Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 13 Agustus 2011

Spring Love (Chapter 22)



Seoul, Korea Selatan

Dua tahun kemudian

Matahari bersinar cerah dan langit terlihat biru ketika Kim Bum mengendarai mobil keluar dari gedung apartemennya. Musim semi benar-benar sudah tiba.

Sejenak Kim Bum termenung. Musim semi sudah tiba lagi dan itu berarti sudah dua tahun berlalu sejak terakhir kali ia bertemu dengan Kim So Eun. Sejak terakhir kali ia berbicara dengan Kim So Eun. Sejak Kim So Eun meninggalkannya.

Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Ia melirik ponselnya dan memasang earphone ke telinga. “Ya, Noona. Ada apa?”

“Kim Bum, aku butuh bantuanmu,” kata Yoon Eun Hye tanpa basa-basi.

Alis Kim Bum terangkat heran. “Bantuan apa?”

“Aku ingin kau menjadi model untuk iklan koleksi pakaian musim panasku,” kata kakaknya cepat. “Aku tahu, aku tahu... Sekarang ini kau pasti sangat sibuk dengan pekerjaanmu sebagai sutradara. Oh, ngomong-ngomong, aku sudah melihat musik video yang kaubuat untuk penyanyi baru itu dan aku harus mengucapkan selamat kepadamu. Dia pasti akan terkenal gara-gara video musiknya. Tapi mari kita kembali ke topik awal. Aku ingin kau yang menjadi modelku. Bagiku tidak ada lagi model yang lebih cocok selain dirimu. Bagaimana?”

Kim Bum tersenyum. “Tapi, Noona, besok aku harus pergi ke Jepang.”

“Ke Jepang? Untuk apa? Ada pekerjaan di sana?”

Kim Bum ragu sejenak. “Bukan. Aku hanya ingin menemui seseorang di sana.”

“Tapi tentunya tidak akan lama, bukan? Pemotretan untuk iklanku akan dilakukan minggu depan. Tentunya kau sudah kembali saat itu kan?” tanya Yoon Eun Hye penuh harap.

Kim Bum mendesah berlebihan, namun bibirnya tersenyum. “Baiklah, Noona. Tapi aku tetap akan meminta bayaran.”

“Siapa yang menyangka model dan sutradara terkenal sepertimu masih butuh uang?” gerutu kakaknya.

Kim Bum hanya tertawa.

“Ngomong-ngomong, siapa yang ingin kautemui di Jepang?”

Kim Bum menghela napas. “Seseorang yang sangat ingin kutemui selama dua tahun terakhir ini,” sahutnya pelan.

Kakaknya terdengar bingung. “Seseorang yang... Siapa?”

Kim Bum tersenyum lagi. “Lain kali saja kuceritakan. Bye, Noona.”

Tanpa menunggu jawaban kakaknya Kim Bum memutuskan hubungan dan melepas earphone dari telinga. Ia menghela napas sekali lagi.

Dua tahun terakhir ini sama sekali tidak mudah bagi Kim Bum dan keluarganya. Wanita yang dulu meyakini dirinya sebagai orang yang digosipkan dalam skandal dengan kakak Kim Bum, memang benar-benar mengira dirinyalah yang dimaksud dalam gosip. Dan wanita itu sama sekali tidak keberatan dijadikan bahan gossip karena ia memang bermaksud mendongkrak popularitasnya.

Walaupun ada beberapa pihak yang menerima pernyataan wanita itu, banyak juga pihak yang masih meragukannya dan merasa bahwa sebenarnya memang ada kejahatan yang terjadi. Namun karena tidak adanya bukti dan saksi yang kuat untuk mendukung kecurigaan mereka, perlahan-lahan skandal itu pun mereda, walaupun tidak sepenuhnya karena sampai sekarang pun masih ada orang yang mempertanyakan kebenaran skandal itu.

Setelah skandal kakak laki-lakinya mereda dan memastikan keluarganya baik-baik saja, Kim Bum kembali ke Paris untuk melanjutkan pekerjaannya dengan Song Chang Ui. Setahun kemudian itu ia kembali ke Seoul dan memulai peran barunya sebagai sutradara video musik. Video musik pertama yang digarapnya sukses besar dan sejak itu banyak tawaran datang kepadanya.

