Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 20 Desember 2011

Cupid (Chapter 1)



Hari pertama

Aku penasaran luar biasa. Bagaimana tanda-tanda itu akan terbaca? Apakah ia akan begitu saja menyeberangi perlintasan diagonal garis hidup kami? Apakah aku dapat mengenalinya dalam waktu seperseratus detik? Mungkinkah semuanya terjadi jauh lebih cepat dari yang kuduga? Apakah kami akan saling menyatakan cinta dan menikah pada hari itu?

Masih pukul 7 pagi. Aku terlalu cepat sampai di kantor. Antrean di depan pintu lift tidak ramai seperti biasanya. Hanya ada seorang pria dalam setelan kemeja biru tua.

Langkahku yang kian dekat memperjelas sosoknya. Sebelum sepuluh langkah terakhir terjembatani, jantungku berhenti berdegup. Keterkejutan membuatku mengambil langkah berlawanan, berbalik cepat seperti kucing tergebah air panas. Tapi, itu tidak terasa cukup. Sesuatu mencambukku untuk bergegas menghilang. Bersembunyi. Secepat mungkin membuat jarak, menghilangkan ruang yang menghidupkan lagi masa laluku dengannya. Jung Yong Hwa.

Di balik dinding menuju basement, yang menutupi keberadaanku dari pandangannya, aku memejamkan mata, sambil menyadarkan tubuh pada dinding yang dingin. Cupid, kenapa aku harus melihatnya lagi? Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, kenapa harus berjumpa setelah aku merapalkan mantramu. Apa maksudmu?
Aku ingat obrolanku dengan Ibu, ketika umurku masih 27 tahun.

“Kim So Eun, kau boleh bilang cinta ketika berpacaran. Tapi, kalau mencari jodoh, pilihlah pria yang paling mencintaimu. Jangan pilih yang paling kau cintai. Dalam suatu pernikahan, seorang wanita akan semakin banyak berkorban, sementara cinta pria akan semakin luntur. Memilih pria yang mencintaimu akan lebih memudahkan hidup. Sementara memilih pria yang paling kau cintai, akan terus menuntut pengorbanan.”

Aku terdiam. Bukan termakan oleh nasihatnya. Terkadang, ketika orang bercerita, akan terefleksikan sesuatu yang sebenarnya adalah cerita tentang dirinya sendiri. Ibu, ada hal yang tidak pernah kau ceritakan. Pantas saja hubungan Ibu dengan Ayah begitu datar. Ibu, sebenarnya siapa yang dulu kau cintai? Tidakkah sekarang kau masih tetap merindukannya?

“Ibu, karena itukah Ibu memilih Ayah? Apakah Ibu yakin tidak bisa lebih bahagia dari sekarang, jika memilih pria yang Ibu cintai?”

Raut wajah Ibu berubah. Antara sedih dan marah. Ia kehilangan kata. Ia berbalik meninggalkanku. Sejak itu, tidak pernah ada perdebatan lagi.

Aku menggigit bibir. Dulu, aku begitu yakin dengan pendapatku. Kini, setelah umurku merambat naik, tanpa pernah bisa menemukan pria yang kucari, aku mulai sangsi, apakah sebenarnya aku dulu telah melakukan kesalahan. Tak kusangka, aku akan melihatnya lagi di sini. Di gedung yang sama. Jung Yong Hwa. Ia masih terlihat tampan.

Bagaimanakah kabarnya? Sudahkan ia menikah? Bahagiakah ia? Menyesalkah aku? Kemungkinan itu begitu menakutkan, karena aku dihadapkan pada kenyataan yang memaksaku mengakui, aku dulu telah salah menolaknya.

Aku baru berani mendekati lift lagi, ketika menunggu cukup lama. Dalam keheningan ia membawaku naik ke atas. Kantor masih sepi. Sesampainya di mejaku, kuhempaskan semua beban dengan lemparan tas kerjaku di kursi.

“Hai, Kim So Eun, tumben datang pagi!”

Astaga, Lee Ki Kwang! Kehadirannya lebih menyebalkan daripada bakteri atau virus. Mereka bisa dengan mudah dibasmi dengan antibiotik. Tapi, semua omongan sok tahumu sering membuatku gusar berhari-hari, walau wujud fisikmu telah enyah entah ke mana.

“Ini buku yang kemarin aku pinjam. Aku kembalikan! Buang-buang waktu saja membaca buku setebal itu. Kenapa semua pengarang sok tertele-tele seperti itu. Paling inti bukunya cuma 1 halaman. Kim So Eun, kau rangkumkan saja untukku, biar aku mudah berdiskusi denganmu.”

Aku diam saja. Pertama, bukan aku yang menawari buku. Kedua, tolong carikan alasan, kenapa aku harus merangkumkan untuknya. Ketiga, siapa pula yang mau berdiskusi dengannya?

Aku meletakkan buku yang ia pinjam dengan kasar di atas meja. Cupid, bukan jenis ini kan pria yang akan kau dekatkan padaku?

“Kim So Eun, aku bukannya mau mengajari. Wanita kan punya jam biologis. Pria tidak akan mau pada wanita yang sudah lewat tanggal kadaluwarsanya untuk melahirkan. Kau kan sudah 35. Itu sudah hampir lewat. Kau harus lebih baik menghadapi pria, agar cepat dapat jodoh.”

Aku mendelik galak. Dia tidak perlu sekejam itu mengingatkanku. Pemikiran itu sudah lebih dari sekadar gajah di pelupuk mata. Binatang seberat itu bahkan sudah menginjak kepalaku setiap akan tidur dan begitu bangun dari mimpi. Aku harus setengah mati membangun rasa percaya diri dengan mengingatkan bahwa aku tidak terlalu jelek, tidak ada yang salah dengan caraku berperilaku, bahwa jodoh belum ada, karena memang belum saatnya.

Andai saja aku juga punya mantra lain untuk menyihirnya menjadi hewan serupa kutu. Pasti menyenangkan sekali memites tubuhnya di antara jepitan dua kuku jari dan melihatnya gepeng.

Huh! Aku sebal karena dapat dengan mudah dibuat kesal oleh kejadian yang menyebalkan itu. Siapa bilang wanita-wanita yang dijodohkan itu bernasib malang? Setidaknya, mereka tidak perlu ke luar dunianya untuk mencari-cari pria, yang pada akhirnya hanya menguras emosi. Wanita-wanita itu hanya belajar masak dan berdandan, lalu cukup berkipas-kipas di depan jendela. Biar orang tua yang mencarikan jodoh buat mereka.

* * *

Ketika berbelok masuk pantry, aku menabrak Kim Hyun Joong.

“Eh, maaf, Tn. Kim,” kataku, tergagap.

Ia membetulkan letak kacamatanya dan berkata tanpa perlu menatapku, seolah wanita di hadapannya itu tidak kasatmata. ”Tidak apa-apa, Kim So Eun. Pekerjaan kemarin sudah selesai? Nanti bawa ke ruangan saya, ya!”

Sebuah suara yang selalu dalam rentang oktaf yang sama pada berbagai suasana emosi. Tapi, kali ini aku merasa nada itu menyiratkan sesuatu yang jauh, dingin, dan berjarak.

“Baik, Tn. Kim!”

Sekarang semua isi kepalaku pekat oleh kabut bayangannya. Ia memang satu dari sedikit pria yang mampu bernegosiasi dengan waktu. Semakin tua, jejak-jejak masa justru semakin mempermatang garis-garis di wajahnya, seperti sketsa yang akhirnya jadi, membentuk sebuah gambar yang akhirnya sempurna.

Detak tumit sepatu yang tajam menumbuki lantai membuatku menoleh. Jung So Min. Ia tampak begitu cantik. Tak ada yang meleset dari tataan yang cermat, mulai ujung kepala hingga ujung kaki. Rambutnya licin terikat rata di tengkuk. Busananya begitu rapi dan kaku, sehingga dapat membuat sepotong sabun tergores dengan menorehkannya pada lipatan gaunnya. Tercium aroma parfum bunga yang manis ketika ia mendekat.

Aku menunduk dengan canggung, ”Pagi, Ny. Jung.”

“Pagi,” jawabnya, tawar, tanpa perlu menoleh.

Baginya, tak ada perbedaan antara makhluk bernyawa yang bernama pegawai dengan segala macam inventaris kantor yang mati dan tak bergerak. Ia melesat ke ruangan Kim Hyun Joong dengan keanggunan seorang ratu. Wanita itu yakin, bersuamikan pria terlalu tampan berarti harus sering datang ke kantor pada jam kerja yang tidak wajar, atau menelepon berkali-kali, hanya untuk memastikan bahwa pria itu tetap miliknya.

Aku mendesah. Heningnya udara dari detak sepatu Jung So Min hanya memberi kesempatan bayangan Kim Hyun Joong untuk menyelubungi setiap inci sel-sel memoriku. Aku kembali terpaku mengingat sorot matanya yang menembus sekat-sekat hati yang sudah tipis dan transparan. Terbayang bagaimana sentuhan tangannya yang putih dan halus ketika menggeserkan jepitan kacamata di pangkal hidungnya yang tirus dan tinggi. Bagaimana tonjolan-tonjolan bahu dan dada bidangnya menggelenyarkan goda yang tak mampu disembunyikan oleh kemeja putih bersihnya.

Setelah sekian lama, kenangan itu masih sanggup menjentikkan bulir-bulirnya yang sekasar kulit padi pada luka terbuka di permukaan hati. Suatu malam, kami berdua berdiri saling menjauh di dalam kotak elevator, ketika tiba-tiba tatap yang dibalas tatap, memaksa kaki melangkah untuk memangkas jarak yang ada, ketika naluri mengajari kami untuk meletakkan tangannya di pinggangku, melekatkan telapak tanganku yang mati rasa oleh dingin di lehernya yang lembut, ketika persentuhan dua bibir mampu membuihkan campuran antara kenikmatan dan keindahan.

Setelahnya, semalaman aku tak dapat tidur dengan pikiran bersulur-sulur mencari makna. Aku tahu itu salah. Tapi, mungkinkah sesuatu yang salah mampu memberikan pesona begitu indah? Bayangan Jung So Min yang akan mencakar-cakarkan kukunya di wajahku, tidak sanggup membuat rasa membuncah ini surut. Aku terlena, terhanyut dan mabuk.

Namun, harga diri memang mudah dilukai. Ketika bertemu pada pagi harinya, ia begitu tawar mengabaikanku, seolah kejadian semalam tidak pernah ada. Aku terpojok dalam antiklimaks, yang membuat batinku menjerit-jerit. Apakah semalam tidak terasa luar biasa juga buatnya? Apakah itu cuma dorongan nafsu semata, sementara aku merasakannya sebagai cinta murni yang mendesak mencari jalan? Aku merasa dimanfaatkan dan dicampakkan.

Meski begitu, sungguh sulit melupakannya. Jangankan itu, membencinya pun aku tak sanggup. Karena, di antara ribuan detik aku membencinya, di antara jutaan detik aku terombang-ambing antara mencintai atau membencinya, terkadang aku terkejap-kejap oleh guyuran cinta yang membanjur sejuk, sewaktu mataku menangkap caranya memandang. Untuk kesekian kalinya, aku akan merasa seperti bukan apa-apa dan begitu bodoh, karena mengira ada apa-apa.

Seperti ketika aku berjalan melewati ruangannya, kilatan seperempat detik pun cukup dapat menangkap, pandangan matanya melukiskan suatu rasa, yang kutakut untuk mengiranya sebagai cinta, namun juga tak sanggup kutanggung jika itu bukan cinta. Semua penolakan membuatku belajar untuk tidak pernah membiarkan sedikit pun bibit perasaan itu tumbuh kembali.

Aku mendesah. Tadi pagi Jung Yong Hwa. Sekarang Kim Hyun Joong. Apakah aku telah salah mengucapkan mantra?

Cupid, jangan pernah pria itu lagi. Karena, aku bisa dengan mudah terpuruk, tersungkur, dan bertekuk lutut. Jatuh cinta tanpa syarat padanya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...