Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 13 Agustus 2011

Spring Love (Chapter 10)



“Dia benar-benar seperti yang kau gambarkan, Baek Suzy.”

Kim So Eun menyesap Cappucino-nya sambil tersenyum. Kim Heechul sudah mengulang-ulang kalimat itu setidaknya delapan kali sejak Kim Bum meninggalkan flat mereka kemarin malam sampai pagi ini ketika mereka bertiga berkumpul di dapur kecil mereka.

“Dia benar-benar tipeku,” tambah Kim Heechul lagi sambil menggoreng telur.

“Singkirkan mimpi itu sebelum kau patah hati,” Baek Suzy menyarankan acuh tak acuh dan menguap lebar. Lalu ia menoleh ke arah Kim So Eun. “Ngomong-ngomong, kau harus mengajaknya menonton pertunjukanku nanti. Ini pertunjukan pertama di mana aku mendapat peran utama.”

Tepat pada saat itu terdengar bel pintu berbunyi.

“Siapa lagi yang datang pagi-pagi begini?” gerutu Kim Heechul. “Kalian sedang menunggu seseorang?”

Baek Suzy bangkit dan berjalan ke pintu dengan langkah terseok-seok. Terdengar pintu terbuka, lalu terdengar suara Baek Suzy yang berkata, “Oh, Park Shin Hye. Masuklah!”

Kim So Eun mengangkat wajah dan mengerjap. Park Shin Hye? Dan ia teringat bahwa ia belum bercerita kepada Kim Heechul dan Baek Suzy tentang kejadian antara dirinya, Park Shin Hye dan Kim Bum kemarin.

“Selamat pagi, semuanya,” sapa Park Shin Hye ketika ia muncul di dapur.

“Hei, Park Shin Hye,” sapa Kim Heechul sambil melambaikan sebelah tangan.

“Kim So Eun, aku ke sini untuk meminta pendapatmu tentang ini,” kata Park Shin Hye kepada Kim So Eun sambil tersenyum cerah. Ia mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam mapnya dan mengacungkannya di depan wajah Kim So Eun. Dua-duanya adalah foto salah seorang aktris Perancis yang sedang populer saat ini, namun dalam pose dan pakaian yang berbeda. “Salah satu dari kedua foto ini akan menjadi sampul depan majalah kita untuk edisi mendatang. Aku benar-benar tidak tahu yang mana yang harus kupilih, jadi aku datang meminta pendapatmu.”

Kim So Eun menatap kedua foto di depannya dan mendesah dalam hati. Sebenarnya siapa yang menjadi pemimpin redaksi di sini? Ia tidak keberatan membantu teman, tetapi karena kejadian ini terus berulang, ia mulai bertanya-tanya apakah selama ini dirinya sudah diperalat tanpa disadari.

“Park Shin Hye, kau juga harus datang menonton pertunjukanku nanti. Ini pertunjukan besar pertamaku,” kata Baek Suzy yang menyusulnya ke dapur, kembali duduk di tempatnya semula.

“Tentu saja,” sahut Park Shin Hye, “kalau aku tidak punya acara penting. Kapan pertunjukanmu itu?”

“Dua minggu lagi,” kata Baek Suzy, lalu kembali menoleh ke arah Kim So Eun. “Lalu kapan kau akan mengajak Kim Bum ke pertunjukanku?”

Kim So Eun melotot ke arah Baek Suzy, tetapi sudah terlambat. Mata Park Shin Hye mengerjap dan terarah pada Baek Suzy. “Maksudmu Kim Bum temanmu yang kemarin itu?”

Kim Heechul berbalik dari kompor dan meletakkan sepiring telur di atas meja. “Kau mengenalnya?” ia balas bertanya.

Kim So Eun menyesap Cappucino-nya tanpa berkomentar sementara Park Shin Hye menceritakan kejadian kemarin siang kepada mereka. Ia menceritakan semuanya. Semuanya. Tanpa melewatkan detail kecil apa pun. Semuanya. Tentang bagaimana ibunya dan ibu Kim Bum berusaha menjodohkan mereka berdua, tentang Kim Bum yang mengajaknya makan siang bersama, tentang bagaimana mereka langsung cocok, bla bla bla.

