Saat itu waktu makan siang dan Kim Heechul sedang sibuk seperti biasanya di dapur restoran tempat kerjanya. Sebagai kepala koki, Kim Heechul bertugas memastikan semua berjalan lancar dan semua makanan yang keluar dari dapur sudah sempurna.
Kim Heechul yang sedang bekerja dan Kim Heechul yang tidak sedang bekerja sangat berbeda. Ketika sedang bekerja, Kim Heechul teramat sangat serius dan selalu bersikap tegas pada semua anak buahnya, seperti komandan di medan perang. Sementara Kim Heechul yang dikenal teman-temannya di luar urusan pekerjaan adalah pribadi yang sangat lucu, menyenangkan, dan sangat santai.
“Daging dombanya berapa lama lagi?” seru Kim Heechul kepada salah seorang anak buahnya yang sedang mengintip ke dalam oven.
“Tiga menit lagi, Chef,” jawab si anak buah dengan suara lantang.
Kim Heechul menoleh ke sisi lain dan berseru lagi, “Bagaimana dengan risotto-nya?”
Risotto
“Ini dia, Chef.” Dan sepiring risotto diletakkan di depan Kim Heechul untuk diperiksa.
Setelah memasitkan semuanya sudah benar, Kim Heechul membiarkan pelayan restoran membawanya keluar dari dapur.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan Kim Heechul mengumpat. “Siapa lagi yang menelepon di saat seperti ini?” gerutunya pada diri sendiri. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan berkata cepat, “Ya, siapa ini?”
Mendengar suara orang di ujung sana, sikap Kim Heechul langsung berubah. “Tunggu sebentar,” katnaya kepada si penelepon, lalu berseru memanggil salah satu asistennya. “Lee Hong Ki! Gantikan aku sebentar. Ibuku menelepon.”
Lalu Kim Heechul melepaskan celemeknya dan keluar dari dapur yang berisik itu.
Begitu ia tiba di kantor kecilnya, ia menghempaskan diri ke kursi dan berkata, “Ya, Kim Bum. Kita bisa bicara sekarang. Ngomong-ngomong, kau sudah kembali ke Paris?”
“Belum,” sahut Kim Bum di ujung sana. Lalu ia bertanya heran, “Kau bilang aku ibumu?”
Kim Heechul terkekeh. “Biasanya aku tidak menjawab telepon kalau sedang bekerja. Kau tahu sekarang waktunya makan siang? Kami sedang supersibuk di sini.”
“Maafkan aku,” kata Kim Bum. “Aku sudah berusaha menelepon Baek Suzy tadi, tapi dia tidak menjawabnya.”
“Tunggu dulu,” sela Kim Heechul. “Kau menelepon Baek Suzy lebih dulu? Kenapa? Kenapa pilih-pilih kasih seperti ini?”
Kim Bum tertawa hambar. “Yang benar saja. Aku tahu kau pasti sibuk pada jam-jam seperti ini, jadi aku tidak ingin mengganggumu,” Kim Bum menjelaskan. “Tapi berhubung Baek Suzy tidak menjawab telepon, aku terpaksa menghubungimu. Kuharap aku tidak terlalu merepotkan.”
Kim Heechul mengangkat bahu. “Tidak juga,” katanya ringan. “Ada yang mau kau bicarakan?”
Kim Bum ragu sejenak. “Sebenarnya aku ingin meminta bantuanmu.”
“Ini tentang Kim So Eun, bukan?” tebak Kim Heechul.
“Ya. Aku sudah berusaha menghubunginya selama dua hari ini. Tapi dia tidak menjawab teleponku.”
“Aku juga tidak akan menjawab teleponmu kalau aku jadi dia,” timpal Kim Heechul.
“Tapi kenapa? Ada apa? Apa yang sudah kulakukan?” tanya Kim Bum tidak mengerti. “Jangan katakan padaku ini karena Park Shin Hye.”
“Mm-hmm,” gumam Kim Heechul membenarkan. “Kim Bum, asal kau tahu, dia sangat marah. Dan aku tidak menyalahkannya.”
