Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 07 Mei 2011
Silent Road (Chapter 6)
Chapter 6
Cinta Lelaki Senja
Kim So Eun jengah. Dengan cepat dia bangun dan melangkah keluar. Sungguh tidak nyaman menyadari diri berada di kamar seorang pria asing. Ia bahkan belum pernah masuk ke kamar Kim Bum.
Jung Il Woo ditemukannya di tengah ruangan. Tampak sedang melakukan sesuatu pada gambar rancang bangunnya yang terhampar di lantai kayu.
“Hai, sudah sehat?” sapa Jung Il Woo menyambut.
Kim So Eun mengangguk, lalu bersimpuh di lantai, mengamati kertas gambar. “Jadi, kau arsitek?”
Jung Il Woo mengangguk dan menerangkan tentang proyek resor yang sedang dikerjakannya.
“Kau mengingatkanku pada Francois Sarcozy (karangan penulis). Seorang aktor Perancis.”
“Aku tidak tahu. Hanya satu kali kulihat film Perancis. Itu pun bukan untuk melihat filmnya, melainkan untuk melihat karya arsitektur yang dipakai sebagai lokasi. Rancangan itu bagus. Sebuah rumah yang dibangun di atas laut atau danau, yang di musim tertentu airnya mengering. Rumah yang setiap pergantian musim menampilkan pemandangan berbeda.”
“Apakah rumah itu berdermaga panjang dengan kotak surat di ujung dermaga?” sambung Kim So Eun.
“Ya, kotak surat ajaib yang mempertemukan dua dimensi waktu.”
Kim So Eun mengangguk. “Francois Sarcozy adalah si pemilik rumah berdermaga itu.”
Jung Il Woo menghentikan gerakannya. Diangkatnya mata dan ditatapnya Kim So Eun lurus.
“Kurasa, aku sama sekali tidak mirip dengannya.”
“Mengingatkan tidak harus berarti mirip. Kau hanya serupa. Tidak tampan, tapi menarik.”
“Dengan kata lain, kau mengatakan bahwa aku menarik?”
“Tidak, bukan begitu maksudku,” bantah Kim So Eun, jengah. “Aku lapar. Lebih baik aku pulang,” sambungnya, sambil berpamitan.
“Tunggu, aku punya sesuatu untukmu. Kau beruntung, aku punya sepotong ayam hari ini.” Jung Il Woo menghidangkan semangkuk bubur. “Kumasak bubur ayam. Memang tidak lengkap karena tidak ada cakue dan emping, kuganti dengan dadar iris dan bawang goreng. Makanlah, pasti enak selagi hangat begini.”
Kim So Eun tertegun. Apa yang dilakukan Jung Il Woo, untuk kesekian kali, sungguh tidak terduga. Hal-hal tidak terduga yang menyentuh hati. Jung Il Woo sungguh membuat hatinya bergetar.
“Terima kasih.” Kim So Eun menerima uluran itu. “Apakah kau selalu sebaik ini?”
“Tentu tidak. Hanya karena kau sedang sakit saja.”
“Karena itu mengingatkanmu pada ibumu?”
Jung Il Woo mengangguk.
“Di mana ibumu sekarang?” tanya Kim So Eun.
“Di rumah.”
“Aku rasa, kau sedang merindukannya.”
Jung Il Woo terdiam. Sejurus ditatapnya Kim So Eun. Tatapan itu begitu dalam, begitu jauh. Seakan menjelajah sudut hati Kim So Eun. Hati Kim So Eun bergetar hebat. Tatapan itu sangat menggetarkan hati. Bahkan, tatapan Kim Bum pun tidak pernah memberikan getar sedahsyat ini. Dengan susah payah digerakkannya tangan untuk menyuap bubur, sambil meredakan getar hatinya. Rasa gurih dan lembut bubur menyentuh lidah. Sama sekali tak mampu mengangkat matanya. Nalurinya mengatakan, mata Jung Il Woo masih menatapnya lekat.
Kim So Eun menikmati makan malam dengan Nenek Seo Woo Rim. Sebenarnya, Kim So Eun tidak merasa lapar karena perutnya masih berisi bubur ayam buatan Jung Il Woo. Tapi, Kim So Eun tidak ingin memunculkan pertanyaan di benak Nenek Seo Woo Rim. Hatinya mengatakan, apa yang terjadi hari ini lebih baik disimpannya sendiri. Tapi, menutupi sesuatu ternyata tidak mudah.
“Kau sedang tak selera makan. Bukan karena makanan ini tak sesuai selera, tapi karena kau sedang gelisah,” kata Nenek Seo Woo Rim.
Kim So Eun menghentikan suapannya. Diteguknya air putih. Sungguh tidak diduganya Nenek Seo Woo Rim akan menebak setepat ini.
“Entah apa yang membuat saya gelisah. Saya merasa ada yang mengganggu hati. Tapi, saya memang sedang menstruasi.”
“Semoga itu bagian dari perubahan hormon yang tidak selalu bisa dipahami. Usahakan menikmatinya. Apa boleh buat, itu ritual kita sebagai perempuan.”
Kim So Eun mengangguk.
“Perutmu masih sakit. Nenek punya balsem.”
“Nanti diseka dengan botol air hangat saja, lebih nyaman.”
Nenek Seo Woo Rim terheran. “Jadi, selama ini kau juga memakai cara tradisional itu?”
Kim So Eun terenyak. Nyaris digelengkannya kepala. Tapi, sesuatu menghentikannya. Entah mengapa, ia ingin menyamarkan Jung Il Woo.
Gelisah bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dinikmati. Justru sebaliknya, gelisah bisa membuat segala sesuatu menjadi tidak nyaman. Langit malam yang cerah, cahaya kemilau menjelang purnama, dan embusan angin sejuk sangat menyenangkan untuk dinikmati. Tapi, kegelisahan mengalahkan semua itu dan mengubahnya menjadi sesuatu yang menyesakkan.
Kim So Eun tidak bisa tidur. Berkali-kali diubahnya posisi tidur, tapi tak juga ditemukan kenyamanan. Tak tahan lagi, sesaat kemudian Kim So Eun membuka jendela, berharap aliran udara malam bisa membantunya mengusir kegelisahan. Saat jendela terbuka, gadis itu terkejut. Sesosok bayangan orang berdiri di halaman. Bayangan itu melangkah perlahan, dalam gerakan kegelisahan.
Jantung Kim So Eun berdegup. Nalurinya mengatakan sesuatu tentang bayangan itu. Sesaat kemudian cahaya bulan memberikan jawaban. Bayangan itu datang dari sosok Jung Il Woo.
Gerak bayangan itu terhenti. Lurus berhadapan dengan jendela. Dalam remang cahaya bulan, tatap mata keduanya bertemu.
“Ada apa?” tanya Kim So Eun, dengan suara berbisik.
Jung Il Woo menggeleng, terdiam sesaat. “Hanya ingin melihatmu.”
Kim So Eun tercenung. Nada kalimat itu seakan membawa nada kegelisahan yang sama seperti dalam benaknya. Kim So Eun kemudian keluar dan duduk di beranda rumah panggung.
“Mengapa ingin melihatku?” dicobanya mencari jawaban.
Mata Jung Il Woo menatap gelisah. “Entahlah.”
Kim So Eun menghela napas. Ada apa ini, pikirnya. Mengapa kami ada dalam kegelisahan yang sama? Akukah yang ada dalam kegelisahannya?
Sesaat keduanya terdiam.
“Begini saja, anggaplah aku hanya ingin memastikan bahwa kau sudah sehat dan baik-baik saja,” kata Jung Il Woo, dengan nada aneh.
Kim So Eun mengangguk. Lalu, suasana kembali hening.
“Aku tidak bisa tidur,” gumam Kim So Eun.
“Gelisah? Memikirkan seseorang?” tanya Jung Il Woo.
Kim So Eun tidak menjawab. Matanya menatap bulan di langit. Bulan redup sesaat terlewati awan yang bergerak perlahan. Siapakah yang kupikirkan? Mungkin, seharusnya aku berpikir tentang Kim Bum. Tapi, mengapa sosoknya tidak pernah terlintas?
“Aku memikirkanmu,” kata Jung Il Woo, menjawab pertanyaannya sendiri.
Kim So Eun terenyak. Pernyataan itu, meski sudah diduganya, tetap mengejutkan.
“Aku baik-baik saja. Tidak perlu kau pikirkan,” Kim So Eun berusaha tetap tenang. Nalurinya mengatakan situasi ini tidak bisa dibiarkan berkembang semakin jauh, harus dilakukan sesuatu untuk menghentikannya.
“Sudah larut. Pulanglah,” katanya.
Jung Il Woo diam, tatap matanya lurus, menyiratkan sesuatu.
“Apakah aku boleh memelukmu?” tanya Jung Il Woo hati-hati, hingga nyaris tak terdengar.
Kim So Eun berdiri, mundur selangkah. “Tidak... tidak boleh.”
“Mengapa?” desak Jung Il Woo. Matanya tajam, menuntut jawaban.
Kim So Eun kehilangan kata-kata. Sesaat diaturnya napas dan dikendalikannya diri.
“Karena, aku bukan seorang yang bebas. Aku adalah calon pengantin yang akan menikah beberapa bulan lagi,” katanya, tenang.
Jung Il Woo terdiam. “Lalu, mengapa kau datang kemari?”
“Aku tidak melarikan diri dari sesuatu. Persiapan proses pernikahan membuatku tertekan, sehingga aku memerlukan semacam pelepasan. Aku datang untuk mencari energi baru untuk pemulihan batinku.”
“Calon suamimu membiarkanmu pergi sendirian?”
“Aku yang meminta.”
“Dia setuju?”
“Mengapa tidak?”
“Andai aku di posisinya, tidak akan kubiarkan kau melakukan ini.”
Jung Il Woo menatap Kim So Eun, tepat di manik mata.
“Karena, aku akan terlalu mencintaimu sehingga tidak akan sanggup membiarkanmu pergi sejauh ini,” lanjutnya.
Kim So Eun terkesima. Tatapan mata itu begitu menghanyutkan. Kalimat itu sangat menggetarkan hati. Sangat tak terduga. Kim Bum tidak pernah mengucapkan kalimat seindah ini.
Kim So Eun mendadak kehilangan daya sehingga tidak tahu harus melakukan apa. Yang tersisa hanyalah kepasrahan belaka. Ketika Jung Il Woo melangkah mendekat dan merangkumnya dalam pelukan, Kim So Eun tak lagi memiliki penolakan. Juga ketika bibir Jung Il Woo menyentuh bibirnya dengan lembut. Yang ada dalam dirinya hanyalah sensasi kepasrahan total. Tiada hasrat untuk melawan. Kim So Eun terhanyut.
Namun, beberapa saat kemudian, kesadaran datang. Sesuatu mengentakkan hati dan membangunkan gadis itu dari mimpi. Bagai terhenti dari laju kereta, bagai terempas dari pusaran angin. Kim So Eun bergerak cepat, melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur menjauh dari jangkauan Jung Il Woo.
“Mengapa melakukan ini padaku?” seru Kim So Eun.
“Naluri,” suara Jung Il Woo bergetar.
“Ini tidak pantas,” emosi Kim So Eun terguncang.
Jung Il Woo terdiam. Matanya dingin, sarat perasaan tak terungkap. Tapi, mata itu begitu menjerat, dengan tatapan yang dalam bagai lautan yang menenggelamkan.
Kim So Eun menghindar dari mata itu. Melindungi diri dari jerat yang bisa jadi tak terelakkan.
“Pergilah,” pinta Kim So Eun, nyaris tak terdengar.
Jung Il Woo tak bergerak.
“Aku mohon...,” lanjut Kim So Eun. Perih suara itu.
Jung Il Woo sungguh tak ingin pergi. Dia ingin tinggal dan mempertahankan gadis itu. Dia merasa masih ada kesempatan untuk itu. Janur belum melengkung, rumah belum berhias bunga pengantin. Artinya, sang putri calon pengantin masih bisa diperebutkan. Jung Il Woo merasa memiliki kekuatan penuh untuk melakukan perjuangan itu.
Tapi, suara sarat kepedihan itu menghadang langkahnya. Tampak jelas gadis itu bergumul melawan dirinya sendiri. Pergumulan yang hebat dalam usaha untuk menghindar dari jangkauannya. Haruskah dipaksakannya kehendak itu dan membuat gadis itu makin tersudut? Atau, mungkin justru di situlah peluangnya untuk meraih kesempatan? Jung Il Woo menghela napas panjang.
Ia undur diri. Tanpa suara, dia berbalik, menuruni tangga beranda dan melangkah pergi dalam gelap malam.
Kim So Eun tertegun gamang. Nanar ditatapnya bayang itu menjauh. Punggung itu melangkah pergi. Perlahan, selangkah demi selangkah kegelapan malam merangkumnya sehingga tak lagi tergapai cahaya bulan. Kim So Eun memejamkan mata. Bayang punggung itu mengabur dalam genangan air matanya.
Lalu gelap. Lalu sunyi. Pedih menekan ulu hati. Jung Il Woo sudah pergi.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar