Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Selasa, 20 Desember 2011
Cupid (Chapter 2)
Hari kedua
Tepat pukul 6 sore. Dengan hati berdebar-debar aku menunggu lift. Kuucapkan doa dengan khusyuk. ”Jangan sampai bertemu Jung Yong Hwa.”
Sungguh menyebalkan, mulai kemarin aku selalu ketakutan jika hendak memasuki kotak ini. Kumaki-maki setan beton yang telah menyeretnya pindah ke kantor ini. Sayang sekali, kantorku berjarak 18 lantai dari lobi. Jika tidak, aku lebih baik berkeringat naik-turun tangga daripada harus mati sakit jantung setiap kali pintu ini terbuka.
Sebuah bunyi pertanda berdenting.
”Jangan Jung Yong Hwa. Jangan Jung Yong Hwa.”
Bagai menanti tirai yang membuka pertunjukan horor, aku menatap pintu yang perlahan terbuka. Fuih! Doaku terkabul. Pria asing tak kukenal.
Dengan napas lega, aku melangkah masuk. Lift berjalan perlahan. Sebuah bau rumput bercampur rempah menarikku untuk menyadari keberadaannya. Unik sekali. Ia memakai dasi dengan motif para personel CN Blue. Pria jenis seperti apakah yang berani tampil sebeda itu? Penggemar fanatik? Penikmat hidup yang tidak takut komentar sosial? Atau, hadiah ulang tahun dari kekasih galak, yang terpaksa harus dipakai?
Aku menyeringai, tepat ketika ia memandangku. Rasa malu terpergok membungkam senyumku, tapi ia ikut menyeringai lucu, seolah memaklumi apa pikiranku. Senyumnya menguar sesegar harum tubuhnya. Kami akhirnya berdiri bersisian, tanpa saling memandang, namun tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba detak jantungku berdegup menembus dinding. Cupid, apakah ini perbuatanmu? Apa kejadian selanjutnya yang akan terjadi? Apakah lift akan macet? Sungguh mendebarkan untuk berjam-jam terjebak. Jam-jam pertama yang akan membawa kami pada obrolan yang semakin menghapus jarak. Jam-jam yang terus merangkak untuk menyadarkan dua jiwa untuk menjadi satu. Jam-jam yang memberi waktu untuk menegaskan kesatuan itu.
Lift sedikit bergoyang. Ayo, jadilah rusak! Mati! Macet! Atau, apa saja. Yang penting terjadi peristiwa yang akan kami kenang seumur hidup. Mungkin, nantinya kami akan berulang kali menceritakan setiap detail kejadian ini pada semua teman kami. Begitu berulang-ulang, sampai tidak peduli lagi, jika ada yang pernah mendengar ulangan cerita itu sampai 3 atau 4 kali. Mungkin, cerita ini juga akan terus menurun sampai anak cucu. Mungkin….
Tapi, lift baik-baik saja dan terus meluncur turun meninggalkan anganku mati di atas sana. Di lobi, pria itu melangkah keluar. Sama sekali lupa bahwa telah memanah mabuk seorang wanita oleh senyumnya. Kupandang punggungnya ketika ia melangkah pergi dari dunia harapku. Aku mencari napas pada udara yang tiba-tiba menjadi padat dan berat. Kucoba menghibur diri sendiri. Bagaimana jika bukan dia orangnya?
* * *
Dengan kesal aku sampai di rumah. Sudah lewat pukul 9 malam. Bisa dibilang, 2 hari ini tidak ada apa pun yang terjadi. Mungkin, Cupid masih sibuk mengurus cinta-cinta yang lain. Mungkin, malam ini aku harus lebih khusyuk merapalkan mantra. Mungkin, aku masih harus menunggu giliranku 13 hari lagi. Tapi, aku tetap tidak merasa terhibur, tetap kesal karena mantra yang belum manjur. Ya, ampun! Ternyata, kekesalanku harus menukik sampai ke puncaknya, ketika menemui ujung belakang mobil Kim Bum menghalangiku untuk memasukkan kendaraan ke dalam garasi.
Oke, Kim Bum. Aku tahu orang tuamu punya mobil lebih dari yang diperlukan, sehingga kendaraanmu terlalu sesak untuk diparkir di dalam halaman. Tapi, itu kan urusan kalian sendiri. Bukan berarti boleh melanggar wilayah teritoriku!
Seharusnya, aku turun dan mengetuk pintu rumahnya. Seharusnya, aku berbicara didahului dengan kata ‘maaf’, memintanya menggeser mobil. Seharusnya, aku juga mengucapkan terima kasih untuk dipenuhinya permintaan itu. Seharusnya! Namun, aku sudah puluhan kali melakukan hal itu dan setiap kali Kim Bum datang menengok orang tuanya, selalu saja terulang kejadian yang sama. Maka, untuk tetangga yang memiliki anak seperti Kim Bum, lupakan dulu semua sopan santun yang sudah ditanamkan orang tua.
Kutekan tombol klakson keras-keras. Tak ada respons. Kutekan lebih keras lagi. Belum juga ada reaksi. Kutekan lagi, berulang-ulang dengan durasi panjang, mirip suara lokomotif kereta api. Masih tak ada tanggapan juga! Aku malah mendapatkan tatapan penuh teguran dari tetangga depan rumah, yang mengintip lewat sibakan tirai jendelanya. Ketika kuputuskan untuk menggedor pintu rumahnya, tiba-tiba saja ia muncul sambil nye¬ngir menyebalkan.
“Aduh, Kim So Eun, kau ingin sekali bertemu denganku, ya. Ha…ha…ha….”
Aku melotot. “Jangan tertawa. Ini sudah kejadian kesekian kali. Tidak bisa, ya, diajak bicara baik-baik? Kalau tidak punya halaman luas, jangan sok punya mobil banyak. Tidak malu makan tanah tetangga?”
“Oh, kau cuma mau menyuruhku memundurkan mobil. Mau bicara begitu saja berbelit-belit,” seringainya dengan nada merayu, seolah aku tadi sedang malu-malu berusaha mengatakan cinta padanya.
Aku tak sanggup mengucapkan apa pun, ketika Kim Bum memajukan kendaraannya. Kemarahan sudah menghilangkan kemampuanku untuk mencari kata-kata. Mungkin, sebaiknya tadi aku menabrak mobilnya saja, lalu pura-pura tidak sengaja menyerempetnya, agar bisa berkelit dari tanggung jawab untuk mengganti. Biar mobilku ikut tergores. Rasanya itu sepadan dengan bayaran kepuasan melihat Kim Bum mengelus-elus bagian belakang mobilnya yang penyok dengan wajah memelas.
“Kalau tersenyum seperti itu, kau jadi terlihat cantik, Kim So Eun!” Ia sudah ada di samping mobilku.
Aku malu sekali tertangkap senyum-senyum sendiri. Sebelum sempat mengambil napas, Kim Bum sudah berbalik melenggang meninggalkanku dengan tangan yang masih tegang mencengkeram bulatnya setir yang terasa lembap oleh keringatku sendiri.
Tanpa kuduga, ia berbalik.
Aku terkejut. “Ada apa lagi?”
“Kalau marah-marah, kau semakin cantik! Jangan sering-sering marah, nanti aku semakin menyukaimu!”
Hah…?
Setelah kehilangan kata, sekarang aku kehilangan kemampuan untuk berpikir. Dasar! Sok paling tampan! Sok banyak yang menyukai. Tapi, kenapa aku merasa senang juga, ya? Kim So Eun, ingat, dia itu Kim Bum. Buaya berkepala empat dengan hati bercabang yang tak terhitung. Tak sulit untuk bilang cinta, karena hal termudah baginya adalah membagi-bagi hati dan perasaannya. Begitu lihainya, sehingga ia tetap dapat dengan cekatan membaginya, meskipun harus diiris setipis rambut dibelah tujuh.
Kim Bum terus berjalan memasuki rumahnya dengan santai. Sewaktu kecil kami sempat jadi teman sepermainan. Terkadang bertengkar. Terkadang rukun. Tapi, itu dulu sekali. Mulai SMP, lingkup pergaulan kami jadi berbeda. Ia kehilangan minat untuk bermain denganku, aku juga terlalu minder untuk menggabungkan diri dengannya.
Kepopuleran membuatnya begitu mudah bergonta-ganti pasangan. Bukan sekadar bergonta-ganti, ia juga suka punya banyak pasangan dalam satu waktu. Ia tinggi dan tegap. Tidak terlalu tampan sebenarnya. Namun, ia dikaruniai daya tarik yang turun langsung dari langit. Sekali melihatnya, kaum hawa biasanya tak kuasa untuk melirik, mengerling, dan mencuri-curi pandang lagi, mencari-cari apa sebenarnya yang menarik. Bahkan, dalam keramaian sesesak apa pun, ketika kepadatan seharusnya mengaburkan fokus pada satu sosok, pesonanya tetap mampu membuatnya sebagai figur paling bersinar untuk menjadi pusat semua pandangan.
Yang paling jelek, Kim Bum menyadari kelebihan itu dan memanfaatkannya untuk mendapatkan siapa pun, tanpa perlu banyak berusaha. Kabarnya, sampai sekarang pun ia masih begitu. Kuduga, dari kariernya yang terus meroket, permainannya dalam menggaet banyak wanita pasti lebih fantastis lagi.
Aku mengeluh. Kalau bukan berstatus lajang, pria-pria yang tersedia hanyalah pria semacam Lee Ki Kwang dan Kim Bum. Tidak heran jika aku sulit mendapat jodoh. Dunia ini isinya cuma pria-pria menyebalkan!
* * *
Ketika membuka pintu, Ibu sudah berdiri di depanku. Di tangannya tergenggam sebuah kartu kecil. Sebelum aku sempat bertanya, ia sudah menyemprotku terlebih dahulu.
“Kim So Eun, kau tidak malu sudah besar masih bertengkar seperti itu? Yang sabar, Kim So Eun. Anak sebaik Kim Bum, kenapa kau galaki seperti itu. Dia itu anak berbakti, begitu rajin menengok orang tuanya. Ibunya bilang, dia sekarang sudah jadi vice president? Lalu, dia baru saja pindah lagi ke apartemen elite. Masih muda sudah sehebat itu, ya?”
Tampaknya Ibu lupa bahwa Kim Bum sebenarnya seumur denganku. Masih muda, katanya? Seingatku, semua nasihat Ibu untukku selalu didahului dengan kata ‘kau sudah berumur’ sebagai penghalusan dari kata ‘sudah tua’.
“Aduh Ibu, itu kan biasa saja. Ibu pegang kartu apa?” tanyaku, mencoba mengalihkan.
“Wah, Ibu sampai lupa. Ada anak teman Ibu yang sedang mencari jodoh juga. Ibu sempat dikenalkan. Dia pria yang tampan. Ibu perlihatkan fotomu dan sepertinya dia berminat. Jadi, Ibu beri nomor ponselmu padanya. Tidak apa-apa kan? Ini kartu namanya.”
Biasanya, aku langsung menolak siapa pun yang ditawarkan Ibu dan marah jika ia telah melakukan inisiatif sejauh itu. Pria yang sampai memerlukan bantuan ibunya untuk mencari jodoh, biasanya aneh. Sempat sekitar 3 atau 4 kali aku mengikuti perjodohan yang diatur oleh para ibu itu. Semua langsung tidak lolos seleksi pada 10 menit pertama. Mereka terdiri dari dua jenis… yang hanya bisa berbicara seputar diri sendiri dan pria yang tidak tahu mau bicara apa. Membosankan!
Tapi, kali ini adalah pengecualian dari yang kemarin-kemarin. Sekarang aku mau mempertimbangkannya. Selain kartu namanya juga mengesankan, kupikir mungkin ini adalah jalan yang ditunjukkan Cupid.
Malamnya, ponselku berdering.
“Halo, apa ini Kim So Eun?”
Suaranya sopan dan tenang. Permulaan bagus.
“Ya, benar. Ini siapa?” tanyaku, berpura-pura.
“Aku Lee Seung Gi. Tadi ibuku mengenalkanku pada ibumu dan ia memberi nomor ponselmu. Kau tahu kan ibu-ibu itu. Aku rasa, kau juga sering kesal dengan segala perjodohan ini. Tapi, tidak tahu kenapa, ketika melihat fotomu, kupikir tidak ada salahnya mencoba. Ini pun kalau kau setuju!”
Pandai berkata-kata dan jujur. Mengesankan.
Aku tertawa kecil. “Oh, begitu. Tapi, ini tidak adil. Aku sama sekali belum melihat fotomu.”
“Kupikir, kalau sekadar foto, aku bisa mengirimimu foto-foto model tampan yang bisa dengan mudah kucari di internet. Bagaimana kalau kau melihat aslinya saja? Besok pukul 7.00 malam di Red Cafe?”
Wah, langkah jitu.
“Baiklah. Kau bisa mengenaliku, ’kan?”
“Sepertinya, bisa. Aku akan pakai kemeja putih bergaris dan celana gelap. Aku tunggu, ya!”
Ugh, itu bukan tanda-tanda yang mencolok. Hampir semua pria mengenakan pakaian semacam itu. Tiba-tiba aku disergap rasa panik. Bagaimana jika ia sengaja memilih baju itu agar bisa cepat menyelinap tanpa ketahuan, jika tidak tertarik melihat penampilanku sebenarnya?
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
oooh..KSE n KB seumuran toh...
BalasHapusmakin seru ne crita'a..
lanjut lg ah..^^