Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 16 Mei 2011

Romance Zero (Chapter 7)



“KAPAN dia pergi, Kim Bum?" keluh Kim So Eun resah setelah sebulan mereka hidup serumah bertiga.

"Sabar, Kim So Eun. Sebentar lagi Park Jung Min pasti punya tempat sendiri. Kami hampir dapat pekerjaan."

Kim Bum benar. Dia memang hampir dapat pekerjaan. Jadi sales yang menawarkan barang. Turun-naik bus. Menjajakan barang ke rumah-rumah.

Tapi Kim So Eun tidak yakin dia mampu bertahan. Sudah berdesak-desakan di bus. Mengetok pintu rumah orang. Kadang-kadang rumah kosong. Kadang-kadang diusir seperti pemulung. Digonggongi anjing seperti maling. Mampukah Kim Bum bertahan?

Dan dugaannya benar. Kim Bum hanya mampu bertahan tiga hari. Hari keempat dia sudah menganggur lagi.

Ketika dia pindah ke perusahaan lain, dia malah harus mengganti rugi karena barangnya hilang. Karena tidak mau repot bolak-balik, Kim Bum menitipkan barangnya di rumah calon pembeli. Katanya, orang itu serius. Mau memborong barang dagangannya. Cuma hari itu uangnya tidak cukup. Harus ambil uang dulu di ATM.

Tentu saja Kim Bum tidak curiga. Dia percaya saja. Masa ada orang mau menipu cuma untuk dua juta rupiah? Digebuki di penjara lebih mahal dari itu.

Tetapi ketika Kim Bum datang lagi keesokan harinya, bukan hanya calon pembelinya yang tidak dapat ditemukannya lagi. Barangnya juga ikut raib. Dan ternyata rumah itu bukan rumahnya. Orang yang katanya calon pembeli itu cuma numpang di sana. Sial, kan? Atau bodoh.' Istilah kerennya, kurang pengalaman.

Terang saja Kim Bum langsung dipecat. Dan disuruh mengganti rugi. Kalau tidak mau membayar, dia akan diadukan ke polisi. Dituduh menghilangkan barang yang bukan miliknya. Lebih sadis lagi akan dituntut mencuri dagangan yang dipercayakan padanya.

Terpaksa Kim So Eun yang membayar. Siapa lagi? Daripada suaminya kena urusan? Masuk penjara. Atau paling sial dipermak.

Tetapi Kim Bum menanggapinya dengan enteng saja. Seolah-olah dunia masih miliknya. Dan duit masih datang sendiri mencarinya.

"Jangan khawatir," hiburnya optimis. "Aku sedang melamar pekerjaan lagi. Di toko play-station. Urusan game, siapa yang lebih tahu dari aku?"

Kim Bum benar. Dia memang paling tahu. Game apa pun dia kenal. Tapi karena dia terlalu banyak main, hanya seminggu dia bekerja di sana. Majikannya marah-marah karena setiap kali datang, yang dilihat cuma pegawainya yang sedang asyik main, bukan pembeli.

"Kau digaji buat kerja, bukan buat main." tegur bosnya judes.

"Saya kan cuma main kalau iseng! Kalau tidak ada pembeli!" bantah Kim Bum kesal. Kalau ada Park Jung Min, pasti Wajah bosnya yang rata itu tambah pipih!

"Ada atau tidak ada pembeli, kau tidak boleh main terus! Itu banyak pekerjaan yang bisa kau kerjakan! Beres-beres, bersih-bersih..."

Berantem, geram Kim Bum gondok. Mempermak wajah Boss

Hari itu juga dia minta berhenti. Daripada dibawa ke polsek karena berkelahi dengan majikannya. Bayangkan saja. Dia sudah bekerja seminggu. Dari pukul sembilan pagi sampai jam lima sore. Tapi bosnya menolak memberi gaji! Keterlaluan, kan? Padahal kan dia datang pakai - ongkos! Memangnya dia bisa terbang?

"Kalau gajiku tidak dibayar, wajahmu akan mencium aspal," ancam Kim Bum berang. Tentu saja si Boss tidak mau mencium aspal Memangnya dia ban mobil?

"Coba kalau berani.'" balasnya galak. "Kulaporkan kau pada polisi!"

Kim Bum tahu ancaman itu tidak main-main. Dan dia tahu siapa yang menang kalau perkara ini dibawa ke yang berwajib. Padahal bukankah dia yang telah diperlakukan tidak adil? Tapi di mana keadilan bersembunyi kalau uang sudah bicara?

Jadi Kim Bum terpaksa mengalah. Menelan kedongkolannya. Dan berpikir dengan gemas, kalau saja Ayah turun tangan! Bossnya ini bukan saja mencium aspal! Dia pasti mencium terali besi! Mana ada bos yang tidak mau membayar gaji karyawan? Biarpun dia baru bekerja seminggu! Tapi dalam posisi Kim Bum sekarang, dia hanya bisa pulang samba marah-marah. Semua orang dimarahi. Termasuk Park Jung Min yang sedang main bola di depan rumah dengan anak-anak tetangga.

“Tidak ada kerjaan?" gerutunya kesal "Bukannya ngepel malah main bola!"

Rumah masih kotor. Masih bau. Masih berantakan. Kalau Kim So Eun pulang nanti malam dan melihat rumahnya masih mirip pasar kebakaran, dia pasti marah-marah.

Dia memang selalu marah kalau melihat puntung dan abu rokok Park Jung Min bertebaran di seluruh rumah. Apalagi bau rokok langsung menyengat hidung begitu dia membuka pintu. Dan dia langsung bersin-bersin tiga kali.

"Rumahku sekarang mirip stasiun kereta api," keluhnya menahan marah.

Rumahku. Teriris hati Kim Bum mendengarnya. Mungkin Kim So Eun hanya kelepasan. Terdorong rasa kesal. Mungkin juga dia lupa. Mereka sudah menikah. Semua dimiliki bersama. Mengapa dia masih menyebut "rumahku"? Tetapi apa lagi yang dapat dilakukan Kim Bum? Dia kini bukan siapa-siapa. Tidak punya apa-apa. Bahkan memprotes pun bukan haknya lagi!

"Dipecat lagi?" tanya Park Jung Min datar ketika dia mengikuti Kim Bum pulang ke rumah.

"Dia tidak mau membayar gajiku!" Dengan kesal Kim Bum menendang pintu rumah. Tentu saja untuk melampiaskan kemarahan. Tetapi ketika pintu itu bukan hanya terempas terbuka tapi sekaligus roboh, Kim Bum tertegun. Yang lepas bukan hanya engselnya. Yang rusak bukan cuma kuncinya. Daun pintu itu remuk! Rusak total!

"Cepat perbaiki, Park Jung Min.'" desisnya panik. Sebelum Kim So Eun pulang!

“Diperbaiki pakai apa?" gerutu Park Jung Min kesal. "Pintunya harus diganti!"

"Harus beli?"

"Kau suruh aku mengemis? Atau mencuri?"

"Punya uang?"

"Masih di bank Ayahmu!"

"Tambal saja."

“Tambal pakai apa? Karton? Pintu ini hancur, Kim Bum!"

"Putar otakmu, Park Jung Min! Jangan mengomel saja seperti nenek-nenek!"

"Putar ke mana? Kuputar otakku seperti gasing pun pintu ini tetap rusak!"

"Biasanya akalmu banyak."

"Ketinggalan di rumah," sahut Park Jung Min antara sedih dan kesal. "Dari dulu kan aku sudah bilang, hidup seperti ini bukan bagianmu!"

"Ini soal pintu, bukan hidupku!"

"Sudahlah, jangan pura-pura lagi. Sekarang kau juga menyesal, kan?"

"Menendang pintu sampai jebol? Tentu saja aku menyesal!"

"Menikah dengan Kim So Eun."

“Tidak. Kalau yang itu, aku tidak pernah menyesal. Aku mencintainya dengan cinta yang sepanjang Sungai Barceloneta!"

"Nah, lihatlah apa cintamu bisa memperbaiki pintu ini!"

Sesorean itu mereka berusaha keras. Tapi sampai Kim So Eun pulang, pintu itu tetap tidak bisa pulih seperti semula.

Kim So Eun terenyak sesaat ketika melihat pintu rumahnya mirip pintu gubuk di bantaran sungai.

"Jangan marah dulu," pinta Kim Bum begitu Kim So Eun masuk dan langsung bersin ketika hidungnya mengendus bau rokok yang menyengat.

Tetapi bagaimana dia tidak marah? Bukan hanya abu rokok yang bertebaran di mana-mana. Bukan cuma Park Jung Min yang sedang merokok dengan nikmatnya di sofa. Sekarang dia tidak sendirian. Kim Bum juga ikut merokok!

Dalam keadaan seperti ini, dia memang perlu nikotin untuk menenangkan sarafnya. Tetapi Kim So Eun mana mau mengerti?

Kemarahannya sudah langsung meledak. Capek-capek pulang kerja, pintu rumahnya rusak. Rumah kotor dan bau. Suaminya dan sahabat karibnya sedang enak-enakan merokok.

Tanpa berkata apa-apa dia membanting tasnya. Membuka sepatunya dan melontarkannya ke sudut ruangan. Biasanya Kim So Eun selalu rapi. Bersih. Teratur. Biar kecil rumahnya selalu apik. Tentu saja itu dulu. Sebelum dia memelihara dua ekor monyet.

Begitu rapinya dia sampai kadang-kadang Kim Bum stres. Coba saja pikir. Kalau punya istri yang tidak bisa melihat baju kotor bertebaran di lantai kamar. Padahal itu kebiasaan Kim Bum dari kecil. Dia selalu punya mesin kaki dua yang memunguti sampahnya.

Bukan itu saja. Kim So Eun tidak bisa melihat barang yang diletakkan tidak pada tempatnya. Apalagi yang berantakan ke mana-mana. Begitu juga lukisan atau foto yang tergantung miring. Asimetris sedikit saja sudah dibetulkannya.

"Obsesif kompulsif!" gerutu Park Jung Min gemas. Tentu saja di belakang Kim So Eun. Di depannya berarti diusir dari rumah.

Padahal Park Jung Min tahu sekali, kalau ada perlombaan memberantakkan barang, Kim Bum-lah juaranya. Dia meletakkan barangnya di mana saja. Bukankah selalu ada orang yang bertugas mengembalikan barang itu ke tempatnya semula? Nah, buat apa repot-repot?

"Maaf," desah Kim Bum sambil menghela napas berat ketika dia menyusul istrinya ke kamar. Rokok tentu saja sudah dipadamkannya di luar. Ikut masuk ke kamar berarti memaklumkan perang.

"Aku sudah capek," tukas Kim So Eun dingin. Dia. sedang menukar bajunya tanpa menoleh sekilas pun pada suaminya. Ganti baju sepulangnya ke rumah memang sudah menjadi rutinitas baginya. "Tidak tahu lagi harus bagaimana."

"Aku dipecat." Tidak heran. Mana ada majikan yang mau memakai karyawan seperti suaminya? Mereka harus punya jantung cadangan kalau punya pegawai seperti dia!

"Si sialan itu tidak mau membayar gajiku."

“Tentu saja," potong Kim So Eun gemas. "Kau baru kerja seminggu!"

Kim Bum duduk di tepi ranjang dengan lesu. Tubuhnya terasa lemas. Letih setelah sia-sia memperbaiki pintu. Dan dia terpaksa mengangkat pinggulnya lagi ketika melihat mata istrinya melebar. Kim Bum tahu sekali kenapa Kim So Eun mendadak melotot. Apa lagi. Pasti dia takut kuman-kuman dari celana kotor suaminya bertransmigrasi ke kasurnya.

Jadi dengan lesu Kim Bum merosot ke lantai. Duduk di sana seperti si Belang menunggu kepala ikan. Dan Kim So Eun tidak menyuruhnya bangun. Tidak berkata dengan manis, tidak apa-apa duduk di ranjang, Sayang! Tidak memeluknya dengan iba seperti waktu mereka baru menikah dulu. Tidak menghiburnya dengan lembut, tidak apa dipecat. Besok kau bisa cari kerjaan lain.

"Besok aku cari kerjaan lain," pancing Kim Bum dengan suara senyeri ditikam sembilu.

Tidak ada sambutan. Sepotong kalimat ini seperti lagu basi yang sudah bosan didengar telinga istrinya. Kim So Eun tidak memperlihatkan rasa iba. sedikit pun. Parasnya membeku seperti mumi.

"Besok aku cari kerjaan apa saja," sambung Kim Bum pedih. Kali ini suaranya benar-benar melukiskan sakit hatinya. "Cuci piring di dapur restoran juga aku mau."

"Jangan," cegah Kim So Eun datar. "Kalau kompornya meledak, restorannya kebakaran, kau masuk penjara." Lalu sambil melangkah keluar kamar disambungnya pedas, "Dan aku tidak sanggup mengganti kerugian. Belum setahun menikah, aku sudah kehilangan empat kom puter."

Bles. Kali ini pisaunya benar-benar menikam jantung. Darahnya membanjir tak terbendung lagi. Sakitnya tidak terperi.

Perempuan yang dicintainya dengan cinta sepanjang Barceloneta, Yang membuatnya rela meninggalkan orangtua dan semua kemewahan yang mereka berikan. Perempuan seperti inikah yang dinikahinya dengan mengorbankan segalanya?

Di mana cinta Kim So Eun bersembunyi? Benarkah dia mencintai suaminya? Atau sudah pudarkah cinta itu dilunturkan penderitaan?

Belum setahun menikah, aku sudah kehilangan empat komputer.

Di mana ada istri yang membandingkan usia pernikahan dengan komputer?

Memang Kim So Eun terpaksa menjual komputer-komputernya untuk membiayai rumah tangga mereka. Untuk mengganti kerugian kalau Kim Bum berbuat salah. Untuk membeli rokok Park Jung Min. Tapi kata-katanya sungguh tidak pantas! Sangat menghina! Menyakitkan!

Kim Bum keluar dari rumah itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Park Jung Min yang sedang dimarahi Kim So Eun karena mengajak Kim Bum merokok, buru-buru mengejarnya.

"Mau ke mana, Kim Bum?"

Jangankan menjawab. Kim Bum menoleh pun tidak. Dia melangkah gontai menjauhi rumah. Saat itu kilat menyambar seperti sebuah pertanda. Tetapi Kim Bum tidak peduli. Dia melangkah terus.

"Kau menyiksanya," geram Park Jung Min sengit. Dia dapat merasakan sakitnya hati Kim Bum.

"Kau sendiri tidak?" balas Kim So Eun sama pedasnya.

"Aku?" belalak Park Jung Min. Tatapannya membara. Matanya membeliak gusar. Sejak tinggal di rumah Kim So Eun, dia memang sudah mencopot kacamata hitamnya. Kim So Eun alergi melihatnya. "Aku salah apa?"

"Kau menambah berat bebannya! Bukan membantu malah menyusahkan!"

"Maksudmu dengan menumpang di sini?” desis Park Jung Min tersinggung.

"Dan menganggur!"

"Aku harus kerja apa?" Kerjaku selama ini hanya mengawal Kim Bum! Tapi siapa yang butuh pengawal di tempat semacam ini? Anjing saja banyak yang menganggur di luar!

"Cari! Jangan enak-enakan di rumah! Memang nasi datang sendiri kalau tidak dicari?''

Duilah, judesnya! Tapi dari dulu juga mereka sudah tahu betapa judesnya gadis yang satu ini! Tapi Kim Bum tetap juga mengejar-ngejar dia! Sekarang beginilah akibatnya. Kim Bum sangat menderita. Hidupnya penuh kepahitan. Tinggal di rumah bobrok. Tidak punya mobil. Boro boro mobil, sepeda saja tidak punya!

Mana hidup manis seperti kolak yang diimpikannya? Kim Bum seperti tercebur ke kubangan. Lumpur pekat semakin hari semakin dalam menenggelamkannya!

"Seharusnya kau tidak menikah dengan dia."

Kurang ajar, geram Kim So Eun sengit. Sekarang parasit ini mengajari aku!

"Seharusnya kau tidak jadi parasit di rumah ini!"

"Aku cuma tidak tega meninggalkan Kim Bum sendirian!"

"Dia tidak sendirian! Kim Bum sudah menikah! Dan dia tidak perlu lagi pengawal!"

"Kau akan menyesal."

"Kehilangan kau? Barangkali cuma tukang rokok di ujung gang itu yang menyesal!"

"Sebelum bertemu kau, hidup Kim Bum sangat bahagia."

"Dan tidak berguna."

"Sekarang dia begitu menderita."

"Begitu dia bilang padamu?"

"Lebih baik dia pulang ke rumah orangtua-nya."

"Tidak sebelum melangkahi ambang perceraian."

"Kau benar-benar kejam!"

"Kejamkah istri yang memberi makan suami dan teman suaminya?"

"Kenapa kau bangga sekali memberi makan kami?"

"Kenapa kau tidak malu jadi parasit di rumah ini?"

"Kalau kau betul-betul mencintai Kim Bum, harusnya kau rela menderita untuk dia! Tidak mengeluh karena suamimu menganggur!"

“Kalau kau sayang padanya, kenapa menjadi bebannya seumur hidup? Kau muda kuat, terpelajar. Kenapa tidak berusaha cari pekerjaan?"

"Kalau aku pergi, kau janji akan memperlakukan Kim Bum lebih baik?"

"Memangnya kau siapa sampai aku harus berjanji di hadapanmu?"

Park Jung Min sangat marah sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kekesalan yang tertimbun di dadanya seperti tidak mampu dibendungnya lagi. Kemarahan itu meledak dalam sebuah tamparan ke pipi Kim So Eun.

Baru ketika melihat Kim So Eun terjajar mundur, Park Jung Min sadar apa yang telah dilakukannya. Dia telah memukul istri Kim Bum!

Ketika Park Jung Min bergegas mengulurkan tangannya untuk menangkap tubuh perempuan itu, Kim So Eun membalas mengayunkan tangannya ke pipi Park Jung Min.

Rasa sakit yang membakar pipinya membuat darahnya bergolak lagi. Park Jung Min sudah mengangkat tanganya umtuk memukul lagi ketika tiba-tiba di batalkanya dan dia terlambat mengantisipasi gerakan perempuan luar bisa ini, karena dalam waktu sempit itu Kim So Eun telah mengayunkan kembali tanganya ke pipi Park Jung Min.

Ketika ia hendak memukul lagi, Park Jung Min menangkap lenganya dan menguncinya. Kim So Eun meronta dengan buas untuk membebaskan diri. Tapi Park Jung Min tidak melepaskannya lagi.

Dia menelikung kedua belah lengan Kim So Eun dan mendorong tubuhnya dengan kasar sampai punggungnya membentur dinding di belakangnya. Kim So Eun merasa punggungnya dikoyak rasa sakit yang menggigit. Tapi dia tidak mengaduh. Dia masih berusaha meronta ketika, tiba-tiba Park Jung Min melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka. Park Jung Min memagut bibirnya dengan kasar dan mengulumnya.

Sejenak Kim So Eun terkesiap. Ciuman itu begitu berbeda dengan ciuman Kim Bum yang lembut membelai. Ciuman ini bukan hanya kasar. Sekaligus menguasai. Ciuman seorang jantan...

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...