Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 23 Oktober 2010

Lantai 4 (Part 2)


Part 2
Sesuatu Yang Mencurigakan


“Siapa suruh membual.”

“Aku hanya berusaha memperpanjang kalimat. Tapi, sudahlah. Aku dapat teguran dari bos, dan dipindahkan ke siaran jazz. Sejak itu, aku di surga.”

Aku menelan ludah. Baru kusadari, betapa monotonnya hidupku. Lulus kuliah, bekerja di bank yang sama selama sepuluh tahun, lalu berhenti karena menikah dengan Kwon Sang Woo.

Aku menatap Kim So Eun tak lepas. Ah, seandainya aku dia….

Pagi itu kami sarapan berdua, seperti biasa. Duduk menikmati banana cake. Kim So Eun yang membuatnya, dan harus kukatakan, cake itu sungguh lezat.

“Ini banana cake paling lezat yang pernah aku makan.”

“Ah, ya? Terima kasih. Aku membuatnya kemarin malam. Aku senang membuat kue malam hari, entah kenapa. Mungkin karena bunyi mixer lebih merdu di malam hari...,” katanya tertawa. “Alasan tak masuk akal.… Tapi, entahlah, aku senang membuat kue di malam hari.”

Kata-kata ‘bunyi mixer’ dan ‘malam hari’, membuatku mendadak teringat pada suara-suara yang sering kudengar.

“Kim So Eun, kau di lantai empat, kan?”

“Ya.”

“Pintu kanan atau kiri?”

“Kiri. Ada apa?”

“Aku sering mendengar bunyi-bunyi aneh di malam hari. Kwon Sang Woo menebak, itu dari lantai empat, karena tak begitu jelas terdengar. Kau dengar itu juga?”

“Bunyi?” Ia membelalak. “Aaaaah. Itu.” Ia mengibaskan tangannya. “Kau kenal Daniel Henney? Dia tinggal di sebelah kanan. Ya. Pernah dengar nama itu? Dia seorang penulis skenario yang baik sekali. Karyanya banyak dipentaskan. Orangnya sedikit aneh, sebagaimana layaknya seniman. Kalau dia sedang menulis sesuatu, hmmm, naskah, prosa atau semacam itu, ia sering terlalu menjiwai. Ia bisa menarik-narik kursi, atau menggebrak meja, atau bercakap-cakap sendiri….”

Aku mengangguk-angguk. Lega, karena teka-teki itu sudah terpecahkan. Aku bisa ceritakan pada Kwon Sang Woo, ketika dia pulang.

“Nanti kau akan dengar suara wanita terbahak-bahak. Atau menangis. Atau menjerit. Nah! Itu calon pemain dalam naskah sandiwaranya!”

Aku menghela napas dan tersenyum. Terjawab sudah tanda tanya besar itu.

“Aku tidak pernah bertemu dengannya.”

“Ouw. Come on. Berapa orang di Apartment ini yang pernah kau jumpai, selain aku?” Kim So Eun mengedipkan matanya.

Aku tersipu.

“Tidak ada. Tidak siapa-siapa.”

“Tidak juga suamiku.”

“Ah, ya. Kim Bum.”

“Ck…ck…ck…. Lain kali. Aku janji. Aku akan paksa dia turun dan memperkenalkan diri padamu dan Kwon Sang Woo.”

Aku mengibaskan tangan.

“Soal kecil,” kataku. “Jangan terlalu merepotkan. Hanya kalau Kim Bum tidak sibuk.”

“Hei. Kau harus tambah sedikit mentega pada cake ini, Son Dam Bi. Rasanya akan menjadi luar biasa. Di mana mentega? Ah, itu….” Ia menggapai mentega di sisi kanannya.

Kaus Kim So Eun tersibak, dan aku melihat noda hijau kebiru-biruan di pinggangnya, sebesar separuh telapak tangan. Aku melongo menyaksikan pemandangan itu.

“Ada apa?” tanyanya heran melihat aku tertegun.

“Eh? Ah? Mmm. Tidak. Kemarikan menteganya.”

***

Aku hamil. Kata dokter, kehamilanku usianya enam minggu. Aku memberi kabar kepada para sahabat dekat. Kemarin berita besar ini sudah aku sampaikan kepada Ibu. Hari ini aku hendak memberi tahu Lee Hyori, sahabatku. Aku mengabarkannya lewat e-mail. Sambil mengetik, Kuputar No Other-nya Super Junior di I-Podku. Dan bergoyang-goyang kepalaku dibuatnya.

Tapi, ampun…. Apa itu? Bunyi apa itu? Aaaah. Pasti tetangga lantai empat itu lagi! Daniel Henney Seperti apa sih, hebatnya dia? Dengarlah bunyinya. Sret. Sret. Sret. Dum. Dum. Bam. Bruuuk. Dan percakapannya seorang diri itu. Hmmm. Hmmm. Entah bagaimana rasanya jadi Kim So Eun yang begitu dekat dengan sumber suara.

Super Junior sudah selesai bernyanyi satu lagu, tanpa aku nikmati. Jengkel, Kumatikan I-Podku dan berusaha membaca. Aduh. Aku merinding. Aku seperti mendengar wanita menangis. Aduh.

Lekas-lekas aku ambil handphone.

“Kwon Sang Woo…,” kataku gugup setelah mendengar kata ‘halo’ di seberang.

“Son Dam Bi? Ada apa?”

“Ssst. Lantai empat itu, Kwon Sang Woo. Kali ini terdengar suara tangisan, Kwon Sang Woo.… Aku takut?”

“Alaaa. Kim So Eun kan sudah mengatakannya padamu, dia penulis skenario. Mungkin sekarang yang menangis itu calon pemeran wanitanya! Jangan paranoid begitu, sayang. Sekarang sedang apa kau?”

Aku menghela napas. Aku mendengar tangisan itu. Aku merasa, itu bukan sebuah latihan sandiwara.

“Hmmm. Ya, sudahlah.”

Kuletakkan handphone. Lebih baik memasang DVD player dengan lebih keras. Berharap tetangga sebelah agak sedikit tuli dan tidak terganggu. Daripada mendengar tangisan yang menusuk sumsum.

Belum lima menit, terdengar ketukan di pintuku.

Mampus. Aku mengganggu orang, pasti.… Aku matikan DVDku.

“Ny.Son Dam Bi?” suara dari luar.

“Ya?” kataku dari dalam sambil sibuk mendapatkan gambaran keseluruhan lewat lubang di pintu.

“Saya Kim Hee Ae. Maaf mengganggu. Tapi, tagihan air Anda masuk ke kamar saya.”

“Oh,” Aku menarik napas lega. Merasa luput dari ‘teguran’ maut. Lekas-lekas, aku bukakan pintu. Kenalan baru, pikirku. “Terima kasih.”

“Mereka salah menulis lantainya. Ditulisnya lantai tiga, jadi sampai pada saya.”

“Oh, Anda di lantai tiga,” kataku. “Senang bisa bertemu Anda.”

“Saya juga. Anda sudah lama di sini?”

“Well, not really. Tapi, setidaknya saya sudah mengenal tetangga saya: Anda dan Kim So Eun.

“Kim So Eun?” wanita itu mengernyitkan alisnya. Seperti melihat hantu.

“Dia teman saya sarapan.”

“Teman sarapan?”

Aku mulai terganggu dengan reaksinya yang berlebihan. Aku, toh, tidak sarapan dengan hantu, pikirku.

“Anda kenal dengan Kim So Eun, Ny.Kim Hee Ae?” tanyaku sedikit jengkel.

Ny.Kim Hee Ae menatapku lurus.

“Dia putri saya.”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...