Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 21 Mei 2011

Romance Zero (Chapter 19)



WANG SUK HYUN suka sekali membantu ibunya menyiapkan sarapan.

Dia sudah bisa meletakkan air jeruk yang diperas ibunya di atas meja. Menuang susu ke dalam mangkuk berisi cornflakes. Mengambil roti bakar yang melompat keluar dari toaster dan menaruhnya di piring ayahnya. Meskipun untuk melakukan semua, itu dia harus memanjat ke atas kursi. Dia juga suka sekali duduk di atas benchtop granit dekat kompor. Menonton ibunya membuat omlet.

Kim So Eun membiarkan anaknya sekali-sekali membantunya. Mengocok telur. Sebenarnya bukan mengocok. Cuma mengaduk-aduk. Memasukkan irisan bawang, keju, jamur, dan ham ke dalam adukan telur itu. Lalu dengan susah payah karena agak berat untuk anak seumur dia, menuangkannya ke tempat mendadar telur.

Beberapa kali telurnya tumpah. Berceceran ke lantai. Sekali malah mangkuknya ikut jatuh. Pecah berderai. Tetapi Kim So Eun tidak pernah memarahinya. Dia malah tersenyum melihat kelucuan anaknya.

"Ibu! Mangkoknya pecah!" teriak Wang Suk Hyun dengan mata membulat sebesar kelereng.

Wang Suk Hyun memang bukan hanya lucu. Dia pintar. Rajin. Suka membantu ibunya. Meskipun sering kali lebih banyak merepotkan daripada membantu.

Setiap pagi Wang Suk Hyun menolong ibunya. Dia mau melakukan apa saja yang dikerjakan Ibu. Dia bahkan sudah bisa mengambil koran dan meletakkannya di atas meja tempat ayahnya duduk.

Sejak ayahnya pergi, dia tetap melakukannya. Tetapi setiap kali menaruh koran itu, dia menoleh ke arah ibunya dan mengajukan pertanyaan yang sama.

"Nanti Ayah pulang ya, Bu?"

"Belum tahu, Sayang. Mungkin Ayah masih repot."

"Ayah naik mobil, Bu?"
"Tentu saja tidak. Ayah naik pesawat. Kan harus menyeberang laut. Mobil tidak bisa berenang, kan?"

"Tapi yang barusan berhenti di depan mobil, Bu. Pasti Ayah."

Tanpa dapat dicegah lagi Wang Suk Hyun berlari dari dapur ke ruang tamu. Kim So Eun tergopoh-gopoh mengangkat telurnya dan mematikan kompor.

Saat itu terdengar pintu diketuk. Tanpa ragu-ragu Wang Suk Hyun menyeret kursi. Memanjat dengan gesit. Dan membuka kunci pintu.

"Wang Suk Hyun!" seru Kim So Eun sambil berlari keluar dari dapur. "Tunggu! Jangan dibuka dulu!"

Terlambat. Wang Suk Hyun sudah melompat turun dan membuka pintu.

Kim So Eun tiba tepat di belakangnya ketika daun pintu terbuka lebar. Dan matanya terbelalak kaget mengawasi pria yang tegak di hadapannya.

"Halo, Kim So Eun," sapa Kim Bum dingin. "Atau aku harus memanggilmu Angel?"

* * *

Lee Min Ho tidak menyangka foto yang diperlihatkannya kepada kakaknya akan membawa petaka. Dia malah gembira ketika keesokan harinya Bae Soo Bin memberi harapan.

"Yoon Eun Hye suka sekali dengan anakmu," katanya lega. "Dia malah meminjam fotonya. Katanya untuk ditunjukkan pada keluarganya."

Lee Min Ho juga ikut lega. Dan tidak sempat berpikir untuk apa istri Bae Soo Bin yang judes itu meminjam foto anaknya. Malah membawanya untuk diperlihatkan kepada keluarganya? Kan tidak mungkin mereka tertarik untuk menjadikan Wang Suk Hyun bintang iklan rokok mereka?

"Hari ini aku akan membawamu ke pabrik," sambung Bae Soo Bin bersemangat. "Akan kuperlihatkan padamu hasil karya istriku. Yoon Eun Hye memang hebat sekali. Pabrik kita maju pesat, Lee Min Ho."

"Aku lebih suka ke kuburan Ayah saja," sahut Lee Min Ho lesu. Untuk apa melihat pabrik? Dia hanya ingin melepas haknya atas pabrik dan ramah warisan Ayah. Lalu membawa uangnya untuk Angel....

Ah, rasanya rindunya kepada Angel dan Wang Suk Hyun hampir tak tertahankan lagi. Kalau urusan warisan ini cepat selesai, dia bisa pulang secepat-cepatnya....

"Kan kemarin sudah," bantah Bae Soo Bin kecewa. "Sejak datang kau sudah tiga kali ke kuburan Ayah. Lebih baik hari ini kita ke pabrik." Mumpung Yoon Eun Hye tidak ada. Dia sedang mengunjungi adiknya.

"Aku tidak tertarik pada pabrikmu."

"Cuma pada sahammu?" sindir Bae Soo Bin kecewa.

"Kau tidak usah membeli sahamku," Lee Min Ho menghela napas berat. "Tidak usah menjual rumah ini. Beri saja aku uang, Hyung. Berapa saja. Dan semuanya akan menjadi milikmu. Jika Yoon Eun Hye ingin kita ke notaris..."

"Kenapa harus buru-buru begini, Lee Min Ho?" desah Bae Soo Bin bingung. "Kesannya kau seperti cuma mau meraup uang warisan Ayah...."

Tapi aku tidak punya waktu lagi, ratap Lee Min Ho dalam hati. Aku sedang berlomba dengan maut!

Haruskah aku berterus terang pada Bae Soo Bin? Atau... dia justru takut uang warisan Ayah jatuh pada tangan yang tidak berhak? Uang itu hanya numpang lewat. Lee Min Ho tidak sempat mencicipinya karena dia keburu mati!

Tapi... apa dia punya pilihan lain?

Angel menolak pulang ke Korea. Artinya mereka tidak bisa menikah. Lee Min Ho tidak dapat mewariskan miliknya kepada mereka.

Satu-satunya jalan hanyalah menjual seluruh miliknya. Di Korea dan di Perancis. Lalu memberikan uangnya kepada Angel.

Dengan uang sebanyak itu, Lee Min Ho yakin Angel dapat melanjutkan hidupnya bersama Wang Suk Hyun. Dia tidak usah takut lagi kekurangan uang.

Tak terasa air mata Lee Min Ho meleleh ketika membayangkan mereka. Dua orang yang paling dicintainya.

Mula-mula Angel memang masih menjaga jarak. Ketika pindah ke rumahnya, dia memilih tidur bersama anaknya di kamar lain.

Lee Min Ho tidak pernah memaksa. Dia membiarkan semuanya berlangsung seperti apa adanya. Seperti air mengalir. Tenang. Pasti. Namun menghanyutkan.

Delapan bulan mereka hidup serumah tapi tidak sekamar. Angel sibuk mengurus rumah dan merawat bayinya. Dia melayani Lee Min Ho makan. Mencuci pakaiannya. Menyiapkan semua keperluannya. Tapi tidak ikut masuk ke kamar tidurnya.

Sampai suatu hari, pada ulang tahun Wang Suk Hyun yang pertama, terjadi perubahan. Perubahan yang sangat diharapkan Lee Min Ho. Yang sudah lama dirindukannya. Tetapi tidak pernah berani diungkapkannya.

Hari Jumat petang sepulangnya dari kantor, Lee Min Ho membawa Angel dan Wang Suk Hyun ke Grand Vendome. Mereka menuju ke Pantai Saclayevry, kira-kira sembilan puluh menit perjalanan dengan mobil dari Paris.

Hari itu cuaca buruk. Hujan deras mengguyur Paris. Jarak pandang hanya setengah meter. Meskipun cuaca masih cukup terang karena baru pukul lima sore.

Sejak berangkat dari rumah, lalu lintas super macet. Maklum akhir minggu. Hujan lebat pula. Semua mobil harus merangkak. Pasti sangat menyebalkan untuk pengemudi lain. Tetapi untuk Lee Min Ho, inilah kebahagiaan terbesar yang pernah menyinggahinya hampir sebelas tahun terakhir ini.

Sejak istri dan anaknya tewas dalam kecelakaan mobil, Lee Min Ho tidak pernah lagi berwisata ke luar kota. Akhir minggunya dihabiskan bersama teman-temannya di pub. Atau di kafe.

Lee Min Ho bukan pemabuk. Bukan pecandu kopi. Tapi mengobrol selama tiga-empat jam bersama teman-temannya menghilangkan kenangan atas sebuah tempat yang pernah disebutnya rumah. Semenjak istri dan anaknya tewas, tempat itu tidak ada lagi. Dan rumah hanya menjadi kandang untuk membaringkan kepala.

Lalu tiba-tiba, muncul seorang bidadari yang laksana terbuang dari swargaloka. Bidadari yang terdampar di mayapada bersama seorang bayi lemah yang membutuhkan perlindungan sepasang lengan yang kokoh.

Semangat Lee Min Ho seperti terbangun kembali. Dia seperti disentakkan dari tidur yang lama. Rumah yang sudah lama hilang kini menjelma kembali. Hangat Tenteram. Membelai.

Pulang kerja, Lee Min Ho tidak usah lagi melarikan diri ke kafe. Atau menenggelamkan diri di antara busa alkohol. Dia malah selalu ingin buru-buru pulang. Karena di rumahnya kini menanti seorang wanita cantik dengan senyum lembut dan sapaan hangat. Ada lagi hiburan yang membuat Lee Min Ho semakin keranjingan di rumah. Wang Suk Hyun.

Dengan pipinya yang tembab membuatnya sangat lucu.

Belum lagi tingkahnya yang menggemaskan. Senyumnya yang menggoda menantang kecupan. Tawanya yang terkekeh manja. Pipinya yang montok minta dicubit. Pokoknya semua membuat orang yang menggendongnya tidak mudah untuk melepaskannya lagi.

Sekarang bukan hanya Angel dan bayinya yang membutuhkan tempat untuk menumpang. Lee Min Ho juga membutuhkan mereka untuk menyemarakkan hidupnya.

Dengan mereka di sampingnya, tak ada kesepian yang terlalu menyiksa. Tak ada kesibukan yang terlalu melelahkan. Bahkan tak ada kemacetan yang terlalu menjemukan.

Lee Min Ho bergurau terus sepanjang jalan. Sekali-sekali Angel tertawa menyambut kelakarnya. Sementara di bangku belakang, di kursi kecilnya, Wang Suk Hyun juga tertawa terus meskipun dia tidak mengerti canda ayahnya. Barangkali dia sedang bercanda sendiri dengan teman imajinernya.

Lee Min Ho membawa keluarganya menginap di sebuah hotel resor di pinggir laut. Pemandangan ke arah laut dari teras yang terletak di lantai tiga sungguh mempesona. Sementara di bawah sana kolam renang yang membiru dan spa yang airnya berbuih sungguh menggoda minta dicicipi.

Tetapi yang membuat Angel tertegun bukan hanya itu. Dia lebih terpaku melihat apartemen yang disewa Lee Min Ho: Apartemen itu berkamar dua. Dan begitu masuk, Lee Min Ho langsung mempersilahkan Angel mengambil kamar utama. Sebuah kamar berpintu geser dengan ranjang ukuran dobel. Dan kamar mandi lengkap dengan spa.

"Aku tidur di sana," katanya sambil menunjuk kamar yang lebih kecil. Sebuah kamar dengan dua ranjang single. "Ada kamar mandinya juga. Cuma tidak ada bathtub. Tidak ada spa."

"Kau tidur di kamar utama saja," cetus Angel dengan perasaan tidak enak. "Kan ranjangnya besar. Biar aku dengan Wang Suk Hyun di kamar itu. Kebetulan ranjangnya kan dua."

"Ranjangnya kecil. Takut Wang Suk Hyun jatuh. Sudah-lah, kau saja yang tidur di situ dengan Wang Suk Hyun. Aku tidak apa-apa."

Sebenarnya bukan ukuran ranjang yang membuat Angel tertegun. Bukan pula mewahnya apartemen atau lengkapnya peralatan atau indahnya pemandangan. Dia tertegun karena Lee Min Ho memesan apartemen berkamar dua! Aduh, sopannya lelaki ini! Dia tidak mau menggunakan kesempatan yang dengan mudah bisa diraihnya!

Tetapi justru karena itu pulalah malam itu Angel dengan pasrah menyerahkan dirinya. Tidak ada makan malam yang romantis dengan lilin bernyala. Tidak ada adegan menyusuri pantai dengan bergandengan tangan. Tidak ada kemesraan berbaring berdua berpayung langit bertudung bintang.

Karena Lee Min Ho memang tidak romantis. Mungkin pula dia tidak berani. Mungkin pula karena ada Wang Suk Hyun di tengah-tengah mereka. Dan mereka tidak mau meninggalkannya sekejap pun.

Diawali dengan makan malam bersama di sebuah kedai burger di tepi pantai, Lee Min Ho menyuguhkan sebuah kue cokelat berdiameter lima belas senti dengan sebatang lilin tertancap di tengahnya.

Sulit sekali menyalakan lilin karena angin laut malam itu berhembus cukup kencang. Dan mereka belum sempat meniupnya ketika angin sudah mendahului memadamkan lilin itu.

Tetapi kejadian itu malah mencetuskan tawa. Karena Wang Suk Hyun yang belum mengerti apa-apa malah tertawa lebih dulu. Tidak ada yang tahu mengapa dia tertawa. Tetapi apa pun alasannya, tawanya memancing kegembiraan orang-tuanya dan orang-orang yang melihat mereka.

Lee Min Ho bangga sekali ketika tamu-tamu kedai burger yang sama-sama duduk di bawah kanopi di tepi pantai itu memuji kelucuan Wang Suk Hyun. Dia tidak henti-hentinya membidik dan menjepretkan kameranya. Seolah-olah Wang Suk Hyun tiba-tiba menjelma menjadi seorang selebritis.

Entah karena kecapekan tertawa, entah memang karena sudah jam tidurnya, Wang Suk Hyun sudah tertelap ketika masih di dalam mobil. Padahal untuk mencapai hotel mereka dari pantai Saclayevry hanya memerlukan waktu empat puluh lima menit Lee Min Ho tersenyum lebar ketika menoleh ke belakang dan melihat Wang Suk Hyun sudah pulas di kursinya.

"Dia lucu sekali, ya," cetusnya tanpa menutupi getar kebahagiaan yang melumuri suaranya. "Semua orang yang melihatnya menyukainya."

Perasaan Angel tergugah mendengar kebahagiaan laki-laki itu. Dia merasa bangga. Sekaligus terharu.

Tak sadar tangannya terulur ke lengan Lee Min Ho yang memegang kemudi.

“Terima kasih," bisiknya lirih. Lee Min Ho menoleh. Dan meraih tangannya.

"Untuk apa?"

"Memanjakan Wang Suk Hyun. Memberikan semua yang dibutuhkannya. Semua yang tidak mungkin diperolehnya tanpa dirimu."

Lee Min Ho menggenggam tangan Angel. Dan meremasnya dengan lembut.

"Aku sudah menganggapnya anakku sendiri," katanya hangat. "Jadi jangan berterima kasih padaku! Aku malah yang seharusnya berterima kasih. Kau dan Wang Suk Hyun telah mengembalikan hidupku!"

Setelah memarkir mobilnya di tempat parkir bawah tanah, Lee Min Ho menggendong Wang Suk Hyun ke lift yang menuju ke apartemen mereka. Melihat betapa hati-hatinya Lee Min Ho menggendong anaknya, sekali lagi emosi Angel tergugah. Keteguhannya luluh.

Lee Min Ho memang seperti tidak mengharapkan apa-apa. Dia membaringkan Wang Suk Hyun di tempat tidur. Menyelimutinya dengan hati-hati. Mengecup pipinya dengan penuh kasih sayang. Lalu meninggalkan mereka di kamar.

"Mau kubuatkan hot chocolate?" bisiknya sambil menutup pintu geser.

Angel hanya mengangguk. Dia sedang sibuk membungkus tubuh anaknya dengan selimut. Mengganjal sisi tubuhnya dengan bantal supaya jangan terguling ke lantai. Lalu menaikkan temperatur pendingin ruangan agar udara dalam kamar tidak terlalu dingin.

Lee Min Ho membuat dua cangkir cokelat panas. Dan membawanya ke teras. Ketika dia sedang menikmati angin malam yang berhembus sejuk dari laut yang terbentang di depan sana, seseorang menghampirinya dari belakang.

Lee Min Ho belum sempat memutar kepalanya ketika sepasang lengan yang lembut merangkul lehernya dari belakang. Hidungnya mengendus aroma parfum yang manis, campuran aroma melati dan yasmin. Lalu sebuah kecupan hangat menyentuh pipinya. Membersitkan gairah yang sudah sebelas tahun sirna.

Dan api itu mendadak berkobar kembali. Membakar jiwa dan menggelegakkan darahnya.

Lee Min Ho tak pernah dapat melupakan malam itu. Malam pertama di Saclayevry. Ketika Angel menyerahkan dirinya dengan pasrah.

Dia tidak sempat bertanya, apa yang membuat wanita itu rela melakukannya. Dorongan cinta. Atau hanya sekadar ucapan terima kasih.

Tetapi apa pun alasannya, bagi Lee Min Ho, itulah malam terindah dalam hidupnya setelah prahara yang menimpa keluarganya. Di sana pulalah cintanya kepada Angel mulai bersemi. Dan setelah cinta bersemi di hatinya, tak ada badai sehebat apa pun yang mampu merenggutnya. Tidak juga ganasnya kanker. Dan kejamnya kakak iparnya.

* * *

"Hyung," desah Lee Min Ho lirih dengan mata berkaca-kaca. "Aku ingin berterus terang padamu...."

Saat itu mereka sedang makan siang di sebuah restoran Mie Ramen sepulangnya dari kuburan. Terus terang Lee Min Ho sudah tidak punya nafsu makan. Tetapi Bae Soo Bin mengajaknya ke sana. Dia tahu dulu adiknya suka sekali makan Mie Ramen di tempat ini.

Bae Soo Bin kecewa sekali ketika melihat cara makan adiknya. Bukannya cepat-cepat menyuapkan Mie Ramen itu ke mulut. Dia malah cuma mengaduk-aduk makanan itu di mangkuknya.

Lee Min Ho seperti ingin mengatakan sesuatu. Bae Soo Bin tahu. Tetapi ketika adiknya mengatakan ingin berterus terang, tak urung Bae Soo Bin terkejut.

"Tentang istrimu?" sergahnya sambil mengawasi adiknya dengan tatapan kaget.

"Tentang penyakitku."

Bae Soo Bin tertegun. Ditatapnya adiknya dengan cemas. Seberat apakah penyakitnya? Mengapa Lee Min Ho tampak demikian putus asa? Karena itukah dia tidak nafsu makan? Karena itu pulakah dia tampak demikian kurus dan pucat?

Ya Tuhan, dia sakit apa?

"Kau mau berjanji akan merahasiakan penyakitku?"

"Kenapa harus dirahasiakan?" desak Bae Soo Bin bingung. "Kau bukan ketularan AIDS, kan?"

Lee Min Ho menggeleng.

"Lalu kenapa harus dirahasiakan?"

"Aku tidak mau istriku tahu penyakitku."

"Kalau bukan penyakit kotor, untuk apa malu pada istrimu? Dia malah harus tahu suaminya sakit! Supaya bisa merawatmu!"

“Tapi aku tidak tega kalau Angel tahu umurku mungkin tinggal beberapa bulan lagi..."

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...