Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 22 Desember 2011

Cupid (Chapter 8)



Hari kedelapan

Senin pagi. Aku tak ingin ke kantor. Tak ingin bangun. Tak ingin i¬ngat apa yang terjadi kemarin. Tak ingin aku pernah ada. Bodoh benar! Mabuk di Jumat malam. Mencium suami orang di hari Minggu.

Ingatan bahwa upacara semalam untuk Cupid lebih banyak berisi makian, membuatku merasa semakin kehilangan pegangan. Sudah satu minggu. Tapi, tidak ada yang terjadi. Aku mulai cemas, apakah engkau benar-benar ada, Cupid? Semalam kugeser kembali kedua lilin itu. Sudah hampir bertemu di tengah gambar hati.

Mungkinkah hanya dalam sisa separuh waktu ini, aku berhasil menemukan seseorang yang sudah kutunggu hampir separuh hidupku? Apakah kau memang hanya murni hasil fantasi dan imajinasi orang yang lelah menghadapi realitas. Ataukah, kau di atas sana sedang tertawa-tawa, Cupid? Karena, kalau kau memang bekerja seperti seharusnya, tidak akan banyak kemalangan cinta bertebaran di muka bumi ini. Lihat saja selama ini. Begitu banyak kisah yang terjadi, namun hanya merupakan tambahan ironi dalam lembar-lembar buku kehidupanku.

“Cupid, kau sama sekali tidak membantuku. Jika kau memang Malaikat Cinta, dalam dua hari ini kau harus mempertemukanku dengan pasangan hidupku. Kau benar-benar Malaikat yang tidak becus dalam bekerja. Jangan sampai aku menganggapmu cuma Malaikat payah yang tidak punya kekuatan. Berhentilah bermain-main. Jangan coba-coba menjodohkanku dengan orang yang lebih parah dari yang kemarin-kemarin. Jangan sampai berani melakukan itu. Bantulah aku. Segera!”

Kuingat bagaimana lilin kutiup dengan sangat cepat. Sama sekali bukan upacara pemujaan.

Pagi ini matahari memancarkan sinarnya dengan kekuatan panas. Aku sudah kusut sebelum sampai di kantor. Lorong depan lift sudah sepi dari para karyawan yang biasanya mengantre. Aku sudah terlambat. Sekali lagi kusiapkan alasan yang sudah kuno selalu ampuh… macet.

Lift kosong. Di lantai lima lift terbuka. Masuklah manusia yang paling pandai menambah malapetaka. Lee Ki Kwang. Saat melihatku, ia menyeringai lebar. Aku mengernyit masam. Benar-benar pagi pembuka hari yang menyebalkan. Dia lalu mulai bertanya-tanya hal menyebalkan soal keterlambatanku. Semua kujawab dengan acuh, hingga kemudian....

“Kim So Eun, lift-nya jalannya agak aneh, ya?

Kudiamkan saja. Bosan menanggapinya!

“Kim So Eun, jadi melambat.

Tapi, aku merasakan hal yang sama. Tarikan tali lift seperti tersendat, membuat kotak kecil ini bergoyang. Rasa panik mulai merambat naik. Dan…

Bruk! Lift berhenti total.

Cupid! Aku ingin berteriak sekerasnya. Bercandamu sama sekali tidak lucu! Kalau aku harus terjebak di dalam lift, kenapa harus dengan Lee Ki Kwang? Aku merinding. Apakah kau mencoba menjodohkanku dengan dia? Cupid, kumohon, maafkan caci makiku tadi malam. Jangan lakukan ini!

Bergegas aku memencet tombol dengan goresan bergambar lonceng. Sebuah suara petugas terdengar.

“Apa lift-nya macet? Tunggu sebentar, ya!”

“Ya, Tuan. Jangan lama-lama. Panas sekali di sini.”

Aku mendesah. Berapa lama lagi? Tidak mengertikah mereka bah¬wa waktu satu detik di luar sana setara dengan hitungan satu jam di dalam lift? Aku ingin berjalan mondar-mandir untuk membunuh rasa gelisah, tapi takut membuat talinya putus oleh detakan kecil dari hak sepatuku. Lee Ki Kwang diam saja. Mungkin, rasa takut telah mencekik pita suaranya. Syukurlah, ia bisa bersikap sesuai kehendakku.

Sepuluh menit yang panjang berlalu sudah. Aku berulang kali mendesah, mengeluh, mengumpat. Berulang kali kutekan tombol hanya untuk mendapat jawaban yang sama… Petugasnya sedang dipanggil. Aku bukan takut lift ini akan terempas, melainkan takut Cupid sedang menjalankan hukuman untukku dalam bentuk jatuh cinta dengan Lee Ki Kwang!

Wahai, Cupid, aku bersumpah, jika bisa keluar dari lift dengan selamat, dalam arti aku tetap memandang Lee Ki Kwang dengan kaca mata yang sama, aku akan menimbuni altarmu dengan rangkaian bunga mawar.

Tiga puluh menit berlalu. Udara semakin sesak. Aku melirik Lee Ki Kwang. Ia masih diam. Wajahnya pucat. Rupanya, rasa cemas telah membekukan semua saraf motoriknya. Ia lebih takut daripada aku.

“Lee Ki Kwang, kalau bisa keluar dari sini, aku tidak akan marah-marah lagi padamu. Maafkan aku, kalau selama ini aku selalu judes.”

Ia tersenyum, lalu menunduk. “Kim So Eun, maafkan aku juga. Aku sengaja menjatuhkan presentasimu. Kau yang sebenarnya punya kesempatan lebih besar untuk naik jabatan. Tapi, aku tidak rela kalau kau jadi manajer, sementara aku staf biasa, menjadi orang yang tidak akan pernah kau pandang. Itu semua karena… karena… aku menyukaimu!

Aku membelalak.

“Semua hadiah kecil yang kau dapat itu dariku.”

Hening.

Yang satu hilang rasa karena lega yang melimpah-limpah. Yang satu tak tahu rasa, karena bingung meraba-raba.

Brak! Tiba-tiba lift mulai berjalan lagi.

Sampai di kantor, suasana panik sangat terasa. Pantas saja tidak ada yang memperhatikan kemalangan yang tadi menimpa kami. Tak ada yang duduk tenang di kursinya masing-masing. Saat Lee Ki Kwang memasuki ruangan, semua arus emosi berbelok tersembur padanya.

“Lee Ki Kwang, Flashdisk-mu ada virusnya!”

Baek Suzy berteriak, “Gila, file-ku hilang. Kemarin kau kan yang menyebarkan proposal dengan Flashdisk. Berarti, virus itu dari Flashdiskmu. Lee Ki Kwang, ayo, perbaiki!”

Aku tercekat. File bervirus? Astaga!

“Panggil orang IT saja.”

Semua orang berseru sebal padanya. Tapi, sebenarnya akulah yang duduk di kursi pesakitan. Semua ini salahku. Harusnya akulah yang dimaki-maki, bukan Lee Ki Kwang. Ada sedikit dorongan untuk mengakuinya di depan umum. Tapi, sanggupkah aku menghadapinya? Biarlah kata hatiku memecut-mecut harga diri dengan kata pengecut. Tapi, aku tak mampu menerima kenyataan menjadi tidak disukai banyak orang. Maafkan aku, Lee Ki Kwang. Masalah nama baikmu akan kubereskan dengan cara lain nanti.

* * *

“Nn. Kim So Eun, bisa ke sini sebentar?”

Kim Hyun Joong melongokkan kepalanya dari balik pintu. Ketika kumasuki ruangannya, ia telah menyiapkan selembar kertas.

“Saya memperhatikan hasil kerjamu selama ini. Saya ingin kau menggantikan posisi Choi Siwon. Saya percaya kau bisa. Selamat, ya.”

Kim Hyun Joong mengulurkan tangan. Tuhan, aku sudah menghancurkan nama baik Lee Ki Kwang untuk sesuatu yang percuma, untuk iri hati yang sebenarnya tidak perlu. Mungkin Cupid benar. Mungkin aku harus menebus kesalahanku dengan menikahi Lee Ki Kwang.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...