Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 20 Desember 2011

Cupid (Chapter 3)



Hari paling panik sedunia.

Aku kehilangan kemampuan untuk berdandan! Entah apa yang salah, mengapa bedak dan foundation yang kupakai hari ini justru semakin memperlihatkan kerut-kerut di sudut mataku. Ketika kutebalkan, jejak kerut itu justru terlihat semakin dalam, sehingga aku harus pasrah dengan polesan tipis yang tidak menutupi kekurangan. Biasanya, aku selalu penuh percaya diri. Kini, diperlukan pertimbangan panjang untuk memutuskan apakah aku akan memakai polesan pipi atau tidak. Apakah itu akan mempersegar penampilan atau justru membuatku terlihat seperti bayi baru lahir yang tembem?

Memilih warna lipstik pun jadi ikut sulit. Kalau tidak terlalu tua, pilihan yang tersisa tampak terlalu muda, sehingga hampir tidak memberikan kesan lebih. Belum lagi saat aku teringat mataku belum terpermak.

Tiba-tiba mataku jadi setajam mikroskop untuk menangkap kekurangan dari semua koleksi bajuku. Tidak ada yang cukup bagus dan pantas. Semua menempel kaku dan semakin menonjolkan kekuranganku. Jika kupilih setelan resmi berwarna hijau tua, aku semakin terlihat tua dan suram. Jika kuambil setelan merah jambu ketat dengan rok mini dan dalaman seksi berwarna putih, aku seperti ’mengundangnya’. Akhirnya, kupakai jas dan bawahan hitam dengan kemeja putih. Formal, tapi tidak terlalu mengambil jarak. Kalau dia ingin lari, aku pun bisa ikut lari masih dengan harga diri.

Ketika kedua urusan itu selesai, masih ada urusan rambut yang belum tertata. Jika kugulung dengan pemanas sehingga menghasilkan rambut bergelombang, tentunya akan terjatuh di pundakku dengan manis. Tapi, seingatku, hasil seperti itu tidak akan bertahan sampai sore. Kalau rambut itu terjepit rapi di tengkuk, aku akan lebih mirip guru yang galak dan serius. Kepalaku mulai terasa mau pecah....

* * *

Aku sampai di kantor tanpa ada niat sedikit pun untuk bekerja. Namun, ketika melewati ruang Kim Hyun Joong, aku merasa lega luar biasa. Urusan dengan Lee Seung Gi akhirnya membuat seluruh indra mau merespon sesuai kehendakku. Kali ini, tidak ada rasa berdebar-debar, keringat dingin yang membuat mati rasa, kegugupan yang tidak perlu, atau harapan yang hanya membuat putus asa. Semua tenang, lurus dan netral. Aku tersenyum. Selamat tinggal, Kim Hyun Joong!

“Kim So Eun!”

Aduh, apa lagi ini? Tidak bolehkah aku menikmati kegembiraan ini sebentar saja? Saat mendengar suaranya, jantungku kembali tak terkendali.

“Ya, Tn. Kim.” Aku memandang matanya, mencoba bersikap biasa, namun kembali terjerembab dalam gulungan jeratnya. Bagaimana mungkin ia punya mata yang begitu membuatku nyaman? Seolah perjalanan hidup telah mengajarinya rasa pengertian yang mendalam pada semua orang.

“Hari ini kau jadi presentasi, ya. Pukul 9. Tolong panggil semua orang yang terlibat.”

“Baik, Tn. Kim.”

Tapi, aku mengerutkan kening. Presentasi apa? Ya, Tuhan, presentasi proyek yang ditinggalkan Park Shin Hye. Dua bulan lalu, ketika Choi Siwon, atasanku keluar, ia juga keluar pada waktu hampir bersamaan. Otomatis tidak ada yang melanjutkannya, sehingga beberapa minggu yang lalu aku ditunjuk untuk meneruskannya. Astaga, bagaimana aku bisa lupa? Aku memang sudah menyiapkannya sejak lama karena seharusnya sudah dipresentasikan minggu lalu. Pembatalan minggu kemarin membuatku terlalu tenang dan melupakannya. Jika sekarang harus presentasi, masih ingatkah aku tentang beberapa hal yang telah kurencanakan? Sekarang sudah pukul 8.55, tak ada waktu lagi untuk mempersiapkan diri. Ah, masa bodohlah!

Aku masih berkutat menebak kabel mana dicobloskan ke mana, ketika hampir semua orang sudah berkumpul di ruang meeting. Malangnya, aku adalah sejenis orang yang sering dimusuhi oleh semua barang hasil teknologi canggih. Semua kabel telah terpasang seperti seharusnya, namun layar proyektor tak juga memantulkan apa yang telah divisualisasikan komputer. Aku berkeringat. Lee Ki Kwang turun membantu dan dengan mudahnya semua sarana presentasi itu menuruti kehendaknya. Tapi, aku malah semakin kesal. Tidak rela rasanya bila harus berhutang budi padanya.

“Selamat pagi Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya. Terima kasih untuk waktunya.”

Rasa gugup telah membuatku hampir terengah mengucapkan sebuah basa-basi yang telah diformat baku.

“Berikut ini saya akan mempresentasikan usulan perubahan sistem Compensation & Benefit kita. Karena ini masih berupa draft, masukan dari Tuan dan Nyonya sekalian akan sangat berguna bagi kami.”

Sebuah kalimat penghalusan untuk membujuk hadirin agar memaklumi segala kekurangan. Kujabarkan beberapa ulasan tentang latar belakang yang menjadi dasar usulan-usulanku. Kupikir, apa yang telah kusiapkan sudah sangat bagus. Namun, ketika sekilas kuraba respon mereka, kutangkap sesuatu yang membuatku semakin kehilangan rasa percaya diri.

Jika pembukaan tadi berhasil membuat semua mata memandang ke arahku, kini semua orang jelas-jelas terlihat telah kehilangan minat. Jika tidak berbisik-bisik dengan orang di sampingnya, mereka sibuk dengan ponsel. Hanya Kim Hyun Joong yang masih menatap layar presentasi. Itu pun dengan kening berkerut. Aku benci melihatnya hanya diam. Tapi, siapakah diriku baginya, sehingga ia harus menolongku? Keringat dingin semakin membuyarkan kemampuanku untuk menguasai keadaan. Apakah pembukaanku terlalu panjang, sehingga kehilangan fokus? Haruskah kupotong?

“Nn. Kim So Eun, mungkin usulanmu bagus. Tapi, saya tidak menangkap apa yang sebaiknya kita lakukan,” potong Lee Ki Kwang dengan mata menyipit.

Aku ingin tidak memedulikannya. Sebelum aku menjawab, ia sudah melanjutkan. “Para hadirin, saya usulkan agar sistem kompensasi kita yang baru lebih memfokuskan untuk membedakan secara tajam antara karyawan yang berprestasi dengan yang tidak. Saya memikirkan beberapa usulan, misalnya jika karyawan yang mendapat nilai A atau B, mendapat pengurangan bunga pinjaman lebih rendah. Atau, untuk tabungan dana pensiun mereka memiliki bunga investasi yang bergerak naik-turun tergantung prestasi kerja. Dengan begitu, semua karyawan termotivasi untuk mengejar prestasi.

Aku ternganga. Itu kan memang hal-hal yang akan kuusulkan.

“Para hadirin, sebenarnya saya…,” dengan panik aku berusaha merebut perhatian lagi. Tapi, suaraku tenggelam, karena Lee Ki Kwang menukas lagi.

“Saya akan memperlihatkan sesuatu, walaupun pembedaan tersebut akan memberikan jumlah kompensasi yang jauh berbeda, antara karyawan yang berprestasi dengan yang tidak. Namun, sebenarnya, jumlah yang diberikan perusahaan tetap sama.”

Habis sudah! Semua orang sibuk memusatkan perhatian pada Lee Ki Kwang yang dengan cepat menuliskan perhitungan di papan tulis dan memberikan beberapa argumentasi. Hadirin mengangguk-angguk.

“Sebenarnya ide itu juga ada di dalam slide saya,” kukeluarkan jurus terakhir dengan putus asa, tapi tetap tidak ada yang peduli.

Aku marah luar biasa. Memang, perhitungan itu tidak ada di slide-ku. Tapi, keseluruhan pemikiran itu adalah hasil kerja kerasku. Seenaknya saja ia merebut perhatian semua orang dan mendapatkan apresiasi untuk sesuatu yang seharusnya jadi milikku.

Mereka semua berdiskusi dengan asyik, sementara aku hanya diam dan berperan sama pasifnya dengan alat proyektor. Presentasi akhirnya selesai. Lee Ki Kwang menjadi bintangnya. Sementara aku, panglima yang kalah perang, membereskan peralatan presentasi dan keluar paling akhir dari ruangan.

Aku berjalan ke meja kerjaku. Lee Ki Kwang menabrakku sampai terjatuh. Kemarin, gara-gara Lee Ki Kwang, aku menabrak Kim Hyun Joong. Sekarang, di luar segala sebab akibat yang terkait dengan hukum karma, belum cukupkah hari ini untuk dibuat sial olehnya?

“Lee Ki Kwang! Hati-hati, kalau jalan!” semburku.

“Kau yang hati-hati, kau saja jalannya tidak lihat-lihat.”

Lee Ki Kwang selalu punya jawaban menyebalkan. Ia menyodorkan tangan untuk membantuku. Aku tidak menanggapi ulurannya. Jangan beri tanganmu, beri saja seluruh tubuhmu untuk kudorong keluar dari lantai 24 ini! Jangan salahkan aku jika di kantor ini terjadi pembunuhan terencana. Ia tiba-tiba berdiri meninggalkanku. Kalau aku memang tidak menerima pertolongannya, bukan berarti kau lepas kewajiban untuk bersopan-santun dan meminta maaf!

Baek Suzy tiba-tiba sudah menyeringai di dekatku. Kuraih uluran tangannya. “Sudah dengar gosip terakhir?” tanya Baek Suzy, sambil melirik Lee Ki Kwang, yang tergesa-gesa berjalan ke ruangan Kim Hyun Joong dengan setumpuk berkas.

Aku menggeleng, sambil merapikan rokku.

“Mereka yang di atas sedang mencari-cari pengganti Park Shin Hye. Lee Ki Kwang mengincar posisi itu. Karena itu, dia benar-benar unjuk gigi di depan Tn. Kim Hyun Joong.”

Aku terkesiap. Dalam hitungan kurang dari satu detik tiba-tiba aku mendapat jawaban dari semua yang terjadi hari ini. Kutinggalkan Baek Suzy. Dengan jantung berdebar, kubuka komputerku. Kuingat, hari terakhir kubuka bahan presentasiku adalah Selasa minggu lalu, ketika memindahkannya ke dalam flash disk. Namun, kulihat tanggal terakhir file itu dibuka adalah hari Kamis minggu lalu, saat aku training keluar kantor.

Dadaku menggelegak melebihi letupan-letupan magma. Aku marah sampai tubuhku terasa dingin. Lee Ki Kwang! Kenapa aku tidak bisa menebak dari tadi. Biarpun aku memberitahu password komputer pada hampir semua orang, bukan berarti ia boleh membuka-bukanya dan mencuri ideku. Pantas saja! Tidak mungkin ia memiliki pemikiran yang sama, kecuali ia telah membaca bahan presentasiku. Selang waktu sampai hari ini telah memberinya waktu untuk memikirkan kekurangan-kekurangan presentasiku dan memolesnya, seolah-olah itu adalah ide briliannya.

Aku menggertakkan gigi. Baiklah, sekarang kau memang telah merebut kesempatanku. Baiklah, ambillah jabatan Park Shin Hye. Tapi, jangan salahkan jika suatu hari nanti aku juga akan menikammu dari belakang! Tidak hari ini, Lee Ki Kwang. Tapi, suatu hari. Lihat saja, kau akan menyesal telah berurusan denganku.

Dengan gusar aku berdiri. Tanpa sengaja tasku tersenggol jatuh, peralatan make up-ku menggelinding keluar. Melihat begitu banyaknya ‘peralatan perang’ yang kubawa, aku teringat lagi dengan sesuatu yang lebih membuatku panik. Janji dengan Lee Seung Gi. Jika saja hari ini karierku telah dibuat hancur, jangan sampai nanti sore pun sama sialnya.

Akhirnya, tepat pukul 5 sore aku menyelinap keluar kantor. Ma¬sa bodoh jika Kim Hyun Joong mencariku. Ada hal lain yang menyangkut urusan hidup dan mati. Kali ini tidak ada seorang pun yang boleh menyabotase kesempatanku, termasuk diriku sendiri. Jika aku memang kehilangan kemampuan berdandan, masih ada Moon Chae Won, Penata Rias di salon langgananku yang bisa merapikan semuanya.

Tepat pukul 6.30, dengan merasa lebih cantik aku bergerak ke kafe yang sudah kami tentukan. Tapi, semakin mendekati tempat itu, rasa panik mulai membuatku mual. Bagaimana jika dia tidak suka padaku? Dia berada entah di sudut sebelah mana. Ketika secara penampilan aku tidak memenuhi seleranya, ia langsung mengendap pergi, dan tinggallah aku di sini menunggu dan menunggu. Bagaimana pula jika ia jauh dari harapanku? Bayanganku tentangnya sudah telanjur ditempatkan terlalu tinggi, hingga hempasannya juga akan jatuh sangat dalam. Lewat telepon kemarin ia begitu sempurna, aku benar-benar tak siap jika kenyataannya jauh dari itu.

Tapi... Cupid, Engkau memang malaikat cinta. Engkau sengaja merangkai berbagai peristiwa. Begitu melihatnya, aku langsung tidak percaya dengan siapa aku membuat janji. Suatu kebetulan yang hampir tidak mungkin terjadi. Pria dengan dasi personil CN Blue! Bagaimana mungkin aku bertemu lagi dengan pria yang kutemui di lift kemarin lalu. Ia dan Lee Seung Gi adalah orang yang sama. Lihatlah di sana. Mengenakan dasi berbeda, walaupun tetap bermotif para personel CN Blue. Ia semakin tampan dengan wajah bersih dan mata bersinar. Ia menyunggingkan senyum tulusnya yang mendebarkan.

