Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Kamis, 22 Desember 2011
Cupid (Chapter 12)
Hari keempat belas
Aku sudah sehat dan siap pergi berburu pria lagi. Namun, hari penantian hampir berakhir. Mengapa tetap tidak terjadi apa-apa? Haruskah aku tetap melakukan upacara terakhir ini? Bulan di atas bulat penuh dalam sinar kuning yang terlalu terang, mengajakku tertawa. Namun, inderaku sedang terlalu tumpul untuk menanggapi gurauan sehalus apa pun.
Kugeser kedua lilin. Mereka bertemu tepat di tengah hati. Dua warna berlainan yang kelihatan cantik dan serasi dengan nyala yang berkedip-kedip, mencoba bertahan dari sentilan-sentilan angin kecil. Cupid, setelah kugantungkan seluruh harap hanya padamu, menga¬pa engkau berkhianat? Kutiup mati nyala lilin-lilin itu dengan kesal.
“Cupid. Kau memang tidak ada. Pasangan sejatiku juga tidak ada. Selamat tinggal dan kurasa aku tak merasa perlu mengucapkan terima kasih!”
Dengan langkah panjang aku masuk ke dalam dan menutup pintu belakang. Namun, lewat lubang kotak berkaca yang menempel di pintu, sempat kulihat tempat yang semula pernah menjadi altar yang kupuja-puja selama 15 hari terakhir. Sekarang ia kelihat¬an suram. Bayang-bayang dari sinar bulan memberi warna yang memperkelam. Mungkin, bukan cuma masalah lilin mati yang melunturkan keindahannya. Namun, lebih karena ketika harapanku akhirnya mati, tempat itu turut kehilangan suasana kegaibannya.
Aku berjalan ke arah kamar. Bayangan kelabu itu masih berkabut tebal di ingatanku, ketika terdengar dering ponsel membelah nyaring.
“Kim So Eun, ini aku Kim Bum.”
Tumben.
“Tadi aku mau merokok di taman atas, ketika melihat kau menyalakan lilin. Aku tidak bermaksud mengintip. Tapi, apa kau sedang melakukan ritual untuk Cupid?”
Aku merasakan semburan rasa malu yang membakar wajahku. Bagaimana ia bisa tahu? Andai saja tubuh bisa mengecil jika diinginkan. Sekecil mungkin untuk menjadi tidak terlihat. Kenapa harus Kim Bum yang memergoki?
“Lalu, kau mau apa? Ini pekaranganku sendiri,” jawabku berusaha marah untuk melindungi harga diri yang sudah tidak terselamatkan.
“Jangan marah-marah. Kau tidak perlu malu.”
Aku terkesiap, bagaimana mungkin suaranya bisa selembut itu. Apa iya, dia bisa mengerti dan memahami apa yang kulakukan.
“Ke rumahku sekarang. Aku mau memperlihatkan sesuatu padamu.”
Biasanya aku selalu menolak atau waspada, menduga maksud terselubung di balik itu. Namun rasa ingin tahu mengalahkan rasa-rasa yang lain. Aku ke luar rumah dan berbelok masuk ke halaman rumah orang tua Kim Bum. Ia telah menunggu dengan pintu depan terbuka. Tanpa berkata-kata, aku mengikutinya naik ke taman atas. Sesampai di sana, sinar bulan tampak dominan, walau tidak sempurna menerangi semua benda. Semua bentuk dan warna tetumbuhan yang ada, larut dalam warna yang sama, hitam atau kelabu. Tapi, aku tahu, ini masih taman yang indah. Sudah puluhan tahun aku tidak ke sini, padahal dulu ini adalah salah satu tempat bermain favorit kami.
Kim Bum terus berjalan ke ujung taman untuk menyalakan lampu. Ketika menjadi hidup oleh terang, Kim Bum menunjuk pada suatu sudut yang terlindung dari hujan oleh perpanjangan atap rumah. Pada bagian itu terdapat meja kayu yang sudah tua. Di atasnya terdapat dua lilin, yang sudah separuh batangnya, tanda pernah dinyalakan. Dua lilin berbeda warna yang berdiri berdampingan di atas gambar hati yang dibuat dengan kapur….
Aku terkejut. Lalu, tertawa terbahak-bahak. Senang sekali, ternyata bukan aku yang paling bodoh di dunia ini. Mungkin wajar saja jika aku yang melakukannya, karena aku hanyalah wanita di usia kritis, yang hampir mendekati masa tidak laku lagi di bursa pencarian jodoh. Tapi, Kim Bum, ternyata ia juga panik karena belum menemukan pasangan hidup.
Kim Bum pun tertawa. Tertawa ternyata membuat kami berdua terduduk lemas menempel pada tembok pembatas. Bulan tampak menguasai langit dengan sinarnya. Bintang-bintang kecil tampak tak kalah bersanding dengan kedip kilaunya. Cakrawala hampir terlihat biru seolah malam tidak ingin jadi kelam. Suasana redup tapi hangat. Sungguh malam yang tidak biasa.
Aku memandangnya. Ia memiliki semua modal yang membuatnya mudah mendapatkan siapa saja. Tapi, tetap tidak menjamin kemudahan untuk menemukan yang ia cari. Mungkin benar jika cinta dikatakan sebagai anugerah. Ia datang kepada siapa saja ketika harus datang, tanpa perlu berkorelasi dengan penampilan, kekayaan atau status.
“Jangan dilihat bahwa ini adalah sihir yang tiba-tiba mewujudkan semua impianmu. Ketika melakukan upacara ini, yang terpenting adalah kata-kata. Kata-kata bisa memiliki kekuatan, karena ketika diucapkan secara berulang kali, mereka mampu mensugesti diri kita pada suatu pemikiran, yang pada akhirnya mendorong perilaku kita untuk mengarah pada suatu tujuan.“
”Sadar tidak, selama ritual ini berlangsung, banyak sekali peristiwa yang terjadi karena pikiran dan perilaku kita memang jadi lebih fokus terarah pada pencarian pasangan. Bukan sihirnya yang berhasil. Tapi, kemampuan sugestilah yang bekerja untuk memberi dorongan pada kita, agar benar-benar mau berusaha. Jadi, jika belum berhasil, kita jangan berhenti. Mungkin, kita perlu lebih sering berbicara hal-hal yang membuat kita semangat, agar spirit itu selalu terisi penuh energinya. Bagaimana kalau kita sekarang melakukan ritual berdua, tapi lebih untuk saling menyemangati?”
Mungkin kata-kata Kim Bum benar. Sayangnya, aku sudah kehilangan minat dengan segala macam mantera ini. Tapi… menyenangkan juga punya teman untuk mencobanya lagi. Kim Bum berdiri, menyalakan kedua lilin dan menyerahkan salah satunya padaku. Dengan satu tangannya yang bebas, Kim Bum meraih jemariku dan memejamkan mata. Dalam jarak sedekat ini aku bisa melihat betapa tampannya dia. Sinar bulan memberi bayang-bayang misterius, yang menegaskan lekuk-lekuk rahang dan alis indah yang ia punya.
Suasana menjadi hening. Jalan langit terbuka bebas untuk melepaskan mantera. Kami mengucapkan keinginan dengan perlahan-lahan, seolah seluruh jiwa lepas satu-satu lewat setiap kata. Mungkin, ini hanya imajinasi atau memang benar-benar terjadi. Jutaan kerlip kecil terbang membelah angkasa, lalu menyebar di ketinggian. Kami hanya memandang takjub pada langit yang menjadi benderang.
Kim Bum menatap, sinar-sinar kecil tampak memantul di matanya. Tiba-tiba saja diriku diraja oleh suatu keinginan, yang ia tahu pasti, lewat caraku memandang tepat ke bola matanya. Kami saling memejamkan mata dan mencari bibir satu sama lain. Rasanya, sungguh fantastis. Seperti seluruh anggota tubuh yang lain melebur dan hilang menjadi partikel udara. Hanya tinggal bibir yang bergerak, memberi dan diberi dalam kenikmatan yang tak pernah habis tersalurkan.
Tapi... apa-apaan? Dia kan Kim Bum! Kuhentikan gerakanku. Ia masih terpejam mencari. Tuhan, pria ini sungguh indah. Bersamaan dengan ia membuka matanya, aku sudah berbalik dan bergegas ke rumah. Gila! Bodoh benar! Aku hanya akan jadi wanita kesekian Kim Bum. Lupakan! Lupakan! Anggap yang tadi tak pernah ada. Aku hanya akan jadi koleksinya. Tidak! Terima kasih!
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar