Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 16 Mei 2011

Romance Zero (Chapter 3)



“Lebih baik kau jauhi dia," kata Jung Yong Hwa tiga kali sehari, setiap muncul di warnetnya. "Sebelum terlambat!"

"Jauhi siapa?" sahut Kim So Eun acuh tak acuh. Tentu saja cuma pura-pura.

"Kau tahu siapa," balas Jung Yong Hwa datar. Dia memang pantas kesal. Sudah tiga tahun dia mengincar gadis ini. Mengejar-ngejar-nya seperti layangan putus. Eh, begitu nyangkut, dia memilih orang yang tidak pantas untuk dipilih.

Sudah bukan rahasia umum lagi, Kim So Eun pacaran dengan Kim Bum. Tiap sore dia menunggu Kim So Eun pulang. Membawanya entah ke mana. Jung Yong Hwa kesal sekali melihatnya.

Mengapa Kim So Eun begitu mudah dibawa? Padahal biasanya dia sulit sekali diajak pergi ke mana pun! Hidupnya hanya belajar dan bekerja! Mengapa begitu Kim Bum datang dia jadi berubah? Mau saja dibawa-bawa!

"Kenapa kalau bicara harus pakai teka-teki?" bentak Kim So Eun kesal.

"Anak juragan tembakau," dengus Jung Yong Hwa sama gondoknya. "Calon raja rokok yang sedang mengincarmu! Tahu sudah berapa puluh korbannya?"

"Maksudmu yang kena kanker paru-paru?"

“Yang patah hati! Kenapa cinta selalu membuat, perempuan jadi bodoh?"

"Karena perempuan bodoh tidak pernah jatuh cinta pada laki-laki bodoh!"

"Maksudmu dia bukan laki-laki bodoh?”

"Apa hakmu bilang dia bodoh?"

"Karena dia memang bodoh! Yang membuat dia bernapas cuma uang ayahnya! Kepalanya kosong! Kuliah saja tidak serius! Tahu di mana dia sekarang?"

* * *

"Kenapa tidak kuliah?" tanya Kim So Eun tanpa basa-basi lagi ketika dia menemukan Kim Bum di rumah biliar dekat kampus.

Kim Bum sedang bertanding dengan seseorang pemuda bertampang junkie. Dan tampaknya dia sudah kalah banyak.

Begitu melihat Kim So Eun, Park Jung Min sudah maju untuk mengusirnya. Dia muncul begitu saja entah dari sudut mana. Dan dia masih mengenakan kacamata hitamnya.

Tetapi Kim Bum mencegahnya. Dia memberikan tongkat biliarnya kepada Park Jung Min. Dan membawa Kim So Eun keluar.

"Lebih baik kau jangan ke sini," katanya datar.

"Kenapa?" dengus Kim So Eun judes.

"Tempat ini tidak cocok untukmu."

"Tapi untukmu cocok?"

"Aku laki-laki!" bentak Kim Bum kesal. "Lebih baik kau kembali ke kampus. Kuantarkan."

"Tidak usah!" bantah Kim So Eun pedas. "Aku bisa pulang sendiri!"

"Kalau begitu tunggu apa lagi?"

"Jawab satu pertanyaan dulu!"

"Kenapa aku tidak kuliah?" sergah Kim Bum marah. "Karena aku bosan!"

"Laki-laki seperti ini yang mau jadi pacarku?" desis Kim So Eun antara marah dan kecewa.

"Jangan terlalu tinggi menghargai dirimu!" bentak Kim Bum sengit.

Kim So Eun tersinggung sekali.

"Oke! Aku memang bukan siapa-siapa. Aku cuma perempuan bodoh yang jatuh cinta pada laki-laki bodoh!"

Sesaat Kim Bum tertegun. Tidak menyangka Kim So Eun berani mengucapkan kata-kata seperti itu.

Aku cuma perempuan bodoh yang jatuh cinta pada laki-laki bodoh!

Tetapi Kim So Eun tidak mengacuhkannya lagi. bergegas pergi tanpa menoleh.

Kim Bum baru tersadar dari pesona yang memukaunya ketika Park Jung Min menepuk bahunya. Dengan kepalanya dia mengisyaratkan Kim Bum masuk. Tetapi Kim Bum sudah kehilangan semangat.

"Aku mau pulang," katanya lesu.