Kim Bum sudah menepati janjinya. Ia sudah memberikan waktu yang dibutuhkan Kim So Eun, ia sudah menjadi sutradara terkenal, dan ia tidak pernah mencoba menghubungi Kim So Eun selama ini. Sebenarnya yang terakhir itulah yang paling sulit dilakukan. Tidak bertemu dan berbicara dengan gadis itu saja sudah cukup membuat Kim Bum tertekan. Tetapi tidak tahu di mana Kim So Eun, apa yang sedang dilakukannya, bagaimana keadaannya, membuat Kim Bum hampir gila. Itulah sebabnya ia pergi mencari Kim Heechul, mantan teman satu flat Kim So Eun, ketika ia kembali ke Paris dan menanyakan alamat Kim So Eun di Jepang. Kim Bum tersenyum masam mengingat semua yang harus dilakukannya demi mendapatkan alamat itu dari Kim Heechul.

Walaupun Kim Bum sudah berhasil mendapatkan alamat Kim So Eun, ia tidak pernah berusaha menemui gadis itu. Karena ia sudah berjanji dan ia bermaksud menepati janjinya.

Namun dua tahun bukan waktu yang singkat. Setidaknya bagi Kim Bum. Tentu saja dalam dua tahun ini keadaan sudah kurang-lebih kembali seperti sedia kala.

Skandal kakaknya sudah mulai terlupakan karena banyaknya skandal baru, yang melibatkan artis-artis baru yang sedang terkenal. Nama Kim So Eun sama sekali tidak di sangkut-pautkan dalam skandal kakak Kim Bum. Keluarga Kim Bum berhasil melewati masa sulit itu dengan baik, bahkan ibunya juga sudah mulai berusaha menjodohkannya seperti dulu. Segalanya terlihat baik. Segalanya kecuali dirinya sendiri.

Kim Bum tidak merasa baik. Dan ia tahu ia tidak akan pernah merasa baik sampai Kim So Eun kembali kepadanya. Karena itulah ia memutuskan untuk pergi ke Jepang.

Kalau Kim So Eun tidak bisa datang kepadanya, ia yang akan pergi menemui gadis itu.

* * *

Yoon Eun Hye tersenyum puas sambil menurunkan ponsel dari telinga.

“Bagaimana?” tanya Lee Joo Yeon - asistennya dengan nada penuh harap.

“Tentu saja dia setuju melakukannya. Adikku itu selalu bisa diandalkan,” kata Yoon Eun Hye senang. Lalu tiba-tiba teringat sesuatu. “Bagaimana dengan model wanitanya? Mereka menerima tawaran kita?”

Baru-baru ini ia melihat iklan di salah satu majalah yang menampilkan seorang model wanita yang menurutnya sangat cocok mewakili koleksi pakaian terbarunya. Ia langsung menyuruh asistennya mencari tahu tentang model itu.

“Mereka belum memberikan jawaban,” kata Lee Joo Yeon, menjawab pertanyaan Yoon Eun Hye tadi.

Yoon Eun Hye mendesah dan menggigit bibir. “Katakan pada mereka bahwa aku tahu ini agak terburu-buru, tapi aku benar-benar berharap bisa bekerja sama dengan model yang itu.” Ia terdiam sejenak, lalu bertanya, “Ngomong-ngomong, siapa namanya?”

Lee Joo Yeon melirik buku catatannya, lalu menjawab, “Kim So Eun. Dan apakah kau tahu dia pernah membintangi video musik Jung Yong Hwa bersama adikmu?”

* * *

Tokyo, Jepang

“Kim So Eun Eonni,” panggil Park Ji Yeon dari ruang duduk. “Kau sudah siap? Mereka sudah menunggu kita di bawah.”

Tidak terdengar jawaban dari kamar. Park Ji Yeon menghela napas dan berjalan ke kamar tidur yang ditempatinya bersama Kim So Eun. Ia melongokkan kepala ke dalam kamar. “Eonni.”

Kim So Eun sedang duduk di kursi meja tulis. Kedua kakinya diangkat ke atas kursi dan dagunya ditopangkan ke lutut. Matanya menatap kosong ke depan dan jelas-jelas sedang melamun.

“Kim So Eun Eonni,” panggil Park Ji Yeon lagi, sedikit lebih keras.

Kali ini Kim So Eun tersentak dan menoleh. “Oh, ada apa, Park Ji Yeon?”

“Kau sudah siap? Mereka sudah menunggu kita di bawah,” kata Park Ji Yeon.

Kim So Eun mengerjap tidak mengerti.

Park Ji Yeon masuk ke dalam kamar. “Kita akan makan malam di tempat Paman Song Seung Hun dan Bibi Kim Te Hee. Kau ingat?”

Yang dipanggil Paman Song Seung Hun dan Bibi Kim Tae Hee sebenarnya adalah pasangan suami istri asal Korea yang menempati apartemen di lantai bawah. Mereka juga adalah penanggung jawab gedung apartemen yang hanya bertingkat dua itu dan sering sekali mengundang semua penghuni lain, yang hanya berjumlah lima orang termasuk Kim So Eun, makan malam bersama.

“Ah, kau benar. Kenapa aku bisa lupa Park Ji Yeon?” gumam Kim So Eun sambil bangkit dar kursi. “Tunggu sebentar. Aku akan segera siap.”

Park Ji Yeon bisa melihat bahwa Kakaknya itu sedang risau. “Ada masalah apa, Eonni?” tanyanya langsung.

Kim So Eun berhenti di depan lemari pakaian dan berbalik menghadap Park Ji Yeon. Ia menggigit bibir, ragu, lalu akhirnya berkata, “Aku mendapat tawaran pembuatan iklan di Korea. Iklan pakaian.” Ia berhenti sejenak, menarik napas. “Perancangnya adalah kakak perempuan Kim Bum.”

Park Ji Yeon tahu siapa Kim Bum yang dimaksud Kim So Eun. Ketika Kim So Eun kembali ke Tokyo dua tahun lalu, Kim So Eun telah menceritakan semuanya. Semuanya. Ia menceritakannya sambil menangis tersedu-sedu. Termasuk rahasia gelap yang sudah dipendamnya selama bertahun-tahun. Ia menceritakan semua itu kepada Park Ji Yeon pada hari pertama ia kembali ke Tokyo. Saat itu Park Ji Yeon benar-benar terguncang mendengar tentang kejadian mengerikan yang dialami Kim So Eun dan sedih membayangkan Kim So Eun menanggung semua luka dan mimpi buruk itu sendirian.

Pada akhirnya Park Ji Yeon hanya bisa berkata pada Kim So Eun bahwa ia senang Kim So Eun menceritakan semua itu kepadanya dan berkata bahwa ia berharap kini Kim So Eun merasa sedikit lebih lega karena telah mencurahkan seluruh beban hatinya. Ia juga meyakinkan Kim So Eun bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kemudian mereka berdua pun menangis bersama.

Satu hal yang mereka sepakati bersama adalah bahwa orangtua mereka tidak perlu tahu tentang masalah ini. Tidak ada gunanya. Malah hanya akan menambah beban dan luka. Lagi pula orang yang melakukan kejahatan itu sudah meninggal dunia dan bagaimaanpun juga Kim So Eun bisa dibilang baik-baik saja.

Park Ji Yeon juga tahu alasan Kim So Eun kembali ke Tokyo adalah Kim Bum. Kim Bum adalah adik laki-laki penjahat yang menyakiti Kim So Eun, namun Kim Bum juga adalah satu-satunya pria yang entah bagaimana berhasil menyelinap masuk dan memiliki hati Kim So Eun. Park Ji Yeon mengerti dilema yang dihadapi Kakaknya itu. Sungguh, ia mengerti. Tapi...

“Apakah menurutmu kakak perempuannya itu tahu tentang dirimu?” Tanya Park Ji Yeon.

Kim So Eun menggigit bibir. Kim Bum tidak mungkin memberitahu kakak perempuannya tentang masalah Kim So Eun. Tidak mungkin. “Tidak,” sahutnya, lalu mengangkat bahu. “Entahlah. Aku tidak tahu.”

“Jadi apakah kau menerima pekerjaan itu?” tanya Park Ji Yeon lagi.

Kim So Eun merentangkan kedua lengannya dan menjatuhkannya ke sisi tubuhnya.

“Aku tidak tahu. Aku belum memutuskan,” sahutnya. Ia mengangkat sebelah tangan ke kening. “Kalau aku menerima pekerjaan itu, ada kemungkinan aku akan bertemu kembali dengan Kim Bum.”

“Lalu kenapa? Kau tidak ingin bertemu dengannya?”

Kim So Eun menahan napas. Dan tiba-tiba saja, tanpa peringatan apa pun, setetes air mata jatuh bergulir di pipinya. Ia duduk di pinggiran tempat tidur dan berusaha mengendalikan diri.

“Eonni.” Park Ji Yeon segera menghampirinya dan duduk di sampingnya. “Ada apa?”

