar dari pembicaraan, ia langsung menghampiri Kim So Eun.

“Kau sudah datang?” sapanya.

Kim So Eun berputar dan tersenyum lebar. “Kim Bum.”

Kim Bum balas tersenyum, lalu kembali memandang foto yang tadi sedang diperhatiakn Kim So Eun. “Kau ingat hari itu?” tanyanya.

“Apa?” Kim So Eun tidak mengerti.

Kim Bum menggerakkan dagunya ke arah foto. “Hari ketigaku di Seoul. Kau menemaniku ke Syracuse Street untuk melihat-lihat. Hari itu kau mengenakan jaket hijau.”

Kim So Eun mengerutkan kening, masih tidak mengerti. Lalu perlahan-lahan kerutan di keningnya menghilang dan ia kembali menatap foto yang tergantung di depannya.

“Perempatan Syracuse Street selalu ramai dan saat itu kau hampir jatuh karena ditabrak dari segala arah.” Kim Bum tertawa pelan.

“Itu... Itu karena kau tiba-tiba menghilang,” protes Kim So Eun. “Aku sedang mencarimu. Kukira kau... Maksudku, kau bisa saja tersesat di antara begitu banyak orang.”

“Saat itu aku ada di belakangmu. Aku bisa melihatmu,” kata Kim Bum. “Aku selalu melihatmu.”

Mata Kim So Eun terpaku pada foto itu. “Jadi... itu aku?” tanyanya tidak percaya.

Kim Bum mengangguk. “Aku tahu kau tidak suka difoto, tapi menurutku foto ini sangat bagus untuk pameran. Jadi...”

“Tidak apa-apa,” sahut Kim So Eun sambil tersenyum. “Foto ini memang sangat bagus. Foto-foto yang lain juga.”

Senyum Kim Bum melebar. “Terima kasih.”

Mereka masih berdiri di depan foto itu dan Kim Bum teringat beberapa jam yang lalu ketika Jung Yong Hwa datang ke sini. Jung Yong Hwa juga berdiri di depan foto yang sama dan memandanginya sambil tersenyum kecil.

“Kukatakan padanya bahwa aku ingin melindunginya,” gumam Jung Yong Hwa saat itu.

Alis Kim Bum terangkat dan ia menoleh. “Apa?”

Jung Yong Hwa menggerakkan kepalanya ke arah foto. “Wanita itu. Kukatakan padanya bahwa aku berharap akulah yang melindunginya saat itu.”

Kim Bum langsung tahu mereka sedang membicarakan Kim So Eun. Dan apa kata Jung Yong Hwa tadi? Apakah Jung Yong Hwa sudah menyatakan perasaannya? Tiba-tiba saja Kim Bum merasa tegang dan ia menahan napas.

“Begitukah?” gumam Kim Bum, berharap Jung Yong Hwa meneruskan kata-katanya.

Tetapi Jung Yong Hwa menghela napas panjang dan melirik jam tangannya. “Aku harus kembali ke rumah sakit,” gumamnya. Lalu ia berbalik dan mengulurkan tangan ke arah Kim Bum. “Nah, semoga berhasil, Kim Bum, walaupun aku yakin kau akan berhasil karena karyamu sangat bagus.”

Kim Bum menjabat tangan yang terulur itu dan mengucapkan terima kasih. Ia sangat ingin bertanya kepada Jung Yong Hwa tentang apa yang dikatakannya tadi, tetapi tidak tahu bagaimana harus menanyakannya. Jadi sampai sekarang Kim Bum masih tidak tenang.

Ia menarik napas dalam-dalam dan menoleh ke arah Kim So Eun yang kini berdiri di sampingnya. Jung Yong Hwa sudah meyatakan perasaannya kepada Kim So Eun. Apakah Kim Bum sudah terlambat? Tidak mungkin. Tidak mungkin...

“Ngomong-ngomong,” kata Kim So Eun tanpa mengalihkan matanya dari foto-foto yang terpajang, “apakah Jung Yong Hwa sudah datang ke sini?”

Kenapa gadis itu tiba-tiba bertanya soal Jung Yong Hwa? “Tadi sudah ke sini,” sahut Kim Bum setengah melamun.

Kim So Eun menatapnya dan tersenyum lebar. “Oh, ya? Bagaimana tanggapannya tentang pameran ini?”

Gadis itu masih menyukai Jung Yong Hwa. Itulah yang dipikirkan Kim Bum begitu ia melihat wajah Kim So Eun yang berseri-seri. Saat itu juga ia mendadak merasa tidak bersemangat.

Gadis itu masih menyukai Jung Yong Hwa. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus dilakukannya?

Apa yang harus kulakukan supaya kau bisa melihatku?

Ketika Kim So Eun menoleh ke arahnya dengan tatapan heran, barulah ia menyadari ia sudah mengucapkan apa yang dipikirkannya tadi.

* * *

Kim So Eun mengira ia salah dengar. “Apa?”

Kim Bum tidak langsung menjawab. Laki-laki itu hanya menatapnya dengan ekspresi bingung dan murung. Setelah terdiam beberapa saat, Kim Bum menghela napas panjang, menjejalkan kedua tangan di saku celana, dan bertanya, “Apa yang harus kulakukan supaya kau bisa melihatku?”

Untuk sesaat Kim So Eun tidak bisa menemukan suaranya. Ia hanya bisa menatap Kim Bum tanpa berkedip. Napasnya tertahan dan jantungnya mulai berdebar keras.

“Sebenarnya aku sudah pernah bertanya kepadamu,” lanjut Kim Bum sambil tersenyum kecil. “Tapi kau belum menjawabku.”

Oh, ya. Kim So Eun ingat. Kim So Eun mengingatnya dengan jelas, seolah-olah semuanya baru terjadi kemarin. Hari Natal. Stasiun kereta. Ia baru akan naik kereta yang akan membawanya ke Incheon ketika Kim Bum menghentikannya dan menanyakan pertanyaan itu. Apakah kau bisa melupakan Jung Yong Hwa... dan mulai benar-benar melihatku?

“Aku tahu saat itu bukan saat yang tepat,” kata Kim Bum, lalu tertawa kecil. Ia memandang ke sekeliling ruangan pameran yang dipenuhi orang-orang. “Sebenarnya sekarang juga bukan waktu yang tepat. Tempatnya juga tidak tepat. Tapi kurasa aku harus mengatakannya sekarang juga.”

Kim So Eun bahkan tidak menyadari ada orang di sekeliling mereka. Ia tidak bisa melihat apa-apa selain Kim Bum. Ia tidak bisa mendengar apa-apa selain suara Kim Bum. Ia masih belum bisa bernapas dengan normal karena terlalu takjub dan ia masih menahan napas menunggu apa yang akan dikatakan Kim Bum selanjutnya.

Mata Kim Bum yang gelap menatap matanya lurus-lurus dan Kim So Eun hampir yakin ia melihat bayangannya sendiri terpantul di sana.

Kim Bum menarik napas dan berkata dengan nada rendah namun mantap, “Aku menyukaimu, Kim So Eun.” Lalu ia menggeleng pelan. Matanya masih terpaku pada mata Kim So Eun. “Tidak. Kurasa yang benar adalah aku mencintaimu.”

Dunia pun berhenti. Setidaknya Kim So Eun merasa dunianya berhenti berputar tepat pada saat itu. Seluruh jagat raya berhenti. Tidak ada suara yang terdengar selain gema yang tersisa dari kata-kata Kim Bum tadi.

“Apa yang harus kulakukan agar kau bisa menerimaku?” Suara Kim Bum yang lirih dan dalam terdengar lagi.

Tidak ada, batin Kim So Eun. Tidak ada...

Gemuruh tepuk tangan terdengar menembus kabut yang menyelimuti kepala Kim So Eun. Ia mengerjap dan memandang berkeliling. Para pengunjung pameran bertepuk tangan dan menatap Kim Bum sambil tersenyum lebar.

Kim So Eun baru menyadari rupanya saat itu Kim Bum diminta maju ke depan untuk memberikan sedikit kata sambutan dan menjawab pertanyaan dari wartawan. Seorang wanita yang memegang mikrofon dan yang terlihat seperti salah satu orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan acara melambai ke arah Kim Bum.

“Kim Bum, sepertinya dia memanggilmu,” gumam Kim So Eun.

Kim Bum menunduk, menghembuskan napas dengan berat. “Pada saat seperti ini...,” gerutunya pelan. Namun ia dengan cepat mengangkat kepala, menegakkan bahu, dan berbalik. Seulas senyum lebar sudah tersungging di bibirnya ketika ia berjalan. Langkahnya masih agak timpang ke arah si wanita yang memegang mikrofon, diiringi tepuk tangan semua orang.

“Sudah kubilang dia hebat,” kata Yoon Eun Hye yang tiba-tiba sudah berdiri di samping kanan Kim So Eun.

“Aku tahu,” timpal Lee Ki Kwang yang berdiri di samping kiri Kim So Eun. “Aku hanya tidak menyangka dia terkenal seperti ini.”

Kim So Eun menoleh dan menatap kedua kakak-beradik itu bergantian. “Oh, Eonni... Lee Ki Kwang...”

Yoon Eun Hye menyiku pelan lengan Kim So Eun. “Dia keren sekali, bukan?”

Kim So Eun menatap Kim Bum yang berbicara dengan lancar di depan, menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang masalah teknis dan foto-fotonya. “Ya,” gumamnya sambil tersenyum. “Memang.”

Salah seorang wartawan menanyakan sesuatu. “Anda sudah sangat sukses di Amerika Serikat. Apa yang membuat Anda kembali ke Korea?”

Kim Bum tersenyum. “Saya hanya butuh perubahan suasana. Mencari inspirasi.”

“Sepertinya Anda memang sudah berhasil mendapatkan inspirasi kalau melihat hasil karya Anda yang mengagumkan ini,” puji si wartawan.

Kim Bum berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Ya.”

Alis si wartawan terangkat dan ia memperbaiki letak kacamatanya. Ada sesuatu dalam satu patah kata sederhana itu yang menggelitik rasa ingin tahunya. Memang hanya wartawan yang memiliki naluri tajam seperti itu. “Maaf, apakah sumber inspirasi Anda itu... seorang wanita?”

“Ya,” jawab Kim Bum sambil tersenyum.

Yoon Eun Hye melirik Kim So Eun dan berbisik, “Ya, kita semua tahu siapa wanita itu. Bukankah begitu?”

Kim So Eun pura-pura bodoh dan tidak menjawab sementara Lee Ki Kwang tertawa pelan.

“Ceritakanlah sedikit tentang sumber inspirasi Anda itu,” pinta si wartawan yang didukung oleh wartawan-wartawan lain. “Apa yang sudah dilakukannya sampai bisa membuat Anda terinspirasi?”

Saat itu mata Kim Bum bertemu dengan mata Kim So Eun dari seberang ruangan. Kim So Eun langsung menahan napas dan berharap debar jantungnya yang keras tidak terdengar oleh orang-orang yang berdiri di dekatnya.

“Dia tidak melakukan apa-apa,” sahut Kim Bum sambil tersenyum.

“Tidak?” tanya si wartawan tidak percaya.

“Tidak,” Kim Bum menegaskan. “Dia juga tidak perlu melakukan apa-apa. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa dia ada dan saya bisa melihatnya.”

“Ya, Tuhan. Ini menegangkan sekali,” bisik Yoon Eun Hye dengan nada mendesak sambil mencengkeram lengan Kim So Eun. Itu bagus juga, karena Kim So Eun merasa kakinya mulai goyah.

“Maksud Anda?” tanya wartawan yang mulai bersemangat. Hubungan pribadi memang selalu menarik untuk dikupas, apalagi hubungan pribadi orang terkenal.

“Yang harus saya lakukan hanyalah melihatnya. Hanya melihatnya,” sahut Kim Bum dan kembali memandang ke arah Kim So Eun, “dan saya akan merasa saya bisa menghadapi segalanya.”

Bernapaslah, pinta Kim So Eun pada diri sendiri. Ia harus bernapas. Kalau tidak ia akan segera pingsan.

Para wartawan berebut mengajukan pertanyaan, tetapi tidak ada yang terdengar jelas karena suara-suara saling tumpang-tindih.

“Saya hanya berharap...” Suara Kim Bum membuat ruangan itu hening. Semua perhatian terpusat kepada sosok Kim Bum dan kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Mata Kim Bum sendiri tetap terpaku pada Kim So Eun. “Saya hanya berharap dia bisa melihat saya.”

Kim So Eun masih tidak bisa mengalihkan matanya dari Kim Bum. Ia tidak bisa mendengar apa-apa selain debar jantungnya sendiri. Tetapi mungkin juga suasana saat itu memang hening. Kim So Eun tidak tahu dan tidak peduli. Ia merasa seolah-olah sedang melayang. Apakah ia sedang bermimpi?

“Hanya itu yang bisa saya katakan.” Kim Bum memecah keheningan. “Terima kasih.”

Suasana kembali riuh dan para wartawan berlomba-lomba ingin bertanya lebih jauh. Tetapi kali ini Kim Bum hanya tersenyum lebar, membungkukkan badan, dan menyerahkan mikrofon kepada si penyelenggara acara, menandakan wawancara sudah selesai. Wanita itu buru-buru mengambil alih situasi, dengan ringkas dan efisien menjawab serta mengalihkan pertanyaan-pertanyaan wawancara kepada masalah yang tidak bersifat pribadi.

“O-oh. Dia ke sini,” kata Yoon Eun Hye ketika Kim Bum keluar dari kerumunan wartawan dan berjalan ke arah mereka. “Lee Ki Kwang, ayo kita pergi.”

“Kenapa?” tanya Lee Ki Kwang sambil mengerutkan kening, sama sekali tidak mengerti maksud kakaknya. “Aku baru datang dan aku belum bertemu dengan Kim Bum Hyung. Aku harus memberikan selamat kepadanya.”

Yoon Eun Hye melotot dan menarik lengan adiknya. “Nanti saja. Sekarang kita harus menyingkir dari sini.”

Kim So Eun hanya bisa menatap kedua kakak-beradik itu berjalan pergi. Lee Ki Kwang masih sempat menoleh dan melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum. KetikaKim So Eun berbalik kembali, Kim Bum sudah berdiri di hadapannya dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana.

Sesaat mereka hanya berpandangan. Kim So Eun tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Ia bahkan belum bisa bernapas dengan normal dan debar jantungnya belum mereda. Perasaannya masih melayang-layang.

Tiba-tiba Kim So Eun mendapati dirinya bertanya, “Kalau ingatanmu saat ini masih belum kembali, apakah kau akan mengatakan hal yang sama seperti yang kaukatakan tadi?”

Pertanyaan itu membuat Kim Bum agak kaget, tetapi ia tidak membutuhkan waktu lama untuk menjawab. “Sejak sebelum aku hilang ingatan aku sudah menyukaimu. Ketika aku tidak mengingat apa-apa, aku kembali jatuh cinta padamu,” gumamnya yakin. Ia terdiam sejenak, menatap mata Kim So Eun lurus-lurus dan melanjutkan, “Jadi, ya, aku akan tetap mengatakan hal yang sama walaupun seandainya ingatanku belum kembali.”

Mata Kim So Eun terasa panas dan ia menunduk.

“Kim So Eun.” Kim Bum menghela napas sejenak, lalu melanjutkan, “Aku tahu kau menyukai Jung Yong Hwa walaupun dia sama sekali tidak seperti yang kaukira. Dan… aku tidak percaya aku akan mengatakan ini…aku tahu dia menyukaimu. Bukankah dia juga sudah bilang padamu dia ingin melindungimu atau semacamnya? Tapi katakana padaku, apa yang harus kulakukan supaya kau bisa menerimaku. Atau setidaknya memberiku kesempatan. Aku...”

“Kau tidak perlu melakukan apa-apa,” sela Kim So Eun.

“Aku... Apa?”

“Kau tidak perlu melakukan apa-apa, Kim Bum,” kata Kim So Eun sekali lagi sambil berusaha mengatur napas dan debar jantungnya, “karena aku memang sudah melihatmu.”

Alis Kim Bum terangkat. Ketegangan yang sejak tadi terlihat di wajahnya mulai menguap. “Kau sudah...? Lalu Jung Yong Hwa?”

Kim So Eun menunduk. “Sudah kukatakan padanya,” gumamnya pelan.

Seulas senyum tersungging di bibir Kim Bum. “Lalu kini kau kembali padaku?”

Kim So Eun berdeham, agak salah tingkah, lalu balik bertanya, “Apakah kau harus bertanya terus? Atau kau ingin aku menerima Jung Yong Hwa?”

“Tentu saja tidak,” sahut Kim Bum cepat. Wajahnya pun berubah cerah. Ia menghembuskan napas dengan lega. “Kim So Eun...”

Tepat pada saat itu tiba-tiba Song Seung Hun muncul dan menepuk punggung Kim Bum dengan keras. “Foto-fotomu hebat, Kim Bum. Selamat,” katanya riang, dan menoleh ke arah Kim So Eun. “Oh, ada Kim So Eun rupanya. Apa kabar?”

Kim So Eun buru-buru membungkuk memberi salam.

“Paman?” Kim Bum mengerjap bingung, seolah ia memerlukan waktu satu-dua detik sebelum menyadari bahwa orang yang berdiri di sampingnya adalah pamannya.

“Paman baru datang?”

“Maaf, aku datang terlambat,” kata pamannya tanpa merasa bersalah. “Ngomong-ngomong, bagaimana kalau kita pergi makan malam untuk merayakan keberhasilanmu setelah acara ini selesai? Tentu saja Kim So Eun juga harus ikut.”

Kim So Eun cepat-cepat menggeleng. “Tidak, tidak. Paman dan Kim Bum saja yang pergi. Aku...”

Kata-katanya terhenti ketika ia merasakan tangan Kim Bum menggenggam tangannya dan menariknya mendekat. Ia bisa melihat alis paman Kim Bum terangkat heran, lalu senyum kecil mulai terlihat di wajah pria yang lebih tua itu. Kim So Eun merasa pipinya memanas dan ia hampir tidak berani mengangkat wajah.

“Bagaimana kalau kita rayakan lain kali, Paman?” tanya Kim Bum dengan nada meminta maaf. “Hari ini kami punya rencana lain.”

Song Seung Hun menatap mereka berdua, lalu mengangguk-angguk. “Ah, rupanya sudah berhasil.”

* * *

“Kim Bum, kita akan ke mana?” tanya Kim So Eun ketika mereka sudah berada di dalam mobil Kim Bum yang melaju di jalan.

“Karena kau sudah memberiku cokelat,” sahut Kim Bum sambil menepuk kantong kain berisi cokelat buatan Kim So Eun yang diletakkan di dasbor, “aku juga harus menepati janjiku.”

“Janji apa?”

Kim Bum menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Bukankah kau pernah memintaku mengajakmu ke restoran favoritmu itu lagi pada Hari Valentine?”

“Ah, benar!” seru Kim So Eun gembira, baru teringat soal janji itu. “Kim Bum, ternyata kau masih ingat. Jadi kita akan makan malam di sana?”

Kim Bum mengangguk.

“Kau membawa kartu diskonmu?” tanya Kim So Eun.

Kim Bum tertegun. “Kartu diskon?”

“Ya, kartu diskon yang kaubilang hanya bisa dipakai pada hari-hari tertentu,” kata Kim So Eun.

Kim Bum berdeham. “Eh, soal kartu diskon itu...”

“Ya?”

“Sebenarnya tidak ada kartu diskon.”

Kim So Eun tidak mengerti. “Tidak ada? Maksudmu, kau lupa membawanya?”

“Bukan. Aku tidak pernah punya kartu diskon itu.” Melihat Kim So Eun yang kebingungan, Kim Bum cepat-cepat menambahkan, “Sebenarnya itu restoran pamanku, jadi aku selalu mendapatkan diskon khusus kalau aku makan di sana.”

“Oh, begitu?” gumam Kim So Eun heran. “Tapi kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya waktu itu?”

Kim Bum mengangkat bahu. Kalau dipikir-pikir, ia juga tidak mengerti kenapa ia harus berbohong saat itu. “Entahlah,” jawabnya. “Kurasa aku tidak ingin dianggap memamerkan diri.”

“Kau tidak pernah memamerkan diri,” kata Kim So Eun sambil menepuk pundak Kim Bum. “Malah kau salah satu orang paling rendah hati yang pernah kukenal.”

“Karena itu kau menyukaiku?” gurau Kim Bum.

Kim So Eun meringis, lalu tertawa kecil. “Kurasa begitu.”

Kim Bum menggenggam erat tangan Kim So Eun. “Terima kasih, Kim So Eun,” gumamnya pelan. “Terima kasih karena sudah memberiku kesempatan. Terima kasih karena sudah ada di sini bersamaku.”

Kim So Eun tersenyum menatap laki-laki yang duduk di belakang kemudi itu, lalu menatap tangannya yang hampir tak terlihat dalam genggaman Kim Bum. Hatinya terasa hangat. Ringan. Bahagia. Ia suka apabila Kim Bum menggenggam tangannya seperti itu, membuatnya merasa laki-laki itu akan selalu bersamanya.

“Ngomong-ngomong, Kim Bum, kenapa kau tadi bilang Jung Yong Hwa tidak seperti yang kukira?” tanya Kim So Eun tiba-tiba. “Ah, dulu sewaktu kau mengantarku ke stasiun kereta, kau juga bilang ada sesuatu yang ingin kaukatakan kepadaku. Sesuatu tentang ingatan masa kecilku. Kau ingat?”

“Oh, itu...” Kim Bum tersenyum penuh misteri.

“Aku sangat penasaran,” kata Kim So Eun. Ia mengubah posisi duduknya dan menghadap Kim Bum. “Sebenarnya apa yang ingin kaukatakan?”

“Tentang cinta pertamamu. Anak laki-laki yang membantu mencarikan kalungmu yang hilang itu...”

“Jung Yong Hwa.”

Kim Bum menggeleng. “Bagaimana kalau anak laki-laki itu bukan Jung Yong Hwa?”

“Apa?”

“Bagaimana kalau kukatakan padamu anak laki-laki itu bukan Jung Yong Hwa?”

Mata Kim So Eun terbelalak. “Bagaimana mungkin? Baek Suzy yang bilang padaku nama anak itu Jung Yong Hwa. Baek Suzy kenal banyak orang dan dia tidak mungkin salah.”

“Tapi Jung Yong Hwa tidak mengingatmu, bukan? Tidak ingat pernah bertemu denganmu, atau membantumu mencari kalung, atau semacamnya?”

“Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat. Orang-orang bisa saja melupakan beberapa hal pada masa kecilnya,” protes Kim So Eun. “Lagi pula, bagaimana kau bisa begitu yakin anak itu bukan Jung Yong Hwa?”

Kim Bum menatap Kim So Eun sekilas sebelum kembali menatap jalanan di depan. Ia tersenyum. “Karena akulah anak itu.”

Kali ini Kim So Eun terbelalak. “Apa?” Suaranya juga melengking.

“Aku ingat pernah melihat seorang anak perempuan kecil yang sedang berjongkok di samping gedung sekolah menangis tersedu-sedu mencari kalungnya yang hilang,” kata Kim Bum.

“Aku tidak menangis tersedu-sedu,” bantah Kim So Eun.

Kim Bum mengabaikannya. “Waktu itu kau tidak memakai sarung tangan. Kau terus meniup-niup tanganmu. Aku ingat itu karena aku bermaksud meminjamkan sarung tanganku kepadamu. Hanya saja hari itu aku juga tidak membawa sarung tangan.”

Kim So Eun terdiam dan menatap Kim Bum tanpa berkedip.

“Aku masih ingat, Kim So Eun. Sungguh. Semuanya tersimpan di kepalaku seperti foto,” kata Kim Bum sambil mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk.

“Tapi ini benar-benar sulit dipercaya,” kata Kim So Eun. “Apakah itu benar-benar kau, Kim Bum?”

“Begitulah kenyataannya.”

Kim So Eun mengerutkan kening dengan bingung. “Tapi bagaimana mungkin Baek Suzy salah mengenali orang?”

Kim Bum mengangkat bahu. “Entahlah. Yang kutahu adalah cinta pertamamu sudah pasti bukan Jung Yong Hwa,” katanya sambil menatap Kim So Eun, “tapi Kim Bum.”

Sejenak Kim So Eun masih berpikir. Akhirnya ia tersenyum. “Akan kuingat itu,” katanya, lalu memandang ke luar jendela dan melihat butiran salju tipis melayang turun. “Wah, salju mulai turun lagi.”

Bersambung…


Chapter 10 ... Chapter 11 ... Chapter 21
Chapter 9 ... Chapter 12 ... Chapter 22
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3 ... Chapter 18
Chapter 2 ... Chapter 19
Chapter 1
... Chapter 20
Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...