Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 07 Mei 2011
Silent Road (Chapter 1)
Chapter 1
Sebuah Pernikahan
Suatu hari di sebuah gerai perhiasan.
Kim Bum menggenggam jemari Kim So Eun, meremasnya lembut.
“Bagaimana, sudah menentukan pilihan?” tanyanya dengan mata menyimpan cahaya. “Model mana yang kau pilih?”
“Aku bingung. Modelnya bagus-bagus. Sulit menentukan pilihan,” Kim So Eun merajuk manja. “Menurutmu, sebaiknya aku pilih yang mana?”
“Begini saja, pilih beberapa model yang kau suka. Dari beberapa pilihan itu, kita pilih lagi bersama-sama,” Kim Bum menyarankan.
Kim So Eun tersenyum. “Solusi yang baik. Kau selalu punya saran terbaik untuk setiap masalah yang kita hadapi.”
Kim Bum menatapnya dengan penuh cinta. “Benarkah?”
Kim So Eun mengangguk yakin. “Iya. Kau tahu, sering kali aku berpikir kau adalah hal terbaik yang pernah aku miliki.”
“Terima kasih. Aku senang kau berpikir begitu. Semoga selamanya aku bisa melakukan yang terbaik untukmu,” kata Kim Bum, menyimpan harapan.
“Tepatnya untuk kita. Jangan untukku saja. Bukankah kita akan hidup berdua. Apa gunanya aku mendapatkan semua yang terbaik, bila kau tidak?” kata Kim So Eun.
“Sesungguhnya, apa yang terbaik bagimu, itulah yang kuinginkan. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga,” kata Kim Bum, sambil menatap mata Kim So Eun dalam-dalam.
Kim So Eun terharu. Kalimat itu. Alangkah menyentuh hati. Bila orang lain yang mengucapkannya, ia pasti berpikir semua itu hanyalah rayuan. Tapi, kini Kim Bum yang mengatakannya. Dan, dia telah mengenal Kim Bum dengan baik. Sangat baik. Kim Bum bukanlah pendusta, bahkan dalam hal terkecil sekalipun. Kim Bum bukanlah orang yang mengenakan basa-basi sebagai aksesori diri. Apa pun yang dikatakan Kim Bum adalah kejujuran. Tanpa polesan, tanpa hiasan. Sesuatu yang berasal dari hati.
“Terima kasih, Kim Bum. Semoga aku bisa melakukan hal serupa untukmu,” sahut Kim So Eun.
“Ah, sudahlah. Kita seperti mengucapkan janji pernikahan saja. Padahal, hari itu kan masih lima bulan lagi,” bisik Kim Bum. Matanya bersinar jenaka.
Kim So Eun menahan senyum. “Barangkali, kita terbawa suasana tempat ini. Penataannya begitu romantis, membuatku ingin melamunkan sesuatu.”
“Melamunkan hari itu?” tanya Kim Bum, sambil tersenyum.
Kim So Eun tersipu. Rona merah dadu membias ranum pada pipinya. Sesaat kemudian disentuhkannya bahu pada lengan Kim Bum.
“Sudahlah, jangan menggodaku lagi. Ayo, kita pilih cincinnya. Yang mana yang paling indah, ya?”
Kim So Eun pun kembali memilih. Diamatinya setiap model cincin pernikahan yang terpampang di depannya. Semuanya menarik. Masing-masing memiliki ciri khas tertentu. Ada emas putih, ada berlian, ada yang berukir, dan ada juga yang polos sederhana.
Cincin itulah yang terpilih. Sebuah cincin sederhana dengan ukiran daun dan sulur anggur melingkar di sekeliling cincin. Batang dan sulur anggur tumbuh menjalar dan saling mengikat. “Semoga kita akan hidup seperti itu, tumbuh bersama selamanya.” Begitu Kim So Eun mengungkapkan alasannya memilih cincin sederhana itu.
“Filosofi yang bagus. Aku setuju,” Kim Bum mengangguk. “Ayo, tuliskan nama kita supaya mereka bisa mengukir nama kita pada cincin itu dengan benar. Mereka bilang, bulan depan cincin akan siap diambil.”
“Tidak masalah. Kita masih punya waktu lima bulan, bukan?”
“Ya, waktu yang sebenarnya panjang. Tapi, bisa relatif menjadi pendek bila diterjemahkan pada situasi kita saat ini.”
“Persiapan ini-itu yang ribet. Apa lagi yang harus kita lakukan sesudah ini?”
“Memesan gedung untuk resepsi.”
“Gedung sudah dipesan. Kita hanya perlu menyetor uang tanda jadi.”
“Jangan lupa, lusa ada tes menu.”
“Soal menu itu, biar ibumu dan ibuku saja yang mengambil keputusan. Mereka berdua kan lebih ahli dalam hal semacam itu.”
“Boleh saja. Jadi, ke mana kita sekarang?”
“Konsultasi desain kartu undangan dan dekorasi.”
“Kita pilih yang sederhana saja. Kartu tidak perlu besar, ukuran mungil cukuplah. Asal desainnya unik, pasti kartu itu akan berkesan.”
“Oke. Besok bisa mengantarku ke desainer?” tanya Kim So Eun kemudian.
“Untuk apa?” Kim Bum heran. Seingatnya, jadwal ke desainer tidak ada dalam agendanya.
“Memilih gaun pengantin.”
“Bukannya kau sudah ke sana bersama Ibu?”
“Memang, tapi ada dua pilihan. Dan, aku ingin kau membantuku menentukannya. Yang satu model bahu terbuka. Kesannya seksi. Tapi, aku khawatir kau tidak suka. Yang satu lagi desainnya bagus, tapi cenderung membuatku tampak lebih gemuk.”
Kim Bum melirik menahan senyum. “Kau sama sekali tidak gemuk. Lihatlah, lenganmu hanya sekecil ini. Kau saja yang terlalu sensitif soal berat badan. Jadi, kukira, kau akan lebih nyaman dengan gaun yang seksi itu.”
“Tapi….”
“Tapi, apakah dengan tampil seksi kau akan lebih menarik perhatian? Sama sekali tak masalah bagiku. Pada kenyataannya, hari itu semua perhatian akan terpusat pada kita. Jika penampilanmu yang seksi akan membuat para tamu pria patah hati dan menatapmu tanpa kedip, bukankah itu justru membuktikan bahwa pilihanku padamu tidak salah?” kata Kim Bum, menghentikan keraguan Kim So Eun.
“Bukan begitu. Lebih baik kau lihat dulu gaun pengantinnya.”
Kim Bum menggeleng. “Tidak, aku tidak akan melakukannya.”
Kim So Eun terkejut. “Mengapa?”
Kim Bum terdiam sesaat. “Barangkali ini suatu hal yang kuno. Dan, mungkin tidak ada lagi yang memercayai, apalagi memperdulikannya. Tapi, aku ingin melakukannya untuk diriku sendiri,” katanya, dengan nada hati-hati.
“Apa itu?” Kim So Eun ingin tahu.
“Kata orang, pengantin hanya boleh satu kali mengenakan gaun pengantinnya. Karena itu, aku ingin hanya sekali saja melihatmu mengenakan gaun pengantin itu. Di hari pernikahan kita. Bukan saat fitting atau kapan pun.”
“Begitukah?”
“Selain itu, seandainya sekarang aku melihat gaun pengantin itu, di hari pernikahan nanti aku akan kehilangan kejutan. Jadi, aku mohon, untuk yang satu itu, jangan libatkan aku. Apa pun pilihanmu, itu akan menjadi kejutan terindah bagiku. Aku ingin melihatmu sebagai pengantinku pada hari itu dengan hati yang murni. Bukan dari bayangan atau daya khayal yang terbentuk dari hari-hari sebelumnya. Kau maklum, bukan?” kata Kim Bum, menjelaskan.
Kim So Eun mengerjapkan mata. Di depannya Kim Bum menatapnya dengan mata tulus menyimpan harapan. Harapan yang sederhana, yang sangat tidak layak untuk ditolak.
“Baiklah,” bisik Kim So Eun, yang memenuhi harapan itu. Dengan lembut ditatapnya Kim Bum. “Tunggulah. Aku akan menjadi pengantin tercantik untukmu.”
Kim Bum mengangguk. Dengan penuh rasa bahagia, direngkuhnya bahu kekasihnya, calon pengantinnya.
Kim So Eun mengamati foto-foto contoh dekorasi gedung. Ada banyak album foto contoh dekorasi, lengkap dengan desain kartu undangan, cendera mata, dan bunga pengantin. Namun, hingga album terakhir, ia belum juga bisa menentukan pilihan.
“Tidak ada yang sesuai dengan keinginanku,” katanya.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Kim Bum, sabar.
Kim So Eun memejamkan mata. Sesaat kemudian, ia bergumam, “Aku ingin suasana musim gugur. Ada ranting-ranting kering, helai daun menguning berjatuhan….”
“Musim gugur? Tidakkah akan terkesan muram?”
Mata Kim So Eun terbuka, “Harus disiasati sedemikian rupa sehingga tidak tampak muram, melainkan menjadi suasana romantis.”
Kim Bum menatap penata dekorasi, “Bisakah Anda melakukan itu?”
“Saya sedang berusaha menangkap imajinasi itu. Musim gugur yang romantis? Mengapa tidak? Kesan muram ranting kering akan saya redam dengan taburan kelopak bunga warna merah jambu. Pada beberapa sudut akan ditempatkan beberapa burung dara. Akan kita siasati dengan teknik tertentu agar burung dara itu tidak bisa terbang jauh. Pelaminan akan dihiasi tirai atau selendang putih transparan, dilengkapi kupu-kupu hias dan lilin-lilin putih beraroma rempah. Nyala lilin akan menimbulkan suasana eksotis. Bagaimana?”
“Bagus sekali. Lebih indah daripada yang kubayangkan. Kau setuju, Kim Bum?” kata Kim So Eun, gembira.
“Mengapa tidak? Idemu unik. Kita bertemu dengan ahli yang tepat, yang bisa merepresentasikan imajinasimu dengan lebih baik.”
Penata dekor itu tersenyum lega. “Terima kasih. Sudah merupakan tugas kami untuk mewujudkan impian klien semampu kami.”
“Jadi, kau sudah yakin pada pilihan dekorasi musim gugur itu?” Kim Bum mencoba memastikan.
“Ya,” Kim So Eun mengangguk, yakin.
“Kalau begitu, kami akan membuat rancangan detail serta perhitungan anggarannya,” sambung si penata dekorasi.
“Baik, kami tunggu.”
Sesaat kemudian Kim Bum dan Kim So Eun mohon diri.
“Lalu, kita sekarang akan ke mana?” tanya Kim So Eun, ketika Kim Bum membuka pintu mobil untuknya.
“Makan. Ini sudah menjelang sore. Harusnya, kita merasa lapar. Tapi, karena terlalu bersemangat, kita sampai lupa makan siang.”
Kim So Eun tertawa. “Terutama karena aku terhanyut pada imajinasi musim gugur itu. Kau tahu, foto pengantin kita nanti pasti unik. Ada ranting, burung, dan kupu-kupu. Apalagi kalau foto itu berwarna hitam-putih atau kecokelatan seperti foto kuno. Pasti sangat unik dan menarik. Aku ingin foto seperti itu.”
“Catat saja, lusa kita berkonsultasi dengan fotografer. Beberapa hari lalu dia bertanya, apakah kita akan melakukan pemotretan untuk pre-wedding?”
“Pre-wedding?”
Kim Bum menggangguk. “Kalau ya, kita bisa melakukannya sekitar 1 bulan sebelum kita menikah. Atau, jika kita melakukannya lebih awal, hasil fotonya bisa kita pergunakan untuk mempercantik undangan atau tambahan dekorasi untuk ruang resepsi.”
“Aku justru ingin memasangnya di kamar pengantin. Atau, kita pilih pemotretan outdoor saja. Lokasinya rumah tua atau bangunan kuno. Gayanya natural, tak perlu pakaian formal,” kata Kim So Eun, menuangkan ide-idenya.
“Boleh saja. Kalau perlu, kita ikut mencari lokasi agar bisa mendapatkan lokasi yang benar-benar sesuai dengan keinginan kita.”
Kim So Eun mengangguk puas. “Setuju.”
Mereka terus membicarakan urusan pernikahan mereka, sambil menyantap menu pilihan hingga tandas. Nasi putih hangat, daging empuk, sambal pedas, dan semangkuk soto ayam.
Tiba-tiba Kim So Eun terdiam sesaat. Ia berpikir serius. “Kita mempersiapkan banyak hal. Segala pernak-pernik dari A sampai Z. Tapi, ada satu hal penting yang justru kita abaikan,” katanya, sungguh-sungguh.
Kim Bum tampak terkejut. Ia menatap Kim So Eun dengan pandangan bertanya.
“Mental,” sambung Kim So Eun, mantap.
“Maksudmu?”
“Aku memikirkan apa yang akan terjadi sesudah hari itu.”
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar