Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 13 Agustus 2011

Spring Love (Chapter 1)



Seoul, Korea Selatan

“Akhirnya kaujawab juga teleponmu. Aku sudah mencoba menghubungimu berkali-kali selama tiga hari terakhir.”

Kata-kata itu menerjang gendang telinga Kim Bum bahkan sebelum ia sempat berkata “Halo”. Ia bahkan juga belum sempat benar-benar menempelkan ponselnya ke telinga. Mengenali suara sahabatnya di ujung sana, Kim Bum tertawa dan berkata,

“Jung Yong Hwa, aku tahu kau rindu padaku, tapi tolong kecilkan sedikit suaramu. Aku tidak mau orang-orang yang ada di dekatmu berpikir kita pacaran atau semacamnya. Kau mungkin sudah terbiasa dengan gosip gay, tapi aku tidak.”

Jung Yong Hwa tertawa hambar. “Lucu sekali,” katanya datar.

Kim Bum berdiri menghadap kaca jendela besar di kantor itu, menatap jalanan Carbon Clutch di bawah sana. Jalanan cukup ramai, orang-orang dalam balutan jaket tebal beraneka warna berjalan di sepanjang trotoar dan mobil-mobil berseliweran di jalan raya. Pemandangan yang sangat biasa. Pemandangan sehari-hari yang sering kali diabaikan kebanyakan orang. Namun Kim Bum menyukainya. Ia suka mengamati keadaan di sekitarnya, setiap pejalan kaki dan setiap mobil yang lewat.

“Sebenarnya aku tahu kau meneleponku,” kata Kim Bum ringan, “dan aku minta maaf karena tidak sempat membalas teleponmu. Kau sendiri penyanyi terkenal, jadi kau tentu tahu bagaimana rasanya saat jadwal kerjamu begitu padat sampai kau bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Aku harus berangkat ke Paris minggu depan, jadi semua pekerjaanku di sini harus selesai sebelum itu.”

“Aku tahu kau mau pergi ke Paris,” sela Jung Yong Hwa. “Karena itulah aku meneleponmu. Aku butuh bantuan.”

“Tentu,” sahut Kim Bum tanpa ragu, “katakan saja.”

“Aku ingin kau tampil dalam video musikku.”

“Video musikmu?”

“Syutingnya akan dilakukan di Paris. Kau tahu siapa yang sudah setuju menjadi sutradaranya?” Tanpa menunggu jawaban, Jung Yong Hwa melanjutkan, “Song Chang Ui. Dan karena aku tahu kau akan pergi ke Paris untuk bekerja dengannya, kupikir kami tidak perlu mencari model pria lagi. Kau model pria yang sempurna. Bagaimana menurutmu?”

Kim Bum mendesah, pura-pura pasrah. “Apakah aku punya pilihan lain?”

“Tidak,” kata Jung Yong Hwa sambil tertawa. “Baiklah. Berarti kita sudah sepakat. Oh ya, Kim Bum, asal kau tahu, wajahmu tidak akan terlihat sepanjang video musik itu. Hanya model wanitanya yang akan disorot.”

Alis Kim Bum terangkat. “Apa? Kenapa?”

“Secara pribadi, menurutku kau terlalu tampan untuk video musikku,” gurau Jung Yong Hwa. “Tapi tenanglah, walaupun hanya punggungmu atau bagian belakang kepalamu yang terlihat, seluruh Korea akan tahu bahwa Kim Bum yang membintangi video musik Jung Yong Hwa. Kalau kau keberatan, silakan bicarakan dengan Sutradara Song Chang Ui. Dia yang membuat konsep video musiknya.”

Kim Bum kembali mendesah berlebihan, namun mulutnya tersenyum. “Jung Yong Hwa, aku ini orang sibuk, baik di sini maupun di Paris nanti. Jadi katakan padaku, kenapa aku harus meluangkan waktuku yang berharga untuk tampil dalam video musikmu kalau wajahku tidak akan terlihat?”

Mengabaikan pertanyaan Kim Bum, Jung Yong Hwa malah balas bertanya, “Sibuk? Maksudmu sibuk pacaran?” Lalu ia terkekeh. “Kapan kau akan mengenalkan pacarmu kepadaku?”

Alis Kim Bum terangkat heran. “Apa maksudmu? Pacar apa?”

“Gadis yang kulihat keluar dari restoran di Ciutat Comtal bersamamu kemarin malam. Apakah gadis itu yang membuatmu sibuk akhir-akhir ini?”

Mata Kim Bum menyipit begitu teringat kejadian kemarin malam. Dan beberapa kejadian sebelum kejadian kemarin malam. “Dia bukan pacarku.”

“Oh, yang benar saja.”

“Dia... bukan... pacarku,” ulang Kim Bum, menekankan seitap kata. “Lagi pula apa-apaan ini? Kau sudah beralih profesi menjadi wartawan atau apa?”

Jung Yong Hwa tertawa. “Hei, aku hanya bertanya.”

Saat itu pintu kantor terbuka dan Kim Bum berbalik. Matanya terarah pada wanita bertubuh langsing dan berambut pendek yang berdiri di ambang pintu dan yang menatap Kim Bum dengan alis terangkat. Kim Bum yakin kakak perempuannya heran ia muncul di sini tanpa pemberitahuan. Ia mengangkat sebelah tangan, tanpa suara menyapa kakaknya, dan tersenyum singkat, senyum yang sudah membuat banyak gadis penggemarnya luluh lantak.

“Aku harus pergi sekarang. Nanti kita bicara lagi,” kata Kim Bum di ponsel. Tanpa menunggu jawaban Jung Yong Hwa ia menutup ponsel, menjejalkan benda itu ke saku celana jinsnya, lalu berpaling ke arah kakaknya. “Noona, kau harus bicara dengan Ibu,” katanya langsung tanpa basa-basi.

Yoon Eun Hye, yang sedang melepaskan topi, menghentikan gerakannya dan menatap adiknya dengan heran, lalu tersenyum. “Selamat pagi juga, adikku sayang,” katanya sambil menyisir rambutnya yang berpotongan pendek dengan jari. “Dan apa yang harus kubicarakan dengan Ibu?”

Yoon Eun Hye tiga tahun lebih tua daripada Kim Bum. Wajah kedua kakak beradik itu tidak mirip, tetapi mereka sama-sama memiliki wajah menarik yang disukai para fotografer, sama-sama memiliki bentuk tubuh indah dan ramping yang disukai para perancang busana, sama-sama memiliki kepandaian berbicara yang membuat mereka disenangi orang-orang yang bekerja sama dengan mereka. Semua itulah yang menjadikan mereka model terkenal.

Dulu Yoon Eun Hye adalah model fashion yang menghabiskan waktunya berjalan diatas catwalk di seluruh penjuru dunia. Namun sejak lima tahun lalu ia mulai dikenal sebagai perancang busana dan butik-butiknya kini tersebar di Seoul dan Tokyo.

Kim Bum mengerang dan menjatuhkan dirinya di kursi berlengan di depan meja kerja kakaknya. “Noona, kau benar-benar harus bicara dengan Ibu,” katanya lagi, kali ini dengan suara yang terdengar tertekan. “Ibu tidak bisa terus berusaha menjodohkanku dengan anak perempuan sahabatnya, atau saudara perempuan kenalannya, atau…seperti yang terjadi kemarin malam…keponakan perempuan orang yang baru dikenalnya di salon! Ini sudah kelewatan. Kenapa tiba-tiba saja Ibu begitu bersemangat ingin menjodohkan aku? Dan asal Noona tahu, akhir-akhir ini aku sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk main-main.”

Kalau kakaknya lebih dikenal sebagai model catwalk, maka Kim Bum lebih dikenal sebagai model iklan. Wajahnya sering terpampang di majalah-majalah dan iklan televisi. Menurut survei salah satu majalah remaja populer, Kim Bum adalah salah satu bintang iklan paling diminati di Korea Selatan, walaupun akhir-akhir ini ia mulai memfokuskan diri pada impiannya yang lain, yaitu menjadi sutradara video musik.

Yoon Eun Hye tersenyum lebar dan memeriksa surat-surat yang diletakkan sekretarisny adengan rapi di atas meja kerja. “Kurasa kencan buta yang diatur Ibu untukmu kemarin malam tidak berjalan mulus? Kau tidak suka gadis itu?”

Kim Bum mencondongkan badan ke depan, wajahnya serius. “Apakah Noona percaya kalau kubilang gadis itu baru lulus SMA?”

Mata Yoon Eun Hye melebar menatap adiknya, lalu tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Ibu benar-benar sudah kelewatan kali ini.”

Kim Bum mendesah berat dan bersandar ke kursinya kembali. “Apa yang Ibu rencanakan? Kenapa Ibu ingin aku segera menikah? Aku tidak mengerti. Noona harus membantuku menyadarkan Ibu. Kalau tidak, aku bisa gila.”

“Kenapa bukan kau sendiri yang bicara dengan Ibu?”

“Aku sudah mencobanya, tapi Ibu tidak mau mendengarkanku,” sahut Kim Bum.

“Ibu beralasan bahwa dia hanya ingin membantu, karena aku terlalu sibuk bekerja sampai tidak sempat bersosialisasi. Katanya siapa tahu di antara gadis-gadis yang dikenalkannya kepadaku itu ada yang cocok untukku. Katanya dia hanya bermaksud baik dan aku seharusnya menghargai usahanya.” Kim Bum terdiam, lalu menatap kakaknya dengan mata disipitkan. “Jangan-jangan Noona dulu menikah juga karena dijodohkan Ibu?”

“Kim Bum, jangan sampai kakak iparmu mendengar itu,” Yoon Eun Hye memperingatkan sambil tertawa. “Dia sangat gencar mengejarku dulu.”

Kim Bum tersenyum masam. “Aku tahu.”

Yoon Eun Hye memandang adiknya yang sedang tertekan itu dengan perasaan geli bercampur kasihan. “Setelah tiga kali mencoba dan gagal, kurasa Ibu akan menyerah.”

Kim Bum menggeleng cepat. “Oh, kurasa tidak. Kemarin Ibu bertanya padaku wanita seperti apa yang kusuka. Untuk memudahkannya mencari wanita yang tepat untukku, begitu katanya. Aku yakin dia masih belum menyerah.”

“Lalu apa yang kau katakan padanya?”

Kali ini Kim Bum tersenyum kecil. “Kukatakan padanya kami akan melanjutkan pembicaraan itu setelah aku kembali dari Paris.”

Yoon Eun Hye mengangkat alis. “Oh, kau jadi pergi ke Paris?”

Kim Bum memang pernah bercerita pada kakaknya bahwa ia akan pergi ke Paris untuk bekerja dengan Song Chang Ui, salah seorang sutradara video musik terkenal di Korea. Walaupun Sutradara Song Chang Ui sudah menetap di Paris bersama keluarganya, kadang-kadang ia masih aktif bekerja di Korea. Kim Bum sudah beberapa kali bekerja sama dengan Sutradara Song Chang Ui dalam pembuatan video musik dan ia sangat mengagumi pria yang lebih tua itu. Sekarang Kim Bum kembali ditawari oleh Sutradara Song Chang Ui sendiri untuk bekerja sama dengannya di Paris. Bukan sebagai model, tetapi sebagai asisten sutradara. Kim Bum tidak mungkin melepaskan kesempatan sebesar itu.

“Aku akan berangkat minggu depan,” kata Kim Bum.

“Ibu pasti uring-uringan,” kata Yoon Eun Hye sambil tersenyum kecil dan menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. “Dia tidak pernah merasa tenang kalau kau pergi keluar negeri. Apalagi kali ini kau akan bekerja dengan Sutradara Song Chang Ui. Kau pasti akan cukup lama tinggal di sana. Kau sudah memberitahu Ibu tentang ini?”

Kim Bum tersenyum lebar. “Oh, ya. Ibu mengeluh panjang-lebar dan terdengar sangat kecewa. Tapi tidak apa-apa. Yang penting aku bisa melarikan diri darinya untuk sementara.”

* * *

Paris, Perancis

Satu minggu kemudian

Kim So Eun membuka matanya yang terasa berat, lalu ia mengangkat tangan menutupi mata dan mengerang pelan. Sinar matahari yang menembus jendela kamar tidur menyilaukan matanya. Ia menguap lebar sambil merenggangkan lengan dan kaki dengan posisi yang masih terbaring di tempat tidur. Lalu ia memaksa diri berguling turun dari tempat tidur, berjalan dengan langkah diseret-seret ke meja tulis di depan jendela untuk mematikan lampu meja yang masih menyala dan memandang ke luar jendela.

Tidak biasanya langit kota Paris terlihat cerah. Sepertinya musim semi yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Kim So Eun membuka jendela dan menarik napas dalam-dalam,mengisi paru-paru dan seluruh tubuhnya yang masih lemas dengan semangat musim semi. Tetapi karena udara masih terasa dingin, Kim So Eun cepat-cepat menutup jendela dan menggosok-gosok kedua tangannya. Tiba-tiba matanya terarah ke jam kecil di atas meja dan ia pun terkesiap. “Oh, Tuhan,” erangnya.

Ia berlari ke pintu kamar tidur dan membukanya dengan satu sentakan cepat, mengagetkan kedua teman satu flatnya yang sedang duduk mengobrol di dapur, tepat di luar kamar tidurnya.

“Apa? Apa yang terjadi?” Gadis berkacamata, dan berambut hitam panjang, yang sedang mengenggam cangkir kopi dengan kedua tangan, menatap Kim So Eun dengan alis terangkat heran.

Walaupun penampilannya pagi ini lebih mirip penghuni panti rehabilitas, piyama bergaris-garis, jubah kebesaran, rambut acak-acakan, dan wajah mengantuk. Baek Suzy yang lebih muda daripada Kim So Eun sebenarnya adalah putri seorang pengusaha kaya yang lebih memilih mengejar mimpinya menjadi aktris panggung daripada masuk universitas. Dan selama beberapa tahun ini ia memang sering tampil di atas panggung pertunjukan di Volcom Land, meskipun hanya mendapat peran-peran kecil.

“Aku terlambat...,” kata Kim So Eun panik sambil berlari ke kamar mandi di samping dapur. “Aku punya jadwal syuting video musik hari ini dan aku terlambat.”

Baek Suzy mengibaskan sebelah tangannya dan berkata, “Kau terlalu berlebihan, Kim So Eun. Kau tidak pernah terlambat. Paling-paling kau hanya terlambat bangun sepuluh menit. Dan aku tahu kau pulang ke rumah larut malam kemarin. Kau berhak bangun lebih siang.” Ia kembali menyesap kopinya dan mendesah muram.

“Aku kasihan pada orang-orang seperti kita bertiga yang tetap harus bekerja di hari Sabtu yang indah ini.”

Kim So Eun menyerukan sesuatu yang tidak bisa dipahami dari kamar mandi karena ia sedang sibuk menggosok gigi.

“Hei, Sayang, kau mau wafel ala Kim Heechul dengan Selai Strawberry buatan sendiri?” Tanya laki-laki bertubuh tinggi, ramping, dan berambut hitam yang duduk di hadapan Baek Suzy. “Kau tahu benar Selai Strawberry buatanku bisa membuatmu merasa seperti melayang di angkasa.”

Kim Heechul, berprofesi sebagai koki di salah satu restoran terkenal di Cassablanca, walaupun ketika pertama kali bertemu dengannya, Kim So Eun merasa Kim Heechul lebih mirip preman karena tato naga yang ada di lengan kanannya. Meskipun begitu Kim So Eun harus mengakui bahwa ia belum pernah bertemu preman yang memiliki mata seperti Kim Heechul. Mata yang benar-benar bisa membuat wanita mana pun yang ditatapnya mendadak tidak bisa berpikir apa-apa. Tetapi sayangnya, Kim Heechul tidak tertarik pada wanita.

Kim So Eun kembali menyerukan serentet kata-kata yang tidak jelas artinya.

Kim Heechul menoleh ke arah Baek Suzy. “Apa katanya?”

Baek Suzy mengangkat bahu. “Mungkin dia tidak mau melayang di angkasa?”

Tepat pada saat itu pintu kamar mandi terbuka dengan suara keras dan Kim So Eun melesat kembali ke kamar tidurnya, disusul dengan suara pintu lemari dibuka dengan gaduh dan gantungan-gantungan baju berjatuhan ke lantai.

“Tolong jangan panik, Sayang,” seru Kim Heechul tempat duduknya di dapur. “Kau bisa melukai dirimu sendiri di dalam sana kalau kau membabi-buta seperti itu.”

Kemudian terdengar bunyi gedebuk keras, disusul suara Kim So Eun yang berseru,

“Aku tidak jatuh! Tenang. Aku tidak jatuh. Aku baik-baik saja.”

Kedua temannya berpandangan dan mengangkat bahu.

Beberapa menit kemudian Kim So Eun muncul kembali dari balik pintu kamar tidurnya. Ia sudah berpakaian lengkap sampai ke sepatu bot dan topinya.

“Ngomong-ngomong,” kata Baek Suzy, “kau akan tampil di video musik siapa?”

Kim So Eun mengangkat bahu. “Penyanyi dari Korea. Aku tidak kenal,” katanya sambil mengibaskan tangan tidak peduli. “Yang membuatku tertarik adalah konsep video musiknya. Mereka membuatnya seperti film pendek.”

Baek Suzy menoleh menatap Kim So Eun, matanya bersinar cerah. “Apakah ceritanya romantis?” tanyanya, lalu mendesah senang. “Aku suka cerita romantis.”

Kim So Eun mendesah tidak sabar. “Aku rasa ceritanya tentang seorang pria yang diam-diam jatuh cinta pada seorang wanita. Selalu mengawasinya dari jauh. Diam-diam selalu membantu wanita itu tanpa pernah menunjukkan siapa dirinya. Kira-kira seperti itu,” sahutnya.

“Hmm... Bukankah itu romantis sekali?” desah Baek Suzy dan menatap Kim Heechul. Yang ditatap mengangguk setuju.

“Aku rasa itu agak menakutkan,” gerutu Kim So Eun. “Coba pikir, diam-diam mengawasi si wanita dari jauh, diam-diam membantunya tanpa menunjukkan wajah. Memangnya itu tidak terdengar seperti orang sakit jiwa?”

“Astaga,” gumam Kim Heechul sambil menggeleng-geleng kepalanya. “Aku harap sutradara video musik ini tidak menyesal sudah memilihmu. Seharusnya kau menjadi bintang film horor.”

Kim So Eun tersenyum dan mendorong bahu Kim Heechul dengan main-main. “Baiklah, Teman-teman, aku pergi dulu.”

“Kau yakin kau tidak mau makan sepotong wafel ala Kim Heechul dengan Selai Strawberry ini?” tanya Kim Heechul sambil menyodorkan piring penuh wafel. “Kau tahu sarapan adalah makanan paling penting dalam sehari. Kau sudah cukup kurus sekarang. Jangan sampai kau berubah menjadi tulang berjalan seperti orang yang duduk di depanku ini.”

“Ya Tuhan, lihat siapa yang bicara,” kata Baek Suzy sambil memutar bola matanya.

“Koki paling kurus sedunia.”

Kim Heechul tersenyum lebar. “Tubuhku memang tidak bisa gemuk walaupun aku makan banyak. Sedangkan kalian berdua kurus kering karena tidak makan.”

“Model memang seharusnya kurus,” gumam Kim So Eun sambil merogoh-rogoh tasnya yang besar, memastikan semua barang pentingnya sudah ada di dalam.

Dompet. Kunci. Ponsel.

“Apa?” tanya Kim Heechul, tidak mendengar apa yang digumamkan Kim So Eun tadi.

“Tidak apa-apa.” Kim So Eun menatap temannya dan tersenyum lebar. Ia tidak mungkin mengulangi ucapannya. Ia tidak berani. Kim Heechul pasti akan mulai menceramahinya dan ia tidak punya waktu mendengar omelan itu saat ini.

“Aku ingin sekali mencoba wafelmu, tapi ini keadaan darurat,” kata Kim So Eun cepat. “Aku benar-benar tidak sempat sarapan. Sekarang sudah jam...,” ia melirik jam tangannya dan terkesiap, “...oh, dear. Sepertinya aku harus berlari sepanjang jalan sampai ke stasiun. Dah, Teman-teman!”

Tanpa menunggu balasan teman-temannya, Kim So Eun berlari menuruni tangga dari flat mereka di lantai dua dan keluar ke jalan. Ia melirik jam tangannya sekalilagi. O-oh. Ya, ia sudah pasti harus berlari ke stasiun kereta. Ia tidak mungkin sempat mendongak menatap langit biru dan menikmati udara musim semi. Semua itu harus menunggu.

Sudah hampir tiga tahun berlalu sejak ia pertama kali tiba di Paris dan sejak ia pindah ke sini ia sudah tinggal bersama Baek Suzy dan Kim Heechul di City Hall yangterletak di pinggiran kota Paris. Flat yang ditempatinya bersama Baek Suzy dan Kim Heechul berada tepat di atas New Moon, sebuah pub yang sudah berdiri sejak zaman dulu. Walaupun kadang-kadang suara-suara dari pub bisa terdengar sampai ke kamar tidur kalau jendelanya dibuka, Kim So Eun tidak keberatan. Berbeda dengan kebanyakan orang, ia tidak terlalu nyaman dengan suasana sepi.

Flat yang mereka tempati tidak terlalu besar, namun cukup untuk mereka bertiga. Tempat itu memiliki tiga kamar tidur, satu kamar tidur utama yang berukuran lebih besar dan dua kamar tidur yang lebih kecil, satu kamar mandi, dapur sempit dengan jendela yang menghadap ke perkarangan samping gedung sebelah, dan ruang duduk kecil dengan jendela menghadap ke bagian depan gedung. Baek Suzy menempati kamar tidur utama karena dialah yang pertama kali menempati flat ini sebelum ia mengajak Kim Heechul berbagi flat dengannya. Lalu pada musim panas lebih dua tahun lalu Kim So Eun ikut bergabung.

Kim So Eun tidak pernah suka tinggal sendiri. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah sendiri. Adik perempuan-nya, Park Ji Yeon, selalu ada bersamanya sampai ketika Kim So Eun memutuskan untuk pindah dari Tokyo. Kadang-kadang ia mengkhawatirkan Park Ji Yeon karena Adik Perempuannya itu juga tidak terbiasa sendirian. Tetapi mengingat mereka memiliki tetangga-tetangga yang sangat baik di Tokyo dan setelah membaca e-mail dari Park Ji Yeon yang melibatkan seorang tetangga baru tampan di gedung apartemen mereka, Kim So Eun merasa ia tidak perlu mengkhawatirkan Park Ji Yeon lagi.

Empat puluh lima menit kemudian, Kim So Eun sudah tiba di lokasi syuting untuk hari itu dan sudah duduk di dalam tenda sementara yang didirikan di salah satu sudut Century Park, salah satu taman paling terkenal di Paris. Kim So Eun memandang berkeliling dan merasa seolah-olah dalam semalam bagian kecil taman itu sudah diserbu oleh sekumpulan orang Korea. Di sekitarnya terlihat para staf produksi yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing, berjalan cepat dari satu tempat ke tempat lain, mengangkut sesuatu, memasang sesuatu, dan saling berseru dalam bahasa asing yang hanya sedikit bisa dipahami Kim So Eun.

Maklum saja walaupun Kim So Eun masih keturunan Korea, tapi ia tidak begitu fasih berbicara dalam bahasa Korea. Karena lama tinggal di Tokyo, Jepang ia lebih fasih berbicara dalam bahasa Jepang atau dalam Bahasa Inggris yang memang harus dikuasainya, karena dia berkecimpung di dunia permodelan yang aktif di luar negeri yang memang diharuskan fasih berkomunikasi dalam bahasa Inggris.

Kim So Eun juga baru menyadari bahwa selain Song Chang Ui, alias si sutradara video musik, yang sudah pernah ditemuinya pada saat wawancara awal dan penata rias yang bertanggung jawab atas penampilan Kim So Eun dari ujung kepala sampai ujung kaki, tidak ada staf produksi lain di sana yang bisa berbahasa Inggris. Tetapi pekerjaan Kim So Eun sering menuntutnya bepergian ke luar negeri dan bekerja sama dengan orang-orang asing yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan fasih, jadi ia merasa ia bisa mengatasi sedikit hambatan komunikasi ini.

“Ini Cappucinomu.”

Kim So Eun menoleh dan melihat penata riasnya yang memperkenalkan diri sebagai Song Hye Gyo, mengulurkan secangkir Cappucino harum yang mengepul. Senyum Kim So Eun mengembang. Saat itu ia baru teringat ia belum sarapan dan perutnya tiba-tiba berbunyi pelan. Ia menerima Cappucino itu, menyesapnya, lalu mendesah senang ketika kehangatan Cappucino itu menjalari tenggorokan, dada, dan tangannya.

“Kau juga lapar?” tanya Song Hye Gyo dengan bahasa Inggris yang masih dihiasi logat Korea. “Mau makan ini?”

Kim So Eun menatap sekotak donat yang disodorkan ke depan wajahnya. Gemuruh di perutnya semakin keras. “Terima kasih banyak. Kau benar-benar penyelamatku,” katanya sambil mengambil sepotong donat berselimut cokelat. Seorang model memang seharusnya kurus, tetapi seorang model tidak seharusnya mati kelaparan.

Penata riasnya yang sangat ramah itu meletakkan kotak donat di meja di depan Kim So Eun, membuat Kim So Eun bertanya-tanya apakah ia boleh mengambil sepotong lagi kalau ternyata ia masih belum kenyang.

“Ngomong-ngomong, kau sudah pernah bertemu dengan lawan mainmu di video musik ini?” tanya Song Hye Gyo ketika ia mulai menggulung rambut Kim So Eun dengan rol-rol besar.

Kim So Eun mengalihkan pandangan dari kotak donat dan menatap wajah Song Hye Gyo di cermin. “Belum. Aku belum pernah bertemu dengannya. Aku bahkan belum tahu namanya,” sahutnya dan kembali menyesap Cappucinonya yang enak sekali.

Mata Song Hye Gyo yang sipit langsung berbinar-binar. “Kim Bum,” katanya singkat.

Ketika melihat Kim So Eun yang menatapnya dengan pandangan bertanya, ia melanjutkan, “Lawan mainmu. Namanya Kim Bum.”

Kim So Eun berhenti mengunyah donatnya.

Song Hye Gyo memandang berkeliling. “Di mana dia ya? Tadi aku sempat bertemu dengannya.” Ia mendesah dan kembali menggulung rambut Kim So Eun. “Mungkin kau tidak tahu, tapi dia sangat terkenal di Korea. Sering membintangi iklan dan video musik.”

Karena Kim So Eun tidak berkata apa-apa, Song Hye Gyo menambahkan, “Tidak perlu khawatir. Dia sangat baik. Oh, dan dia juga tampan. Benar-benar tampan. Kalau kau melihatnya nanti, aku yakin kau akan jatuh pingsan.”

Kim So Eun masih diam. Hanya menunduk menatap Cappucino kental yang mengepul didalam cangkir gelasnya. Mendadak saja kehangatan yang dirasakannya tadi menguap begitu saja.

Tiba-tiba Song Hye Gyo menepuk-nepuk pundaknya. “Hei, lihat. Itu dia!” bisik Song Hye Gyo dengan nada mendesak.

Kepala Kim So Eun berputar pelan dan matanya langsung menangkap sosok laki-laki berjaket abu-abu dan bertopi putih yang berdiri di luar tenda. Laki-laki itu melepaskan topi dan menyapa orang-orang yang mengelilinginya dengan senyum lebar, berjabat tangan dan membungkuk kepada beberapa orang.

“Ups! Hati-hati. Tehmu bisa tumpah.”

Kim So Eun mengerjap kaget dan menyadari bahwa cangkir kertas yang dipegangnya sudah hampir terlepas dari pegangan. “Oh, Tuhan. Maaf,” gumamnya pelan.

“Nah, kubilang juga apa?” kata Song Hye Gyo sambil menepuk pundak Kim So Eun lagi dan tersenyum penuh kemenangan. “Kau memang terlihat hampir jatuh pingsan.”

Kim So Eun memalingkah wajah dan menatap cermin. Namun ia masih bisa melihat bayangan Kim Bum di sana. Tepat pada saat ia melihat Song Hye Gyo berbalik dan mengangkat sebelah tangannya yang memegang sisir, lalu berseru, “Hei, Kim Bum!”

Kim So Eun membeku. Oh, tidak...

Kim Bum menoleh ke arah mereka. Ke arah Kim So Eun. Sedetik mata mereka bertemu di cermin. Mata laki-laki itu seolah-olah menatap lurus ke mata Kim So Eun. Hanya sedetik, sebelum Kim So Eun buru-buru mengalihkan pandangan, menatap Song Hye Gyo yang tersenyum lebar padanya di cermin.

“Dia ke sini,” kata Song Hye Gyo. “Akan kuperkenalkan kau padanya.”

Kim So Eun tidak bisa bernapas. Ia mencengkeram lengan kursinya erat-erat.

Ya Tuhan...

Bersambung…

2 komentar:

  1. Haiiiiiiiiiii AutHoR...(Lambay LamBay di REd CaRPet)
    AQ kamiiiiiiiiiiing...yg The Right Blum S4..ini Ja Curi2 buka nya..
    AQ maw sIdang SkRipsi hari senin besok,jd mgkin SeteLaH itu smua BeraKhiR AQ mampiR...
    Baca yg PaRT 1 udaH tertaRiiiiiK..Tp AQ harus nahan diri..tag bisa skarang Q lahap FF mu...
    See you soon..^^

    BalasHapus
  2. bagus, tapi kok kayaknya aku penah baca di novel itu yah :(
    tapi aku suka abis, ceritanya keren ..
    salut sama yg buat ini :)

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...