Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 08 Desember 2011

Misteri Hantu Merah (Chapter 8)



Chapter 8
Melihat Tambang Kuno


Pada pagi yang sama ketika Eunhyuk sedang sibuk di Huang Zhou Workshop - perusahaan keluarganya, Heechul naik kuda bersama Donghae dan Nichkhun di Namchoseon Valley. Mereka berkeliling melihat-lihat lembah. Ketiga pemuda itu sama sekali tidak menduga bahwa hari itu mereka akan mengalami kejadian yang berbahaya dan menegangkan.

Saat itu mereka hanya mau melihat gua yang dipakai sebagai tempat menyimpan minuman anggur. Menurut keterangan Nichkhun, gua itu dulunya liang tambang. Letaknya sebagian besar di tebing sebelah barat lembah.

Mereka berencana mau melihat-lihat sampai sore. Mereka merasa tidak akan bisa mengusut peristiwa pencurian mutiara lebih lanjut. Karena, jika dugaan Sheriff Seulong benar, bahwa pencurinya adalah kawanan penjahat dari kota, maka seharusnya saat itu baik pencuri maupun kalung itu sudah sampai di Seoul.

Hari itu banyak sekali wartawan datang. Mereka tertarik karena kisah munculnya hantu serta pencurian kalung. Ketiga pemuda itu sempat melihat Victoria sebentar. Wanita itu kelihatannya lesu dan capek sekali. la meminta pada mereka agar merahasiakan pada para wartawan itu bahwa Donghae dan Heechul adalah kedua pemuda yang pertama kali melihat hantu itu muncul di Shinhwa Mansion. Victoria khawatir jika hal itu diketahui, para wartawan lantas menulis berita yang lebih heboh dan penuh sensasi, dengan mengetengahkan dugaan kenapa Heechul dan Donghae kini ada di Namchoseon Valley. Tanpa hal itu diketahui, keadaan sudah cukup gawat bagi Victoria!

Jadi setelah sarapan pagi di dapur, Heechul beserta kedua temannya menyelinap pergi ke kandang kuda, di mana mereka memasang pelana pada tiga ekor kuda. Sebagian besar pekerjaan itu dilakukan oleh Nichkhun, karena Heechul dan Donghae tidak begitu berpengalaman dengan kuda.

Kini ketiganya berkuda pelan-pelan menelu­suri kebun anggur yang terawat rapi, di mana nampak buah anggur berwarna ungu sudah ranum disinari rahaya matahari yang panas.

Nichkhun kelihatannya murung.

"Saat ini seharusnya paling sedikit ada seratus pekerja sibuk memetik di sini," katanya. "Serta beberapa truk yang dipakai untuk mengangkut panen ke tempat pemerasan. Tapi lihatlah kenyataannya! Pekerja yang nampak, tidak sampai sepuluh orang. Dan truk hanya ada satu. Yang lain pergi semua, karena takut hantu. Kalau keadaan seperti ini berlarut-larut, Victoria pasti akan bangkrut!"

Donghae berusaha menghiburnya.

"Saat ini rekan kami, Eunhyuk, sedang sibuk di Sungkyunkwan untuk memecahkan misteri itu," katanya. "Eunhyuk itu cerdas sekali! Jika ia bisa menyibak misteri hantu merah itu, mungkin para pekerja mau datang lagi."

"Itu hanya mungkin... jika ia berhasil memecahkan Misteri Hantu Merah itu," kata Nichkhun. "Kalau tidak, para pekerja akan berpindah ke tempat lain. Pagi ini Seohyun mengatakan padaku, akulah yang menyebabkan kesialan di Namchoseon Valley. Katanya, kedatanganku dari Hongkong satu setengah tahun yang lalu membawa sial. Aku disuruhnya pulang lagi ke sana!"

"Omong kosong! Mana mungkin kau membawa sial?" kata Heechul dengan segera.

Tapi Nichkhun menggeleng.

"Entahlah," katanya, "namun kenyataannya banyak musibah yang terjadi sejak aku datang. Anggur berdrum-drum rusak, mesin-mesin berulangkali macet. Pokoknya, ada saja yang terjadi!"

''Tapi kesemuanya itu kan bukan salahmu!" tukas Donghae.

"Tapi mungkin itu memang benar... mungkin lebih baik aku kembali saja ke Hongkong," keluh Nichkhun. "Siapa tahu, barangkali saja hantu itu ikut denganku, sehingga nasib sial tidak lagi menghinggapi Namchoseon Valley. Jika itu bisa kupastikan, aku mau saja berangkat besok. Aku tidak mau menyusahkan Victoria!"

Heechul merasa sudah waktunya mengalihkan pembicaraan, karena Nichkhun kelihatannya sedih sekali.

''Jadi, dari keturunan Kakek Moyang Taecyeon-mu itu... hanya tersisa kalian bertiga. Kau, Victoria dan Leeteuk Hyung?'' tanya Heechul.

''Ya, begitulah!'' jawab Nichkhun.

Donghae menatap ke depan. Di hadapan mereka terhampar lembah panjang dan sempit, dibatasi lereng gunung yang curam di kedua sisinya. Sejauh mata memandang, hanya tanaman anggur saja yang nampak.

"Jadi tempat ini sebenarnya milikmu Nichkhun?" tanya Donghae dengan penuh minat. "Maksudku, selaku satu-satunya keturunan langsung Taecyeon."

"Ah tidak, tidak," bantah Nichkhun. "Ini kepunyaan Victoria, karena Nenek moyangnya yang memulai, lalu diteruskan kepada keturunannya dan sekarang oleh Victoria. Seumur hidup ia bekerja keras untuk membangunnya.

"Ia bermaksud menghibahkannya padaku. Tapi aku tidak mau. Karenanya ia mau memberikan sebagian aset-aset warisannya di Namchoseon Valley ini padaku. Jadi, Aku memutuskan kalau menerimanya nanti, setengahnya akan kuberikan pada Leeteuk Hyung. Karena ia sudah bekerja sama kerasnya seperti Victoria selaku pengelola, sehingga usaha ini berkembang pesat. Tapi..." kini wajah Nichkhun kembali suram, "semuanya akan lenyap karena kami tidak punya uang untuk membayar hutang."

Saat itu sebuah jip datang ke arah mereka. Ketiga pemuda itu menghentikan kuda masing-masing, untuk memberi kesempatan agar ken­daraan itu bisa lewat. Nichkhun menunggang seekor kuda hitam yang diberi nama Skippy. Kuda itu gesit dan bersemangat sekali, sehingga tali kekangnya harus dipegang kuat-kuat. Kuda yang ditunggangi Donghae seekor kuda betina yang agak gugup, sehingga juga perlu dikendalikan dengan kuat. Sedang Heechul menunggang kuda betina yang sudah agak tua. Namanya Omega, geraknya santai dan berwatak tenang.

Jip yang datang itu tidak lewat, tapi berhenti di dekat mereka. Ternyata yang mengendarainya mandor yang bernama Junho.

"Selamat pagi, Tn. Nichkhun!" sapanya. "Anda tentunya melihat sendiri, betapa sedikitnya pekerja kita pagi ini?"

Nichkhun mengangguk.

"Ketiga orang konyol kemarin itu ternyata tidak main-main," sambung Junho. "Setiap kali mereka mengulangi cerita, hantunya semakin lama semakin besar dan menyeramkan, sehingga akhirnya dikatakan sampai menyemburkan api dan asap! Para pekerja yang lain sampai panik mendengar ocehan mereka. Saya sudah minta bantuan pekerja dari tempat lain. Tapi saya rasa tidak akan berhasil!"

Junho menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sekarang saya mau melapor pada Nn. Victoria," katanya. "Keadaan bisa gawat, kalau dibiarkan saja seperti ini!"

Jip menderu pergi. Ketiga pemuda itu melanjut­kan perjalanan. Nichkhun memaksa diri menyingkirkan kemurungannya.

"Keadaan ini sudah terlanjur terjadi, mau apa lagi," katanya. "Kita sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi lebih baik kita bersenang-senang sekarang."

Mereka menyusuri lembah, sambil sekali-kali berhenti untuk melihat-lihat. Nichkhun mengajak mereka meninjau tempat-tempat pemerasan anggur yang ada disana. Di tengah hari mereka mulai capek dan kepanasan. Perut juga sudah terasa lapar. Mereka membawa bekal roti dan air, sedang makanan untuk kuda ada di dalam tas pelana.

"Aku tahu tempat yang sejuk dan nyaman," kata Nichkhun, la mendahului berkuda melewati sebuah bangunan tua. Bangunan itu bekas tempat pemerasan anggur, yang kini hanya dipakai pada saat-saat sibuk saja. Perjalanan diteruskan beberapa ratus meter lagi, dan akhirnya tiba di tempat yang teduh. Tempat itu terlindung bayangan tebing. Di balik batu cadas yang menjorok ke depan ada tempat yang sempit dan teduh. Di situ mereka turun. Kuda-kuda ditambatkan, lalu diberi makan.

Nichkhun mengajak Heechul dan Donghae ke balik batu besar itu. Disana ada pintu kokoh, yang terpasang pada dinding batu.

"Ini salah satu jalan masuk ke gua yang dulunya liang tambang yang sudah kuceritakan," kata Nichkhun. Dibukanya pintu itu dengan susah payah. Di belakangnya nampak liang gelap, menjorok masuk ke dalam perut bukit. "Nanti sehabis makan kita melihat-lihat ke dalam."

la menekan tombol yang terpasang di sisi dalam ambang pintu. Tapi tidak terjadi apa-apa.

"Sialan," umpatnya. "Aku lupa, dinamo tidak dipasang! Kami di sini harus membangkitkan arus listrik sendiri, dan dinamo dari masing-masing bagian hanya dihidupkan jika di dalam sedang ada pekerjaan. Untung kita tadi tidak lupa membawa senter!"

Nichkhun mengambil senter yang terkait di pinggang, lalu disorotkannya ke depan. Nampak lorong panjang berdinding batu, dengan papan tebal terpasang di langit-langit sebagai penopang. Pada kedua sisi gang itu nampak drum besar berjejer-jejer dalam posisi rebah. Ada rel sempit menjulur di tengah gang. Tidak jauh dari pintu ada sebuah gerobak datar yang kecil.

"Gerobak itu gunanya untuk mengangkut drum-drum yang akan dibawa keluar. Dengan gerobak, drum didorong sampai ke pintu," kata Nichkhun menjelaskan. "Jika kami mau mengangkut sebuah drum, truk dimundurkan sampai ke pintu lalu drum dinaikkan ke atasnya. Dengan cara begitu pengangkutannya menjadi gampang. Aku rasa kita bisa duduk saja di sini, di belakang pintu, lalu makan dengan santai."

Donghae dan Heechul senang, karena bisa duduk menyandarkan diri ke batu, lalu mulai makan. Hawa di dalam sejuk, padahal sekitar semeter ke arah luar panasnya bukan main.

Sambil makan, mereka memandang ke lembah. Bangunan tempat pemerasan anggur yang lama bisa mereka lihat. Tapi dari luar, orang tidak bisa melihat mereka.

Selesai makan mereka masih mengobrol sebentar di dalam, sambil menikmati kesejukan tempat itu. Nichkhun bercerita tentang kehidupannya dulu di Hongkong, di mana selalu banyak orang. Sedang di Namchoseon Valley sangat sepi. Ketika mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba nampak beberapa mobil tua datang lalu berhenti di luar tempat pemerasan anggur yang lama.

Sekitar lima atau enam orang laki-laki yang semuanya bertubuh atletis turun dari mobil-mobil itu lalu berdiri menggerombol. Kelihatannya mereka seperti menunggu sesuatu.

Nichkhun berhenti bercerita. Keningnya berkerut.

"Kenapa mereka tidak ikut memetik anggur?" katanya pada diri sendiri. "Hari ini kan setiap pekerja diperlukan tenaganya."

Sesaat kemudian jip yang dikendarai Junho muncul, dan laki-laki itu kelihatan keluar dari kendaraan itu. la masuk ke tempat pemerasan, diikuti oleh orang-orang yang menunggu tadi. Setelah semuanya masuk, pintu ditutup.

"Aku rasa Junho mau memeriksa mesin yang ada disana, apa dia mau memakai tempat pemerasan anggur itu?" kata Nichkhun menggumam. "Ah, biarlah... itu kan urusannya sendiri! Aku tidak begitu suka padanya, tapi harus kuakui bahwa ia tahu caranya mengatur para pekerja, walau kadang-kadang kelakuannya terhadap mereka agak terlalu kasar."

Nichkhun menoleh, memandang Heechul dan Donghae sambil bertopang siku.

"Mau melihat gua ini sekarang?" ajaknya.

Kedua temannya setuju, lalu melepaskan senter yang terkait pada ikat pinggang masing-masing. Donghae melakukannya sambil bangkit. Tiba-tiba ia terpeleset. Ia cepat-cepat mengulurkan tangan, untuk memulihkan keseimbangan. Senter yang dipegang terlepas dan jatuh. Terdengar bunyi kaca pecah. Ketika Donghae memungut senternya kembali, temyata lensa dan lampunya pecah.

"Sialan!" umpat Donghae. Ia kesal pada dirinya sendiri. "Sekarang aku tidak punya senter."

"Dengan dua senter, aku rasa sudah cukup," kata Nichkhun, "tapi..." la bicara sambil memandang keluar, ke arah jip yang diparkir di luar tempat pemerasan anggur.

"Aku punya ide!" serunya. "Kita pinjam saja senter Junho. Itu, yang dipinjamkannya kemarin malam padaku. Senter itu selalu ditaruhnya di dalam kotak peralatan. Nanti sebelum gelap, pasti sudah bisa kita kembalikan lagi padanya. Biar aku saja yang berkuda ke sana untuk mengambilnya."

Tapi Donghae menolak. Katanya, lampu senter-nya yang pecah. Jadi harus ia sendiri yang meminjam senter pada Junho. Nichkhun menurut. Ia menulis surat untuk ditinggalkan di dalam kotak peralatan. Surat itu ditujukan pada Junho, untuk memberitahukan bahwa senternya mereka pinjam sebentar.

"Junho kalau sedang sibuk, paling tidak senang diganggu," kata Nichkhun menjelaskan. "Lagi pula senter itu sebetulnya milik Victoria, jadi pasti Junho tidak akan berkeberatan jika kita memakainya sebentar."

Donghae mengendarai kudanya, menuju ke tempat pemerasan anggur. Sebentar kemudian ia sudah sampai di sisi jip. Kudanya, Delta, agak bersema­ngat setelah sempat beristirahat. Karena itu Donghae harus memegang kekangannya dengan kuat, supaya Delta tidak menghambur lalu lari.

Dengan sebelah tangan Donghae membuka kotak peralatan jip. Dilihatnya bermacam perkakas campur aduk di situ. Tapi senter tidak ditemukannya. Donghae mencari-cari sebentar. Akhirnya ia menemukan senter, terselip di pojok. Ditariknya senter itu, lalu diselipkannya ke pinggang.

Surat Nichkhun untuk Junho ditaruhnya di dalam kotak peralatan. Kotak itu tidak ditutup lagi, supaya Junho bisa langsung melihat surat itu. Setelah itu dengan sedikit repot Donghae naik lagi ke atas pelana, lalu mengendarai kudanya kembali ke tempat Heechul dan Nichkhun menunggunya.

Ketika Donghae sudah menempuh jarak sekitar seratus meter, tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak di belakangnya. Donghae menoleh. Dilihatnya Junho berdiri di samping jipnya. Orang itu rupanya yang berteriak memanggilnya. Donghae mengacungkan senter, lalu menuding ke arah jip. Maksudnya mau mengatakan bahwa di situ ada surat yang memberitahukan, kalau ia meminjam senter itu sebentar. Setelah itu ia meneruskan perjalanan.

Ia tidak melihat Junho meloncat keatas jip, ditonton oleh para pekerja yang bergerombol untuk menonton. Jip itu meluncur melintasi kebun, di sela-sela tanaman anggur. Ternyata Junho mengejar Donghae!

Ia berteriak, menyuruh Donghae berhenti. Donghae menarik tali kekang kudanya. la heran, apa sebabnya Junho nampak begitu gelisah. Semen­tara itu Delta menandak-nandak, karena tidak senang dikekang kebebasannya.

"Tenang, Delta! Tenang!" Kata Donghae membujuk kudanya. Tapi kuda itu masih tetap berjingkrak­jingkrak dengan gerakan gelisah, sementara matanya menatap jip yang datang menghampiri dengan bunyi menderu.

Jip itu mendekat dengan cepat, lalu berhenti. Secepat kilat, Junho meloncat turun lalu mengejar Donghae.

"Maling!" teriak orang itu. "Aku hajar kau sekarang!" Aku..." Kata-katanya yang selanjutnya tidak terdengar jelas, karena ketika ia semakin mendekat, kuda yang ditunggangi Donghae melonjak lalu lari, sebelum Donghae berhasil menegakkan sikap duduknya.

Kuda itu melesat ke dalam kebun anggur, menuju lereng gunung. Donghae sama sekali tidak berdaya menahannya. Lututnya ditekankan kuat-kuat ke lambung kuda, sementara tangannya memegangi pangkal pelana. la bertahan sekuat tenaga, agar jangan sampai terlempar jatuh.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...