Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 08 Desember 2011

Misteri Hantu Merah (Chapter 10)



Chapter 10
Tertangkap


Nichkhun mendahului ke ujung belakang gua, yang ternyata cukup lapang ketika mereka sudah masuk ke dalam. Diterangi cahaya senternya, Nichkhun menunjukkan mulut terowongan tambang yang ada di situ, yang digali bertahun-tahun yang silam. Dalam terowongan itu masih ada balok-balok kayu penopang, langit-langit, walau di sana-sini ada juga yang runtuh.

"Sekarang kuceritakan rencanaku," kata Nichkhun. "Di bawah gunung ini, terowongan tambang ternyata bercabang-cabang. Ketika aku baru tiba di sini, aku sangat tertarik pada tambang-tambang kuno. Ada seorang laki-laki di sini... Chansung namanya. Seumur hidup kerjanya mengorek-­ngorek bijih emas yang masih tersisa di dalam tambang-tambang kuno.

"la mengenal lorong-lorong bawah tanah ini, seperti kita mengenal jalan-jalan di kota kita sendiri. la sekarang sakit dan terbaring di rumah sakit. Tapi sebelum itu ia sempat mengajakku menelusuri lorong-lorong tambang kuno ini. Dan jika tahu jalannya, dari gua ini kita bisa menuju gua tempat penyimpanan anggur di seberang gunung!"

"Wah!" kata Donghae kagum. "Jadi kau bermaksud mengajak kami menyusuri tambang ini, sementara Junho serta anak buahnya mencari-cari kita di luar?"

"Tepat," kata Nichkhun. "Rupanya para pekerja banyak yang bersekongkol dengan Junho. Tapi lewat jalan ini kita akan muncul satu mil saja dari rumah. Jadi kita bisa cepat-cepat pulang untuk menyampaikan laporan, sebelum ada yang sempat menghalang-halangi. Di dalam ada dua bagian yang sulit. Hanya orang-oarang bertubuh kecil saja yang bisa melewati tempat itu. Tapi ketika kucoba bersama Chansung enam bulan yang lalu, ternyata kami bisa melewati celah sempit itu."

Heechul agak cemas. Jalan yang harus ditempuh di bawah tanah kelihatannya panjang sekali, lagi pula di tengah kegelapan yang pekat. la merogoh kantongnya, meraba kapur tulisnya yang berwarna hijau.

"Apa tidak lebih baik jika jalan yang kita lalui diberi tanda?" katanya mengusulkan. "Jadi kalau nanti tersesat, kita bisa menemukan jalan kembali."

"Kita tidak akan tersesat," kata Nichkhun. "lagipula jika kita memberi tanda, Junho mungkin menemukannya nanti, sehingga ia bisa menyusul kita dengan gampang."

Nichkhun kedengarannya sangat yakin akan kemampuannya. Tapi Heechul tahu, kemungkinan tersesat selalu ada. Bahkan jika jalan yang ditempuh rasanya sudah dikenal baik. Donghae juga berpendapat begitu.

"Begini, Nichkhun," katanya, "kami mempunyai tanda rahasia, berbentuk tanda tanya. Bagaimana jika kita menandai jalan yang dilewati dengan tanda khusus itu, tapi juga dengan tanda-tanda panah yang menunjuk ke berbagai arah. Jadi cuma kita saja yang tahu pasti, tanda mana yang menunjuk­kan arah yang sebenarnya. Kalau ada orang masuk ke sini mengejar kita, ia pasti banyak kehilangan waktu karena mengikuti tanda-tanda palsu."

Usul itu disetujui oleh Nichkhun.

"Lagi pula Junho tidak tahu-menahu tentang tambang ini," katanya menambahkan. "Begitu pula kenyataan bahwa dari sini ada hubungan langsung ke gua tempat penyimpanan anggur. Tapi kalian memang benar... ada saja kemungkinan kita tersesat di dalam nanti. Sebaiknya di luar gua kita tidak membubuhkan tanda apa-apa, karena Junho atau anak buahnya jangan sampai bisa cepat mengetahui di mana kita berada. Tanda baru kita bubuhkan jika sudah berada jauh di tengah tambang."

Mereka lantas masuk ke dalam liang tambang kuno itu. Jalan yang dilalui sempit, dan di beberapa bagian rendah. Sekali-kali mereka sampai di persimpangan atau percabangan lorong. Simpang atau cabang itu dulu dibuat karena pekerja tambang mengikuti lajur emas yang menyimpang. Heechul menandai arah yang benar dengan tanda tanya. la juga membuat tanda-tanda panah yang besar, menunjuk ke lorong-lorong yang menyesat­kan. Bagi orang yang tidak mengetahui rahasianya, tanda-tanda itu pasti membingungkan.

Tapi kemudian mereka sampai di suatu tempat yang langit-langitnya runtuh sebagian. Itu rupanya terjadi baru beberapa waktu yang lalu. Liang nyaris tertutup sama sekali, tertimbun batu dan tanah. Nichkhun berhenti berjalan.

"Sekarang kita harus merangkak," katanya. "Aku duluan!" la mengambil benda yang terselip di pinggangnya, lalu menyerahkannya pada Donghae.

"Ini... senter yang di dalamnya ada kalung mutiara," katanya. "Kau saja yang memegangnya, Donghae. Barang itu hanya akan mengganggu kebebasan gerakku saja, jika aku nanti harus menggali jalan tembusan."

"Baiklah," kata Donghae. Diselipkannya senter berisi benda berharga itu ke pinggangnya. la mengen­cangkan ikat pingggannya, supaya senter itu tidak terjatuh dengan tidak sengaja. "Tapi aku lebih senang jika memegang senter yang bisa menyala."

"Ya, itu masalahnya, karena senter kita cuma dua," kata Nichkhun. "Heechul, bagaimana jika sentermu kau berikan saja pada Donghae! Aku merangkak paling depan, dengan senterku. Setelah itu kau menyusul. Donghae paling belakang, dengan senter pula. Dengan begitu kau akan diterangi senternya, sehingga bisa melihat jalan."

Heechul tidak begitu setuju pada usul itu. Dalam gelap, rasanya lebih enak jika memegang senter sendiri dan tidak tergantung pada bantuan orang lain.

Tapi saran Nichkhun memang bagus. Karena itu diserahkannya senter pada Donghae. Dan kemudian ternyata Heechul bisa merangkak dengan lebih baik, karena tidak perlu repot-repot memegang senter dengan tangan sebelah. Hal itu menguntungkan baginya, karena kakinya yang baru sembuh mulai terasa pegal.

Bagian lorong yang langit-langitnya runtuh itu panjangnya tidak sampai seratus meter. Tapi rasanya mereka tidak habis-habisnya merangkak di situ. Nichkhun yang paling di depan kadang­kadang terpaksa merebahkan diri lalu beringsut maju. Heechul dan Donghae mengikuti dari belakang. Kadang-kadang Nichkhun harus berhenti sebentar, menggali tanah untuk melebarkan tempat lewat. Atau mendorong batu-batu ke samping.

Sekali Heechul menyenggol langit-langit. Seketika itu juga sebongkah batu yang tidak begitu besar jatuh menimpa punggungnya, sehingga ia tidak bisa bergerak maju maupun mundur. Heechul memaksa dirinya agar jangan gugup, sementara Donghae merangkak mendekati, lalu menjulurkan tangan ke depan untuk menggeser batu itu.

"Terima kasih, Donghae," kata Heechul dengan napas sesak, lalu terus merangkak lagi. Donghae harus mengeruk tanah di dasar lorong dulu, supaya ia tidak mengalami nasib yang baru saja menimpa Heechul.

Napas Heechul sudah tersengal-sengal, ketika akhirnya mereka tiba di suatu tempat di mana mereka bisa berbaring menjulurkan kaki sambil bersandar ke dinding lorong.

Di atas kepala mereka terpasang balok-balok yang sudah tua, penopang langit-langit lorong itu. Diterangi cahaya senter, nampak balok-balok itu melengkung karena tertekan bobot gunung yang ada di atasnya. Tapi sejak bertahun-tahun tidak terjadi apa-apa. Karenanya tidak ada gunanya mengkhawatirkan penopang itu akan patah, justru pada saat mereka ada di bawahnya.

Selama beberapa waktu ketiga pemuda itu terkapar di situ untuk beristirahat. Kemudian Nichkhun membuka mulut.

"Itu tadi bagian yang paling berat," katanya. "Nanti masih ada satu tempat lagi yang juga sulit dilalui, tapi tidak sesulit tadi. Dan satu hal yang sudah pasti... " kata Nichkhun terkikik pelan. "Junho tidak akan mungkin bisa mengejar kita lewat sini."

Sambil beristirahat, Nichkhun menceritakan sejarah tambang di mana mereka saat itu berada. "Apa masih ada emas di sini sekarang?" tanya Heechul dengan penuh minat.

"Masih ada sedikit, tapi untuk mengambilnya diperlukan linggis, dan barangkali juga dinamit," jawab Nichkhun. "Kita lanjutkan saja lagi perjalanan kita. Sekarang pasti sudah malam. Tentunya Victoria mulai cemas, karena kita belum muncul."

Heechul tidak lupa membubuhkan tanda tanya di sepanjang lorong yang dilalui, dicampur dengan tanda panah yang merupakan petunjuk palsu. Tapi Nichkhun sempat bingung. Saat itu mereka dihadapkan pada tiga lorong yang menuju ke arah yang berlainan. Akhirnya ia memilih lorong yang paling kanan. Tapi setelah sekitar dua ratus lima puluh meter, lorong itu tidak bisa dilalui lagi karena langit-langitnya runtuh dan menutupi jalan sepenuhnya.

"Kita salah jalan," kata Nichkhun, sambil mengarahkan sinar senternya ke lantai lorong. "Lihat itu!"

Nampak tulang-belulang memutih terkena sinar senter. Sesaat Heechul dan Donghae kaget, karena menyangka yang mereka lihat itu kerangka manusia. Tapi ternyata bukan, melainkan tulang­belulang seekor binatang yang mati tertimpa langit-langit yang runtuh.

"Seekor keledai, yang dipakai untuk mengangkut bijih emas keluar," kata Nichkhun menjelaskan. "Untung pekerja yang menuntunnya tidak ikut tertimpa. Atau mungkin saja ia pun tertimbun langit-langit. Tidak ada yang tahu, karena tempat ini tidak pernah digali untuk menyelidikinya."

Heechul menatap tengkorak keledai itu. la bergidik. la merasa lega, ketika Nichkhun mengajak mereka pergi lagi dari situ.

Setelah itu Nichkhun kelihatannya tidak ragu-ragu lagi memilih jalan yang benar. Dengan cepat ia bergerak mendahului, lewat lorong yang bercabang-cabang. Tahu-tahu ia berhenti, sehingga Heechul yang ada di belakangnya memben­tur dirinya.

"Kita sampai di Kerongkongan," kata Nichkhun menjelaskan. "Kerongkongan? Apa itu?" tanya Donghae agak bingung.

"Suatu celah yang terjadi dengan sendirinya di tengah batu cadas," kata Nichkhun. "Lewat celah itu kita akan sampai dalam lorong tambang yang dibuat dari balik gunung. Tapi celah itu sempit dan tidak rata!"

Nichkhun menyorotkan senternya ke suatu celah yang kelihatannya sempit sekali. Tapi untuk melewatinya, ia harus bergerak miring. Kalau tidak, tidak bisa!

"Ya, kita harus beringsut menyamping untuk bisa melewatinya," kata Nichkhun, seolah-olah bisa membaca pikiran kedua temannya.

"Kau... kau yakin celah itu tembus ke lorong di balik gua ini?" tanya Heechul. Semakin lama ia berada di bawah tanah, semakin tidak enak saja perasaan­nya. Dan bayangan harus beringsut melalui celah sempit itu, sama sekali tidak disukainya.

"Ya, betul," kata Nichkhun menegaskan. "Aku sudah pernah melewatinya. Lagipula, tidakkah kau rasakan arus angin? Dari sebelah sana ada udara masuk ke sini." Terasa, hembusan angin membelai pipi.

"Kita harus melewati celah itu!'' sambung Nichkhun, "karena itulah satu-satunya lubang yang menghubungkan kedua lorong tambang yang dibuat dari kedua sisi gunung ini. Sekarang aku saja yang mencoba lebih dulu. Kalian berdua menunggu sampai aku sudah ada di seberang. Kalau aku sudah berhasil, akan kunyalakan senterku tiga kali. Lalu kau yang menyusul, Heechul. Aku dan Donghae akan menerangi dari kedua sisi, supaya kau bisa melihat lebih jelas. Kalau Heechul sudah lewat, akan kunyalakan senterku lagi tiga kali untuk memberi isyarat bahwa kau harus menyusul, Donghae."

Donghae dan Heechul menyetujui rencana itu. Lalu Nichkhun menyelipkan tubuhnya ke Kerongkongan, sementara senter dipegang dengan tangan kanan. Dengan hati-hati ia menggeser tubuhnya ke samping. Dijaganya benar agar jangan sampai terjadi gerakan mengejutkan, karena itu pasti akan menyebabkan tubuhnya terjepit dalam celah sempit yang tidak rata itu.

Donghae dan Heechul melihat cahaya senter yang dipegang Nichkhun bergerak-gerak. Cahaya itu tidak nampak jelas, karena boleh dibilang hampir selalu tertutup tubuh Nickhun. Tadi Nichkhun mengatakan, jika Kerongkongan sudah dilewati, mereka sudah hampir sampai di bagian gua di mana disimpan drum-drum anggur. Dari tempat itu, dalam waktu paling lama satu jam mereka akan sampai di rumah kembali.

Nichkhun sebenarnya maju dengan cukup lancar. Tapi menurut perasaan Heechul dan Donghae yang menunggu di balik Kerongkongan, lama sekali waktu berlalu sebelum akhirnya nampak sinar terang memancar tiga kali sebagai tanda bahwa Nichkhun telah sampai di seberang dengan selamat.

"Baiklah, Heechul... sekarang giliranmu," kata Donghae.

"Baiklah," jawab Heechul. Padahal tenggorokannya terasa kering, karena ngeri. "Tolong sinari jalan dari sini."

Sementara Heechul beringsut menyamping memasuki Kerongkongan, Donghae menyinari jalannya dengan senter yang dipegangnya. Dari seberang nampak samar cahaya senter Nichkhun.

Donghae memperhatikan Heechul beringsut dengan pelan, semakin lama semakin dalam masuk ke Kerongkongan. Sesaat kemudian cahaya dari seberang tidak nampak lagi, karena tertutup tubuh Heechul. Donghae masih membiarkan senternya menyala terus selama beberapa saat. Kemudian dipadamkan, karena menurut perasaannya Heechul kini pasti sudah lebih dekat ke tempat Nichkhun menunggu.

Dengan tegang Donghae menunggu isyarat sorotan senter sebanyak tiga kali. Agak lama ia menunggu, tapi isyarat itu tidak datang-datang juga. Entah apa sebabnya!

Tiba-tiba ia mendengar teriakan samar, disusul kata-kata, "Donghae! Jangan..."

Itu suara Nichkhun. Donghae merasa mengenalinya, walau agak kabur bunyinya karena terhalang batu. Seruan itu terhenti dengan tiba-tiba, seakan-akan ada yang membekap mulut Nichkhun.

Tapi Donghae merasa bisa menebak apa yang mau diteriakkan oleh temannya itu. Nichkhun mau menyerukan, 'Jangan ke sini!'

Ditunggunya beberapa saat di balik celah. Kemudian dilihatnya nyala senter tiga kali berturut-turut. Setelah gelap sebentar, nampak lagi nyala senter. Kembali tiga kali berturut-turut.

Tapi nyalanya lebih singkat daripada tadi, ketika Nichkhun memberi isyarat menyuruh Heechul menyusul.

Donghae sadar, itu pasti jebakan. Bukan Nichkhun atau Heechul, tapi orang lain yang memberi isyarat padanya untuk datang. Dan isyarat itu, ditambah teriakan tadi, menyebabkan Donghae tahu apa yang terjadi di seberang sana.

Nichkhun dan Heechul terperangkap!

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...