Hari kelima belas
Aku berangkat ke kantor. Berusaha bersikap seperti biasa. Terlalu takut berharap. Andaikata hari terakhir ini tidak terjadi apa-apa, apa lagi yang bisa kupercaya, jika berharap pun tidak lagi berani?
Biasa. Biasa. Biasa. Mobil yang sama. Rute yang sama. Jalan yang sama. Kemacetan yang sama. Akankah besok hariku lebih membosankan? Sebentar. Rupanya, ada yang tidak biasa. Freonku habis. Bagus benar! Kubuka jendela mobil, berharap udara pagi masih cukup sejuk untuk mengganti fungsi AC.
Ketika semakin jenuh oleh jalan tersendat-sendat, dari sudut mata kulihat mobil di sampingku juga membuka jendela. Kenapa? AC mati juga? Aku terpaksa menoleh, ketika klaksonnya berbunyi dan terbengong-bengong, mendapati seseorang yang cute di sana, sedang melempar senyumnya, sebelum melaju mendahului. Ada apa? Apakah tadi aku sempat menyuarakan kekesalanku, sehingga terlihat seperti gadis sinting?
Tapi, sesuatu yang aneh kembali terjadi ketika sedang menunggu lift. Semua orang menatapku. Bahkan, beberapa pria mencuri-curi pandang lewat bayangan pada cermin yang tertempel di dindingnya. Kenapa? Ada apa? Ketika sampai di lantai yang kutuju, dengan tak sabar aku masuk ke dalam toilet dan memeriksa diriku pada kaca lebar yang tertempel di atas wastafel. Make up-ku biasa saja, malah cenderung pucat. Rambutku tidak sedang mengembang aneh. Pakaianku juga netral, atasan cokelat muda dan bawahan cokelat tua. Tidak ada yang aneh. Lalu, apa yang mereka lihat?
”Kim So Eun, kau kelihatan beda hari ini,” pekik Baek Suzy.
Aku tiba-tiba baru menyadari pantulan di cermin itu. Mungkin karena vitamin-vitamin yang kuminum selama sakit. Atau, kemung¬kinan, mantera Cupid tiba-tiba manjur. Dengan berdebar aku mulai mengamati bayanganku. Masih orang yang sama, gaya yang sama, penampilan yang sama. Tapi, ada sesuatu yang mirip kilau samar yang berpendar di seluruh tubuhku. Seperti kilau berlian yang tertimpa sinar. Atau, pantulan cahaya pada kristal. Kilaunya hanya pendar samar yang terputus-putus. Tapi, tetap saja kilau yang menarik, seperti laron terpesona cahaya lampu.
Ponselku bergetar. SMS masuk. Dari Jung Yong Hwa. Ia tuliskan puisi panjang lebar, bahwa ia menyimpan semua kenangan tentangku dalam kotak waktu berlabel ‘Tak Pernah Ada’. Ia tegaskan, tak ada jalan untuk kami berdua.
Aku mendesah. Dulu pun tidak pernah ada jalan untuk kita. Apalagi, sekarang. Masih dengan bingung aku keluar dari toilet, berjalan melewati lobi. Jantungku berhenti berdetak. Jung Yong Hwa ada di situ. Juga Lee Seung Gi. Mereka berdiri bersamaan. Menyapa hampir serempak, lalu saling menoleh mendapati bahwa mereka menunggu orang yang sama. Tapi, Jung Yong Hwa melangkah lebih cepat.
”Kim So Eun, bisa bicara sebentar?”
”Eh, sebentar, aku menunggu lebih dahulu,” tukas Lee Seung Gi.
”Kau punya urusan apa?”
Jung Yong Hwa menjadi ungu wajahnya. Sementara Lee Seung Gi yang biasanya penuh sopan-santun berkacak pinggang menantang Jung Yong Hwa. Hawa permusuhan menaik. Tapi, semua terlalu berlebihan. Ini seharusnya tidak terjadi. Sepertinya mantera Cupid terlalu manjur.
Jung Yong Hwa menarik paksa tanganku, Lee Seung Gi dengan cepat menepiskan lengan Jung Yong Hwa, hingga pegangannya terlepas. Jung Yong Hwa mendorong Lee Seung Gi dengan kasar. Lee Seung Gi balas mendorong hingga Jung Yong Hwa hampir terjengkang. Jung Yong Hwa cepat berbalik, mendorong kembali dengan kedua tangan yang membuat Lee Seung Gi terjatuh, Namun, ia cepat berdiri dan melayangkan pukulan. Jung Yong Hwa mengaduh. Tapi, cukup! Kudorong Lee Seung Gi menjauh, sebelum menerima balasan Jung Yong Hwa.
”Apa kalian sudah gila? Aku tidak akan pergi dengan siapa pun!”
Cupid, kau keterlaluan! Jung Yong Hwa sudah punya istri, Lee Seung Gi pria yang tak pernah lepas dari bayang-bayang kekasih lamanya. Bukan seperti ini yang kuharapkan dari manteramu. Aku hanya ingin satu. Satu cinta sejati.
Di ruanganku sudah ada Lee Ki Kwang. Ketika melihat caranya memandang, aku mengeluh dalam hati. Kim Hyun Joong tiba-tiba memanggil, mengajakku ke kantor cabang. Tapi, kami hanya berdua, karena sopir Kim Hyun Joong sakit. Ya, Tuhan, seperti yang tadi belum cukup saja!
Mobil melaju. Sepanjang 10 menit perjalanan, hanya kesunyian yang mengisi. Rupanya, hari ini memang dimaksudkan tidak pernah menjadi hari yang biasa. Kim Hyun Joong membuka suara.
”Kim So Eun, maafkan aku. Selama ini aku menjauh darimu. Tapi, sekarang aku sadar, yang kuinginkan hanyalah kau. Maukah kau jadi milikku?”
Matahari mungkin telah menabrak bumi yang cahayanya membutakan mataku, membuat tubuhku bergetar panas. Aku hampir pusing karena tidak percaya, ketika yang kuangankan jutaan kali akhirnya terjadi. Inderaku tak punya kesiapan untuk merespon.
”Maaf, Tn. Kim. Saya tidak bisa. Maafkan saya.”
Aku mencintai seseorang. Tentu saja bukan Lee Ki Kwang. Bukan Lee Seung Gi. Bukan pula Jung Yong Hwa. Apalagi, Kim Hyun Joong. Seseorang yang telah jauh lama berada di hatiku. Sesuatu telah berbisik, bahwa ia juga merasakan hal yang sama denganku. Ia memang selalu punya wanita lain. Namun, ada keyakinan tak berdasar yang mantap berbicara, bahwa mulai malam tadi, hanya akulah yang menempati tempat terbesar di hatinya. Aku tak tahu bagaimana bisa tahu. Tadi malam adalah pertemuan dua lekukan puzzle yang telah lama saling mencari. Kukira aku akhirnya telah lengkap dan menemukan.
Aku pulang ke rumah. Tak ada lagi nyali untuk menghadapi semua kegilaan di dunia luar sana. Memang, tak pernah ada jalan mudah untuk mencari cinta.
Rumah sepi. Kamarku gelap oleh tirai tebal yang berjurai. Kubuka satu tirainya. Kulihat sosoknya mengawasi di depan jendela kamarnya, mengirim senyum. Kedua telapak tangannya menapak pada kaca jendela, sama denganku. Ia jauh di atas, tersekat oleh jarak. Tapi, kurasakan permukaan jari-jari kami bersentuhan, membaurkan batas dan mengalirkan hangat.
Tiba-tiba ponselku berdering.
“Halo?”
“Kim So Eun, ada yang ingin aku katakan padamu! Turunlah! Aku tunggu di depan teras rumahmu.”
Dengan senyum yang tersungging di bibirku, Aku menemui Kim Bum di depan teras rumah.
“Hai!”
“Hai!”
“Malam ini kau menginap di rumah orang tuamu lagi?”
“Ya, begitulah! Karena aku merindukanmu.”
“Eh…jangan coba-coba untuk merayuku, Kim Bum. Rayuanmu itu tidak akan mempan untukku.”
Kim Bum mengusap rahangnya, lalu berkata, “Kau mau pergi kencan denganku malam ini?”
Kepalaku berputar cepat ke arah Kim Bum. “Apa?”
“Kau mau pergi kencan denganku malam ini?” ulang Kim Bum.
“Kencan?”
Kim Bum mengangkat bahu. “Ya. Pergi makan malam dan semacamnya. Itu dinamakan kencan, bukan?”
Aku tersenyum lebar. “Baiklah!! Kita akan ke mana?” seruku penuh semangat.
“Ah, itu akan menjadi kejutan,” kata Kim Bum sambil menyunggingkan senyum lebar yang memikat itu. “Sekarang kau hanya perlu bersiap-siap. Satu jam lagi aku akan menjemputmu.”
Aku tertawa. “Menjemput,” kataku. “Kau membuatnya terdengar begitu romantis, padahal aku hanya tinggal di sebelah rumah orang tuamu. Kau hanya perlu berjalan beberapa langkah dari rumah orang tuamu ke rumahku.”
“Kim So Eun.” Aku mendengar Kim Bum memanggilku ketika aku berbalik hendak membuka pintu rumah.
Aku berputar. “Hm?”
Kim Bum berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana jinsnya. “Berhati-hatilah,” katanya dengan nada serius, namun matanya tersenyum.
“Hati-hati? Hati-hati pada apa?” tanyaku was-was.
Senyum lebar tersungging di bibir Kim Bum. “Setelah kencan ini, kau mungkin akan jatuh cinta padaku.”
“Benarkah?”
* * *
“Bagaimana penampilanku?” tanyaku ketika Kim Bum datang menjemputku satu jam kemudian. Aku memutuskan mengenakan Gaun pendek sederhana berwarna putih.
Kim Bum memandangiku dari ujung kepala sampai ke ujung kaki dan tersenyum. “Sejauh ini, di antara semua teman kencanku, kau yang paling cantik,” pujinya.
Aku tersenyum, “Benarkah?”
“Begitulah kenyataannya.”
* * *
Kim Bum membawaku ke salah satu restoran terkenal di Seoul.
Seorang pelayan pria menempatkan kami di salah satu meja di tengah ruangan.
Aku memandang ke sekeliling dengan kagum. Restoran itu bagus dengan interior yang indah. Aku menyukai lantai kayunya, taplak mejanya yang berwarna putih, tirainya yang tebal, lilin kecil dalam gelas, dan setangkai mawar yang diletakkan di setiap meja.
Aku mendesah senang dan kembali menatap Kim Bum yang duduk di hadapanku.
“Restoran ini tidak banyak berubah, tetap terlihat nyaman,” komentarku.
“Kau pernah datang ke sini?” tanya Kim Bum.
Aku mengacungkan jari telunjukku. “Cuma satu kali, ketika restoran ini baru dibuka.”
Pelayan yang tadi kembali membawakan menu. Setelah melihat sekilas daftar makanan, Kim Bum lalu mulai menyebutkan pesanannya kepada si pelayan yang mencatat dengan patuh.
Setelah si pelayan pergi dengan daftar pesanan mereka, Aku kembali mendesah dan memandang berkeliling. “Aku suka sekali tempat ini. Sangat romantis. Lihat, orang-orang yang datang ke sini semuanya berpasangan.”
“Kudengar restoran ini memang dijalankan dengan konsep seperti itu,” kata Kim Bum. “Pemiliknya memang berjiwa romantis walaupun sampai sekarang belum menikah.”
“Kau kenal dengan pemiliknya?”
Kim Bum mengangkat wajah. “Oh, tidak. Aku hanya pernah mendengar gossip tentang dia,” sahutnya cepat. “Aku juga mendengar banyak orang mengajukan lamaran pernikahan di tempat ini.”
“Oh, ya?”
“Ya. Kalau kau datang ke sini pada Hari Valentine, kemungkinan besar kau akan melihat seorang pria berlutut di hadapan kekasihnya sambil mengacungkan cincin berlian.”
Mataku melebar senang. “Aku ingin sekali melihatnya,” kataku, “Kim Bum, kau mau mengajakku ke sini lagi pada Hari Valentine nanti?”
Kim Bum menatapku dengan mata disipitkan. “Kenapa? Jangan katakan kau ingin aku melamarmu di sini pada Hari Valentine?”
Aku tertawa. “Aku tidak berani memimpikannya,” kataku ringan. “Siapa tahu aku bisa menjadi saksi acara lamaran pernikahan. Bagaimana?? Kau akan mengajakku ke sini lagi?”
Setelah berpikir-pikir sejenak, Kim Bum mencondongkan tubuhnya ke depan. “Baiklah, aku akan mengajakmu,” katanya. “Dengan satu syarat.”
Alisku terangkat. “Apa syaratnya?”
“Berdansalah denganku. Kau bisa berdansa waltz?”
“Tidak,” jawabku sambil tertawa pelan. “Kau sungguh mau kita berdansa waltz di sini? Di depan orang-orang ini?”
“Mereka boleh mengikuti kita kalau mau,” kata Kim Bum ringan sambil mengangkat bahu. “Nah, pegang tanganku. Posisi waltz.”
Aku membiarkan Kim Bum menggenggam tanganku dan merangkul pinggangku dengan ringan. Tanganku sendiri kuletakkan di lengan atas Kim Bum. Kim Bum mulai mengayunkan kakinya dan Aku mengikuti gerakannya dengan mulus. Kadang-kadang Kim Bum melepaskan pinggangku dan memutarku, lalu kembali menarikku ke arahnya.
“Astaga, jangan sampai kau lepaskan aku,” kataku sambil tertawa. “Aku bisa jatuh dan mempermalukan diriku sendiri.” Aku memandang berkeliling dan menyadari beberapa orang memandangi kami sambil tersenyum-senyum. Kami sudah menjadi tontonan yang menghibur.
“Aku tidak akan melepaskanmu.”
Nada suara Kim Bum membuatku mendongak menatapnya. Apakah hanya perasaanku ataukah nada suara Kim Bum agak berbeda daripada biasanya?
“Dan aku sudah pasti tidak akan membiarkanmu mempermalukan dirimu sendiri,” lanjut Kim Bum sambil tersenyum. “Tidak di depan begitu banyak orang.”
Tidak. Tadi memang hanya perasaanku. Kim Bum terlihat sama seperti biasanya. Yang kutahu kini, aku selalu merasa gembira setiap kali laki-laki itu menatapku dan tersenyum padaku.
Seperti sekarang ini.
“Kim Bum?”
Aku menoleh dan melihat seorang wanita anggun dengan rambut yang dicat cokelat sudah berdiri tepat di belakangku. Aku mengerjap. Siapa wanita ini?
“Oh, Park Ji Yeon.” Pekik Kim Bum sedikit terkejut.
Wanita itu menarik lengan Kim Bum mendekat. “Wah, aku tidak menyangka kita akan bertemu disini.”
“Ya, kebetulan sekali. Kapan kau kembali dari Amerika?”
Wanita yang dipanggil Park Ji Yeon itu menoleh ke arah Kim So Eun dan tersenyum. “Kemarin,” katanya. Ia kembali menatap Kim Bum. “Oh, aku sangat merindukanmu Kim Bum.”
Wajah Kim Bum terlihat senang. Lalu ia memandangku, sepertinya baru tersadar, “Kim So Eun, perkenalkan… Ini temanku, Park Ji Yeon,” katanya.
Park Ji Yeon mengulurkan tangan kepadaku, lalu dengan sedikit menunduk aku menyambut uluran tangannya dengan ramah, “Senang berkenalan denganmu.”
Tiba-tiba saja Park Ji Yeon menarik Kim Bum untuk duduk di sebuah kursi di dekatnya. Aku tertegun melihat kemanjaan Park Ji Yeon. Hatiku serasa dicabik-cabik melihat lengan kokoh Kim Bum melingkar nyaman di pinggang Park Ji Yeon, yang duduk berpangku kaki di atas paha kiri Kim Bum.
Aku berdiri terpaku, memandang dua insan yang sedang bermesraan di depan mataku itu. Padahal baru beberapa menit yang lalu, aku merasakan buaian perhatian dari Kim Bum. Sekarang pria yang tadi mengajakku berkencan, makan malam dan berdansa di sebuah restoran romantis itu, tak sedikit pun menoleh ke arahku. Heh… Sempurna…
Dan tiba-tiba saja hatiku terasa sangat nyeri.
Playboy tetap saja playboy, tak akan pernah bisa berubah.
“Kim Bum, lebih baik aku pulang saja sekarang.” Kataku sambil berlalu meninggalkan restoran.
“Oh, Kim So Eun… tunggu dulu… kau mau kemana? Kenapa kau pergi begitu saja?”
“Aku hanya tidak mau mengganggu acara reuni romantismu itu dengannya.” Kataku sambil menunjuk ke arah Park Ji Yeon.
“Kau marah?”
“Tidak.”
“Aku antar kau pulang ya?”
“Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri.”
* * *
Ketika pulang malam itu, Aku tak habis-habisnya merutuki diriku sendiri, kenapa aku bisa saja tergoda pada rayuan Kim Bum yang terkenal Playboy itu.
Tiga puluh menit kemudian aku sudah selesai mandi, keramas, dan duduk di diatas ranjang di dalam kamar sambil menonton TV dan melahap Mie Ramen, aku lapar sekali. Karena makanan yang aku pesan di restoran tadi bersama Kim Bum belum sempat aku makan, Aku sudah keburu pergi, karena merasa risih melihat kemesraan Kim Bum bersama gadis yang bernama Park Ji Yeon itu.
Tayangan berita di televisi tidak berhasil menarik perhatianku. Pikiranku selalu kembali kepada kejadian di restoran tadi dan tanpa sadar aku mengaduk-aduk Mie Ramen-ku dengan tenaga yang lebih besar daripada yang diperlukan.
Tiba-tiba ponsel yang tergeletak di sebelahku berbunyi dan membuyarkan lamunanku. Alisku terangkat ketika membaca nama yang muncul di layar.
“Apa?” kataku singkat setelah ponsel kutempelkan ke telinga.
“Kau marah padaku?”
Hehhh… aku tidak percaya ini, hanya mendengar suara Kim Bum saja bisa membuat sudut-sudut bibirku melengkung ke atas membentuk senyuman. Seperti sekarang.
“Aku tidak marah,” kataku, mencegah senyumku terdengar dalam nada suaraku.
“Tapi, nada suaramu terdengar seperti orang yang sedang marah.”
Aku mendengus. “Sudah kukatakan, aku tidak marah padamu.”
“Kalau begitu kau mau aku menutup telepon?”
“Kenapa kau meneleponku?”
Kim Bum tertawa, lalu berkata, “Ada yang ingin kukatakan padamu.”
“Apa? Katakan saja.”
“Sekarang kau ada di rumah?”
“Mmm.”
“Aku ingin kau melihat ke luar jendela. Ada sesuatu di sana.”
Aku mengerutkan kening. “Apa maksudmu? Jangan menakutiku, Kim Bum.”
“Tidak, tidak. Justru yang akan kau lihat itu akan membuatmu gembira. Lihatlah ke luar jendela.”
Aku berdiri dan berjalan ke jendela. “Apa yang harus kulihat?” tanyaku sambil menyibakkan tirai dan mendongak menatap langit gelap di atas sana. Tetapi tidak terlihat apa pun. Bintang pun tidak ada. “Tidak ada apa-apa, Kim Bum. Memangnya menurutmu langit yang hitam bisa membuatku gembira?”
“Itu karena kau melihat ke arah yang salah,” kata Kim Bum.
“Apa?”
“Lihat ke bawah.”
Aku menunduk menatap jalan di bawah sana dan mataku langsung melebar melihat Kim Bum berdiri di di depan rumahku. “Oh, Tuhan,” gumamku tanpa sadar.
Kim Bum tersenyum lebar dan mengangkat tangannya yang tidak memegang ponsel. “Halo. Kau gembira melihatku, bukan?” katanya.
Aku mendesah berat, namun aku tidak bisa mencegah diriku untuk tersenyum.
“Kim Bum, sedang apa kau di situ?”
“Kau bisa turun sebentar?”
“Tunggu di sana,” kataku ke ponsel. “Aku akan segera turun.”
Tidak lama kemudian kami sudah duduk di ayunan di taman bermain anak-anak yang tidak jauh dari rumahku.
Aku berdeham pelan. “Bagaimana Makan malammu tadi dengan Park Ji Yeon? Menyenangkan?”
Kim Bum mengangguk. “Tentu saja.”
“Sudah kuduga,” kataku, tidak sanggup menyingkirkan nada tajam dalam suaraku. Lalu aku melirik Kim Bum, “Sepertinya, dia tertarik padamu.”
Kim Bum menoleh menatapku dan tersenyum. “Begitukah menurutmu? Apa kau cemburu padanya Kim So Eun?”
“Aku?? Tentu saja tidak!” Aku mencengkeram erat ujung kaosku.
“Bisa dibilang dia benar-benar tipeku,” kata Kim Bum. “Tapi...”
Aku meliriknya. “Tapi apa?”
Kim Bum mengangkat bahu. “Entah tipe seperti itu tidak lagi menarik minatku,” katanya terus terang. Lalu ia menatapku dan berkata, “Aku rasa sekarang ini aku menginginkan sesuatu yang dulunya bukan tipeku.”
Aku tidak mengerti. Jadi aku hanya balas menatap Kim Bum tanpa berkata apa-apa. Sedetik kemudian Kim Bum mendesah dan merogoh kantong celananya. Mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna merah tua dihiasi pita merah. Lalu berlutut di hadapanku, bersiap untuk memasukkan cincin itu ke dalam jari manisku.
“Kim So Eun, dengarkan aku baik-baik. Gadis yang kucintai kini sedang berdiri di hadapanku. Sebenarnya semenjak di restoran tadi aku sudah ingin melamarmu. Tapi kedatangan Park Ji Yeon menggagalkan semua rencanaku.''
''Kim Bum...aku...''
“Aku tahu… Aku bukan dia… Aku bukan mereka… Aku tidak seperti mantan-mantan kekasihmu terdahulu… Aku berbeda… Aku tidak akan mengumbar kata-kata indah… Aku tidak ingin hanya terucap dari bibir saja… Aku ingin kau percaya, seperti kupercaya padamu sepenuhnya… Sejuta rasa ini tidak cukup diungkapkan
hanya dengan kata-kata… Karena rasa ini sangat jauh lebih dari itu.
Sungguh… Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Kim So Eun…”
“Kim So Eun, apa kau mau menjadi istriku?”
Aku tersenyum dan mengangguk. “Ya.”
Kim Bum kemudian memasukkan cincin indah itu ke dalam jari manisku. Lalu spontan aku memeluknya dan rasanya kali ini aku tidak mau melepasnya lagi. Tidak akan pernah!!!
Ah…akhirnya Cupid memberiku jodoh yang terindah.
Bersambung…