Aku dengan rela memasangkan dada untuk terpanah kembali pada kedua kalinya. Karena, Cupid, dia juga suka padaku!

“Halo,” sapanya ramah, dengan mata danau gelapnya yang gemerlap, “Kupikir, sesaat tadi kita pernah bertemu di kehidupan sebelumnya, karena wajahmu tidak asing. Ternyata, kita pernah bertemu di lift, ya?”

Aku tertawa. ”Kebetulan yang aneh, ’kan?”

“Tapi, fotomu berbeda dari aslinya. Lebih cantik aslinya.”

Aku tersipu. ”Syukurlah, yang diperlihatkan ibuku padamu bukan fotoku yang terpampang di SIM.”

Ia tertawa. Aku hampir tidak dapat melihat garis pembatas antara gigi yang satu dengan lainnya. Begitu putih rata, seperti barisan pualam persegi yang dijejer rapi. Sambil begitu, tangannya melambai memanggil pelayan, sementara matanya tidak lepas menatapku. Tidak ada sanjungan lebih tinggi.

Selama beberapa waktu kemudian kami lalu mengobrol banyak. Sungguh ajaib, bagaimana mungkin kami punya banyak persamaan, sehingga tidak ada jeda keheningan. Kami banyak tertawa. Ia mudah diajak tertawa dan pandai menimpali cerita dengan gaya yang lucu. Sempurna. Sungguh sempurna, sampai akhirnya aku iseng menanyakan sesuatu.

“Dasimu unik sekali. Apa semua bertema CN Blue?”

Seperti baru menyadarinya, ia menyentuh benda yang tergantung diantara kerah baju itu. “Ceritanya panjang. Sekitar 6 tahun lalu, saat aku resign dari perusahaan lama, mereka memberiku kenang-kenangan koleksi lengkap CD CN Blue. Entah mengambil kesimpulan dari mana, yang jelas mereka salah menduga bahwa aku penggemar kelompok musik itu. Kekasihku pada saat itu juga menduga hal yang sama. Lalu aku diberi hadiah berbagai merchandise CN Blue setiap kali ia menemukannya selama 2 tahun kami berpacaran. Kebetulan, yang terbanyak adalah dasi-dasi ini. Aku tidak pernah tega untuk memberitahukan hal yang sebenarnya.”

Memang, kita harus curiga jika sebuah cerita selalu diawali oleh kejadian yang terlalu sempurna. Lalu, untuk apa dia mencari-cari kekasih lain, calon istri malah! Padahal, jelas sekali bahwa ia masih mencintai wanita itu. Buktinya, meskipun sudah tidak berpacaran lagi, ia tetap mengenang wanita itu dengan memakai barang-barang pemberiannya, meski tidak menyukainya.

Kupikir, perahuku sudah hampir berlabuh. Ternyata, sedang terseret angin untuk kandas di karang tajam. Menyebalkan! Lalu apa yang ia cari sekarang? Wanita 30-an yang sudah hopeless sehingga mau melakukan apa saja?

”Kim So Eun, sebentar, ya, aku mau ke toilet dulu.”

Aku tidak menjawab. Mataku tajam memerhatikan ponsel yang ia tinggalkan di meja. Pasti inbox-nya masih berisi pesan-pesan penuh harapan dengan kekasihnya. Taruhan!

Iseng-iseng kubuka inbox-nya. Pada deret paling atas terdapat nama sender yang menggelitik “Black Widow”. Pasti ada kandungan emosi negatif, jika ia sampai menamakan pengirim itu dengan konotasi yang tidak menyenangkan. Tidak mungkin aku tidak tergoda untuk membukanya.

“…Aku tahu jalan kita sudah berbeda. Tapi, aku tetap takut jika kau akhirnya menemukan penggantiku…”

Hatiku langsung panas. Dugaanku benar. Aku tidak pernah sempat membaca kelanjutannya. Sebuah insting tanda bahaya membuatku mengangkat kepala. Lee Seung Gi sudah kembali ke meja kami dan berdiri menatapku dengan pandangan marah bercampur sinis dan merendahkan. Dengan gerakan perlahan diambilnya ponsel itu dari genggamanku. Aku terlalu kuyup untuk sekadar dikatakan tertangkap basah. Tak ada alasan apa pun yang bisa menetralisasi situasi ini. Lee Seung Gi langsung berbalik meninggalkanku, tanpa merasa perlu untuk permisi. Perahuku sudah benar-benar hancur menabrak karang sekarang.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...