Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 23 Oktober 2010

Lantai 4 (Part 3)


Part 3
Tanda-Tanda


Aku tercenung di tempatku berdiri. Seingatku, Kim So Eun bilang ibunya meninggal ketika remaja....

“Ow,” kataku ragu-ragu. “Senang sekali bertemu Anda, Nyonya. Saya Son Dam Bi.”

Kim Hee Ae tersenyum.

“Sampaikan salam saya kepada Kim So Eun, jika Anda sarapan dengannya.”

“Ya. Ya,” jawabku dengan kikuk. Dadaku penuh tanda tanya. Ibu ini mestinya sudah tak ada, tapi ada. Anak dan ibu tinggal satu atap. Dan ibu berkirim salam kepada putrinya sendiri, yang tinggal satu lantai di atasnya. Tuhan. Siapa yang gila di sini?

Aku merasa seperti tikus kecil dalam labirin. Sesak. Bingung. Letih.

Beberapa hari setelah itu, aku tak pernah bertemu Kim So Eun. Aku ceritakan kepada Kwon Sang Woo, tentang segala keanehan yang ada, tapi –aku ingat kata-kata Lee Hyori—pria jarang tertarik pada cerita wanita. Dan itu benar terjadi. Mengangkat kepalanya dari koran pun tidak. Yang aku dengar hanya, “Hmm,” atau “O ya,” beberapa kali. Lalu ketika aku tanya pendapatnya, Kwon Sang Woo menatapku dan bertanya, “Pendapat apa?”

Aku putus asa dan malas melanjutkan percakapan. Sedikit tidak tega juga harus membebani pikiran pria yang kucintai dengan hal-hal yang baginya kurang penting. Tapi, aku benar-benar ingin tahu. Benar-benar ingin tahu.

“Teleponlah dia,” Kwon Sang Woo memegang pipiku. Aku tahu, ia sedikit kurang sabar menghadapi rasa penasaranku. “Sekadar tanya apa kabar tak ada salahnya.”

“Hanya answering machine. Aku tinggalkan pesan, ia tak membalas.”

“Datangi lantainya.”

“Sudah. Sudah. Aku ketuk rumahnya, tapi tak ada yang keluar.”

Lalu aku ingat, ketika aku mengetuk rumah Kim So Eun pagi itu, seorang pria tiba-tiba berdiri di anak tangga terakhir, menatapku.

“Hai,” kataku salah tingkah. “You must be Kim Bum?” tanyaku berusaha akrab.

“Bukan,” jawabnya dingin.

Mampus, desisku dalam hati. Dia pasti Daniel Henney!

“Maaf. Saya pikir Anda Kim Bum....”

“Tidak ada nama Kim Bum di lantai ini.”

Aku ingat, Kim So Eun pernah bilang, sutradara dan penulis skenario itu tak pernah keluar rumahnya. Kalaupun pernah, hanya malam hari, ke studio. Aku hanya membaca namanya entah di surat kabar, kalau pementasan, kata Kim So Eun dulu. Aku pun, kata Kim So Eun lagi, lebih sering melihat dia di majalah, dibanding aslinya.

“Oh. Maaf,”kataku merasa sedikit ketakutan. “Saya pasti salah,” kataku bergegas turun. Aku tahu, ekor matanya mengikutiku ke manapun aku pergi. Cara menatapnya, sungguh-sungguh membuatku menggigil.

“Hm. Nyonya,” panggilnya tiba-tiba.

“Ya?”

“Anda sudah coba ke bawah? Lantai satu sampai tiga?”

Aku kehilangan kata-kata.

“Belum. Terima kasih.”

Sejak kejadian itu, aku punya keengganan untuk naik ke atas mencari Kim So Eun. Biarlah, aku mencarinya lewat telepon saja.

Dan aku tak pernah berhasil.

“Barangkali….”Kwon Sang Woo tersenyum padaku. “Kim So Eun ke luar kota.”

Aku menghela napas. Berusaha percaya pada kata-kata itu, meski rasanya mustahil.

Kim So Eun sungguh-sungguh menghilang dariku. Seingatku, sudah dua minggu. Aku kesepian. Aku rindu pada Kim So Eun. Aku rindu ceritanya yang jenaka dan bola matanya yang menari-nari. Tawanya yang lepas atas segala kisah hidupnya yang begitu berwarna. Makin lama ia bercerita, makin banyak kopi-teh-kue yang kami habiskan, makin keras tawa kami. Ah. Aku ingin sekali bertemu dengannya.

“Son Dam Bi.”

Aku menengok dan tertegun.

“Ny.Kim Hee Ae. Apa kabar,” kataku sambil berjalan menghampirinya.

“Baik.”

Aku mengatur napas baik-baik sebelum aku berani bertanya.

“Lama saya tak bertemu Kim So Eun. Apa kabar dia?” tanyaku.

Kwon Sang Woo dulu menasihatiku untuk tidak bertanya apa-apa pada orang yang aku kurang kenal. Yang lazim bagi kita, belum tentu normal buat mereka. Jangan terlalu gampang bertanya, Son Dam Bi, pesannya.

Ny.Kim Hee Ae tersenyum padaku.

“I really don’t know.”

Kwon Sang Woo benar!

“Ow,” aku berusaha membalas senyumnya. “Baiklah. Sampai ketemu.”

“Saya pikir, Anda tahu,”katanya setelah aku berlalu.

“Hm?” aku menoleh. Bersiap-siap untuk ‘kejutan’ berikutnya.

“Mm. Ini mungkin tak enak didengar, tapi saya dan Kim So Eun memang putus hubungan. Dia yang memutuskan hubungan dengan saya.”

Anak – Ibu putus hubungan? Apa pula itu?

“Sejak….” Mata di depanku berkaca-kaca. “Sejak aku menyuruhnya bercerai dari Daniel....”

“Daniel?”

“Suaminya.”

“Daniel Henney?”

“Ya.”

Aku menelan ludah.

“Ny.Kim Hee Ae,” aku mendekatkan wajahku padanya. Berusaha merekam semua gerak-gerik ‘ibu’ Kim So Eun. “Kim Bum nama suami Kim So Eun. Daniel Henney tetangganya.”

Dan bahu di depanku berguncang. Lama. Ia menangis. Isakannya cukup keras sehingga membuatku bingung sekali. Menyesal aku memulai percakapan tadi. Menyesal. Jika sudah begini, apa yang bisa aku perbuat? Apa?

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...