Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 20 Agustus 2011

Winter Love (Chapter 5)



Lee Ki Kwang hampir tidak mempercayai matanya sewaktu ia melihat Kim So Eun keluar dari apartemen Kim Bum keesokan paginya. Ketika akan masuk ke apartemennya sendiri, gadis itu baru menyadari keberadaan Lee Ki Kwang di tengah tangga.

“Oh, Lee Ki Kwang, selamat pagi,” sapa Kim So Eun dengan senyum salah tingkah. Dan kalau Lee Ki Kwang tidak salah lihat, wajah Kim So Eun merona. “Kau mau pergi kuliah?”

Lee Ki Kwang mengangguk. “Aku baru mau ke tempat Kim Bum Hyung,” sahutnya, masih heran. “Mau meminjam...,” ia terdiam sejenak, sudah lupa apa yang ingin dipinjamnya dari Kim Bum. “Kim So Eun Noona...?”

Kim So Eun buru-buru menyela, “Kalau begitu, sampai jumpa. Aku masuk dulu.”

Begitu pintu apartemen Kim So Eun tertutup, Lee Ki Kwang berbalik menuruni tangga, tidak jadi pergi ke apartemen Kim Bum.

Yoon Eun Hye terkejut mendengar pintu apartemennya terbuka dengan suara keras. “Ada apa? Ada apa?”

“Noona! Dengar, aku baru melihat Kim So Eun Noona keluar dari apartemen Kim Bum Hyung,” Lee Ki Kwang melaporkan dengan nada mendesak.

“Apa?” Yoon Eun Hye mengangkat alis dan melirik jam dinding. Jam enam. “Sepagi ini?”

Lee Ki Kwang mengerutkan kening dan berpikir-pikir. “Noona, menurutmu mereka...”

Yoon Eun Hye memukul kepala adiknya. “Jangan berpikir sembarangan. Kim So Eun gadis baik-baik.”

“Aku kan tidak bilang apa-apa,” gerutu Lee Ki Kwang sambil mengusap-usap kepalanya.

“Tapi kenapa dia keluar dari apartemen Kim Bum pagi-pagi begini?” gumam Yoon Eun Hye pada diri sendiri.

“Mungkinkah Kim So Eun Noona berada di apartemen itu semalaman?” celetuk Lee Ki Kwang.

Yoon Eun Hye menatap adiknya dan mengerjap-ngerjapkan mata. “Ya, mereka berdua memang cukup dekat. Selalu bersama-sama. Tapi masa...?”

“Kim So Eun Noona memang gadis polos. Mungkin saja Kim Bum Hyung yang mengambil kesempatan dengan...”

Yoon Eun Hye kembali memukul kepala adiknya. “Sebaiknya kau pergi kuliah sekarang. Heran, kau ini laki-laki tapi suka sekali bergosip.”

Lee Ki Kwang mengangkat bahu tidak peduli. “Bukankah aku belajar dari Noona?”

Lalu ia melesat keluar sebelum Yoon Eun Hye sempat memukulnya lagi.

* * *

Memalukan. Kenapa aku bisa sampai ketiduran di apartemen Kim Bum? Kim So Eun menghembuskan napas sambil menyeberangi jalan. Hari ini banyak sekali yang harus dilakukannya di perpustakaan dan kesibukan mengalihkan pikirannya dari kejadian memalukan tadi pagi untuk sementara. Tapi sekarang dalam perjalannya ke rumah sakit karena flu yang tidak kunjung membaik, ia jadi teringat pada kejadian tadi pagi ketika ia terbangun di sofa ruang tamu Kim Bum.

“Aku tidur di sini semalaman?” tanya Kim So Eun tidak percaya.

Kim Bum mengangguk. “Tidurmu nyenyak sekali, jadi tidak kubangunkan. Lagi pula aku tidak keberatan.”

Laki-laki itu memang tidak keberatan, tapi Kim So Eun merasa malu. Ditambah lagi ia bertemu dengan Lee Ki Kwang ketika ia keluar dari apartemen Kim Bum tadi pagi. Tindak tanduknya pasti terlihat mencurigakan. Kim So Eun menggeleng-gelengkan kepala untuk menjernihkan pikiran.

Tiba-tiba lagu Love Love Love – FT Island terdengar nyaring. Kim So Eun mengeluarkan ponsel dari tas tangan dan membaca tulisan yang menari-nari di layar. Kim Bum.

“Hallo? Kim Bum?”

“Lampu ruang dudukmu sudah bisa menyala.” Terdengar suara Kim Bum di seberang sana.

Kim So Eun tersenyum. Tadi pagi ia memang sudah melapor kepada Song Chang Ui dan menelepon tukang listrik untuk memperbaiki kabel listriknya yang bermasalah. Karena ia harus pergi bekerja dan tidak mungkin membiarkan si tukang listrik sendirian di apartemen, Kim So Eun akhirnya meminta Kim Bum. Tetangganya itu punya banyak waktu luang menemani Song Chang Ui mengawasi apartemennya selama kabel listriknya diperbaiki.

“Kau memang tetangga paling baik sedunia,” kata Kim So Eun melebih-lebihkan. “Kau sudah menyelamatkan hidupku.”

“Kalau kau mau berterima kasih, traktir aku makan.”

“Baiklah, kutraktir makan Okonomiyaki.”

Okonomiyaki (お好み焼き) adalah makanan Jepang dengan bahan tepung terigu yang diencerkan dengan air atau dashi, ditambah kol, telur ayam, makanan laut atau daging babi dan digoreng di atas penggorengan datar yang disebut teppan.

Okonomiyaki adalah salah satu jenis masakan teppanyaki yang bisa dimakan begitu saja atau sebagai lauk teman nasi putih. Okonomiyaki sering dimakan dngan sendok datar yang disebut kote (hera) yang juga berfungsi sebagai sodet sewaktu membalik okonomiyaki.

Dalam bahasa Jepang, okonomi berarti "suka-suka" (yang disuka, yang diinginkan) dan yaki berarti "panggang" (istilah "goreng" hanya digunakan di Jepang bila makanan digoreng dengan minyak yang sangat banyak). Sesuai dengan namanya, lapisan atas (topping) okonomiyaki bisa disesuaikan dengan selera orang yang mau memakan.

Okonomiyaki

“Okono... apa? Apa itu?” Kim Bum terdengar ragu, tapi lalu cepat-cepat menambahkan, “Tapi aku mau saja, asal memang bisa dimakan.”

Kim So Eun tertawa sumbang. Benar-benar sumbang, karena ia memang sedang flu.

“Jam tujuh, kalau begitu.”

Tidak lama setelah ia menutup ponsel, ponselnya berdering tiga kali. Ada pesan masuk. Alisnya terangkat heran melihat pesan itu dari Kim Bum. Bukankah laki-laki itu baru saja bicara dengannya? Begitu melihat isi pesan itu, alis Kim So Eun pun berkerut samar.

Sebuah foto. Sepertinya hasil jepretan Kim Bum. Kim So Eun tidak terlalu paham, tapi kalau tidak salah foto itu menampilkan langit malam penuh bintang. Di bawah foto itu ada sebaris kalimat: Kenapa harus takut gelap kalau ada banyak hal indah yang hanya bisa dilihat sewaktu gelap?

Sementara ia masih memandangi foto itu dengan bingung mencoba memahami maksud Kim Bum, ponselnya kembali berdering tiga kali. Ada pesan lagi. Kali ini tidak ada foto, hanya pesan tertulis dari Kim Bum: Jangan lupa ke dokter sebelum kau menyebarkan virus flu ke mana-mana.

“Ini juga sedang ke rumah sakit,” Kim So Eun menggerutu pada ponsel yang dipegangnya.

* * *

Ternyata Kim So Eun harus menunggu 45 menit sebelum perawat memanggil namanya.

Proses pemeriksaannya sendiri tidak lama. Dokter tua langganannya itu hanya memeriksanya sebentar lalu menuliskan resep obat yang harus ditebus di apotek rumah sakit.

“Semoga aku membawa cukup uang,” gumam Kim So Eun pada diri sendiri ketika melewati meja perawat dalam perjalanannya ke apotek. Ia mengeluarkan dompet dan memeriksa isinya. Karena asyik menghitung uang, ia tidak memperhatikan jalan dan menabrak seseorang yang berjalan terburu-buru ke arah meja perawat. Berhubung tabrakan itu cukup keras dan yang ditabrak adalah laki-laki, Kim So Eun kehilangan keseimbangan dan membentur dinding koridor. Dompetnya terlepas dari pegangan dan uang logamnya yang banyak jatuh bergemerencing di lantai.

“Maafkan saya. Maaf.”

Kim So Eun merasa ada tangan yang membantunya berdiri tegak. Ia mendongak ke arah suara bernada khawatir itu. Pria yang ditabraknya itu mengenakan jubah putih dengan stetoskop tergantung di leher. Rupanya dokter. Usianya masih muda dan wajah tampannya terlihat cemas.

“Tidak apa-apa?” tanya dokter muda itu sambil mengamati Kim So Eun dari atas ke bawah.

“Tidak, tidak apa-apa,” sahut Kim So Eun cepat sambil berjongkok memunguti uang logamnya. Pipinya memanas. Ia tidak terlalu memikirkan tabrakan tadi, tapi ia malu karena uang logamnya berjatuhan di lantai dengan bunyi berisik. Koridor itu tidak sepi, banyak yang berlalu lalang, dan sekarang ia harus memunguti semua koinnya satu per satu. Belum lagi kalau ada uang logam yang menggelinding entah ke mana.

Si dokter muda menggumamkan permintaan maaf sekali lagi, lalu ikut berjongkok membantu Kim So Eun memunguti uang logamnya.

“Tidak apa-apa. Saya bisa sendiri,” kata Kim So Eun berusaha menahannya. “Dokter pasti sibuk.”

Dokter itu tersenyum dan berkata ringan, “Aku yang menabrakmu, jadi tentu saja aku harus membantu. Jangan khawatir. Saat ini aku tidak sibuk.”

Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan semua logam di lantai. Dokter itu menyerahkan hasil kumpulannya kepada Kim So Eun.

“Terima kasih,” gumam Kim So Eun dengan kepala tertunduk. Ketika bergegas berdiri, barulah ia menyadari pergelangan kaki kirinya terkilir.

“Kenapa?” tanya si dokter begitu melihat Kim So Eun meringis kesakitan. “Kakimu sakit? Biar kuperiksa.”

Menggelikan. Ini sudah seperti adegan dalam film-film, pikir Kim So Eun dengan wajah panas. Tetapi kalau dalam film kaki si tokoh utama wanita terkilir di depan seorang pangeran tampan, maka kaki Kim So Eun terkilir di depan seorang dokter yang walaupun berwajah tampan, tidak bisa disamakan dengan pangeran tampan. Kalau dalam film si tokoh utama wanita akan digendong oleh si pangeran tampan dengan penuh kasih, maka Kim So Eun sudah pasti tidak akan mengalami yang seperti itu. Ia berhadapan dengan dokter, jadi sudah hampir bisa dipastikan kakinya akan dibebat tanpa ampun dan ia harus berjalan dengan tongkat. Sama sekali tidak romantis.

Sebelum Kim So Eun sempat menjawab, terdengar seseorang berseru, “Dokter Jung Yong Hwa, telepon untuk Anda!”

Mereka berdua serentak menoleh ke arah meja perawat tempat seorang perawat sedang mengacungkan gagang telepon ke arah mereka. Dokter siapa katanya tadi?

Jung Yong Hwa?

“Ya, terima kasih,” si dokter muda yang berdiri di hadapan Kim So Eun membalas. Ia berpaling kembali kepada Kim So Eun dan berkata, “Tunggu di sini sebentar, ya? Sebentar saja.” Ia mendudukkan Kim So Eun di salah satu kursi yang ada di koridor. “Aku akan segera kembali.”

Kim So Eun mengangguk dan memandangi dokter muda itu berlari-lari kecil ke arah meja perawat dan menerima telepon. Ternyata pembicaraan itu tidak lama. Dokter itu baru saja meletakkan gagang telepon ketika seorang dokter yang terlihat jauh lebih senior menghampiri dan menepuk punggungnya. “Oh, Jung Yong Hwa, baguslah kau sudah datang. Kami butuh pendapatmu tentang pasien kamar 1502. Bisa ke ruanganku setelah ini?”

Mata Kim So Eun melebar dan ia terpana. Sakit di pergelangan kakinya terlupakan sejenak. Dokter itu... Dokter Jung Yong Hwa...? Jung Yong Hwa...? Jung Yong Hwa? Jung Yong Hwa yang itu?!

Kim So Eun tidak mendengar pembicaraan kedua dokter itu selanjutnya, karena tepat pada saat itu perawat yang tadi memanggil si dokter muda untuk menerima telepon lewat di depannya. Kim So Eun cepat-cepat menahan si perawat. “Permisi, ada yang ingin saya tanyakan.”

“Ya?” Perawat itu tersenyum kepadanya dengan ramah.

Dengan ragu-ragu Kim So Eun menunjuk ke arah si dokter muda yang sedang berbicara di dekat meja perawat. “Apakah benar dokter yang di sana itu Jung Yong Hwa?”

Si perawat memandang ke arah yang ditunjuk, lalu mengangguk. “Benar, Dokter Jung Yong Hwa adalah salah satu dokter di sini.”

Kim So Eun mengangguk-angguk setengah sadar. Tetapi benarkah Jung Yong Hwa yang ini adalah Jung Yong Hwa yang membantu Kim So Eun mencari kalung yang jatuh tiga belas tahun yang lalu? Kim So Eun tidak yakin. Ia ragu-ragu sejenak sebelum bertanya lagi, “Apakah Anda kebetulan tahu di mana Dokter Jung Yong Hwa bersekolah sewaktu SD?”

Si perawat mengangkat sebelah alisnya dan menatap Kim So Eun dengan tatapan heran.

“Itu...”

Kim So Eun sadar pertanyaannya pasti terdengar aneh dan ia memaksakan tawa sumbang. “Saya hanya ingin memastikan apakah Dokter Jung Yong Hwa itu teman lama saya. Wajahnya terlihat tidak asing,” katanya mencari-cari alasan, lalu tertawa lagi. “Tidak apa-apa kalau Anda tidak tahu. Terima kasih.” Kim So Eun membungkukkan badan dalam-dalam dan si perawat pun berlalu dengan ekspresi heran masih tertera di wajahnya.

“Nah, sekarang mari kuperiksa kakimu.”

Kepala Kim So Eun berputar cepat. Ternyata Jung Yong Hwa sudah kembali berdiri di sampingnya. Sesaat Kim So Eun tidak bisa berkata-kata karena terlalu tegang. “Kakiku baik-baik saja,” sahutnya pelan. “Anda tidak perlu repot-repot.”

Jung Yong Hwa berkacak pinggang dan memandang Kim So Eun dengan ramah. “Aku yang menabrakmu dan membuat kakimu terkilir. Setidaknya biarkan aku memeriksanya sehingga aku tidak terlalu merasa bersalah.”

Akhirnya Kim So Eun menyerah, hanya karena ia ingin berbicara lebih banyak dengan dokter itu. Jung Yong Hwa mengajak Kim So Eun masuk ruang periksa lalu memeriksa kaki Kim So Eun sebentar. Ternyata kaki Kim So Eun hanya terkilir ringan. Tidak ada masalah serius.

Setelah itu pergelangan kaki Kim So Eun diolesi obat dan diperban dengan hati-hati.

“Selesai,” kata Jung Yong Hwa sambil tersenyum kepada Kim So Eun. “Beberapa hari lagi pasti sembuh. Kalau ada apa-apa, jangan ragu-ragu datang mencariku.”

Kim So Eun mengangguk. Ia mengamati dokter yang sedang membereskan peralatannya itu. Ia harus bertanya. Ia harus memastikan. “Dokter... Apa nama anda... Jung Yong Hwa?”

Si dokter menoleh dan mengangguk. “Benar. Apakah kita pernah bertemu?”

Sulit mencari kalimat yang tepat. “Mungkin ini terdengar agak aneh,” kata Kim So Eun sambil tersenyum salah tingkah, “tapi sepertinya kau adalah kakak kelasku sewaktu SD. Masih ingat nama sekolah anda sewaktu SD?”

Begitu Dokter Jung Yong Hwa menyebut nama SD-nya, Kim So Eun pn membelalak. “Benar,” bisiknya gembira.

“Jadi kita pernah satu sekolah?” tanya Jung Yong Hwa terkejut. “Dan kita saling mengenal?”

Kim So Eun menggeleng. “Kita tidak benar-benar saling mengenal. Kita malah belum berkenalan. Aku mengenalmu karena kau membantuku mencari kalung yang terjatuh.”

Jung Yong Hwa berusaha mengingat-ingat selama beberapa saat, lalu ia tersenyum menyesal. “Maaf, sudah lama sekali, aku hampir tidak ingat.”

“Memang kejadian itu sudah tiga belas tahun yang lalu,” kata Kim So Eun sambil mengangkat bahu. “Tentu saja kau sudah tidak ingat. Sewaktu kita bertemu, Kau sudah SMP dan kau datang ke sekolahku untuk menemui salah satu guru.”

Jung Yong Hwa kembali mengingat-ingat. “Ingatanku tentang masa kecil sudah agak buram, tapi samar-samar aku ingat ada kejadian seperti itu.”

Ternyata laki-laki itu tidak ingat padaku, pikir Kim So Eun sedikit menyesal. Namun ia bisa maklum. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat. Ia sendiri sudah melupakan banyak hal yang pernah terjadi selama tiga belas tahun terakhir ini. Ia tentu saja masih ingat pada Jung Yong Hwa karena laki-laki itu adalah cinta pertamanya. Sedangkan bagi Jung Yong Hwa, Kim So Eun mungkin hanya seorang gadis kecil yang butuh bantuan dalam mencari kalungnya yang hilang. Sama sekali bukan sesuatu yang penting untuk diingat.

Jung Yong Hwa menatap Kim So Eun sambil tersenyum ramah. “Tadi kau bilang kita dulu belum berkenalan. Kalau begitu...” Ia mengulurkan tangan kanannya. “Namaku Jung Yong Hwa. Senang berkenalan denganmu.”

Kim So Eun ragu sejenak sebelum akhirnya menyambut uluran tangan pria itu. Ia pun balas tersenyum dan berkata, “Kim So Eun. Senang bertemu lagi.”

Bersambung…

Chapter 4
Chapter 3
Chapter 2
Chapter 1

Prolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...