“Tapi bukan aku yang menyuruh Park Shin Hye ke sini. Aku juga tidak menyuruhnya menjawab teleponku,” kata Kim Bum cepat. “Dan sekarang Kim So Eun tidak mau bicara denganku gara-gara itu?”
“Kata Park Shin Hye, kau mau mengajaknya ke suatu tempat setelah makan malam waktu itu,” kata Kim Heechul datar.
“Ya, itu memang benar,” kata Kim Bum, lalu cepat-cepat menambahkan, “tapi itu karena katanya dia sedang menulis artikel tentang tempat-tempat menarik di Delstress Dragons. Karena dia sudah berbaik hati mentraktir kami semua makan malam, kupikir aku bisa berterima kasih kepadanya dengan menunjukkan beberapa tempat menarik di Visigoth yang mungkin bisa menjadi bahan yang berguna untuk artikelnya.” Ia terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada tidak percaya. “Tapi kenapa aku menjelaskan semua ini kepadamu?”
Kim Heechul terkekeh. “Karena kau ingin meminta bantuanku?”
Kim Bum mendesah berat. “Dan asal kau tahu, kami tidak pergi berdua. Seorang temanku yang sepertinya tertarik pada Park Shin Hye juga ikut dengan kami.”
“Park Shin Hye mengira kau mulai menyukainya.”
“Aku? Apa?” Kim Bum terdengar kaget. “Dan apakah Kim So Eun juga berpikir begitu?”
Kim Heechul mengangkat bahu, walaupun Kim Bum tidak bisa melihatnya. “Aku baru tahu ternyata dia bisa cemburu juga,” gumamnya lirih, lebih pada diri sendiri, lalu tertawa kecil.
Kim Bum tidak mendengarnya. “Apa katamu?”
“Tidak apa-apa,” sahut Kim Heechul cepat. “Jadi katakan apa yang bisa kubantu?”
* * *
Malam itu Kim So Eun masuk ke kamarnya, menjatuhkan tasnya ke lantai dan langsung merebahkan diri ke atas tempat tidur. Ia menggigit bibir dan menatap langit-langit kamar. Ia mulai merasa reaksinya terlalu berlebihan malam itu, malah ketika Park Shin Hye menjawab telepon Kim Bum. Seharusnya ia tidak bereaksi seperti itu. Seharusnya ia tidak menolak menjawab telepon Kim Bum ketika laki-laki itu meneleponnya.
Bagaimanapun juga, ia tidak berhak merasa cemburu. Kim Bum bebas melakukan apa pun yang diinginkannya. Ia juga bebas bersama siapa pun yang diinginkannya. Bebas menyukai siapa pun yang diinginkannya.
Tetapi kenapa pikiran itu malah membuat Kim So Eun sendiri lesu?
Ia bangkit dan berjalan ke lemari pakaiannya. Saat itu matanya menatap secarik kertas kecil berwarna kuning yang ditempelkan di cermin meja riasnya. Ia mencabut kertas itu dan membacanya.
Periksa e-mail-mu. Kim Heechul.
Alis Kim So Eun berkerut heran. Apa lagi ini? pikirnya, namun ia menghampiri meja tulis dan menyalakan laptop-nya. Tidak lama kemudian ia sudah masuk ke inbox email-nya. Seseorang mengirimkan video file untuknya. Berharap itu bukan semacam virus, Kim So Eun membuka file di sana.
Sejenak kemudian ia mengerjap kaget menatap gambar yang muncul di layer laptop. Danau dengan permukaan air berwarna biru yang tenang, padang rumput hijau yang terbentang luas, diselingi pepohanan dan berlatar belakang bukit hijau gelap. Langit terlihat biru jernih dan ia bisa mendengar gemeresik dedaunan yang ditiup angin. Ia juga nyaris bisa merasakan tiupan angin di wajahnya. Tempat apa itu?
Tiba-tiba terdengar suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya. “Indah, bukan? Selamat datang di Soffel Lake.” Lalu pemandangan itu bergerak ketika kamera dialihkan dan mata Kim So Eun melebar ketika wajah Kim Bum memenuhi layer laptop-nya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia melihat wajah Kim Bum.
Kim Bum tersenyum lebar ke arah kamera dan berkata, “Apakah kau tahu bahwa Soffel Lake sering dianggap sebagai danau terindah di antara seluruh danau di dunia? Kemarin kami melakukan pengambilan gambar di sini. Aku tahu kau pasti menyukai pemandangan ini, jadi hari ini aku kembali ke sini untuk menunjukkannya kepadamu.”
Kim Bum kembali mengarahkan kameranya ke sekelilingnya, menunjukkan seluruh pemandangan indah yang terbentang di hadapannya. Dan saat itu Kim So Eun juga merasa seolah-olah ia ada di sana, berdiri di samping Kim Bum, melihat pemandangan itu dengan mata kepalanya sendiri, meraskaan angin menerpa wajahnya. Ia mengangkat kedua kaki ke atas kursi dan memeluk lutut. Seulas senyum tersungging di bibirnya.
Wajah Kim Bum kembali terlihat di layar. Ia mendongak menatap langit biru sambil menaungi mata dengan sebelah tangan yang tidak memegang kamera.
Rambutnya acak-acakan tertiup angin. Kemudian ia kembali menatap kamera dan menyunggingkan senyum lebar yang membuat jantung Kim So Eun berdebar dua kali lebih cepat. “Lain kali aku pasti akan mengajakmu ke sini supaya kau bisa melihatnya sendiri,” katanya. “Sekarang pegang tanganku. Aku akan mengajakmu berkencan hari ini, Kim So Eun. Jadi kuharap kau bersedia menikmati hari yang indah ini bersamaku.”
Senyum Kim So Eun melebar. “Sangat kreatif,” gumamnya lirih.
Dan ia hampir lupa bernapas ketika ia melihat semua pemandangan indah yang direkam Kim Bum. Kim Bum membawanya dari Green Valley yang merupakan tanah pertanian hijau di sebelah selatan Cockermouth, lalu ke Cochomouth Lake, sampai ke Brownfull yang begitu indah, membuat tenggorokan Kim So Eun tercekat.
Jelas sekali Kim Bum tidak merekam semua gambar itu dalam satu hari. Kim So Eun yakin laki-laki itu pasti melakukannya di waktu luangnya yang terbatas. Kesadaran bahwa Kim Bum telah menyempatkan diri merencanakan semua itu untuknya membuatnya tersentuh. Sangat tersentuh.
Wajah Kim Bum yang ceria kembali terlihat di layer. “Bagaimana menurutmu?
Kau suka?”
Kim So Eun tersenyum. “Sangat,” gumamnya pelan.
“Aku benar-benar berharap kau ada di sini bersamaku sekarang.” Kim Bum mendesah dan memandang berkeliling, lalu kembali menatap kamera. Menatap Kim So Eun. “Kau tahu, aku menyadari sesuatu selama berada di sini,” katanya irngan. Ia masih tersenyum, namun ada kesan sungguh-sungguh dalam suaranya. “Aku rindu padamu.”
Kim So Eun mengerjap kaget dan menahan napas. Oh, Tuhan... Suasana di sekelilingnya mendadak sunyi senyap. Hanya debar jantungnya sendiri yang terdengar olehnya.
“Kurasa aku sudah terbiasa selalu melihatmu, jadi kalau kau tidak ada, aku merasa agak aneh. Seolah-olah ada sesuatu yang... salah,” Kim Bum melanjutkan dengan nada merenung. Lalu ia tertawa kecil. “Astaga, kurasa aku mulai meracau. Baiklah, kuharap kau menikmati kencan kita hari ini. Sampai jumpa lagi di Paris.”
Selama dua menit penuh setelah video itu berakhir, Kim So Eun masih duduk diam di depan laptop-nya.
Aku menyadari sesuatu selama aku berada di sini. Aku rindu padamu.
Kata-kata Kim Bum masih terngiang-ngiang di telinganya. Dan kata-kata itu kini membuat seulas senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Ia melirik ponsel yang tergeletak di meja. Setelah ragu sedetik, ia membulatkan tekad, meraih ponsel itu dan menekan nomor Kim Bum.
Kali ini Kim Bum menjawab pada dering pertama dan suara yang kini disadari Kim So Eun sangat dirindukannya itu langsung bertanya, “Kim So Eun?”
“Mmm,” gumam Kim So Eun. “Ini aku.”
Kim So Eun bisa mendengar Kim Bum menghembuskan napas dengan perlahan.
“Apakah kau menikmati acara jalan-jalan kita?”
Kim So Eun tersenyum. “Bagaimana kau bisa tahu aku sudah melihat videonya?”
“Aku punya informan tepercaya.”
Informan tepercaya? Kim So Eun melirik pesan dari Kim Heechul yang kini tergeletak di mejanya.
“Jadi, Kim So Eun, kau sudah tidak marah padaku?” tanya Kim Bum. Suaranya terdengar ragu, sama sekali tidak seperti yang dikenal Kim So Eun.
Kim So Eun mendengus. “Aku tidak marah padamu.” Bagaimanapun juga ia tidak mungkin mengakui bahwa ia tidak suka dengan kenyataan bahwa Park Shin Hye menjawab ponsel Kim Bum, bahwa Kim Bum ingin mengajak Park Shin Hye ke suatu tempat, bahwa mereka makan malam bersama, bahwa Park Shin Hye bisa melihat Kim Bum sementara Kim So Eun sendiri tidak bisa. Bahwa Park Shin Hye yakin Kim Bum mulai menyukainya.
Kim Bum terkekeh. “Suaramu terdengar marah.”
“Aku tidak marah.”
“Baiklah, baiklah. Kalau begitu, aku senang mendengarnya,” kata Kim Bum cepat. Ia terdiam sejenak, lalu bertanya pelan, “Bagaimana keadaanmu, Kim So Eun?”
“Aku baik-baik saja,” gumam Kim So Eun. “Kau sendiri?”
“Sudah lebih baik,” sahut Kim Bum.
Alis Kim So Eun terangkat. “Apa maksudmu? Kau sakit lagi?”
“Tidak, tidak,” sela Kim Bum cepat, lalu tertawa kecil. “Tidak bertemu denganmu selama ini sudah cukup membuatku gelisah. Ditambah dengan kau yang tidak mau berbicara denganku selama dua hari terakhir ini...” Ia menghela napas sejenak. “Tapi sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik. Karena aku sudah mendengar suaramu.”
Seperti yang sudah sering dialaminya akhir-akhir ini seitap kali berada di dekat Kim Bum dan setiap kali ia menatap Kim Bum, jantung Kim So Eun pun kembali berdebar kencang.
* * *
Kim Bum sedang duduk melamun di antara para rekan kerjanya di sebuah pub kecil di Visigoth ketika ponselnya berdering. Ia tersentak dan cepat-cepat menjawab tanpa melihat siapa yang menelepon. “Kim So Eun?” tanyanya langsung sambil bangkit dan berjalan keluar dari kedai. Ia sama sekali tidak menyadari Song Chang Ui yang menatapnya sambil tersenyum kecil dan menggeleng-geleng.
“Mmm, ini aku.”
Kim Bum bisa merasakan kelegaan menjalari dirinya begitu ia mendengar suara Kim So Eun di ujung sana. Ia tahu Kim So Eun sudah melihat video yang dikirimnya. Kim Heechul yang memberitahunya beberapa saat yang lalu.
Tidak melihat gadis itu selama beberapa hari saja sudah cukup membuatnya uring-uringan. Dan dua hari terakhir ini benar-benar menguji kesabarannya, bahkan Song Chang Ui sampai kebingungan menghadapinya. Penyebabnya? Kim So Eun yang tiba-tiba menghindarinya, menolak menjawab teleponnya. Dan yang paling buruk adalah Kim Bum tidak tahu alasannya, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tidak tahu sejak kapan, ia tidak tahu kenapa, dan ia juga tidak tahu bagaimana, tetapi ia tahu Kim So Eun sangat berpengaruh pada ketenangan jiwanya.
Kim Bum berdiri di teras pub kecil itu dan menghela napas dalam-dalam. Tangan kirinya yang tidak memegang ponsel dijejalkan ke dalam saku celana. Setelah ragu sejenak, ia bertanya dengan pelan, “Jadi, Kim So Eun, kau sudah tidak marah padaku?”
“Aku tidak marah padamu.”
Kim Bum tertawa pendek. “Suaramu terdengar marah.”
“Aku tidak marah.”
Kim Bum pun tidak mendesak lagi. Akhirnya ia bertanya, “Bagaimana keadaanmu, Kim So Eun?”
Kim So Eun menjawab ringan, “Aku baik-baik saja. Kau sendiri?”
“Sudah lebih baik,” sahut Kim Bum. Ya, ia sudah merasa jauh lebih baik. Karena ia sudah mendengar suara gadis itu. Karena gadis itu tidak lagi marah padanya.
Tetapi suara Kim So Eun terdengar khawatir. “Apa maksudmu? Kau sakit lagi?”
“Tidak, tidak,” sela Kim Bum cepat dan tertawa, merasa senang karena Kim So Eun ternyata mencemaskannya. Itu bisa dianggap sesuatu yang bagus, bukan? “Tidak bertemu denganmu selama ini sudah cukup membuatku gelisah. Ditambah dengan kau yang tidak mau berbicara denganku selama dua hari terakhir ini...” Ia menghela napas sejenak. “Tapi sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik. Karena aku sudah mendengar suaramu.”
Kim So Eun tidak menjawab. Kim Bum bertanya-tanya apakah ia sudah membuat gadis itu terkejut. Apakah Kim So Eun akan kembali menarik diri? Apakah kata-katanya tadi akan membuat Kim So Eun kembali menjaga jarak? Karena walaupun Kim So Eun tidak pernah berkata apa-apa, Kim Bum tahu gadis itu selalu menjaga jarak dengan laki-laki.
Laki-laki mana pun. Dan walaupun Kim So Eun tidak pernah berkata apa-apa, Kim Bum yakin penyebabnya bukan karena Kim So Eun gadis pemalu. Pasti pernah terjadi sesuatu yang membuat Kim So Eun bersikap seperti ini. Kim Bum ingin tahu apa yang terjadi. Ia ingin mengetahui semua yang bisa diketahuinya tentang Kim So Eun. Hanya saja ia tidak tahu caranya.
“Kim So Eun?” panggil Kim Bum ragu. Semoga saja Kim So Eun tidak langsung menutup telepon. Kalau itu terjadi, Kim Bum tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
“Aku masih di sini,” kata Kim So Eun.
Dengan pelan Kim Bum menghembuskan napas yang ditahannya. Astaga, ia tidak pernah segugup ini seumur hidupnya, baik dalam urusan pekerjaan atau ketika menghadapi wanita mana pun. Kenapa gadis yang satu ini membuatnya selalu merasa gugup, selalu bertanya-tanya, selalu ragu? Ia tidak pernah seperti ini. Sungguh. Ini tidak normal.
“Kau harus tahu, tidak ada yang terjadi. Maksudku, antara aku dan Park Shin Hye,” kata Kim Bum pada akhirnya.
Hening sejenak, lalu terdengar, “Mmm.”
“Kau percaya padaku, bukan?” tanya Kim Bum.
“Tentu saja,” sahut Kim So Eun cepat, tetapi bagi Kim Bum suara gadis itu tidak terdengar meyakinkan. “Kau sedang di mana?”
Kim Bum menoleh ke arah jendela pub dan melihat teman-temannya masih sibuk mengobrol dan tertawa di dalam. “Di pub. Bersenang-senang sedikit setelah hari yang panjang dan melelahkan.”
“Dia ada di sana bersamamu?”
Kim Bum tersenyum kecil, tidak bisa menahan diri. “Siapa?”
Hening sejenak, lalu Kim So Eun bergumam, “Park Shin Hye.”
Senyum Kim Bum melebar. “Tidak,” sahutnya singkat. Ia tidak berkata bahwa siang tadi ia kebetulan bertemu dengan Park Shin Hye. Ia juga tidak berkata bahwa Park Shin Hye memang berencana akan bergabung dengan mereka di pub ini. Bagaimanapun juga, bukan Kim Bum yang mengundang gadis itu ke sini. Park Shin Hye sendiri yang kebetulan mendengar bahwa Kim Bum dan teman-temannya akan berkumpul di pub lalu menyatakan bahwa ia juga ingin bergabung.
“Begitu?” gumam Kim So Eun. Lalu tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan. Nada suaranya pun berubah lebih ringan. “Baiklah kalau begitu. Aku tidak akan mengganggumu lebih lama lagi. Oh, dan terima kasih untuk videonya. Aku sangat menyukainya.”
“Terima kasih karena sudah berkencan denganku hari ini,” balas Kim Bum.
“Dan, Kim Bum,” kata Kim So Eun lagi ketika Kim Bum hendak menutup telepon, “aku juga senang mendengar suaramu.”
Dan tiba-tiba saja, begitu mendengar kata-kata sederhana yang diucapkan dengan pelan itu, Kim Bum merasa hatinya berubah ringan dan melambung tinggi. Ia juga mendapati dirinya tidak bisa berhenti tersenyum, bahkan lama setelah Kim So Eun menutup telepon.
Saat itu ia teringat pada kata-kata yang pernah diucapkan Kim So Eun.
Aku... memang merasakan sesuatu, tapi bukan... bukan untuk Kim Heechul.
Kim Bum tidak tahu apakah ia berani berharap atau tidak.
* * *
Park Shin Hye kembali bersandar di dinding samping pub. Kim Bum sudah kembali ke dalam pub, sama sekali tidak sadar bahwa Park Shin Hye sudah mendengar semua yang dikatakannya. Sebenarnya Park Shin Hye tidak menguping dengan sengaja. Ia baru saja akan berbelok ke pub itu ketika mendengar suara rendah Kim Bum yang berkata, “Tapi sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik. Karena aku sudah mendengar suaramu.”
Kata-kata yang diucapkan dengan pelan dan serius itu membuat Park Shin Hye menghentikan langkah. Ia belum pernah mendengar Kim Bum berbicara dengan nada lembut seperti itu. Penasaran dengan orang yang sedang berbicara dengan Kim Bum, Park Shin Hye bersandar di dinding samping pub. Ternyata Kim Bum sedang berbicara di ponselnya. Tapi dengan siapa? Pertanyaan itu langsung terjawab karena kata yang diucapkan Kim Bum selanjutnya adalah, “Kim So Eun?”
Park Shin Hye mengerutkan kening. Lalu perlahan-lahan seulas senyum muram muncul di bibirnya. Sebenarnya ia sudah menduganya. Sejak hari itu di flat Kim Bum. Ia sudah melihat cara Kim Bum menatap Kim So Eun. Dan cara Kim Bum menangkup kepala Kim So Eun dan berbicara pelan kepadanya ketika Park Shin Hye dan Kim So Eun hendak pulang.
Namun saat itu Park Shin Hye menolak memikirkannya. Sama seperti sekarang. Ia sama sekali belum ingin mundur. Kim Bum mungkin menyukai Kim So Eun, tapi Kim So Eun belum tentu menyukai Kim Bum. Park Shin Hye mengenal temannya dengan baik. Kim So Eun bukan tipe wanita yang mudah didekati. Malah Park Shin Hye selalu melihat Kim So Eun menjauhi laki-laki.
Jadi Park Shin Hye masih memiliki kesempatan.
Seperti kata orang-orang, segalanya sah dalam perang dan cinta.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar