Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 07 Mei 2011

Silent Road (Chapter 8)



Chapter 8
Pilihan Yang Salah

Sesaat kemudian Kim So Eun membuka pintu pondok untuk mendapatkan jawaban. Ruang berlantai kayu yang dulu rapi, kini sangat berantakan. Gulungan kertas kalkir, tumpukan buku, aneka botol minuman, kertas bungkus makanan. Asap tipis beraroma tembakau bakar menebar di segala ruang. Kim So Eun melangkah mencari sumber asap. Asap itu berasal dari seseorang yang sedang menekuni meja gambar. Sebatang rokok terselip di antara jarinya.

“Jung Il Woo?” desis Kim So Eun, ragu.

Sosok itu terkejut. Sosok itu bagai seorang asing yang sama sekali tidak dikenalnya. Di hadapannya kini adalah seorang berambut pendek agak keriting dan acak-acakan dengan pipi dan dagu penuh rambut tak rata.

“Apa yang terjadi?” tanya Kim So Eun.

“Aku yang seharusnya menanyakan itu. Mengapa datang?” Tajam mata Jung Il Woo menyambar gadis itu.

Kim So Eun mundur. Ketajaman mata Jung Il Woo membuatnya jengah. Tapi, tatap mata yang sama menyiratkan luapan rindu yang menggetarkan.

“Ada apa?” tanya Kim So Eun. Jung Il Woo mendekat, tanpa melepaskan tatapan.

“Tidak terjadi apa-apa. Proyek berjalan lancar dan aku masih di pondok ini, seperti yang kau lihat,” kata Jung Il Woo, enteng.

“Lalu, bagaimana dengan ruangan berantakan ini?”

“Itu biasa. Tidak semua orang harus rapi, bukan? Anggap saja aku sedang malas. Apa susahnya?”

“Kurasa, suasana hatimu sedang tidak enak. Aku pulang saja,” kata Kim So Eun, beranjak pergi.

Suara Jung Il Woo menghentikan langkah Kim So Eun. “Sesudah kau pergi, aku tidak ingin melakukan apa pun.”

“Kau pikir hidup berhenti?”

“Kau yang menghentikannya untukku.”

Kim So Eun mengerjap. Kalimat yang menyentuh, nyaris memabukkan.

Jung Il Woo menatap gadis itu. “Apa yang terjadi?”

“Dia merasa telah terjadi sesuatu padaku. Lalu, ia memintaku untuk bersikap jujur. Dan, dia membebaskanku untuk memilih.”

“Dan, kau meninggalkannya?” tanya Jung Il Woo.

Kim So Eun mengangguk. “Baginya, mencintai seseorang berarti memberikan kebahagiaan karena cinta yang dia miliki adalah cinta yang membebaskan, bukan cinta egois yang mengikat.”

“Mungkin, dia juga belum siap menikah. Aku bukannya berprasangka, tapi rasanya dia terlalu mudah melepasmu.”

Kim So Eun menggeleng. “Aku mengenal Kim Bum dengan sangat baik. Dia selalu bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya.”

Jung Il Woo berpikir sesaat. “Apakah dia mencintaimu?”

“Mungkin.”

“Mungkin? Sekian lama bersamanya, kau tidak yakin akan kadar cintanya? Katamu, kau mengenalnya dengan sangat baik.”

“Itu sudah berlalu. Tidak nyaman lagi membicarakannya.”

“Jadi, dia mencintaimu?” tanya Jung Il Woo lagi.

Mata Kim So Eun membesar. “Ya, amat sangat. Puas?”

“Lalu, mengapa memilihku?”

Kim So Eun angkat bahu. “Entahlah. Apakah selalu perlu alasan untuk menolak atau memilih sesuatu atau seseorang?”

Kim So Eun mengisyaratkan tidak ingin membahas lebih jauh.

“Segeralah mandi dan cuci rambutmu. Lalu, masakkan sesuatu untukku. Sesudah itu, kau boleh memelukku,” kata Kim So Eun.

Aroma sabun mandi segar menebar ketika Jung Il Woo muncul dengan rambut basah. Dia tampil sangat rapi. Ruangan juga telah rapi. Gulungan kertas rancang gambar tersusun di sudut ruang. Tatami terhampar di tempatnya. Tidak ada lagi ceceran sampah.

“Apa yang akan kau masak untukku?” tanya Kim So Eun.

“Aku tidak akan memasak apa pun. Aku akan mengantarmu pulang.” Nada suara Jung Il Woo terdengar dingin.

Kim So Eun terkejut. “Kenapa?”

“Aku adalah tipe pejuang. Yang menarik bagiku adalah proses perjuangan untuk mencapai sesuatu. Dalam cinta, yang kunikmati adalah proses meraih cinta itu. Melakukan strategi untuk menarik simpati sasaran adalah dinamika yang sangat menarik. Dan, ketika sasaran takluk, tujuanku berakhir.”

Kim So Eun terenyak. Nyaris tidak percaya.

“Jadi, keliru jika kau memilihku. Apa yang kau harapkan? Aku tidak akan berhenti, apalagi mengikatkan diri pada seseorang. Betapapun menariknya tempat ini, aku akan pergi sesudah menyelesaikan resor ini. Salah besar jika kau meninggalkan kekasihmu dan memilihku. Kau berharap aku menjadi pengantinmu? Maaf, tidak bisa kulakukan itu. Aku tidak pernah berpikir untuk berkomitmen apa pun juga.”

Kata-kata Jung Il Woo bagai petir menyambar, menghempaskan dan membuat dirinya menjadi serpihan retak. Kim So Eun melihat betapa remuk serpihan itu. Nyaris tanpa bentuk. Kim So Eun terbawa pada satu kesadaran. Dia salah jalan. Dia berbelok di tikungan yang hampa.

Jung Il Woo mengulurkan tangan. “Kuantar pulang. Hampir malam.”

“Jangan ulurkan apa pun padaku!” serunya, setajam pisau. Kalimatnya terhenti. Tidak ada satu kata pun yang sepadan untuk mengungkapkan kemarahan dan kepedihan hatinya pada Jung Il Woo. Kim So Eun membuka pintu dan melangkah pergi.

* * *

Kim So Eun duduk tercenung. Tepat di hadapannya sepasang cincin berukir nama tergeletak menunggu keputusan akhirnya. Nama Kim So Eun dan Kim Bum yang terukir. Tidak mungkin cincin itu berpindah tangan. Sepasang cincin itu harus dilebur untuk menghilangkan segala goresan dan memisahkan kandungan logam campurannya, sehingga menjadi lelehan emas murni.

“Kim So Eun, apakah kita jadi melebur cincin itu?” tanya Kim Bum.

Mengapa kau ingin aku yang menentukan jawaban untuk cincin ini? Kau memberiku kesempatan untuk memilih, untuk menentukan kata akhir, untuk ‘menyelesaikan’ dan bukan ‘diselesaikan’, untuk memosisikan aku, bukan sebagai seseorang yang tersingkirkan. Begitulah kau menghargai perasaanku. Bagaimana bila aku menjawab ‘tidak’? Mungkinkah cincin ini akan tetap utuh untuk kita kenakan pada hari perkawinan kita? Apakah itu mungkin?

Kim So Eun menghela napas. Dikendalikannya emosi diri.

“Kita akan meleburnya,” katanya, tanpa emosi.

Kim Bum menatapnya dengan ketenangan yang sama. Cahaya matanya meredup. “Yakin?”

Kim So Eun mengangguk, lalu berpaling, menyembunyikan bening di sudut mata. Seribu belati bagai menghujam ulu hatinya.

Dan, sepasang cincin itu menerima hari akhirnya. Perjalanannya telah usai, bahkan sebelum sempat dimulai.

Menjelang pulang, langkah Kim So Eun terhenti di ambang pintu. Digenggamnya jemari Kim Bum, lalu dikecupnya lembut.

“Terima kasih, kau selalu baik padaku. Salam perpisahan yang lazim adalah sampai bertemu kembali. Tapi, rasanya kita lebih pantas mengucapkan selamat tinggal.”

Kim Bum tercenung. Aliran darahnya bagai membeku. Dipeluknya Kim So Eun. Kim So Eun tergetar dalam pelukan itu. Sesaat serasa dimilikinya kembali hari-hari itu. Ketika kebahagiaan ada dalam genggaman. Ketika hari-hari begitu sempurna bagai mimpi tanpa akhir. Namun, hanya sesaat. Ia sadar, hari-hari itu telah lewat menjadi sebuah masa lalu. Yang tertinggal kini hanyalah kenangan. Kenangan yang terlalu indah untuk dilupakan, tapi juga terlalu pedih untuk dikenang.

Kim So Eun melepas pelukannya. “Selamat tinggal,” katanya, lalu berbalik cepat dan melangkah menjauh. Meninggalkan Kim Bum dalam keheningan panjang.

“Ya, selamat tinggal,” jawab Kim Bum, nyaris tanpa suara. Langkah Kim So Eun telah jauh. Kim Bum menghela napas. Sendirian.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...