Kim So Eun menyadari lirikan tajam yang dilemparkan Baek Suzy dan Kim Heechul ke arahnya, tetapi ia pura-pura tidak peduli. Ia tahu apa yang ingin ditanyakan teman-temannya itu, tetapi tidak tahu bagaimana menjawabnya, bagaimana menjelaskannya. Ini bukan salahnya. Park Shin Hye sendiri yang langsung menyerbu masuk tanpa bertanya ataupun meminta izin. Kalau sudah begitu, apa yang bisa Kim So Eun lakukan?

“Dan kalau kau mau mengajak Kim Bum, aku bisa meneleponnya,” kata Park Shin Hye di akhir penjelasannya.

Namun sebelum Park Shin Hye menyelesaikan ucapannya, Kim So Eun sudah masuk ke dalam kamar, meraih ponsel dan menekan nomor Kim Bum.

* * *

Kim Bum masih berbaring di tempat tidur ketika ponselnya berdering. Ia mengerang pelan, tapi langsung terbatuk-batuk. Ia memaksa dirinya bangkit duduk dengan susah payah dan meraih ponsel yang tergeletak di meja di samping tempat tidur.

“Halo?” gumamnya serak, dan kembali terbatuk-batuk.

“Ada apa denganmu?”

Walaupun kepalanya terasa berat dan seluruh tubuhnya lemas, Kim Bum masih bisa tersenyum mendengar suara Kim So Eun yang bernada cemas bercampur curiga.

“Aku tidak tahu,” gumam Kim Bum pelan. “Badanku panas dan lemas, tenggorokanku sakit, dan kepalaku serasa seperti batu. Sudah begini sejak aku bangun tadi pagi.”

“Kemarin kau baik-baik saja,” kata Kim So Eun lagi. Ia terdiam sejenak, lalu bertanya ragu, “Apakah gara-gara sesuatu yang kaumakan di tempatku kemarin malam?”

Kim Bum kembali berbaring dan memejamkan mata, berharap rasa pusingnya bisa berkurang. “Tidak. Aku yakin bukan itu,” sahut Kim Bum. “Aku rasa aku tertular salah seorang rekan kerjaku di kantor.”

“Kau sudah ke dokter? Minum obat?” tanya Kim So Eun.

Kim Bum menggeleng walaupun ia tahu Kim So Eun tidak bisa melihatnya. “Nanti saja. Terlalu lemas untuk bangun. Aku mau berbaring sebentar.”

Jeda sejenak di ujung sana, lalu Kim So Eun bertanya, “Kau... kau mau aku pergi ke sana?”

“Kau akan datang kalau kuminta?” Kim Bum balas bertanya.

“Ya... tentu saja. Kalau kau mau.”

Kim Bum tersenyum tipis. Kim So Eun bahkan tidak berhasil menyingkirkan keraguan dari nada suaranya. Selama Kim Bum mengenal Kim So Eun, ia sudah berhasil mengetahui beberapa hal tentang diri gadis itu.

Pertama, Kim So Eun selalu bersikap was-was di depan laki-laki. Hal ini membuat Kim Bum lega karena itu berarti Kim So Eun tidak bersikap gugup dan resah hanya di depan Kim Bum. Namun hal itu juga menimbulkan pertanyaan lain: Kenapa Kim So Eun enggan berhubungan dengan laki-laki? Walaupun hubungan mereka sudah mengalami banyak kemajuan kalau dibandingkan dengan pertemuan pertama mereka, Kim Bum merasa Kim So Eun masih menahan diri.

Hal kedua yang disadari Kim Bum adalah Kim So Eun masih tidak suka disentuh. Dan sampai sekarang Kim Bum masih belum tahu alasannya.

“Terima kasih, tapi itu tidak perlu,” kata Kim Bum pada akhirnya. Ia tahu Kim So Eun akan datang kalau ia memintanya, tetapi ia tidak ingin memaksa gadis itu. Ia ingin Kim So Eun membuka diri atas pilihannya sendiri. “Aku yakin ada obat di sekitar sini.

Aku hanya akan tidur sebentar. Setelah itu aku berjanji aku akan minum obat. Dan aku yakin setelah itu aku akan sembuh. Tenang saja.”

“Kau akan meneleponku kalau kau membutuhkan sesuatu?” tanya Kim So Eun.

Suaranya masih terdengar cemas.

“Tentu saja.”

“Kalau begitu aku tidak akan mengganggumu lagi. Istirahatlah. Jangan lupa telepon aku kalau ada apa-apa.”

“Kau orang pertama yang akan kuhubungi.”

Setelah menutup telepon, Kim Bum terbatuk-batuk sebentar sambil kembali meringkuk di balik selimut. Ini benar-benar menyebalkan. Ia tidak suka merasa sakit dan merasa tak berdaya seperti ini. Ia benar-benar harus mencari obat. Dan kalau ia masih belum membaik setelah minum obat, ia sudah pasti harus ke dokter.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi lagi. Kim Bum mengerang dan berpikir seharusnya ia mematikan ponselnya saja seharian ini supaya bisa beristirahat dengan tenang. Ia meraba-raba ranjang mencari ponsel yang tadi dilepaskannya begitu saja.

Mengangkat ponsel ke telinga saja membutuhkan segenap kekuatannya.

“Ya?” gumamnya pendek. Dua detik kemudian matanya terbuka. “Oh, Park Shin Hye?”

* * *

Siang itu Kim So Eun masih merasa khawatir. Ia ingin menelepon Kim Bum tetapi takut mengganggu istirahat laki-laki itu. Selama beberapa menit terakhir, ia duduk di meja tulisnya yang menghadap jendela di kamar tidurnya. Ia tidak punya jadwal kerja hari ini. Ia memang sengaja mengatur agar hari ini ia bisa berlibur. Sudah lama ia ingin pergi ke kota untuk melihat-lihat dan berbelanja, namun tentu saja ia tidak bisa menikmati acara belanjanya kalau terus memikirkan Kim Bum.

Ia sedang memutuskan apa yang sebaiknya dilakukannya keika ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ia melirik layar ponsel yang tergeletak di meja dan cepat-cepat menjawabnya. “Kim Bum?”

“Kau bisa datang ke sini?” Suara Kim Bum terdengar lirih dan lemah. Napasnya juga terdengar berat, seolah-olah butuh usaha besar hanya untuk berbicara.

“Tolonglah... Tolong datang ke sini.”

Kini Kim So Eun sama sekali tidak ragu. Keraguan apa pun yang tadi pagi masih ada langsung digantikan oleh rasa panik dan cemas. Ia langsung melompat berdiri dari kursi dan berkata, “Aku akan segera ke sana.”

Tidak terlalu lama kemudian, Kim So Eun sudah berdiri di depan pintu flat Kim Bum di New Beat. Ia membunyikan bel dan menunggu dengan tidak sabar. Tetapi matanya melebar kaget ketika pintu terbuka dan ia melihat siapa yang berdiri di sana.

“Park Shin Hye?”

Park Shin Hye yang membuka pintu dari dalam juga terlihat heran. “Oh, Kim So Eun?”

Sesaat Kim So Eun tidak bisa berkata-kata. Kepanikan dan kecemasannya selama perjalanan ke sini memudar sedikit dan digantikan sesuatu yang tidak bisa diartikannya. Kenapa Park Shin Hye ada di dalam flat Kim Bum? Sedang apa dia di sana? Ada apa ini? Semua pertanyaan itu simpang siur dalam benak Kim So Eun. Namun satu hal yang disadarinya. Ia tidak suka melihat Park Shin Hye di sana, di flat Kim Bum.

Lalu mata Kim So Eun beralih ke arah sosok Kim Bum muncul di belakang Park Shin Hye. “Kau sudah datang,” kata Kim Bum. Suaranya terdengar lega.

