Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 22 Desember 2011

Cupid (Chapter 6)



Hari keenam

Ketika bangun, yang kuingat pertama kali adalah tadi malam aku lupa melakukan upacara untuk Cupid! Bagaimana ini? Apakah manteranya tidak akan manjur lagi? Haruskah aku mengulang dari hari pertama lagi? Namun, ketika mencoba bangun, jutaan jarum kecil menusuki kepalaku untuk tetap tertanam di bantal. Perlahan-lahan kesadaranku datang. Sebuah lukisan matahari terbenam yang menyilaukan tampak jelas sebagai pemandangan pertama yang kulihat. Lalu, di samping tempat tidur terdapat meja kecil dengan telepon berbentuk Pluto, yang terengah-engah menatapku. Di lantainya terdapat sepotong karpet kecil cokelat muda yang empuk. Aku ada di mana?

“Selamat pagi....”

Kim Bum berdiri di kaki tempat tidur dengan segelas kopi mengepul-ngepul dengan wangi tajam. Selalu begitu dengan seringai lebarnya. Sepertinya ia telah membawaku ke apartemennya. Ketika mencoba duduk, aku terkejut ketika selimut bergambar bendera Amerika tersingkap. Aku memakai baju tidur bergaris-garis, yang sudah jelas bukan merupakan baju terakhir yang kupakai.

“Kim Bum!!!”

“Maaf, semalam bajumu basah. Jadi kuganti.”

Astaga! Kejadian semalam. Samar-sama kuingat menari di depan banyak orang. Separuh mabuk pula. Aku malu.

“Tidak usah malu, Kim So Eun. Ini, minum kopinya. Biar tidak terlalu pusing.”

Kuhirup sedikit. Rasanya pahit. Terlalu pahit malah.

“Sengaja kubuat pahit. Kalau manis, namanya bukan obat, khasiatnya tidak ada,” kata Kim Bum. Walaupun cairan itu memang sedikit membantu meredakan pening, tapi aku merasa keterangannya itu mengada-ada.

Sambil minum, aku memperhatikan kamar Kim Bum. Kamar tidur, ruang tunggu dan dapur semua dapat dilihat dari tempat tidur. Hanya ada sekat-sekat dari bahan kain dan kayu yang ringan untuk memisahkan ruang-ruangnya. Namun, cara ini membuat ruangan ini menjadi luas dan melegakan.

“Apartemenmu nyaman sekali.”

“Oh, tadi malam aku pinjam ponselmu untuk SMS ibumu. Biar beliau tidak khawatir.”

Biarpun Kim Bum punya reputasi seperti kelinci pejantan, entah kenapa aku merasa aman dan percaya padanya, walaupun telah meng¬habiskan malam hanya berdua dengannya, walaupun ia telah melihatku separuh telanjang. Aku yakin, tadi malam ia benar-benar mengurusiku, tanpa pendekatan seksual sedikitpun. Rasanya, aku seperti menemukan kembali Kim Bum yang kukenal puluhan tahun lalu. Namun, yang manakah Kim Bum yang sebenarnya?

“Kubuatkan sarapan, ya!” kata Kim Bum dari arah dapur.

Perlahan-lahan kunaikkan tubuhku agar duduk di bangku tinggi pada sebuah meja kurus panjang yang ada di depan rak piring kecil, sementara Kim Bum membungkuk pada lemari es kecil, yang ada di sudut ruang dapur. Dipilihnya beberapa bahan, sementara tangannya telah menggenggam dua butir telur.

Dengan cekatan ia merajang tomat segar dengan begitu halusnya. Lalu, diambilnya bawang bombay, lalu diiris menjadi kotak-kotak putih kecil, yang membuat aroma tajamnya berbaur dengan udara. Dibukanya bungkusan berisi jamur dan dipotong-potong memanjang, sehingga tidak kehilangan bentuknya yang menggiurkan selera.

Aroma mentega yang telah dipanaskan tercium semakin harum, ketika Kim Bum memasukkan bawang bombay dan mengaduknya. Menyusul tomat dan jamur menari-nari di penggorengan, memberikan warna-warna masakan yang menggugah. Terakhir, dipecahkannya telur pada pinggiran penggorengan dan memasukkan untuk diacak-acak. Dengan gerakan cepat dicipratinya isi pinggan itu dengan garam, merica, dan sedikit gula pasir.

Aroma dari berbagai bahan makanan tercampur sempurna, membangkitkan rasa lapar. Kim Bum membagi hasil masakannya pada dua piring, mengambil nasi dari pemanas dan menyodorkan salah satunya padaku.

Sambil makan, kami mengobrol tentang masa lalu. Aneh, sepertinya, Kim Bum kembali menjadi sahabat karibku yang dulu. Lucu sekali, kami pernah saling menjauh hanya karena memandang rendah diri secara tidak perlu pada satu sama lain. Kini kedekatan itu mulai terbangun lagi. Mata kami saling menatap hangat. Kurasakan telapak tangan Kim Bum melingkupi punggung tanganku. Ibu jarinya membelai-belai perlahan. Aku terdiam kaku. Ia hanya mengusap lembut dan samar, namun permukaan kulitku langsung terbakar panas dan seluruh saraf tubuhku turut merespon.

Bel di intercom berbunyi, membelah hening diam kami. Ia menarik tangannya. Gila! Apakah tadi aku mengharapkan lebih?

Kim Bum berjalan ke arah intercom dan berbicara pada seseorang di bawah sana. Suara penuh nada marah. Kim Bum juga menjawab dengan tidak kalah gusar. Mungkin, itu salah satu kekasih Kim Bum yang tadi malam. Entah apa yang dipertengkarkan, namun ini adalah tanda bagiku untuk segera pulang. Kim Bum menutup pembicaraan dengan tidak ramah. Disambarnya ponsel dan dompetnya.

“Kim So Eun, kau di sini saja. Aku mau pergi dulu.”

“Aku saja yang pergi.”

“Maafkan aku, Kim So Eun, sebenarnya aku berniat mengantarmu pulang. Aku juga mau ke rumah orang tuaku hari ini.”

Kim Bum sudah hendak pergi, ketika tiba-tiba berbalik. “Lucu, ya, Kim So Eun, aku senang kau ada di sini.”

Aku tidak bisa menjawab. Namun perasaanku, telah kembali ke jarum penunjuk netral. Walaupun bukan kejadian biasa, ini bukan salah satu hasil dari mantera Cupid. Dia adalah Kim Bum dan aku adalah Kim So Eun. Sekuat apa pun sihirnya, tidak akan mampu menghadirkan peristiwa teraneh dan terlucu, yaitu kami saling jatuh cinta. Kami terlalu lama menjadi teman bermain, terlalu saling mengenal, terlalu seperti kakak-adik. Lagi pula, mana bisa wanita yang sudah ingin menikah sepertiku, bisa berharap pada pria seperti Kim Bum?

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...