Part 4
Akhir Yang Menyedihkan
“Son Dam Bi. Dengarlah. Tidakkah ia katakan padamu: aku meninggal ketika ia remaja? Tidakkah ia katakan Daniel Henney itu penulis skenario? Yang bercakap-cakap sendirian ketika menulis naskah? Yang memukul-mukul tembok dan menyeret kursi? Yang membawa calon pemain drama ke rumahnya? Itukah yang dia katakan padamu?”
Aku mengangguk. Bibirku, terasa kering.
“They are all lies. Tidak satu pun yang benar. Tak ada Kim Bum. Daniel Henney adalah suami Kim So Eun. “
Cukup. Cukup. Biar aku bertemu Kim So Eun dan kutanyakan sendiri.
“Kim So Eun tak perlu berbohong padaku,” kataku mantap. “Anda juga tentu tahu bahwa di lantai empat ada dua unit apartemen. Yang kiri punya Kim So Eun dan Kim Bum. Yang kanan….”
“Pernahkah Anda masuk ke sana, Son Dam Bi Pernahkah?”
Aku terdiam. Aku tidak pernah masuk ke tempat Kim So Eun.
“Jika belum, tanyakanlah pada seluruh penghuni Apartment kita: berapa unit ada di lantai itu. Satu, Son Dam Bi. Satu. Pintunya dua, kiri dan kanan. Tapi yang kanan hanya berfungsi sebagai dekorasi.”
Aku sesak napas. Hanya mataku yang mengerjap-ngerjap.
“Anda tak akan percaya, sampai Anda lihat sendiri semuanya.”
“Maksud Anda, Nyonya?”
Ny.Kim Hee Ae mengusap air matanya.
“Anda akan tahu, Son Dam Bi. Akan tahu. Maaf, saya harus pergi. Tapi, kalau Anda bertemu Kim So Eun,”tangan keriput itu menyentuh bahuku. “katakanlah, ibunya menunggunya.”
Aku menatapnya. Aku teringat, ibuku juga menungguku. Tiba-tiba sekali, Aku merasa, Ny.Kim Hee Ae tak berdusta padaku.
***
Aku dan Kwon Sang Woo makan pizza terlalu banyak malam itu. Kami kekenyangan dan langkah kami sangat lambat dan malas. Langit berbintang terang dan kami berjalan bergandengan. Aku beberapa kali menatap wajah Kwon Sang Woo dalam keremangan. Membayangkan wajah bayi kami yang mungkin saja akan mengambil bagian wajah pria di sebelahku itu.
“Waduh. Ada apa ini,”desis Kwon Sang Woo menghentikan langkah.
Aku mengangkat kepala, terkejut.
Beberapa orang berkumpul di halaman Apartment kami. Beberapa dengan handy talky, seperti penjaga gedung, tampaknya. Aku ketakutan, kucekal lengan Kwon Sang Woo kuat-kuat. Kami sedikit terlambat untuk tidak masuk ke halaman....
Belum habis kecemasanku, Aku lihat sosok itu. Ny.Kim Hee Ae.
“Son Dam Bi?! Son Dam Bi! Oh. Oh,”katanya terengah-engah.
“Ny.Kim Hee Ae,” aku merangkulnya. “Tenanglah. Ada apa?”
“Mengapa mereka lama sekali?”
“Siapa?”
“Saya sudah menelepon 911. Oh. Kim So Eun.Oh,” ia menggeleng berkali-kali.
“Mereka pasti segera kemari,” Kwon Sang Woo tersenyum dan membawa Ny.Kim Hee Ae ke bangku di dekatnya. “Siapa yang sakit, Nyonya? Ada apa?”
Ny.Kim Hee Ae belum membuka mulutnya ketika mobil putih itu datang. Dan orang-orang berlarian keluar. Dan ketenangan sekejap, berganti dengan kepanikan yang lebih hebat.
Kwon Sang Woo mendudukkanku. Lalu Dikecupnya keningku.
“Jangan ke mana-mana. Duduklah di sini.”
Semua berlangsung begitu cepat. Begitu cepat. Orang-orang berlarian. Ny.Kim Hee Ae menangis. Kereta dorong. Lift yang tertutup dan terbuka lagi. Dan...Kim So Eun! Kim So Eun! Tuhan, itu betul-betul Kim So Eun.
Aku menjerit. Di depan mataku, aku lihat wajahnya yang hancur. Lebam. Matanya hitam dan bibirnya penuh luka. Rambutnya basah. Tulang pipinya lebih menonjol lagi dari terakhir kali aku bertemu dengannya.
Dua minggu aku tak melihatnya. Aku tak dengar apa-apa. Dan, oh, dia….
Aku merasa orang hilir-mudik di sekitarku. Petugas paramedis. Polisi. Aku tidak tahu persis. Semua berseragam. Semua bergerak. Dengan hati hancur, Aku sempatkan diri merebut tangan Kim So Eun. Menggenggamnya.
“Kau mengenaliku, Kim So Eun? Kau melihatku?” kataku dengan mata berlinang.
“Son Dam Bi.” Kim So Eum meraih wajahku. “I am sorry,” katanya tersenyum getir. “There is no Kim Bum. Tak ada siapa-siapa. Tidak ada penulis skenario yang hebat itu. Tidak ada. Hanya ada seorang istri yang bodoh dan pria yang egois.” Dia memelukku. “Aku bohong tentang semuanya. Aku tak pernah jadi apa pun. Tidak guru musik. Tidak juru rawat. Aku tidak pernah ke Nepal. Ghana. Montreal. Mana pun. Aku hanya mengikuti dia ke mana dia pergi. Tak berdaya sama sekali. Jiwaku sudah mati... Son Dam Bi. Mati. Mati.”
Aku menangis melihat air matanya jatuh.
“Aku sakit sekali, tapi tak mungkin Aku meninggalkannya....”
“Kim So Eun, pergilah. Kau akan baik-baik saja. Kau akan sembuh. Bercerailah darinya. Tinggalkan dia,”bisikku di telinganya. “Aku masih ingin sarapan denganmu.”
Kami berpelukan. Kurengkuh tulang dan kulit tipis di depanku. Dia betul-betul tak berdaya. Aku belai pipinya yang merah tua. Aku ingat, ia selalu tertawa. Ia sungguh cantik. Ia, juga, sungguh menderita.
“Nanti aku jelaskan semuanya, Son Dam Bi. Kalau sempat. Kau membuatku begitu bahagia, meski sekejap.”
Kuhapus air mataku. Lalu air matanya. Tangan Kwon Sang Woo, kurasakan menarikku.
“Pergilah, Kim So Eun.”
Sesaat, aku lihat Ny.Kim Hee Ae.
“Kembalilah pada ibumu kalau kau sudah sembuh, ya?” bisikku sambil mengusap rambutnya yang basah. “Berjanjilah padaku, Kim So Eun. Berjanjilah kau akan kembali pada ibumu.”
Kim So Eun menatapku tak lepas. Aku lihat ia mengangguk pelan. Kupeluk dia sekali lagi.
Mereka menarik kereta itu dari hadapanku. Memaksaku menjauh dari Kim So Eun. Kwon Sang Woo menarik badanku. Aku tak punya kekuatan apa-apa menahan Kim So Eun, betapapun inginnya aku. Orang-orang berkerumun, menelan Kim So Eun. Aku sempat melihat, mereka memasukkan tubuh kurusnya ke dalam mobil putih. Aku menggenggam erat-erat lengan Kwon Sang Woo.
Ny.Kim Hee Ae membenamkan wajahnya di bahuku.
“Mereka menangkapnya. Mereka menangkapnya. Mereka bawa pergi bajingan itu....”
Bayangan Daniel Henney menari-nari di pelupuk mataku. Bagaimana ketakutannya aku atas tatapannya yang tajam, di tangga waktu itu. Oh. dia yang menyeret temanku. Dan bunyi-bunyi itu? Oh. Itu badan sahabatku yang dia benturkan ke mana-mana. Oh. Dan suara tangisan yang memilukan hati itu? Itu Kim So Eun yang hancur....
Jiwaku terasa hilang separuh.
Pada rangkulan Kwon Sang Woo, aku rebah.
Tamat
Copyright Sweety Qliquers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar