Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 21 Mei 2011

Romance Zero (Chapter 15)



TENTU saja Kim So Eun tidak tahu. Dia tidak tahu perjanjian Kim Bum. Tidak tahu bukan hanya dia yang semakin cemas dengan semakin dekatnya hari kelahiran bayinya. Kim Bum juga.

Kim So Eun rela menggunakan segala macam cara untuk mempertahankan bayinya. Melindungi pernikahannya.

Dia bukan tipe perempuan yang pasrah saja diceraikan, apa pun kesalahannya. Dan menurut pendapatnya, mempertahankan suami sendiri sah saja. Bagaimanapun caranya. Apa pun taktiknya.

Jadi meskipun dia sadar tubuhnya sekarang tidak menarik lagi, biarpun ada orang sakit yang bilang perempuan hamil adalah makhluk yang paling seksi, Kim So Eun tidak malu-malu minta tolong Kim Bum untuk menggosok punggungnya waktu mandi.

Tentu saja Kim Bum tidak menyangka itu taktik Kim So Eun untuk merangsang gairahnya. Dikiranya istrinya memang kesulitan mandi sendiri karena perutnya yang sudah menggunung.

Baru ketika Kim So Eun mengulurkan kedua lengannya dan merangkul lehernya, Kim Bum sadar apa yang diinginkan istrinya. Tetapi saat itu sudah terlambat untuk menutup keran gairahnya. Gairah Kim Bum sudah menggelegak. Menjebol semua pertahanannya. Mengalir deras menggebu seperti semburan magma dari kawah gunung berapi.

Kim Bum merangkul istrinya dari belakang. Karena tak mungkin lagi mendekapnya dari depan. Lagi pula posisinya saat itu memang di belakang istrinya.

Kim Bum mencium lehernya, meremas payudaranya, sampai Kim So Eun bukan hanya berdesah. Dia mengerang. Dan Sungai Barceloneta yang sudah lama kering meluap lagi.

* * *

"Aku menyakitimu?" gumam Kim Bum khawatir ketika dia sedang tertelungkup bertumpu pada kedua sikunya di samping istrinya.

Kim So Eun yang tertelentang di sisinya dengan mata berkaca-kaca hanya menggeleng lemah.

Akhirnya dia berhasil mengenyahkan traumanya. Trauma perkosaan. Dan perasaan bersalah. Untuk pertama kalinya setelah prahara yang memporak-porandakan rumah tangganya, dia dapat menikmati kembali kebersamaan dengan suaminya.

"Perutmu tidak apa-apa?" Kim Bum mengusap perut istrinya dengan hati-hati.

Kim So Eun mengaduh. Bukan karena geli. Tapi karena sentuhan lembut di perutnya.

"Dia membalas salam ayahnya," Kim So Eun tersenyum haru. "Kau harus lebih sering menyapanya."

Kim Bum mencium perut istrinya dengan hangat. Dan gairah Kim So Eun meronta lagi. Tapi Kim Bum menolak.

"Takut prematur," katanya sambil berbaring di samping istrinya. "Ada Water Rose dalam makanan yang kau beli tadi?" gurau Kim So Eun tanpa menyembunyikan kebahagiaan dalam suaranya.

"Kalau mau water rose, kita harus kembali ke Ciutat Comtal."

"Jagoan kita harus divaksinasi juga?"

"Lebih baik aku beli obat di sini saja." Kim Bum menyebut nama sebuah obat perangsang.

Mereka sama-sama tertawa geli. Dan tiba-tiba Kim Bum terdiam. Tawanya mengambang.

Bayi laki-laki. Dan surat cerai.

Suara ayahnya tiba-tiba menggempur telinganya. Mengiris hatinya.

"Kenapa?" Kim So Eun membelai dada suaminya dengan lembut.

Kim Bum menghela napas panjang. Tanpa berkata apa-apa dia bangkit dari tempat tidur. Dan melangkah ke pintu.

Dia tidak menoleh biarpun Kim So Eun memanggilnya. Tidak masuk ke kamar kembali biarpun setengah jam sudah berlalu.

Akhirnya Kim So Eun beringsut bangun dan melongok keluar.

Dia melihat Kim Bum sedang merokok. Parasnya segelap mendung di luar.

Kim So Eun duduk di sebelahnya. Dan tetap duduk meskipun sudah bersin tiga kali. Dia tidak marah-marah seperti dulu. Tidak mengomel walaupun rumah penuh asap dan abu rokok berserakan di lantai

"Ada apa?" tanyanya manja, Tidak mau membagi problemmu dengan istrimu?"

Dia sudah berubah, pikir Kim Bum sambil memadamkan rokoknya. Kalau saja Park Jung Min masih hidup, berubah jugakah sikap Kim So Eun kepadanya?

Tapi bagaimana mengubah sikap Ayah? Bagaimana meralat janjinya, membayar hutangnya?

Sekarang Kim Bum tambah yakin, dia masih mencintai Kim So Eun. Bagaimanapun kemarahan dan sakit hati menindas cintanya, cinta itu masih tersisa. Dan setelah kemesraan yang dialaminya barusan, dia sadar, cintanya masih sepanjang Barceloneta.

Kalau boleh memilih, sekarang dia juga tidak ingin bercerai. Dia ingin membina rumah tangga yang bahagia bersama istri dan anaknya.

"Dipecat lagi?" Kim So Eun membelai pipi suaminya dengan lembut. "Tidak apa. Warnet kita hasilnya bagus. Jung Yong Hwa sudah menyanggupi mewakiliku selama aku cuti melahirkan." Dan aku sudah menjual rumah ini. Untuk biaya operasi.

"Dia minta apa?" tanya Kim Bum curiga.

Kalau dulu Kim So Eun sebal dicemburui, sekarang dia malah ketagihan. Kalau bisa, besok dia akan minta Jung Yong Hwa membantunya memancing kecemburuan suaminya! Asal dia jangan takut digebuki!

Karena itu Kim So Eun hanya tersenyum. Tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Jung Yong Hwa mau disuruh menjaga warnet karena dia sedang bepacaran dengan seorang gadis Timur Tengah di Uzbekistan!

"Asal aku boleh pakai komputermu. Gratis" kata Jung Yong Hwa malu-malu.

Tentu saja Kim So Eun tidak keberatan. Berapa lama Jung Yong Hwa tahan email-email-an? Dia kan paling malas menulis surat! Menulis skripsi saja tidak jadi-jadi! Nah, mana sanggup dia berbalas pantun? Apalagi dalam bahasa Inggris!

* * *

Melalui operasi Caesar, Kim So Eun melahirkan anaknya. Dan ketika pertama kali melihat putranya, mau tak mau ingatannya kembali ke peristiwa memalukan itu. Padahal sudah lama Kim So Eun berusaha menenggelamkannya ke alam bawah sadarnya. Tapi hari ini, ketika melihat bayinya, bayangan prahara itu kembali mengapung ke permukaan.

Wajahnya selintas hampir mirip dengan Park Jung Min!

Kim So Eun takut sekali Kim Bum menanyakannya. Tapi ketika Kim Bum datang ke kamarnya—saat itu Kim So Eun sedang menyusui anaknya untuk pertama kalinya karena ASI-nya baru keluar—yang ditanyakannya justru bukan itu.

"Bukankah lebih baik kalau kau tidak menyusuinya?" suara Kim Bum terdengar getir. Segetir tatapan matanya yang berusaha disembunyikannya.

Kim So Eun yang sedang memandangi bayinya dengan penuh kasih sayang, mengangkat wajahnya dengan terperanjat.

Sekilas mata mereka bertemu. Dan mereka sama-sama menemukan kenyerian di mata itu. Sama-sama merasakan sakitnya. Dan sama-sama tepekur dalam gundah.

"Jadi sudah tidak ada maaf bagiku," desah Kim So Eun antara kecewa, sakit hati, dan tidak percaya. Selama ini dikiranya Kim Bum sudah memaafkannya. Melupakan kesalahannya. Ternyata dia masih menyimpan dendam. "Aku tetap tidak boleh memilikinya. Sekali berbuat salah, tidak ada jalan untuk kembali."

"Bawalah dia pulang," sahut Kim Bum sambil menahan perasaannya. Dia sendiri hampir tidak kuasa membendung air matanya. "Kau boleh tinggal tiga bulan bersamanya."

Ayah pasti marah sekali. Kim Bum sudah berjanji membawa pulang anaknya begitu dia lahir. Tapi dia tidak tega memisahkan anaknya dari Kim So Eun. Putranya butuh ibunya. Butuh dekapannya. Butuh air susunya.

Jadi dia nekat. Mengizinkan Kim So Eun membawa anaknya. Tinggal bersamanya selama tiga bulan. Lalu mereka harus berpisah. Karena itu perintah Ayah. Dan Kim Bum sudah berjanji akan mematuhinya. Memenuhi janjinya. Membayar hutangnya.

"Kau tidak ikut pulang?" Kim So Eun membiarkar air mata mengalir ke pipinya. Bahkan menitik ke wajah anaknya. "Rela kehilangan tiga bulan awal kehidupan anak kita?"

"Aku akan datang kembali untuk mengambilnya." Kim Bum mengatupkan rahangnya erat-erat sebelum melanjutkan dengan suara lirih. "Dan membawa surat cerai."

"Jika aku bersumpah akan melakukan apa pun kehendakmu, jika aku mencium kakimu memohon ampun," desah Kim So Eun sambil menggigit bibir menahan tangis, "masih adakah harapan untuk membatalkan perceraian kita?"

"Sudahlah," Kim Bum menahan rasa nyeri yang menikam dadanya. "Kita sudah mengambil keputusan. Bawa saja dia pulang."

"Kami harus pulang ke mana?" desis Kim So Eun dengan air mata berlinang. "Ke rumahmu. Ke mana lagi?"

"Rumah sudah kujual untuk membayar biaya operasi." "Batalkan saja. Semua biaya sudah kulunasi."

Kim So Eun tertegun. Kim Bum sudah melunasi biaya operasinya? Dari mana uangnya? Dari... ayahnya? Ayah bersedia membayar semua tagihan asal mereka bercerai?

Itukah alasan Kim Bum tidak dapat membatalkan perceraian mereka? Padahal bulan-bulan terakhir ini Kim So Eun hampir yakin Kim Bum sudah memaafkannya dan tidak ingin bercerai! Lama dia termenung sebelum membuka muturnya kembali.

"Boleh mengajukan permintaan terakhir, Kim Bum?" desahnya lirih.

Kim Bum hanya mengangguk. Karena dia khawatir kalau dia membuka mulutnya, dia tidak mampu lagi menahan tangisnya.

Betapa nyerinya melihat anaknya dalam pelukan Kim So Eun. Betapa sakitnya harus memisahkan mereka. Betapa tersiksanya membayangkan kehilangan perempuan yang paling dicintainya, sebesar apa pun dosanya!

"Aku boleh memberi nama anak kita?"

Kim Bum tidak menjawab. Dia hanya mengangguk. Lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar. Karena matanya telah digenangi air mata.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...