Penampilan Kim Bum benar-benar kacau. Wajahnya pucat pasi, bibirnya kering, rambutnya acak-acakan. Kaus hitam lengan panjang dan celana panjang putihnya terlihat kusut. Ia terlihat lemah dan sakit.

Banyak hal yang berkelebat dalam benak Kim So Eun, namun begitu melihat Kim Bum, hanya satu hal yang terpikirkan olehnya. “Kenapa kau tidak berbaring dan beristirahat?” tanyanya dengan alis berkerut.

Kim Bum mengayunkan tangan dengan lemah. ”Masuklah dulu dan setelah itu kau boleh mengomeliku.”

Kim So Eun melangkah masuk dan menoleh ke arah Park Shin Hye. “Park Shin Hye, kenapa kau ada di sini?” tanyanya sambil berusaha menjaga suaranya terdengar ringan.

Park Shin Hye tersenyum. “Tadi aku menelepon Kim Bum untuk mengajaknya ke pertunjukan Baek Suzy dan dia bilang dia sedang sakit. Jadi aku langsung datang untuk menawarkan bantuan.”

“Oh, begitu,” gumam Kim So Eun, tidak tahu lagi harus berpikir apa. Seharusnya ia melakukan apa yang dilakukan Park Shin Hye. Seharusnya ia juga langsung datang ketika mendengar Kim Bum sedang sakit. Bagaimanapun juga, Kim Bum adalah temannya dan seharusnya ia tidak ragu-ragu membantu teman yang sedang sakit. Ia menoleh ke arah Kim Bum dan bergumam, “Maafkan aku karena baru datang.”

Kim Bum berdiri bersandar di dinding. Tangannya mencengkeram pinggiran meja kecil di samping pintu. Ia terlihat sangat lemah, tapi ia masih bisa tersenyum kepada Kim So Eun.

“Sebaiknya kau duduk,”kata Kim So Eun kepada Kim Bum.

Kim Bum menurut tanpa membantah. Ia berjalan masuk ke ruang duduk, diikuti Kim So Eun dan Park Shin Hye, lalu menghempaskan diri ke salah satu sofa. Jelas sekali ia lega karena tidak perlu berdiri lebih lama lagi.

“Park Shin Hye,” gumamnya sambil mengayunkan tangan ke arah Park Shin Hye, “sudah sangat baik karena sudah membantuku sejak pagi tadi walaupun aku tahu dia pasti sangat sibuk.”

Kim So Eun menoleh ke arah Park Shin Hye dan temannya tersenyum lebar. “Aku tidak keberatan membantu. Dan kalau aku tidak masuk kantor sehari, tidak akan terjadi bencana,” sahut Park Shin Hye, lalu menatap Kim Bum. “Lagi pula, aku tidak mungkin meninggalkanmu sendirian di sini. Bagaimana kalau kau membutuhkan sesuatu?”

Kim Bum mengangguk. “Mungkin kau benar. Tapi karena sekarang Kim So Eun sudah ada di sini, aku yakin dia bisa menemaniku dan memastikan aku tidak jatuh pingsan atau semacamnya. Lagi pula hari ini dia tidak punya jadwal kerja, jadi dia pasti tidak keberatan.” Ia mendongak menatap Kim So Eun yang berdiri di sampingnya. “Kau tidak keberatan, bukan?”

Kim So Eun mengalihkan tatapannya dari Park Shin Hye dan menunduk menatap Kim Bum.

“Tentu saja tidak.”

Park Shin Hye menatap mereka berdua bergantian, lalu mengangkat bahu. “Baiklah kalau begitu,” katanya ringan. Lalu ia menoleh ke arah Kim So Eun dan menambahkan, “Aku senang kau bisa datang dan menjaga Kim Bum. Terima kasih.”

Kim So Eun mengerjap. Apakah hanya perasaannya atau apakah Park Shin Hye benar-benar berbicara dengan nada seolah-olah Kim Bum adalah tanggung jawabnya dan Kim So Eun hanyalah seseorang yang diminta datang untuk membantu?

“Tentu saja,” gumam Kim So Eun singkat.

“Kau bisa meneleponku kapan saja kau butuh sesuatu,” kata Park Shin Hye sementara ia mengumpulkan barang-barangnya.

“Terima kasih banyak, Park Shin Hye. Kau benar-benar baik,” kata Kim Bum sambil tersenyum lemah.

Setelah Park Shin Hye pergi dan Kim So Eun menutup pintu, Kim So Eun berdiri sejenak di sana, cemberut ke arah pintu. Lalu ia berbalik dan berjalan kembali ke ruang duduk.

“Aku mau berbaring sebentar,” gumam Kim Bum lelah. “Kau boleh... entahlah... ya, anggap saja rumah sendiri.”

Kim So Eun ragu sejenak, menatap Kim Bum yang mencoba berdiri dengan agak terhuyung. Akhirnya ia mengambil keputusan. Ia menghampiri Kim Bum yang berjalan terseok-seok ke kamar sambil berpegangan pada dinding. “Biar kubantu,” katanya sambil memegang lengan Kim Bum.

Kim Bum berhenti melangkah dan menunduk menatap Kim So Eun, lalu matanya beralih ke tangan Kim So Eun yang memegang lengannya. Kim So Eun bisa melihat kebingungan di mata Kim Bum yang agak merah.

Kim So Eun menatap mata Kim Bum lurus-lurus dan berkata tegas, “Kau bisa jatuh kalau tidak dibantu.”

Kim Bum mengerjap, lalu mengangguk lemah. “Ya... ya, kurasa kau benar.”

Kim So Eun membantunya masuk ke dalam kamar dan menyelimutinya. Karena Kim Bum tidak berselera makan, Kim So Eun harus memaksanya makan biskuit sedikit sebelum minum obat. “Kau terlihat kacau,” kata Kim So Eun ketika Kim Bum sudah berbaring kembali di temapt tidur setelah minum obat.

“Aku memang merasa kacau,” gumam Kim Bum. “Aku hanya butuh tidur sebentar. Aku akan merasa lebih baik setelah bangun nanti.”

“Baiklah,” kata Kim So Eun sambil mengumpulkan botol obat dan gelas-gelas kosong di meja di samping tempat tidur. “Tidur saja.”

“Ngomong-ngomong, kenapa kau meneleponku tadi pagi?” tanya Kim Bum tiba-tiba.

“Tadi pagi?” gumam Kim So Eun sambil mengingat-ingat. “Ah, itu... Aku ingin memberitahumu bahwa Baek Suzy ingin mengundangmu ke pertunjukan perdananya. Katanya dia mendapat peran yang penting kali ini. Kau akan datang, bukan?”

“Tentu saja. Kapan pertunjukannya?”

“Masih dua minggu lagi.”

“Kau akan pergi bersamaku?”

Sebelah alis Kim So Eun terangkat sedikit, lalu ia mengangkat bahu. “Kalau kau mau.”

“Baiklah kalau begitu,” gumam Kim Bum dan memejamkan mata.

Ketika sepertinya Kim Bum tidak akan berbicara lebih banyak lagi, Kim So Eun berputar dan berjalan dengan langkah pelan ke pintu.

“Aku tidak menyuruhnya datang ke sini,” gumam Kim Bum tiba-tiba.

Kim So Eun berhenti melangkah dan berbalik kembali. “Ya?”

Kim Bum tidak bergerak di tempat tidurnya, juga tidak membuka mata. “Park Shin Hye,” katanya. “Aku tidak menyuruhnya datang ke sini. Dia datang sendiri setelah mendengar aku sakit.”

Kim So Eun mengerjap. “Oh.”

“Dan aku tidak bisa tidur kalau dia ada di sini,” lanjut Kim Bum dengan suara pelan. “Karena itu aku memintamu datang.”

Kim So Eun terdiam sejenak, lalu akhirnya tersenyum tipis dan bergumam, “Aku tahu.”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...