Kim So Eun mencoba menarik napas dan menghembuskannya untuk mengendalikan diri, namun tidak benar-benar berhasil. “Bodoh, bukan? Sudah dua tahun berlalu, tapi aku masih tetap seperti ini setiap kali mendengar namanya. Aku masih belum bisa melupakannya. Apa yang salah denganku?”

“Apa yang salah denganmu?” Park Ji Yeon balas bertanya. “Eonni, tidak ada yang salah dengna dirimu. Kau hanya mencintainya.”

Kim So Eun berpaling ke arah Park Ji Yeon. Ia membuka mulut, namun tidak ada kata-kata yang keluar.

“Kau tidak pernah mengakuinya kepadaku, Eonni, tapi aku tahu apa yang kaurasakan,” kata Park Ji Yeon. “Alasan apa lagi selain itu yang membuatmu begitu tekun mengikuti kursus bahasa Korea selama ini?”

Kim So Eun menutup mulutnya.

Park Ji Yeon melanjutkan, “Dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk berpikir dan mengambil keputusan. Kau sudah berhasil menghadapi masa lalumu, mimpi burukmu. Sekarang waktunya kau menghadapi apa yang ada dalam hatimu.”

Kim So Eun menggigit bibir, lalu berkata lemah, “Tapi...”

“Dia bukan kakaknya.”

Kata-kata Park Ji Yeon membuat Kim So Eun terdiam. Kata-kata itu sama seperti yang pernah diucapkan Kim Bum.

Aku bukan kakakku. Aku tidak akan pernah menyakitimu.

Apakah kau percaya padaku?

Kuharap kau bisa. Kalau bukan sekarang, mungkin suatu hari nanti.

Oh, Kim So Eun memang percaya. Kim So Eun percaya padanya. Ia tahu Kim Bum tidak seperti kakaknya. Sungguh, ia tahu. Hanya saja... “Bagaimana dengan keluarganya? Bagaimana kalau mereka tahu tentang kejadian itu?” tanyanya. “Tidak, tidak... Aku belum siap.”

Park Ji Yeon meremas pundak kakaknya. “Kau sendiri pasti sudah ribuan kali memikirkan pertanyaan itu selama dua tahun terakhir ini dan aku yakin sampai sekarang kau belum menemukan jawabannya. Apa yang membuatmu berpikir bahwa menunggu satu hari, satu bulan, atau satu tahun lagi akan ada bedanya?”

“Mereka pasti akan membenciku,” gumam Kim So Eun sambil menggeleng, “kalau mereka sampai tahu yang sebenarnya.”

“Kenapa mereka akan membencimu?” tanya Park Ji Yeon heran. “Kim So Eun, bukan kau yang bersalah di sini.”

Kim So Eun tertegun. Ya, Park Ji Yeon benar. Ia tidak bersalah dalam masalah itu. Ia tidak bersalah...

“Tapi dua tahun sudah berlalu,” kata Kim So Eun dengan suara bergetar. “Sudah terlalu lama. Keadaan mungkin sudah berubah. Dia mungkin sudah berubah. Segalanya mungkin sudah terlambat.”

Park Ji Yeon merangkul pundak Kim So Eun dan berkata, “Tapi kau tidak akan tahu sebelum kau mencobanya, bukan? Kalau keadaan memang sudah berubah, kalau dia memang sudah berubah, bukankah lebih baik kau mengetahuinya dengan pasti daripada bertanya-tanya selama sisa hidupmu?”

Kim So Eun menatap Adik Perempuannya dan bertanya-tanya sejak kapan Park Ji Yeon berubah sebijak ini? Tetapi Park Ji Yeon memang jenis orang yang selalu berpikir rasional. Mungkin itu ada hubungannya dengan kegemaran Park Ji Yeon membaca buku. Kim So Eun tahu apa yang dikatakan Park Ji Yeon itu benar.

“Kau tahu aku benar, Eonni,” kata Park Ji Yeon lagi, seolah-olah bisa membaca pikiran Kakaknya.

Kali ini Kim So Eun tersenyum, menghapus air matanya dengan telapak tangan dan mengangguk. “Seperti biasanya, Park Ji Yeon. Kau benar,” katanya. Lalu ia menghela napas dalam-dalam. “Kurasa aku akan menerima pekerjaan itu.”

Park Ji Yeon balas tersenyum. “Bagus kalau begitu. Sekarang ayo kita pergi makan malam. Mereka pasti sudah kelaparan setengah mati karena menunggu kita.”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...