Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 21 Oktober 2010

Langit Menggelap di ‘Lavender Park’ (Part 1)


Part 1
Awal Sebuah Pertemuan


Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas motor model terbaru mereka sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja atau mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas sadel motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila yang tidur di sisi pagar.

Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang bermesraan, Barbie Xu duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.

Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan. “Apa kabar?” katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok telah menindas warna putihnya.

“Kau di sini?” Barbie Xu tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuat Barbie Xu ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu.

Begitu juga Peter Ho, lelaki yang berdiri di depan Barbie Xu. Dadanya bergemuruh hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya.

Hingga Barbie Xu kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi tempat Peter Ho di sebelahnya.

“Kaget?” tanya Peter Ho, duduk di sebelah Barbie Xu.

Barbie Xu tertawa kecil. “Bagaimana?” tanya Barbie Xu tak jelas arahnya. “Lama sekali kita tidak bertemu.”

“Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?”

“Tiga puluh tahun!” jawab Barbie Xu pasti.

“Ouw! Dua puluh tahun. Dan kau masih semanis dulu.”

“Terima kasih,” Barbie Xu tersenyum geli. Masih ‘semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat itu tak urung membuat Barbie Xu tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.

“Kapan kau datang?” tanya Barbie Xu. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di sebelahnya.

“Belum seminggu,” jawab Peter Ho.

“Mencariku?” Barbie Xu tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.

Peter Ho tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, “Aku turut berduka atas meninggalnya suamimu,” tawanya menghilang.

Barbie Xu tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Barbie Xu tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Peter Ho tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.

Barbie Xu dan Peter Ho. Peter Ho pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga cerdas dan kritis. Barbie Xu pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka bertemu karena Barbie Xu harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan perusahaannya. Barbie Xu yang seorang istri dan ibu seorang anak, dan Peter Ho yang duda. Dua orang muda yang masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh cinta.

Barbie Xu hampir saja meninggalkan Huang Xiao Ming-suaminya ketika itu. Ibu muda Barbie Xu merasa menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam bersama Huang Xiao Ming. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Peter Ho.

Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus mengangkutnya. Peter Ho tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Barbie Xu. Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu. Kebebasan yang tak bisa Barbie Xu terima. Maka sebelum perjalanan dimulai, ia memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti Peter Ho yang ia ingini untuk membebaskannya dari derita malam-malamnya. Peter Ho berbeda dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.

“Berapa lama kau akan tinggal?” tanya Barbie Xu setelah gejolak perasaannya mereda.

“Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku,” jawab Peter Ho, tanpa senyum, tanpa memandang Barbie Xu. “Banyak hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini.”

“Itu sebabnya kau kemari?”

“Seoul semakin sesak dan panas. Sementara Pulau Jeju masih tetap nyaman untuk berkarya. Jadi kuputuskan kembali,” lanjut Peter Ho tanpa mengacuhkan pertanyaan Barbi Xu. “Begitu kembali seseorang bilang padaku, kau sering di sini sore hari.”

“Maka kau mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu.”

Peter Ho menggeleng.

“Atau membangun hubungan baru.”

Peter Ho menggeleng lagi, “Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu. Aku hanya butuh teman untuk bicara…”

“Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kau datangi dan kau tinggal pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!” potong Barbie Xu. “Itu hubungan yang sejak dulu kau inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah memilih.”

Kebekuan kembali merajai perasaan kedua orang itu. Langit perlahan kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi yang menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin menggumpalkan kesenduan.

Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar kemudian saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu.

Mungkin memang begitu, karena nyatanya Barbie Xu ingin berkata, beberapa tahun setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Peter Ho. Hingga suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang teman mengabarkan bahwa Peter Ho pulang ke Seoul. Tak lama setelah itu, ia mendengar Peter Ho tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Barbie Xu merasa tidak perlu lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Peter Ho tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya begitu Huang Xiao Ming mulai menjamah tubuhnya dan membuat Barbie Xu kesakitan tak terkira.

Terdengar Peter Ho menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang menyesaki dada Barbie Xu mereda. Namun hasrat untuk terus mengobrol telah tak ada. Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di antara keduanya. Hingga Barbie Xu minta diri, dan beranjak pergi.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...