"Masa baru begitu saja sudah kalah gertak?" gerutu Park Jung Min kesal. "Laki-laki macam apa kau ini? Perempuan itu bukan siapa-siapa! Lepaskan dia kau bisa dapat seratus gantinya!"

"Aku mau pulang," desah Kim Bum tanpa dapat ditawar lagi. Diambilnya dompetnya. Diberikannya pada Park Jung Min. "Bayar mereka."

* * *

Jangan terlalu tinggi menghargai dirimu.

Kata-kata itu tidak mau hilang juga dari telinga Kim So Eun. Kata-kata yang diucapkan Kim Bum dengan marah. Kata-kata yang sangat menyakitkan.

Jadi seperti itulah penilaian Kim Bum terhadap dirinya. Jangan terlalu tinggi menghargai mu. Apa kelanjutannya? Kau bukan siapa-siapa. Cuma anak yatim-piatu penjaga warnet!

Itukah kata-kata yang ada di kepalanya tapi belum sempat dimuntahkannya?

Kim Bum tidak menghargainya sama sekali! Dan Kim So Eun sudah kenyang dihina orang sejak kecil. Dia tidak mau dihina lagi.

Dulu Kim So Eun tidak tahu mengapa orang selalu melecehkannya. Anak haram. Anak gelap.

Belakangan dia baru tahu, ayahnya tidak meninggal. Ayahnya meninggalkan Ibu sebelum dia lahir. Dia bukan anak yatim. Dia anak haram. Anak gelap. Anak yang tidak punya ayah. Dan seumur hidup dia harus menanggung hinaan itu.

Tetapi Kim So Eun tidak mau dihina terus. Sepeninggal ibunya—Ibu meninggal ketika dia berumur delapan belas—dia pindah ke Seoul. Dengan bermodalkan selembar ijazah SMA, dia melamar pekerjaan di sebuah universitas swasta.

Ketua yayasan yang mengelola universitas itu seorang yang sangat baik. Dia memberikan kesempatan kepada Kim So Eun untuk bekerja sebagai sekretaris pribadinya. Kebetulan dia memang sedang sibuk mengumpulkan bahan untuk membuat autobiografi. Kegiatan yang sedang menjadi mode saat itu.

Dan Kim So Eun tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya. Dia bukan hanya membantu mengumpulkan bahan. Dia merangkum. Mengedit. Mengetik dengan komputer yang dipinjamkan padanya.

Melihat bakat dan keuletannya, Ketua yayasan memberinya beasiswa. Dia boleh memilih hendak kuliah di mana. Kim So Eun memilih fakultas komunikasi konsentrasi jurnalistik.

Tetapi prestasi Kim So Eun tidak hanya berhenti sampai di sana. Dengan izin Ketua Yayasan dan bantuan Rektor, dia membuka usaha warung internet yang kala itu masih jarang. Dia berhasil meyakinkan Rektor, warnetnya akan sangat membantu mahasiswa yang tidak memiliki komputer sendiri Kim So Eun juga memperkenalkan internet yang waktu itu masih seperti dunia di balik awan.

Tidak heran kalau usahanya maju pesat. Warnetnya laku keras. Apalagi Kim So Eun sendiri selalu siap membantu teman-temannya yang ingin berkonsultasi ketika sedang membuat skripsi.

Meskipun sibuk berbisnis, studinya tetap jalan terus. Tiap semester dilaluinya dengan lancar. Nilai-nilainya selalu gemilang. Pujian, dari dosen-dosennya sudah jadi menu sehari-hari. Kini dia tinggal menyiapkan skripsi. Dan gelar sarjana sudah menanti untuk diraih.

Sekarang ketika prestasinya sudah melegenda di kampus ini, tidak akan dibiarkannya orang menghina dirinya, bagaimanapun kaya rayanya dia!

Kim So Eun sudah bertekad memutuskan hubungannya dengan Kim Bum. Untuk apa menyambung hubungan dengan orang yang tidak menghargainya?

Dia memang mencintai Kim Bum. Kim So Eun tidak malu mengakuinya. Cinta itu sah saja. Biarpun dia tumbuh di lahan yang keliru. Lahan yang terlalu mahal baginya.

Tetapi jika orang yang dicintainya tidak menghargai dirinya, biarlah cinta itu hanya menjadi bayang-bayang di hatinya!

Kim Bum memang bukan pria idaman. Hidupnya terlalu santai. Kuliah saja tidak serius.

"Kenapa aku tidak kuliah? Karena aku bosan!"

Kim Bum bosan kuliah!
Tidak ada yang memotivasi dirinya untuk jadi sarjana. Hidupnya sudah terlalu enak. Untuk apa susah-susah kuliah? Untuk apa meraih gelar sarjana? Dia sudah punya segalanya!

Kim Bum tidak perlu mencari uang. Uang yang mencarinya. Jadi untuk apa bekerja? Untuk apa kuliah?

"Yang membuat dia bernapas cuma uang Ayahnya! Kepalanya kosong!"

Dan aku tidak mau pacaran dengan pria berkepala kosong! Aku tidak sudi pacaran dengan pria yang menghina diriku! Yang menganggap diriku bukan apa-apa!

Tetapi... mengapa sulit sekali mengusirnya dari kepalaku? Mengapa sulit sekali menggusurnya dari hatiku?

* * *

"Untuk apa memikirkan dia terus?" dumal Park Jung Min kesal.

Sejak putus dengan Kim So Eun, Kim Bum memang agak berubah. Dia bukan hanya malas ke kampus. Dia juga jadi malas ke mana-mana. Kerjanya cuma melamun dan mengomel.

"Untuk apa merusak diri begitu? Perempuan bukan cuma dia! Lebih baik kita ke kampus. Cari gantinya. Tunjukkan pada Kim So Eun, siapa Kim Bum!"

Aku memang bukan siapa-siapa, kata Kim So Eun hari itu. Aku cuma perempuan bodoh yang jatuh cinta pada laki-laki bodoh!

Jadi dia mencintaiku, pikir Kim Bum murung. dan aku telah menghina gadis yang mencintaiku!

Jangan terlalu tinggi menghargai dirimu!

Kenapa aku tega menghina Kim So Eun? Dia pasti tersinggung sekali. Padahal apa salahnya? Dia hanya datang untuk mengajakku kembali ke kampus! Dia ingin aku kuliah. Bukan main biliar!

"Aku harus minta maaf," cetus Kim Bum. Park Jung Min yang sedang nyerocos terus mengajaknya mencari pacar baru sampai mendadak terdiam.

"Apa katamu?"

Kim Bum tidak menjawab. Dia hanya menyambar kunci mobilnya. Dan melangkah ke garasi.

"Mau ke mana, Tuan?" tegur sopirnya yang sedang bersantai di dapur bersama Seohyun (Pembantu Rumah Tangga).

Kim Bum tidak mengacuhkannya. Dia naik ke dalam mobil sportnya. Dan menghidupkan mesin.

Eunhyuk (Sopir) lari lintang pukang ke mobilnya yang diparkir di halaman. Khawatir mobil Kim Bum akan menyeruduk mobilnya.

Dan dugaannya memang tidak meleset. Karena baru saja dia memundurkan mobilnya, mobil majikannya menderu kencang dan melesat hanya beberapa sentimeter dari badan mobilnya.

Sambil menghela napas, Eunhyuk membuka pintu mobilnya. Dan buru-buru menutupnya kembali ketika mobil kedua melesat dari dalam garasi. Untung dia gesit. Kalau tidak, pintu mobilnya pasti ikut terbang.

Jadi buat apa mereka menggaji sopir, pikir Eunhyuk gemas. Kalau cuma untuk cuci mobil, cari saja pembantu!

* * *

Kim Bum melarikan mobilnya dengan gesit, di Seoul memang percuma punya mobil sport. Tentu saja kalau hendak memacu mobil itu sesuai kodratnya. Kalau untuk nampang itu lain lagi. Karena ke mana pun dia pergi ada saja mata yang memelototi mobilnya. Wanita. Maling. Atau polisi. Yang sudah menunggu kalau-kalau dia ngebut.

Tetapi sore ini Kim Bum tidak peduli yang melotot itu wanita atau polisi. Pikirannya hanya tertuju pada Kim So Eun. Dia akan menemui gadis itu. Dan minta maaf.

Kata-katanya minggu lalu sudah keterlaluan. Dia menyakiti hati Kim So Eun. Menghina harga dirinya. Pantas saja kalau dia marah.

Kim Bum memarkir mobilnya di tempat parkir: Purek. Hari sudah sore. Purek pasti sudah pulang. Kampus juga sudah mulai sepi. Tapi warnet Kim So Eun masih buka. Kim Bum yakin, dia masih ada di dalam. Membantu mahasiswa yang membutuhkan bantuannya. Atau berselancar sendiri di dunia maya kalau warnetnya sedang sepi.

Sebelum Kim Bum sempat membuka pintu, Park Jung Min muncul di belakangnya. Dan dia memanggil Kim Bum.

"Pulang!” perintah Kim Bum tegas. Untuk apa kau mengikutiku terus seperti nyamuk!

Tetapi Park Jung Min tidak mau pulang. Di mana ada Kim Bum, di situ dia berada. Jadi ketika Kim Bum melangkah masuk, Park Jung Min duduk di luar sambil menggerutu.

Untuk apa mengejar-ngejar gadis judes seperti itu? Membuat pendek umur saja! Cantiknya juga tidak seberapa.

Tapi heran. Sejak bertemu Kim So Eun, Kim Bum jadi susah diatur. Dan dia lengket terus pada gadis itu. Padahal batas seratus hari sudah lewat. Biasanya Kim Bum sudah bertemu gadis baru. Nah, berapa susahnya cari gadis cantik di kampus? Segala model pasti ada!

"Hei anak muda, pindahkan mobilnya!" seru satpam dari depan pintu gerbang. "Parkir seenaknya saja!" Memang kampus ini milik Ayahmu?

Park Jung Min belum sempat menjawab ketika serombongan mahasiswa lewat di depannya. Park Jung Min langsung mengenali salah seorang di antara mereka. Lee Hong Ki. Anak Fisip yang pernah mengeroyoknya ketika dia menubruk motor Park Ji Yeon.

"Eh, ada anjing!" gurau mereka sambil tertawa mengejek. Park Jung Min menoleh. Mencari satwa yang mereka maksudkan. Ketika disadarinya di sana cuma ada dia, darahnya menggelegak.

* * *

"Hallo sapa Kim Bum begitu membuka pintu, Kim So Eun mengangkat wajahnya walaupun tanpa melihat pun dia tahu siapa yang datang. Jantungnya sudah berdebar dua kali lebih cepat bahkan sebelum Kim Bum muncul di pintu.

"Halo juga," sahutnya dingin. Tentu saja cuma pura-pura. Karena hatinyiasudah berdesah hangat.

"Ada yang kosong?" Pura-pura juga. Karena semua meja memang kosong. Kim So Eun sedang berbenah ketika Kim Bum masuk tadi.

"Sudah mau tutup," sahut Kim So Eun datar. "Datang saja besok pagi."

"Ini sebuah undangan?"

“Tergantung tanggapanmu. Bisa berarti penolakan kalau kau ngotot mau sekarang."

Kim Bum tertawa sopan.

"Aku tidak mau diusir."

"Kenapa komputer di rumahmu? Heng semua? Tidak ada toko komputer yang masih buka?"

"Kenapa kau selalu sejudes ini dengan pelanggan?"

“Tidak semua. Cuma pelanggan yang menyebalkan."

"Seperti temanmu yang alim itu?"

"Dia tidak menyebalkan."

"Mirip aku?"

"Kebalikan. Semua sifatnya tidak ada dalam dirimu."

“Tidak heran. Makanya dia tidak menarik."

Kurang ajar, geram Kim So Eun dalam hati. Dia selalu menghina Jung Yong Hwa. Tapi satu hal dia benar. Jung Yong Hwa memang tidak menarik. Dia ibarat telaga yang tenang. Tidak ada gelombang emosi yang mengguncang. Menyergap sukma. Sekaligus menghanyutkan nalar.

Dan Kim So Eun belum sempat menjawab. Saat itu terdengar ribut-ribut di luar. Kim Bum langsung menerjang pintu. Dan apa yang ditakutinya memang terbukti. Park Jung Min sedang berkelahi. Dikeroyok enam orang. Satpam sedang berusaha memisahkan. Tapi karena sore ini dia sendirian, sulit melerai perkelahian.

Terpaksa Kim Bum ikut berkelahi. Padahal dia tidak tahu apa masalahnya.

Dikeroyok tiga orang, Park Jung Min masih mampu bertahan. Tapi Kim Bum bukan Park Jung Min. Ketika dua orang menelikung lengannya ke belakang dan Lee Hong Ki menjotos perutnya, kedua tungkainya tertekuk lemas. Dia merasa perutnya sakit sekali. Tapi dia tidak mengaduh. Hanya wajahnya yang mengerut melukiskan kesakitan.

Sekali lagi Lee Hong Ki memukulnya dengan ganas, Perut Kim Bum tertekuk dua menahan sakit. Dia coba meronta sekuat tenaga. Tetapi kedua orang teman Lee Hong Ki memegangi lengannya makin kuat.

Tentu saja Park Jung Min melihat Kim Bum yang sedang dijadikan bulan-bulanan. Tapi dia tidak mampu melepaskan diri dari tiga orang yang sedang mengeroyoknya. Karena lengah, mukanya malah sempat dihajar telak. Dan dia terhuyung hampir jatuh.

Tanpa mempedulikan keselamatannya, Park Jung Min menerjang Lee Hong Ki. Tapi lawan-lawannya tidak membiarkannya. Dia diseret dan ditendang sampai jatuh tunggang langgang.

Sekali lagi Kim Bum berusaha melepaskan diri Tapi cengkeraman mereka terialu kuat Sampai tiba-tiba dia mendengar salah seorang di antara mereka mengaduh. Dan Kim Bum merasa cekalan di lengan kanannya mengendur.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Kim Bum meloloskan diri. Dia berkelit dari hujan tinju yang melanda deras wajah dan perutnya. Memukul mahasiswa yang masih memegangi lengan kirinya. Dan menendang Lee Hong Ki. Tepat di perutnya.

Ketika kedua lawannya sedang terhuyung mundur, Kim Bum baru bisa melihat dengan jelas Kim So Eun ada di dekatnya. Tangannya masih memegang sebuah lampu meja yang tadi mungkin diayunkannya ke kepala pemuda yang memegangi lengan kanan Kim Bum.

Sekarang pemuda itu sedang menyerbu Kim So Eun dengan marah. Hendak memukulnya. Lupa yang dihadapinya seorang gadis. Tetapi si satpam sudah keburu mendorongnya dengan ganas.

Sialnya, dia terhuyung ke arah Kim Bum. Dan Kim Bum tinggal mengayunkan kakinya.

* * *

Park Jung Min tidak mau mengatakan apa sumber perkelahiannya. Mengapa dia menyerang mereka. Percuma dia didesak. Diancam. Dimarahi. Dia diam saja.

Akhirnya satpam memanggil Kepala Keamanan Kampus. Biar dia yang menginterogasi mereka. Itu memang tugasnya, kan?

"Kim So Eun!" cetus Mr. Lee Sang Yoon yang selalu datang terlambat. "Belum pernah saya dengar kau ikut berkelahi!"

"Maaf, Pak," sahut Kim So Eun datar.

"Dia cuma ingin menolong saya, Pak," sela Kim Bum tegas.

"Menolongmu? Tidak malu berkelahi di bantu anak perempuan?" Mata Mr. Lee Sang Yoon lalu berpindah ke arah Lee Hong Kid an temannya.

"Kau juga! Tidak malu berkelahi melawan perempuan! Bikin malu almamater saja!"

Tidak ada yang berbunyi. Semua mata sedang mencari semut di lantai.

"Besok kalian semua menghadap Purek Tiga!" tukas Mr. Lee Sang Yoon bengis. "Dan kau!" dia menunjuk Park Jung Min dengan berang. "Kalau mau jadi jagoan, bukan di sini tempatnya! Sudah, sana bubar!"

Satu per satu mereka meninggalkan ruangan. Di luar Lee Hong Ki masih melemparkan tatapan bengis ke arah Park Jung Min. Yang dibalas Park Jung Min dengan belalakan yang sama panasnya.

Tetapi tidak ada lagi yang berminat memulai perkelahian. Mereka pergi ke jurusan yang berbeda.

"Aku akan mengantarmu pulang," kata Kim Bum sambil menyusul Kim So Eun yang sudah melangkah lebih dulu keluar kampus.

"Tidak usah," sahut Kim So Eun tanpa menoleh. "Aku belum lupa jalan ke rumahku."

Dia langsung memanggil taksi. Dan langsung naik tanpa menghiraukan Kim Bum.

Tanpa diundang Kim Bum ikut menerobos masuk. Terpaksa Kim So Eun menggeser duduknya.

Park Jung Min memanggil Eunhyuk lebih dulu untuk membawa mobil Kim Bum pulang. Lalu dia sendiri naik ke mobilnya membuntuti mereka.

"Lebih baik kau turun di sini," gumam Kim So Eun. "Supaya kita tidak kelihatan seperti arak-arakan."

Tanpa menoleh ke belakang pun Kim Bum tahu apa yang dimaksudkan Kim So Eun. Dia mengambil ponselnya dan menelepon Park Jung Min.

"Park Jung Min, pulang!" perintahnya tegas.

"Tidak bisa!" sahut Park Jung Min sama tegasnya. Baru kali ini dia berani membantah. “Kalau mereka masih penasaran dan mengikuti kalian..."

"Park Jung Min, kalau kau tidak mau pulang sekarang, besok kukirim kau pulang ke rumah Ayahmu!"

Terpaksa Park Jung Min membelokkan mobilnya ke gang di dekatnya. Tetapi dia tidak langsung pulang. Dia menelepon Eunhyuk lagi untuk mengambil mobilnya. Dan memanggil sebuah taksi.

"Kenapa jadi begini," keluh Eunhyuk gemas. "Punya mobil bagus malah pada naik taksi!"

* * *

Kim Bum berkeras mengantarkan Kim So Eun sampai ke depan pintu rumahnya walaupun dia sudah sebelas kali diusir. Beberapa belas meter di belakangnya, Park Jung Min mengikuti mereka dengan diam-diam. Padahal mukanya masih bengkak Bibirnya berdarah.

“Terima kasih." cetus Kim So Eun tawar ketika mereka sudah sampai di depan pintu rumahnya "Sampai sini saja.”

"Kim So Eun,” Kim Bum memegang tangan gadis itu. Tetapi Kim So Eun segera melepaskannya. "Maafkan aku."

"Untuk apa?" sahut Kim So Eun dingin.

"Kata-kataku tidak pantas. Aku menyakiti hatimu."

"Bukan hanya menyakiti. Kau menyinggung harga diriku."

"Aku tahu. Makanya aku minta maaf."

“Kau sombong."

"Bukan cuma itu, kan?" Kim Bum tersenyum tipis ketika merasakan suara gadis itu mulai melunak. "Aku lelaki bodoh yang dicintai perempuan bodoh!"

Dan Kim So Eun tidak sempat mengelak. Kim Bum sudah memeluknya dengan hangat.

"Satu hal lagi," bisiknya mesra. "Besok kekasihmu yang bodoh ini akan melamarmu."

Kim So Eun tertegun. Jantungnya seperti tiba-tiba berhenti berdenyut. Sekujur tubuhnya membeku. Kim Bum akan melamarnya? Tidak salah dengarkah telinganya?

Kim Bum terkenal gemar gonta-ganti pacar. Makanya julukannya sudah populer di Seantero jagat. Pria seratus hari. Benarkah sekarang dia hendak melamar seorang gadis?

Ditatapnya pemuda itu dengan nanar. Mencoba mencari keseriusan kata-katanya. Bergurau lagikah dia? Hidupnya memang selalu penuh canda. Tidak pernah serius.

Tetapi tatapan matanya saat ini begitu sungguh-sungguh. Walaupun dia masih tetap tersenyum. Senyum kebocahan yang membuat Kim So Eun sulit tidur kalau sehari saja tidak melihatnya.

"Besok aku akan melamarmu."

"Kenapa harus besok?"

"Karena sekarang aku belum punya cincinnya."

"Aku tidak butuh cincin."

"Baiklah! Besok aku bawa tali plastik saja. Tapi bagaimanapun, aku harus bilang orangtua-ku. Agar mereka jangan memasang iklan lagi."

"Kau pikir mereka merestui putra mahkotanya mempersunting tukang jaga warnet?"

"Sekarang siapa yang merendahkan dirimu?”

Kim So Eun melepaskan dirinya dengan murung. Entah mengapa tiba-tiba saja dia merasa pedih.

"Aku tidak percaya orangtuamu mau menerima gadis kaki lima seperti aku.”

"Mereka tidak sejahat yang kau sangka, Kim So Eun. Orangtuaku bukan monster. Kau terlalu banyak menonton drama seri."

"Aku percaya orangtuamu baik. Tapi normal kalau mereka memilih calon yang lebih prima untuk putra kesayangannya. Itu wajar, Kim Bum. Justru karena mereka sangat menyayangimu.”

"Mereka juga harus tahu, aku mencintaimu. Dengan cinta yang sepanjang Sungai Barceloneta.”

"Barceloneta bukan sungai terpanjang di dunia.”

"Pasti yang terbesar. Sebesar cintaku padamu."

"Masih percayakah mereka pada cinta?"

"Apa pikirmu yang menciptakan diriku kalau bukan cinta mereka? Orangtuaku kan bukan produk menikah paksa!"

"Aku tidak ingin berdebat di pinggir jalan."

"Kalau begitu, kenapa tidak mengajakku masuk?"

"Sudah malam, Kim Bum. Aku tinggal sendiri. Dan kita belum menikah."

"Nah, gadis seperti apa lagi yang diharapkan orangtuaku kalau bukan yang sealim ini?" Kim Bum tertawa geli. “Tanpa test drive pun, yakin tidak salah pilih!"

"Aku hanya khawatir kau kecewa," keluh Kim So Eun lirih. "Selama ini, tak ada kepahitan yang pernah menyentuh hidupmu."

"Aku yakin pada manisnya cinta kita," sahut Kim Bum lembut. "Kita akan membuat hidup kita semanis kolak."

"Juga kalau orangtuamu tidak setuju?"

"Umurku sudah dua puluh dua. Aku sudah bisa menikahimu tanpa izin orangtua."

Saking kagetnya, Kim So Eun sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tanpa izin orangtua? Kim Bum berani melangkahi orangtua nya? Melawan kehendak mereka?

"Kenapa?" Kim Bum tersenyum mengejek. "Tidak percaya?"

Kim So Eun menghela napas berat. "Rasanya tahun depan aku harus menjaga warnetku sambil menggendong anak." Tentu saja Kim So Eun hanya bergurau. Karena dalam hatinya dia memang tidak percaya.

Meledak tawa Kim Bum.

Ketika melihat lelaki yang dicintainya sedang tertawa terpingkal-pingkal, segores kenyerian menoreh hati Kim So Eun.

Benarkah Kim Bum mampu meninggalkan istananya? Berapa lama dia sanggup hidup dalam kubangan? Tetapi memang tidak ada yang dapat melarang Kim Bum kalau dia sudah menghendaki sesuatu. Sejak kecil semua keinginannya selalu tercapai. Sudah biasa.

"Menikah?" belalak Park Jung Min yang sedang duduk di pinggir jalan sambil menghitung berapa nyamuk yang sudah dibunuhnya,"Gila!"

“Orang gila tidak berpikir untuk menikah, Park Jung Min!” sahut Kim Bum ringan. Wajahnya cerah sekali. Senyum bertengger terus di bibirnya. "Mereka cuma berpikir berapa lembar daun yang ada diperutnya!"

"Kau mau menikah dengan siapa?" desak Park Jung Min penasaran. Dia menoleh ke rumah Kim So Eun yang kecil mungil. "Dia?"

"Siapa lagi? Masa sama kau?"

"Apa kau sakit, Kim Bum!"

"Sakit? Ya, Aku memang sakit! Sakit cinta! Tapi aku tidak perlu dokter. Tidak perlu obat! Mana mobil kita?"

"Sudah dibawa Eunhyuk."

"Panggil."

"Kita naik bus saja."

"Tidak mau."

"Hitung-hitung latihan."

"Latihan apa?"

"Hidup melarat kalau kau jadi menikah."

“Ayahku pasti tidak tega menyuruhku naik bus.”

"Belum tentu, kalau dia tahu siapa calon istrimu."

"Kenapa kau sinis begitu, Kim So Eun calon istri yang tidak memalukan. Mahasiswi berbakat, pintar, ulet.”

“Tapi miskin."

"Dia punya warnet! Bukan gembel! Bukan pemulung! Bukan koruptor!"

"Ayahmu pasti lebih suka kalau dia punya perusahaan."

"Aku mau menikah, Park Jung Min! Bukan pinjam uang dibank!"

"Dengan gadis yang kau tidak tahu asal-usulnya?"

"Pasti dia bukan keturunan vampir!"

"Kau tahu siapa Ayahnya?"

"Peduli apa?"

"Tapi ayahmu pasti peduli!"

"Masa bodoh! Aku sudah janji akan melamar Kim So Eun. Dan lelaki dewasa harus menepati janjinya, kan?"

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...