“Dia bilang kau gadis yang menarik?” Yoon Eun Hye menegaskan sekali lagi.
“Ya,” jawab Kim So Eun. Ia mengerutkan kening dan menggigit bibir sambil berpikir.
“Eonni, menurutmu apa maksudnya?”
Mereka berdua sedang berada di salah satu kafe di jalan Crossline Road.
Kafe itu lumayan ramai karena hari itu hari Minggu dan banyak anak muda yang berkumpul. Pelanggan biasa ditambah lagi orang-orang yang istirahat setelah sibuk berbelanja untuk menyambut Hari Natal yang tinggal tiga minggu lagi. Sejak awal bulan Desember toko-toko di sepanjang jalan kota Seoul dan semua pusat perbelanjaan sudah mulai memasang hiasan Natal. Lagu Natal pun terdengar di mana-mana.
“Menurutku dia tidak bermaksud apa-apa,” sahut Yoon Eun Hye ringan sambil mengangkat bahu. “Hanya basa-basi.”
“Begitukah?”
“Tentu saja. Jangan terlalu dipikirkan,” sahut Yoon Eun Hye. “Pelukis memang suka bertingkah aneh-aneh.”
“Dia pelukis?” tanya Kim So Eun heran. Kemarin ia lupa menanyakan apa pekerjaan laki-laki itu, tetapi Kim Bum tidak terlihat seperti pelukis. Ya, tentu saja, Kim So Eun sendiri belum pernah bertemu dengan pelukis mana pun, jadi ia sendiri tidak yakin. Ia merasa laki-laki itu lebih cocok berprofesi sebagai... sebagai... entahlah. Yang penting bukan pelukis. Pelukis itu kan biasanya terlihat kacau, rambut berantakan, lusuh dan...
Nah, tunggu dulu. Bukankah itu penampilan Kim Bum ketika Kim So Eun pertama kali bertemu dengannya? Kim So Eun masih ingat dengan jelas sosok Kim Bum yang berdiri tegak di ambang pintu. Dengan rambut dan penampilan yang berantakan, ia kelihatan seperti pelukis dalam bayangan Kim So Eun. Ia juga...
“Siapa? Kim Bum?” Yoon Eun Hye menyela lamunannya, lalu mengibaskan tangan. “Bukan, bukan. Dia fotografer. Dia sendiri yang bilang begitu.”
Kim So Eun langsung menghentikan imajinasinya yang mulai melantur ke mana-mana.
“Tapi tadi Eonni bilang dia itu pelukis.”
Yoon Eun Hye mengernyit dan menggeleng. “Tidak. Maksudku tadi seniman. Pelukis dan fotografer sama-sama disebut seniman, bukan?”
Kim So Eun membuka mulut hendak membantah, tapi kemudian mengurungkan niat.
Kadang-kadang ucapan Yoon Eun Hye memang sulit dipahami dan Kim So Eun sudah terbiasa.
Akhirnya ia hanya bergumam, “Kurasa memang begitu.”
“Aku heran kenapa dia tiba-tiba datang ke Korea,” kata Yoon Eun Hye. “Dia sangat terkenal di Amerika, Apa kau tahu itu? Bahkan di Seoul ini dia sudah dibanjiri tawaran pekerjaan, tapi katanya dia tidak ingin bekerja dulu untuk sementara ini. Dia mau berlibur.”
Kim So Eun menatap Yoon Eun Hye dengan kagum. “Bagaimana Eonni bisa tahu semua itu?”
Yoon Eun Hye hanya mengangkat bahu dan tersenyum. “Aku pintar menggabung-gabungkan informasi yang kuterima.”
“Jung Yong Hwa!”
Kepala Kim So Eun berputar ke arah suara melengking itu dan matanya terpaku pada gadis remaja bertubuh ramping dan berrambut panjang yang sedang melambai kepada teman laki-lakinya yang duduk di meja tidak jauh dari meja Kim So Eun.
Anak laki-laki yang dipanggil Jung Yong Hwa itu balas melambai.
“Sudah menunggu lama?” Kim So Eun mendengar gadis itu bertanya lagi dan temannya menggeleng.
Perhatian Kim So Eun kembali ke Yoon Eun Hye ketika mendengar tetangganya itu mendecakkan lidah. “Dasar anak muda zaman sekarang,” gerutu Yoon Eun Hye. “Apa maksudnya memakai rok mini pada musim dingin seperti ini?”
Kim So Eun tersenyum dan mengangkat bahu.
“Bisa kulihat kau masih mengingat anak laki-laki itu,” celetuk Yoon Eun Hye tiba-tiba.
Kim So Eun mengangkat alis. “Siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan cinta pertamamu? Jung Yong Hwa, bukan?”
Kim So Eun menunduk dan menatap uap yang mengepul dari cangkir tehnya.
Yoon Eun Hye melipat kedua tangan di atas meja. “Menurutmu si anak muda itu Jung Yong Hwa yang kaucari-cari?”
Kim So Eun mendengus dan tertawa. “Astaga, Eonni! Tentu saja tidak. Anak itu masih kecil. Umurnya paling-paling baru tujuh belas tahun.”
Yoon Eun Hye mendesah. “Kau hebat sekali. Masih tetap menunggu cinta pertamamu walaupun sudah belasan tahun.”
“Aku tidak menunggunya,” bantah Kim So Eun.
Yoon Eun Hye mencibir. “Kepalamu berputar begitu cepat sampai nyaris putus hanya karena mendengar seseorang menyebut nama Jung Yong Hwa.”
Kim So Eun kembali menunduk dan mengaduk-aduk tehnya dengan pelan.
Yoon Eun Hye memiringkan kepala. “Aku jadi berpikir. Memangnya kau masih bisa mengenalinya? Bagaimanapun juga sudah tiga belas tahun. Wajah orang bisa berubah. Bagaimana kalau kalian berpapasan di jalan dan kau tidak mengenalinya?”
Kim So Eun hanya mengangkat bahu, lalu menoleh memandang ke luar jendela kafe, memandangi deretan pohon gundul di tepi jalan. Ia masih ingat peristiwa tiga belas tahun lalu itu dengan sangat jelas. Saat itulah ia pertama kali bertemu dengan anak laki-laki bertopi wol putih dengan senyum ramah yang membuat hatinya berdebar-debar.
Jung Yong Hwa. Cinta pertamanya.
Musim dingin tiga belas tahun yang lalu... Saat itu jam pulang sekolah. Kim So Eun berjongkok menunggu Baek Suzy di samping gedung sekolah sambil mengorek-ngorek salju di tanah dengan sebatang ranting kurus. Baek Suzy harus menyelesaikan hukuman yang diberikan guru karena ia baru saja ribut dengan salah seorang anak di kelas tadi pagi. Kim So Eun sudah lupa siapa nama anak perempuan menyebalkan itu, tapi yang jelas anak itulah yang memulai kekacauan tersebut.
Ah, kalau tidak salah nama anak jahat itu Go Ah Ra. Ia merampas kalung Kim So Eun hadiah dari Nenek dan melemparkannya ke luar jendela. Kim So Eun tahu Go Ah Ra sudah iri padanya sejak ia memperlihatkan kalung emas putih dengan liontin berbentuk tulisan “Kim So Eun”. Baek Suzy juga punya satu, tentunya dengan liontin yang berbentuk tulisan “Baek Suzy”. Go Ah Ra ingin meminjam kalung itu, tapi Kim So Eun tidak mengizinkan.
Bagaimana mungkin ia mengizinkan anak manja itu memakai kalungnya yang berharga? Tapi Go Ah Ra nekat merampas kalung itu dan “menjatuhkannya” ke luar jendela. Katanya ia tidak sengaja, tapi tentu saja hanya orang buta dan tuli yang percaya padanya. Baek Suzy yang pada dasarnya lebih galak langsung mengamuk dan menyerang Go Ah Ra. Saat itulah guru datang dan melihat Baek Suzy melancarkan jurus menjambak kucir rambut yang ganas.
Dengan wajah cemberut menahan tangis kesal sambil sesekali meniup tangannya yang tidak bersarung tangan, Kim So Eun menunduk dan mencari-cari di antara tumpukan salju di tanah. Nenek pasti marah kalau Kim So Eun sampai menghilangkan kalung itu.
“Sedang apa?”
Kepala Kim So Eun berputar ke arah suara. Matanya menyipit sedikit karena silau. Ia mengangkat sebelah tangan untuk menaungi mata dan barulah ia bisa melihat dengan jelas siapa yang berbicara. Ternyata seorang anak laki-laki bertopi Wol Putih. Usia anak itu pasti lebih tua daripada Kim So Eun. Kelihatannya seperti anak SMP. Kakak kelasnya?
Entahlah, Kim So Eun belum pernah melihatnya sebelum ini.
“Sedang apa?” tanya anak laki-laki itu lagi.
Kim So Eun ragu sejenak, lalu bergumam pelan, “Mencari sesuatu.”
Anak laki-laki itu berjalan mendekat. “Mencari apa?”
“Kalung,” jawab Kim So Eun singkat, lalu kembali menunduk mencari-cari di tanah.
Karena tidak mendengar sahutan, Kim So Eun menoleh dan melihat anak itu sudah ikut mencari-cari.
Baru saja Kim So Eun kembali memusatkan perhatian pada tanah di sekeliling kakinya, ia mendengar anak laki-laki itu berseru, “Namamu Kim So Eun?”
Kim So Eun menatapnya dengan heran dan mengangguk. “Ya.”
Anak laki-laki itu tersenyum lebar dan mengacungkan sesuatu yang berkilau di tangan kanannya. “Ketemu!”
“Benarkah?” Kim So Eun melompat berdiri dan berlari menghampiri anak itu.
Anak laki-laki itu menyerahkan kalung dengan liontin berbentuk nama “Kim So Eun” kepada Kim So Eun. “Jaga baik-baik. Jangan sampai hilang lagi ya?” katanya dengan nada ramah.
Kim So Eun mendongak menatap wajah yang berseri-seri itu. Ia baru akan membuka mulut untuk mengucapkan terima kasih, tapi anak laki-laki itu menoleh ke arah lapangan dan melambai. Kim So Eun mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dan melihat sekumpulan remaja berdiri di sana, dua anak perempuan dan dua anak laki-laki.
Semuanya terlihat seperti anak SMP.
“Aku pergi dulu,” kata si anak laki-laki bertopi Putih. “Kau juga lebih baik cepat pulang.”
Begitu anak laki-laki itu pergi. Baek Suzy berlari-lari ke arah Kim So Eun sambil menggerutu panjang-lebar. Kim So Eun cepat-cepat menariknya mendekat. Ia tahu Baek Suzy mengenal banyak orang. Mungkin ia tahu siapa anak laki-laki itu. Dan Baek Suzy memang tahu. Kata Baek Suzy nama anak itu Jung Yong Hwa, siswa SMP. Dulu dia dan keempat temannya juga bersekolah di SD yang sama dengan Kim So Eun, lalu setelah lulus mereka pindah ke SMP lain. Hari itu Jung Yong Hwa dan teman-temannya datang ke SD lama mereka untuk bertemu dengan salah satu mantan guru mereka. Sejak hari itu Kim So Eun tidak pernah bertemu dengan Jung Yong Hwa lagi.
* * *
“Kau sudah menelepon ibumu?”
Kim Bum mengalihkan perhatian dari kameranya lalu memandang pria berusia empat puluh tahun dan berpenampilan rapi yang berdiri di sampingnya. Ia tersenyum samar dan menggeleng.
Song Seung Hun mendesah memandang keponakannya yang kelihatan tidak peduli itu. Kim Bum sudah tinggal di New York lebih dari sepuluh tahun dan selama itu ia tidak pernah kembali ke Korea. Sepanjang pengetahuan sang Paman, kehidupan Kim Bum di New York sangat baik. Anak itu sudah menjadi salah satu fotografer profesional yang cukup terkenal. Karena itu ia agak heran ketika Kim Bum meneleponnya seminggu yang lalu dan berkata ia akan kembali tinggal di Seoul.
Tetapi keponakannya itu tidak mau tingagl di apartemen pribadi yang disediakan untuknya di Cyanblue yang Mewah. Ia malah menyewa apartemen kecil di pinggiran kota. Song Seung Hun sudah bertanya pada kakak perempuannya - ibu Kim Bum - tentang apa yang sebenarnya diinginkan Kim Bum karena anak itu sendiri tidak mau menjelaskan, tetapi ibu Kim Bum juga tidak bisa membantu banyak. Apalagi setelah tiba di Seoul, Kim Bum sama sekali belum menelepon keluarganya di New York.
“Bagaimana kalau nanti ibumu khawatir?” Song Seung Hun berusaha membujuk keponakannya. “Kau tidak memberitahunya di mana kau tinggal, apa yang kau lakukan, bagaimana keadaanmu...”
“Ibu tidak punya alasan untuk khawatir. Sudah kubilang padanya aku datang ke sini untuk berlibur. Bukankah Paman juga sudah memberitahunya bahwa Paman melihatku tiba di Seoul dengan selamat,” gumam Kim Bum ringan. “Kita tidak perlu memberitahu Ibu tentang hal selebihnya.” Ia mengangkat kameranya dan memandang sekelilingnya dari balik lensa, berusaha mencari objek yang cukup menarik untuk dipotret. Crossline Road benar-benar mengesankan, penuh warna dan inovatif. Sumber inspirasi.
Sebaliknya, Song Seung Hun tidak terlalu suka Crossline Road. Tentu saja karena kawasan itu adalah kawasan yang dikuasai para remaja. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah para remaja yang berdandan ala remaja masa kini – dandanan cuek ala rockstar . Song Seung Hun termasuk aliran konservatif. Ia lebih suka penampilan yang bersih dan rapi. Sambil melihat ke sekelilingnya, ia bersyukur dalam hati karena ia belum menikah dan belum punya anak. Seandainya saja anak laki-laki yang berdiri di bawah tiang lampu itu adalah anaknya, ia akan menderita tekanan darah tinggi. Bagaimana tidak? Lihat saja anak itu. Usianya pasti tidak lebih dari tujuh belas tahun, rambutnya dicukur habis dan hanya menyisakan tiga garis tipis di tengah-tengah kepalanya, pakaiannya sobek di sana-sini yang katanya adalah gaya masa kini, dan bukan hanya telinganya yang ditindik, tapi alis dan hidungnya juga.
Melihat kening pamannya yang berkerut, Kim Bum tertawa kecil dan berkata, “Paman jangan mengkhianatiku ya? Ibu hanya perlu tahu aku sudah tiba di Seoul dengan selamat. Hanya itu. Paman juga tidak boleh melapor tentang apa pun kepadanya. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Dan kalau Paman mau tahu, keadaanku sangat baik sekarang ini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Song Seung Hun kembali menatap keponakannya dan menyadari tinggi badan Kim Bum sudah menyamai tingginya. Ia mengeluarkan sebuah ponsel dari saku jas dan mengulurkannya kepada Kim Bum. “Pakai ini,” katanya. “Ini ponsel baru.”
Kim Bum menerimanya dengan alis terangkat. “Untukku? Supaya Paman bisa merecokiku setiap hari dan melapor pada Ibu?”
Song Seung Hun mendesah dengan berlebihan, lalu tersenyum dan berkata, “Aku tidak akan mengatakan apa pun pada ibumu dan aku tidak akan merecokimu. Kau tidak akan sering menerima teleponku. Mungkin hanya sesekali, saat aku merasa perlu mengecek apakah kau masih hidup atau tidak.”
Kim Bum memasukkan ponsel itu ke saku mantel dan tersenyum. “Terima kasih, Paman.”
“Kalau begitu, aku pergi dulu.”
Ketika pamannya berbalik dan mulai berjalan, Kim Bum berseru, “Paman mau ke mana?”
Pamannya menoleh. “Pergi main Tenis dengan teman. Aku tahu kau tidak suka Tenis, jadi aku tidak mengajakmu.”
Kim Bum mengamati kepergian pamannya sejenak, lalu berbalik dan berjalan ke arah yang berlawanan. Ia menyusuri Crossline Road sambil mencari inspirasi, sesekali membidik dan memotret objek-objek yang dianggapnya menarik. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Lensa kameranya menangkap sosok seorang wanita. Kim Bum mengangkat kepala dari kamera untuk melihat dengan mata kepala sendiri, seakan tidak memercayai lensa kameranya. wanita itu duduk di salah satu kafe yang berderet di sepanjang jalan. Ia menempati meja untuk berdua tepat di sudut dan di samping jendela kaca besar. Wanita itu menunduk ke arah buku yang terbuka di meja sambil bertopang dagu dengan sebelah tangan. Kelihatannya ia sedang membaca, tapi Kim Bum memperhatikan mata wanita itu tidak bergerak. Pandangan wanita itu memang terarah ke buku, tapi perhatiannya tidak tercurah ke sana. Sepertinya ia sedang melamun. Rambut panjangnya dijepit ke atas dengan asal-asalan dan Kim Bum bisa melihat dengan jelas telinga kanan gadis itu yang ditindik. Bukan hanya satu, tapi tiga tindikan.
Tanpa sadar seulas senyum tersungging di wajah Kim Bum. Tidak salah lagi, gadis itu Kim So Eun, tetangga sebelah apartemennya. Dan tidak salah lagi, Kim So Eun sedang melamun. Ia pasti sedang melamun karena sama sekali tidak menyadari Kim Bum yang berdiri tidak jauh di sampingnya, hanya dipisahkan oleh jendela kaca besar. Kim Bum memandangi wajah yang sedang melamun itu dan tiba-tiba merasa ingin tahu apa yang sedang dipikirkan gadis itu.
Ia mengangkat kameranya dan membidik. Kim So Eun masih bergeming, sibuk dengan pikirannya sendiri, tidak menyadari dunia sekelilingnya, dan tidak menyadari bahwa Kim Bum sedang memotretnya. Ia juga tidak menyadari setelah itu Kim Bum tetap memandanginya.
Kim Bum tidak tahu berapa lama ia memandangi Kim So Eun, tapi ia yakin tidak lama walaupun rasanya cukup lama. Ia baru tersadar ketika Kim So Eun bergerak, seakan juga baru tersadar dari lamunannya. Gadis itu mengerjapkan mata dan menutup bukunya.
Ia meraih jaketnya dan berdiri. Saat itu Kim Bum maju selangkah dan mengetuk kaca jendela. Kim So Eun mendengar ketukan itu dan berpaling. Kim Bum memerhatikan mata gadis itu melebar dan alisnya terangkat ketika bertemu pandang dengan Kim Bum. Kim Bum tersenyum dan mengangkat sebelah tangan. Kemudian raut wajah Kim So Eun berubah begitu mengenali siapa yang menyapanya dari balik jendela kaca dan ia balas tersenyum.
* * *
“Kim Bum, sedang apa di sini?” tanya Kim So Eun ketika ia sudah keluar dari kafe dan menghampiri Kim Bum. Tadi ia terkejut melihat Kim Bum yang mengetuk kaca jendela. Ia sama sekali tidak menyangka bisa bertemu secara kebetulan dengan tetangga barunya itu, tapi ini kejutan yang menyenangkan.
Kim Bum mengangkat kameranya. “Mencari inspirasi,” sahutnya ringan.
Kim So Eun mengangguk-angguk kecil. “Yoon Eun Hye Eonni bilang kau fotografer. Fotografer apa? Fashion?”
Kim Bum menggeleng cepat. “Bukan,” katanya. “Kurasa aku kurang berbakat dalam bidang itu. Pernah mendengar istilah street photography? Itu bidangku. Aku memotret apa pun yang kuanggap menarik di sekitarku. Kadang-kadang aku juga suka melakukan sedikit fine art dan landscape photography, walaupun kurasa aku masih punya banyak kekurangan dalam kedua bidang itu.”
Kim So Eun tidak paham dengan istilah-istilah yang dikatakan Kim Bum, tetapi mungkin ia bisa mencari beberapa buku petunjuk tentang fotografi di perpustakaan.
Kim Bum menggerakkan kepalanya ke arah kafe di samping mereka dan bertanya,
“Kenapa kau duduk sendirian di dalam?”
“Tadi aku bersama Yoon Eun Hye Eonni. Dia memintaku menemaninya berbelanja untuk keperluan Natal. Lalu dia harus kembali ke salon untuk bekerja,” jelas Kim So Eun.
“Kau mau ke mana?”
Kim Bum mengangkat bahu, lalu balas bertanya, “Kau sendiri mau ke mana?”
“Aku? Sekarang aku mau membeli bahan makanan,” jawab Kim So Eun. “Persediaan di rumah sudah habis.”
“Kalau begitu, aku ikut denganmu,” cetus Kim Bum.
“Untuk apa?” tanya Kim So Eun langsung.
“Karena aku sedang tidak punya kesibukan. Kenapa? Kau ada janji dengan orang lain?”
“Tidak,” sahut Kim So Eun. Lalu karena melihat Kim Bum masih menunggu jawabannya, akhirnya ia berkata, “Baiklah, kau boleh ikut.”
Kim Bum tersenyum senang. “Bagaimana kalau kita ke Syracuse Street yang terkenal itu?”
“Kenapa?”
“Aku ingin ke sana dan melihat-lihat. Pasti sudah banyak yang berubah sejak terakhir kali aku melihatnya.”
“Tapi kau kan bisa pergi ke sana sendiri,” gumam Kim So Eun. “Kenapa harus ditemani?”
Kim Bum tersenyum lebar. “Aku takut tersesat.”
“Apa?” Kim So Eun yakin ia salah dengar.
“Sudah lama aku tidak pulang ke Korea. Aku nyaris tidak mengenali jalan-jalan yang ada sekarang,” lanjut Kim Bum.
Kim So Eun tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Ia hanya melongo menatap Kim Bum, berusaha melihat apakah laki-laki itu sedang bercanda atau serius. Akhirnya ia menyerah dan mendesah. “Ayo, kita pergi.”
* * *
“Makan apa ya malam ini?” gumam Kim So Eun pada diri sendiri. Ia berdiri menghadap rak bahan makanan sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuk. “Spageti? Atau Doenjangjjigae? Mmm...”
Doenjang jjigae (된장찌개): sup pasta kacang kedelai, disajikan sebagai hidangan utama atau disajikan bersama hidangan daging. Isinya bervariasi dari sayuran, tahu, kerang, udang, ikan dan sebagainya.
Doenjangjjigae (된장찌개) adalah jenis rebusan (jjigae) dalam masakan Korea yang terbuat dari rebusan sup doenjang atau saus kacang kedelai fermentasi. Doenjangjjigae dimasak dengan bahan yang berbeda-beda menurut musimnya. Pada musim panas, biasanya doenjangjjigae ditambahkan dengan jamur dan pada musim dingin ditambahkan daun lobak. Bahan-bahan yang ditambahkan dalam doenjangjjigae adalah potongan cabai, ketimun dan tahu yang direbus dalam ttukbaegi atau panci kecil dari besi yang langsung disajikan selagi panas. Doenjangjjigae memiliki kandungan protein yang tinggi dan mudah ditemukan di restoran-restoran dengan harga yang terjangkau. Karena pengaruh rasa doenjang yang kuat dan dipadukan dengan rasa asin dan pedas, doenjjangjjigae merupakan masakan favorit masyarakat Korea.
Doenjangjjigae
Kim Bum yang bertugas mendorong troli menghampirinya dan berhenti di belakangnya. “Doenjangjjigae saja,” celetuknya dan menjulurkan tangan melewati kepala Kim So Eun untuk meraih bahan-bahan untuk membuat Doenjangjjigae. “Aku sudah bosan dengan makanan Barat. Kita makan makanan Korea saja malam ini.”
Alis Kim So Eun terangkat dan ia berputar menghadap Kim Bum. “Kita?” ulangnya sambil menggerakkan tangannya menunjuk dirinya dan Kim Bum. “Memangnya aku pernah mengajakmu makan bersama?”
Kim Bum menyunggingkan seulas senyum manis. “Kau akan mengajakku makan malam di tempatmu, bukan? Kau tahu, sebenarnya aku sama sekali tidak bisa memasak dan sejak kemarin aku sama sekali belum menikmati makanan yang sesungguhnya,” bujuknya. Ketika ia melihat Kim So Eun masih menatapnya dengan sebelah alis terangkat, ia cepat-cepat menambahkan, “Begini saja, bagaimana kalau sebagai gantinya siang ini kutraktir makan? Bagaimana?”
Kim So Eun mengangkat bahu. “Kurasa cukup adil.”
Kim So Eun tahu benar dirinya orang yang mudah bergaul, tapi jarang sekali ia bisa langsung merasa akrab dengan seseorang. Kim Bum kelihatannya sangat percaya diri dan pandai berbicara. Selama makan siang mereka mengobrol banyak.
Bersama laki-laki itu membuat Kim So Eun menceritakan hal-hal yang sebenarnya tidak terpikir untuk diceritakan. Ia bercerita tentang tetangga-tetangga mereka juga tentang dirinya sendiri, seperti tentang ibunya yang saat ini sedang berada di Tokyo karena kakeknya sedang tidak sehat. Kim Bum sepertinya tertarik pada semua yang diceritakan Kim So Eun.
“Giliranmu,” kata Kim So Eun.
Kim Bum sendiri mengaku tidak banyak yang bisa diceritakan kepada Kim So Eun.
Katanya ia anak bungsu dalam keluarganya dan kakak laki-lakinya sudah berkeluarga.
Semua keluarganya tinggal di Amerika Serikat, kecuali seorang paman yang menetap di Seoul. Keluarganya sama sekali tidak istimewa. Ayahnya pekerja kantoran dan ibunya ibu rumah tangga biasa.
“Kenapa kau kembali ke Korea?” tanya Kim So Eun ketika mereka berdiri dalam kerumunan pejalan kaki di pinggir Syracuse Street yang terkenal ramai, menunggu lampu lalu lintas berubah warna.
Kim Bum sedang sibuk membidikkan kameranya ke arah iklan-iklan neon dan layer video raksasa yang bertaburan di jalan itu. Wajahnya berseri-seri penuh semangat. “Hm? Maaf, kau bilang apa tadi?” tanyanya sambil berpaling ke arah Kim So Eun.
“Kenapa kau kembali ke Korea?” Kim So Eun mengulangi pertanyaannya.
“Mencari suasana baru,” jawab Kim Bum singkat, tanpa berusaha menjelaskan.
Tepat pada saat itu lampu tanda menyeberang menyala dan kerumunan besar orang mulai menyeberang jalan. Kim So Eun tahu mereka harus berjalan dengan cepat namun hati-hati dalam lautan manusia yang berjalan hilir-mudik ini. Ia ingin memperingatkan Kim Bum. Ia menoleh, tapi Kim Bum tidak ada di sampingnya. Ia menoleh ke kanan-kiri. Tidak ada. Hanya ada kerumunan orang yang berlalu-lalang. Ke mana laki-laki itu? Begitu menyadari Kim Bum tidak ada di dekatnya, langkah Kim So Eun otomatis terhenti. Dengan segera ada seseorang yang menabraknya dari belakang. Sebelum Kim So Eun sempat menggumamkan permintaan maaf, seseorang yang berjalan dari arah berlawan menyenggol bahunya. Kim So Eun terdorong mundur beberapa langkah dan nyaris terjatuh kalau punggungnya tidak tertahan sesuatu.
“Sebenarnya kau orang Seoul atau bukan? Menyeberang jalan saja tidak bisa.”
Mendengar suara itu Kim So Eun mendongak dan melihat wajah Kim Bum. Ternyata Kim Bum yang menahannya supaya tidak terjatuh. Kim Bum memegang sikunya dan membimbingnya menyeberang jalan.
“Tadi aku sedang mencarimu,” kata Kim So Eun berusaha menjelaskan begitu mereka menyeberang dengan selamat.
“Dari tadi aku ada di belakangmu,” kata Kim Bum ringan.
“Jangan tiba-tiba menghilang seperti itu,” gerutu Kim So Eun. “Membuat orang lain bingung. Apalagi di tengah jalan.”
“Baiklah, maafkan aku,” kata Kim Bum dengan nada bergurau. “Lain kali aku akan menempel terus padamu.”
Kim So Eun membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi.
“Jung Yong Hwa!”
Kepala Kim So Eun langsung berputar ke arah suara wanita itu. Kim Bum juga ikut berpaling. Mereka melihat seorang wanita menghampiri anak laki-laki yang sedang mengulum lolipop. Usia anak itu pasti tidak lebih dari tiga tahun.
“Jung Yong Hwa, sudah Ibu bilang jangan berkeliaran sembarangan,” si Ibu mengomel. Ia menggandeng tangan si anak yang hanya mendongak memandang wajah kesal ibunya.
“Kalau tidak, lain kali Ibu tidak akan belikan permen lagi. Mengerti?”
Kim So Eun memperhatikan kejadian singkat itu sambil memikirkan hal lain. Hari ini ia bertemu dua orang yang bernama Jung Yong Hwa, tapi dua-duanya bukan Jung Yong Hwa yang dicarinya.
“Ada apa?” tanya Kim Bum ketika melihat Kim So Eun yang merenung.
Kim So Eun menggeleng pelan. Matanya masih tertuju pada anak laki-laki dan ibunya itu.
“Nama anak itu Jung Yong Hwa,” gumamnya pelan.
Kim Bum mengangguk, tapi tidak mengerti. “Lalu?”
“Nama yang bagus,” gumam Kim So Eun lagi setengah melamun.
“Bagus bagaimana?”
Kim So Eun mengangguk. “Nama itu mengingatkanku pada seseorang.”
“Siapa?”
Kim So Eun mendesah. “Anak laki-laki pertama yang kusukai.”
“Oh, ya?”
“Kim Bum, siapa nama cinta pertamamu?”
Alis Kim Bum terangkat. “Cinta pertamaku?”
Kim So Eun menoleh ke arahnya dan bertanya sekali lagi, “Kau masih ingat nama cinta pertamamu?”
“Namanya? Mmm...” Kim Bum memasang tampang seakan sedang berpikir keras, lalu ia tersenyum lebar dan mengangguk. “Kim So Yoon,” jawabnya, lalu memiringkan kepala. “Atau Kim So Eun?”
Mata Kim So Eun menyipit. Laki-laki itu mulai bercanda lagi. Ia menarik napas dan menghembuskannya dengan dramatis. “Lupakan saja,” gumamnya dengan nada pasrah.
“Serius,” tegas Kim Bum, namun senyumnya semakin lebar. “Memangnya kau piker hanya kau sendiri yang bernama Kim So Eun di seluruh Korea ini? Dan ngomong-ngomong soal nama...”
“Baiklah, terserah,” Kim So Eun memotong ucapan Kim Bum sambil mengangkat sebelah tangannya yang tidak menjinjing kantong belanjaan dengan gerakan mengalah. “Aku percaya padamu. Ayo, jalan. Bukankah kau bilang ingin melihat-lihat Syracuse Street?” Ia melihat kantong belanjaannya, lalu pandangannya beralih ke Kim Bum yang juga menjinjing kantong belanjaan. “Seharusnya kita tidak belanja dulu. Sekarang kita terpaksa harus membawa barang-barang ini ke mana-mana.”
Mereka kembali melanjutkan langkah. Tadi Kim Bum ingin berkata bahwa ia mengenal seseorang bernama Jung Yong Hwa. Salah satu teman sekelas dan teman dekatnya juga bernama Jung Yong Hwa. Gara-gara Kim So Eun bertanya tentang cinta pertamanya, Kim Bum jadi teringat pada masa kecilnya ketika ia masih tinggal di Seoul. Ia juga teringat pada teman-teman sepermainannya dan bertanya-tanya bagaimana keadaan mereka sekarang. Sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu dengan mereka. Sudah lama sekali.
Apakah mereka sudah berubah? Kim Bum masih ingat nama-nama mereka yang sering bermain dengannya. Lee Joo Yeon, Song Ji Eun, Kim Soo Hyun, dan Jung Yong Hwa.
Apakah mereka semua masih tinggal di Seoul?
Bersambung…
Chapter 2
Chapter 1
Prolog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar