Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 07 Mei 2011

Silent Road (Chapter 4)



Chapter 4
Energi Baru

“Awalnya berdebar, tapi cahaya bulan sangat membantu. Jadi, kubuka tirai jendela. Cahaya bulan begitu terang bagai lampu pijar menerangi kamar.”

“Apakah di kota, kau juga bangun sepagi ini?”

“Tidak, tapi suara ayam tak bisa membuatku tidur lagi.”

“Itu si Chiky. Dia selalu gaduh tiap pagi. Ayo, sarapan.”

Nenek Seo Woo Rim menuangkan teh. Hmm, aroma wangi berbaur sepat terasa menggoda. Pasti teh hangat manis itu sangat sedap rasanya. Kim So Eun menghirup teh sambil meneliti menu sarapan. Ketan putih, kelapa parut, bubuk kedelai, serta cairan kental gula merah. Menu sarapan yang tidak biasa.

“Jung So Min bilang, kau tidak perlu mendapatkan perlakuan istimewa. Apa adanya saja sesuai kebiasaan di rumah ini,” Nenek Seo Woo Rim membaca pikiran Kim So Eun.

“Betul, Nek, memang itu yang saya perlukan. Menjalani sesuatu apa adanya, tanpa beban apa pun juga.”

“Jalani hidup seperti air, Kim So Eun. Hidup akan mengalir sesuai takdirmu. Ikuti kata hatimu, pergilah ke mana ia membawamu.”

“Seperti judul novel.”

Kim So Eun menyimpan senyum. Nenek yang hebat. Pantas bisa kompak dengan cucunya. Sesaat kemudian Kim So Eun menikmati sarapannya. Ketan putih yang legit ditambah kelapa parut gurih, manis gula merah, dan bubuk kedelai. Hmm, sedap.

Di pasar tradisional dekat tempat tinggal Nenek Seo Woo Rim, Kim So Eun berdiri di ambang gapura. Di hadapannya berjajar pedagang yang menggelar barang dagangan dengan peralatan seadanya. Tikar, meja kayu sederhana, wadah bambu, dan karung goni. Lokasinya di alam terbuka. Jenis dagangannya beraneka ragam, mulai dari sayuran, buah-buahan, jajan pasar, hingga peralatan masak tradisional.

Kim So Eun mengedarkan pandangan. Nenek Seo Woo Rim bilang, pasar hanya ada lima hari sekali sesuai hari pada penanggalan Korea. Entah ini hari apa. Kim So Eun tidak paham. Dia hanya ingin melihat-lihat. Siapa tahu ada yang menarik hati.

Kim So Eun berjalan berkeliling. Ternyata, ia menemukan banyak hal menarik. Komunikasi antara para pedagang dan pembeli yang menggunakan logat dan gaya mereka yang khas, membuat hatinya terhibur. Lalu, dilihatnya buah itu. Bulat, kuning kehijauan. Fruitsberry. Sudah lama sekali tak dilihatnya buah itu.

“Berapa?” tanya Kim So Eun.

Tahu calon pembelinya adalah seorang pendatang, penjual itu langsung memanfaatkan situasi. Ia menyebutkan sebuah harga.

Kim So Eun menghela napas. Dia tahu, itu harga rekayasa. Kim So Eun baru akan mengajukan penawaran ketika mendadak datang seseorang.

“Satu kilo,” seru pembeli baru itu.

Penjual dengan sigap segera menimbang.

“Berapa?” tanyanya, sambil menerima buah Fruitsberrynya.

Sang penjual dengan senyum kemenangan memamerkan uang pembayaran itu pada Kim So Eun. Secara demonstratif, seakan menunjukkan bahwa harga dagangannya adalah harga yang pantas.

Kim So Eun terperangah. Sikap demonstratif itu mendadak memicu kemarahannya. Ia menatap si pembeli kurang ajar yang menyerobot peluangnya menawar harga itu dengan sengit. Pembeli itu adalah seorang pria jangkung berambut pendek agak keriting dan acak-acakan, mengenakan jins, t-shirt putih, dan sepatu kanvas. Kostum yang sangat kota. Menunjukkan dengan jelas bahwa dia bukan penduduk setempat. Sosok itu sudah berjalan menjauh.

Kim So Eun mengejar langkahnya. Perasaan sebagai sesama pendatang, mendorongnya untuk memberikan sedikit teguran. Kalau bus kota saja punya aturan untuk tidak saling mendahului, setidaknya etika sejenis juga berlaku untuk sesama pendatang.

“Mestinya, kau bisa lebih sopan sedikit!” tegur Kim So Eun secara langsung ketika berhasil mengejar pria kota itu.

Langkah pria itu terhenti. Ditatapnya Kim So Eun dengan heran.

“Maaf, kau sedang bicara padaku? Ada apa?” tanyanya.

Ada apa? Astaga, dia bahkan tidak tahu apa yang dilakukannya. Sungguh terlalu. Kim So Eun menahan kegeraman hatinya.

“Kau bahkan tak tahu apa yang kau lakukan?” serunya, marah.

Pria itu menggeleng. Tatap matanya begitu polos.

“Apa yang kulakukan? Seingatku, aku tidak melakukan apa-apa. Bangun pagi seperti biasa, mandi, dan pergi ke pasar membeli buah ini. Itu saja. Kalau terjadi hal lain selain yang kuingat itu, berarti aku mengalami amnesia.”

Mata Kim So Eun menajam. Sikap main-main pria itu sungguh menjengkelkannya. Hampir saja kemarahannya memuncak. Tapi, pada detik yang sama disadarinya bahwa sikap itu bisa berlanjut. Dan, bila itu ditanggapinya, sungguh tidak sepadan dengan apa yang sedang diperjuangkannya. Apa yang diperjuangkannya adalah harga rekayasa, yang sesungguhnya sangat sepele. Jadi, sangat tidak layak bila kasus ini dilanjutkan lebih lama lagi.

Jadi, sudahlah. Gumam Kim So Eun dalam hati, melangkah pergi.

“Hei, tunggu. Jadi, bagaimana?” seru pria itu masih heran.

Kim So Eun tetap meneruskan langkahnya seakan tak mendengar.

“Tunggu! Katakan dulu, ada apa?” pria itu mengejar Kim So Eun.

“Tidak perlu. Nikmati saja amnesiamu,” sahut Kim So Eun, ketus.

“Karena amnesia, Matt Damon sebagai Jason Bourne mengalami petualangan yang menantang. Tapi, aku di Earth Land ini, petualangan macam apa yang akan kualami?”

“Apa peduliku?”

“Tapi, kau harus!” pria itu menghadang langkah Kim So Eun. “Kau yang tiba-tiba memberikan tanda tanya besar ini. Katakan, apa yang terjadi? Apa yang kulakukan?”

Langkah Kim So Eun terhenti. Tatap matanya tajam menyambar. Baru disadarinya bahwa mata pria itu polos bernada tanya. Jadi, benar bahwa dia tidak tahu apa yang telah dilakukannya?

“Aku sedang menawar buah Fruitsberry itu. Tapi, kau mendadak membayar. Itu artinya, kau menggagalkan penawaranku. Sungguh tidak sopan.”

“Oh, itu. Jadi, soal buah ini? Apa namanya? Fruitsberry?”

Mendadak pria itu terbahak, tertawa lepas.

“Aku bahkan tidak tahu nama buah ini. Apalagi harganya.”

“Itulah, bukannya menunggu aku menawar, kau malah langsung membayar,” seru Kim So Eun, kesal.

“Maaf, aku tidak tahu bahwa kau sedang menawar. Aku hanya menginginkan buah ini. Jadi, langsung saja kubayar. Selesai.“

“Itu harga yang terlalu mahal untuk buah Fruitsberry!”

“Maaf, aku betul-betul tidak tahu,” pria itu angkat bahu.

“Seharusnya, cuma....”

“Apalah artinya?” Pria itu menghentikan kegusaran Kim So Eun. “Semahal apa pun harga buah ini, angkanya hanya berkisar empat digit saja. Artinya, tetap di bawah sepuluh ribu rupiah. Angka yang relatif kecil untuk orang kota sepertimu. Bahkan pita rambutmu pasti lebih mahal dari itu.”

Kim So Eun tertegun. Sesaat disadarinya bahwa dia baru saja melakukan sesuatu yang tak layak, tepatnya memperjuangkan kepelitan. Menghabiskan energi untuk menentang harga yang tidak seberapa.

“Benar juga,” gumam Kim So Eun, menyadari diri. “Tidak setiap hari dia bertemu pembeli seperti kita, bukan?”

“Itulah. Bisa bertemu kita hari ini adalah keberuntungan pedagang itu. Dan, kalau kita berkesempatan untuk menjadi saluran berkat bagi rezeki orang lain, itu adalah anugerah istimewa buat kita.”

Kim So Eun tersenyum. “Kalimat yang bijak. Dapat dari mana?”

“Entahlah, kuingat begitu saja. Hmm, aku Jung Il Woo.”

Kim So Eun menyambut uluran jabat tangan itu. Jemari Jung Il Woo terasa liat sekaligus lunak dalam genggamannya.

“Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Jung Il Woo kemudian.

Kim So Eun berpikir sesaat. Apa yang harus dikatakannya? Haruskah diceritakannya tentang kegelisahan hati itu?

“Sekedar berlibur?” Jung Il Woo mendesak.

“Ya... barangkali semacam itu.”

“Atau, melarikan diri dari sesuatu?”

Kim So Eun mengangkat kepala. Pertanyaan Jung Il Woo mulai menyudutkannya. Refleks, gerak pertahanan dirinya mulai bereaksi.

“Mengapa kau berpikir begitu?”

“Kau menjawab dengan tidak jelas. Tapi, tidak ada indikasi berbohong. Kulihat, kau bahkan tidak tahu apa yang kau inginkan. Jadi, kurasa kau hanya ingin melakukan pelepasan dari sesuatu. Begitu?”

Kim So Eun terpana. Jung Il Woo sungguh menyudutkannya.

“Apakah kau selalu ingin tahu urusan orang lain?” serunya, tajam.

“Tidak. Tapi, kalau sekarang kulakukan, aku punya alasan! Aku sedang melakukan peninjauan awal sebuah proyek di kawasan ini. Ini proyek bisnis yang melibatkan orang-orang tertentu. Karena itu, kehadiran orang lain, membuat kami waspada. Bisnis selalu penuh risiko. Kami harus selalu berhati-hati. Itu alasanku.”

Kim So Eun manggut-manggut. “Tenang saja. Aku bukan siapa-siapa. Aku pengangguran yang tidak berkaitan dengan institusi mana pun, apalagi investor pesaing atau apa pun yang semacam itu.”

Jung Il Woo menatap gadis itu. Tatapannya begitu dalam, seakan masuk begitu jauh menjelajah segala sudut hati. Kim So Eun mendadak berdebar. Mata itu sangat mendebarkan. Sensasi yang belum pernah dialaminya.

Apakah ini termasuk pengalaman baru yang dijanjikan Jung So Min?

“Oke, aku percaya, paling tidak untuk sementara,” kata Jung Il Woo, menghentikan tatapannya.

Kim So Eun mengangguk tanpa suara. Dia tidak tahu harus berkata apa.

“Aku tinggal di lembah selatan. Kalau kau menyusuri sungai, pada satu tepiannya kau akan menemukan pohon tumbang dan pondok kayu bekas peti kemas. Aku tinggal di situ.”

“Memang kau pikir aku akan mengunjungimu?”

“Mungkin saja. Untuk seseorang yang tidak tahu akan melakukan apa, hari-hari di sini akan terasa panjang. Tidak ada alat bantu untuk menemanimu membunuh waktu. Jadi, tak ada pilihan lain bagimu, selain berteman denganku.”

Senyum Jung Il Woo mengembang. “Kalau kau tidak datang, aku yang akan mencarimu.”

“Tidak akan kukatakan tempatku tinggal,” tantang Kim So Eun.

“Apa susahnya? Tidak ada hotel di sini. Jadi, kau pasti tinggal di rumah penduduk.”

Kim So Eun kehilangan selera untuk membantah.

Jung Il Woo melangkah pergi. Langkahnya ringan, namun tegap, menampakkan ketangguhan. Samar terdengar siulan mengiringi langkahnya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...