Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 12 Mei 2011

Love Story In Beautiful World (Chapter 3)



Di sudut ruangan, gadis berbaju merah itu telah memandang berkali-kali ke arah Kim Bum. Dia gelisah. Matahari telah tergelincir ke barat. Di luar mulai kelam. Lampu-lampu di ruangan baca itu telah menyala sejak tadi.

Gadis baju merah itu menunggu pulpennya kembali. Dia mau pulang, tetapi Kim Bum belum mengembalikan pulpen itu. Terkutuk! Padahal dia tidak lagi menulis. Kenapa belum juga mengembalikan pulpen itu? Si Baju Merah menarik napas dalam-dalam, berusaha membenamkan dalam-dalam kekesalannya yang merayap-rayap. Temannya telah memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

"Bagaimana, Kim So Eun?" kata temannya.

"Pemuda itu pura-pura tidak tahu," kata Kim So Eun, si Baju merah.

"Sambil keluar nanti kita minta."

"Hah!"

"Jadi?"

"Kita tunggu."

"Aduh, aku lapar, Kim So Eun."

"Aku juga."

"Kita bisa sakit maag nanti."

"Alaaa, ini juga belum waktunya makan," kata Kim So Eun.

"Tapi, kita perlu snack."

"Ya, ya. Nanti aku traktir."

"Ayolah."

"Nanti kau yang minta?" tanya Kim So Eun.

"Tapi itu kan pulpenmu. Kau yang memberikannya tadi."

" Ya, ya, ya.”

"Kenapa dia masih menahan pulpenmu itu? Toh dia tidak menulis lagi."

"Laki-laki memang banyak akal bulusnya."

"Kita minta saja. Kita bentak dia untuk keisengannya itu."

"Kau berani?" Kim So Eun menatap temannya.

"Ya? Eh, kau?"

"Entahlah. Aku takut."

"Lucu ya? Tadi kita berani mengejek-ejeknya. Sekarang, kenapa kita takut? Aku juga takut mendekatinya."

"Kalau dia serius itu, aku jadi takut melihatnya. Tampangnya angker. Kalau sedang menggaruk-garuk seperti tadi, dia memang tak beda dengan anak-anak muda lainnya.

Tapi, dengan tampang berpikir seperti filosof itu, aku tak berani mendekatinya," ujar Kim So Eun.

Kedua gadis itu saling pandang. Dan, kemudian mereka mengalihkan pandangan pada lelaki muda yang asyik membaca itu.

"Baiknya bagaimana?"

"Coba, kau saja yang memintanya, Park Shin Hye. Aku tunggu di sini," kata Kim So Eun.

"Kenapa aku? Kau yang memberikannya tadi," kata Park Shin Hye.

"Ah!"

"Kenapa dia tak mengembalikan pulpenmu itu? Barangkali dia pura-pura lupa. Pulpenmu bagus, Kim So Eun. Mungkin dia sengaja diam-diam, berharap kau pun lupa."

"Hanya untuk sebuah pulpen, dia mau mencurinya?"

"Siapa tahu? Apa merk pulpenmu itu?"

"Pergilah minta, Park Shin Hye."

"Aku takut. Sudah kubilang, dia mengerikan. Tadi saja dia memelototi kita. Coba, apa ada lelaki yang pernah melotot marah kepadamu, Kim So Eun? Coba, apakah kau pernah bertemu dengan laki-laki yang memelototimu?"

Kim So Eun menarik napas dalam-dalam lagi. Berkali-kali dia melirik Kim Bum. Yang dilirik tetap tidak menyadari. Dia terbenam dalam huruf-huruf yang dihadapinya.

"Atau kita tinggal saja?" kata Kim So Eun kemudian.

"Ha? Ditinggal? Pulpen samahal itu? Apa kau sudah gila, Kim So Eun!"

"Lantas, apa lagi?"

"Kenapa jadi aneh kita ini? Selama ini kita berusaha menjadi perempuan yang menempatkan diri sejajar dengan lelaki. Tapi sekarang, baru menghadapi lelaki begitu saja kita jadi canggung."

"Kultur kebebasan itu ternyata belum benar-benar mengalir dalam seluruh kehidupan kita."

"Baru soal pulpen dan menghadapi lelaki galak, kita sudah terbentur. Belum lagi menghadapi soal-soal yang lebih prinsipil," kata Park Shin Hye.

"Bukan soal pulpen, Park Shin Hye. Aku malu pada diriku sendiri. Waktu kita mengejeknya dengan istilah Latin tadi, kukira dia cuma mahasiswa jurusan sosial. Ini kulihat dari buku yang sedang dibacanya. Tapi, rupanya dia mengerti istilah Latin itu. Aku malu. Sebagai wanita, begitu kasar jiwaku. Berlagak hanya karena pengetahuanku yang secuil."

Park Shin Hye mengawasi lelaki itu. Kim Bum mengangkat kakinya ke kursi di depannya. Dan, dengan duduk berselonjor dia membaca.

"Kau kenal dia, Park Shin Hye ?"

"Tidak. Tapi, kalau Ospek dia sering kelihatan."

"Fakultas….?"

"Tidak tahu. Mungkin ekonomi, psikologi, atau filsafat. Pokoknya kuliahnya di Gedung Induk City Hall."

"Buku yang dibacanya tadi…. Ha, dia dari psikologi."

"Kau sempat memperhatikannya?"

"Kulihat selintas."

"Hmmm," gumam Park Shin Hye. Dia melayangkan pandangannya lagi ke arah Kim Bum.

"Wajahnya tampan!"

Kim So Eun mengangguk. Dia ikut memperhatikan lebih teliti wajah lelaki itu.

"Kau menyukainya?"

"Ah tidak, aku bisa dikutuk dia yang sedang di Jerman," kata Kim So Eun diiringi tawa.

"Oh, ya, pulpenmu itu 'kan pemberian Jang Geun Suk. Kapan dia pulang?"

"Paling cepat tahun depan."

Park Shin Hye berdecak.

"Membutuhkan kesabaran yang bukan main," katanya.

Kim So Eun mengangkat bahu.

Beberapa orang mahasiswa menambah jumlah pembaca di perpustakaan itu.

"Bagaimana? Kita pulang?" Park Shin Hye mengayun-ayun tasnya.

"Ya, kita pulang saja."

"Pulpen itu?"

"Kau yang minta."

"Kenapa harus aku?"

"Aku tak boleh dekat-dekat lelaki lain, Park Shin Hye. Aku harus setia pada Jang Geun Suk."

"Apa minta pulpen itu terlarang? Apa itu perselingkuhan?"

"Lelaki itu berbahaya."

"Jadi...? Bagiku tidak berbahaya?"

"Pacarmu ada di kota ini, Park Shin Hye. Tak akan ada persoalan.

"Kalau kau memang mencintai Jang Geun Suk, lelaki itu tentunya tak akan ada artinya bagimu."

"Seharusnya begitu. Tapi, untuk laki-laki itu, aku tak mengerti. Aku takut dipelototi olehnya. Kau tahu, aku menantangnya tadi karena aku berusaha mengalahkan ketajaman matanya. Betul-betul aku gugup. Terus terang, Park Shin Hye, Jang Geun Suk sendiri tak bisa membuatku gugup. Tapi, pelototan lelaki itu membuat aku merasa bersalah."

"Aneh? Aku cuma merasa takut. Tampangnya waktu marah mengerikan."

"Lebih dari itu, Park Shin Hye. Matanya yang beringas itu mengingatkanku pada kakakku. Waktu aku kecil, kalau aku salah, kakakku memelototiku, membuat aku tertunduk. Aku takut, aku membencinya sebab menganggapnya kasar, kejam, dan jahat. Tetapi, setelah aku dewasa, aku merasa bahwa kemarahannya ketika itu sebenarnya untuk kepentinganku. Hal ini membuat aku berdisiplin.'"

Kim So Eun menatap lampu-lampu yang bergantungan.

"Wah, wah, wah, matamu jadi basah. Sudahlah, Kim So Eun, kita pulang saja. Biar aku yang meminta pulpen Jang Geun Suk-mu itu." Park Shin Hye berdiri dan memasukkan kursinya rapat ke meja.

Kim So Eun pun berdiri dan berbuat serupa dengan temannya. Lebih pelahan sehingga tak menimbulkan suara.

Mereka beranjak ke pintu. Melewati meja Kim Bum, mereka berhenti. Tanpa suara. Teguran Park Shin Hye membuat Kim Bum terkejut.

"Pulpennya sudah selesai?"

Kim Bum bangun dari posisi selonjornya dengan tergesa hingga menimbulkan suara kursi berisik.

"Ya, ya, maaf." Kim Bum berdiri.

Kami mau pulang." Park Shin Hye menerima pulpen dari Kim Bum. Lalu dia serahkan kepada Kim So Eun.

"Terima kasih. Sangat terima kasih," kata Kim Bum.

"Kembali," kata Kim So Eun pelan.

"Mau pulang? Kita sama-sama saja ya? Aku juga mau pulang," kata Kim Bum.

Kedua gadis itu tak menjawab. Kim Bum meraup bukunya dan melangkah menjejeri gadis-gadis itu.

"Kalian serumah?" tanya Kim Bum.

"Tidak. Bertetangga." Park Shin Hye yang menjawab.

"Di mana?"

"Di sini, dekat."

"Aku tinggal di Lavender Avenue."

Kedua gadis itu seolah tak mendengar. Mereka tiba di jalan beraspal. Lampu-Iampu di jalan menerangi tempat-tempat yang tak terlindung kerimbunan pohon asam yang berjejer. Kim So Eun menatap gedung perpustakaan universitas itu. Gedung yang senyap. Dan, lampu-lampu tak mampu mengusir kesan suram di dinding gedung yang kukuh itu. Dari luar, nampak patung dua orang pembaca terpacak diam di tengah aula itu. Sepanjang jalan mereka membisu.

Kim So Eun melirik lelaki yang berjalan di sampingnya. Rambut lelaki itu melambai-lambai. Tubuhnya yang jangkung berjalan gontai. Seperti tak acuh.

Flamboyan Street melintang di hadapan mereka.

"Kami ke selatan," kata Park Shin Hye.

"Berani berdua?" Kim Bum mencoba melihat wajah gadis berbaju merah. Tetapi, gadis itu sejak tadi menunduk.

"Apa yang ditakutkan? Baru jam tujuh," kata Park Shin Hye.

"Karena, gelap dan terang lain akibatnya bagi gadis-gadis."

"Benarkah?" kata Park Shin Hye.

"Sudah pengalaman rupanya." Park Shin Hye tersenyum.

"Selamat malam," kata Kim So Eun. Tak ada senyum. Dan, mereka membelok ke selatan.

Kim Bum melangkah pelahan. Sesekali dia masih menoleh, melihat kedua gadis itu semakin renggang jaraknya, sampai kemudian kelamnya senja memisahkan mereka.

"Mereka tinggal di Daerah Edelweiss Avenue itu," kata hati Kim Bum.

Kim So Eun menggenggam pulpennya erat-erat, berusaha merasakan kehangatan tangan Jang Geun Suk lewat pulpen itu. Tetapi, tak terasa hangat. Pulpen itu tetap merupakan sebatang logam dingin. Kendati halus, tetapi mati.

Kim So Eun menarik napas dalam-dalam, membayangkan tiga tahun yang sepi. Dan Jang Geun Suk? Apa yang dikerjakannya di sana? Apakah dia pacaran dengan gadis-gadis Jerman? Kabarnya gadis-gadis di sana senang pacaran dengan pria Asia. Di mana pernah membaca cerita itu? Di Majalah 2NE1? Atau Majalah Maria Claire? Selecta? Violeta? Vogue? Instyle? Ah, entah di mana.

Dan, Kim So Eun ingat malam itu dia tidak punya bacaan pengantar tidur. Apa yang akan dikerjakannya nanti? Tentu tidak akan membaca diktat atau leteratur lagi. Ah, andai Jang Geun Suk ada di sini, tentulah tak perlu memikirkan soal itu. Jang Geun Suk selamanya ada di rumah. Berbincang-bincang setelah membaca bahan kuliah, bukan main! Remasan- remasan tangan di pojok ruangan sembari menonton TV, bukan main! Tapi, apakah begitu!? Sebegitu hangatkah Jang Geun Suk? Mahasiswa kutu buku itu terlalu ambisius untuk menjadi scientist [ahli ilmu pengetahuan].

"Mampir dulu?" Suara Park Shin Hye mengejutkan. Kim So Eun tersentak dari lamunan tentang Jang Geun Suk-nya.

"Ah, sudah malam. Aku terus saja."

Park Shin Hye tegak di mulut pagar rumahnya.

"Sejak tadi kau diam saja. Apa yang kau pikirkan?" tanyanya.

“Tak apa-apa."

"Tetapi kau melamun terus sejak keluar dari perpustakaaan tadi."

"Kau juga diam."

"Karena kulihat kau melamun. Aku tak mau mengganggu."

"Aku juga. Karena kulihat kau diam, aku pun diam."

"Aku tidak percaya."

"Tidak percaya juga tidak apa-apa."

"Pasti kau sedang memikirkan ‘pemuda perpustakaan’ tadi!" Tuduhan Park Shin Hye membuat Kim So Eun gelagapan.

"Ah, kau mengada-ada," jawab Kim So Eun.

Park Shin Hye tertawa, dan melihat bayangan pohon di jalan. Bukan bayangan yang timbul dari lampu, melainkan dari bulan.

Park Shin Hye menatap angkasa.

"Bulan Purnama," katanya.

"Ya, Bulan Purnama. Apa kita di rumah saja malam ini?" kata Kim So Eun. Wajahnya ditimpa sinar bulan.

"Iya, ya. Di Taman Century Flower ada Pagelaran Teater Romeo Juliet."

"Tapi kita tidak mungkin ke sana."

"Kenapa tidak? Kita ke sana ya?"

"Tidak! Aku tak mau mengganggu acaramu.”

"Siapa yang terganggu? Kita ke Taman Century Flower ya? Aku akan telepon Jung Yong Hwa. Jung Yong Hwa akan senang sekali. Sejak kerja di travel biro perjalanan itu, beberapa kali dia mengajak aku ke Taman Century Flower."

"Aku mau di rumah saja. Kau pergi saja bersamanya. Besok ceritakan padaku."

"Ah, itu tidak setia kawan namanya."

"Malah kalau aku ikut itu namanya tidak setia kawan. Melanggar kode etik pacaran."

"Kami belum pacaran," ujar Park Shin Hye. "Aku masih mengulur waktu. Belum memberikan kepastian. Jadi, belum ada apa-apa."

"Tapi ada kode etik, kalau dua pihak dalam proses, tidak boleh pihak ketiga mengganggu."

"Sudah kubilang, aku tidak terganggu. Aku telepon dia ya? Ini malah kesempatan untuk menguji dia. Apakah dia stand-by selamanya memenuhi permintaanku. Kalau dia sungguh-sungguh, tentu dia akan pontang-panting mengurus tiket dan kendaraan."

"Itu menyiksa namanya."

"Setiap ujian 'kan memang siksaan?"

"Aku tidak suka begitu. Lebih baik wajar-wajar saja. Kalau kau mau nonton, beri dia kesempatan menyesuaikan waktunya. Siapa tahu dia punya kesibukan lain."

"Kalau sudah begitu, bukan ujian namanya. Aku ingin melihat sampai dimana pengorbanannya.”

"Pengorbanan tidak bisa dilihat dari dadakan begitu. "

"Kenapa tidak? Malah akan lebih spontan."

"Wah, agak berbeda cara pandang kita sepertinya," kata Kim So Eun diiringi tawa renyah. "Biasanya, kalau seorang lelaki merasa terlalu tersiksa untuk mendapatkan seorang gadis, setelah memperolehnya maka dia akan tak acuh."

"Teori dari mana itu?"

"Iya, lelaki itu inginnya membalas siksaan yang dialaminya dulu.”

"Malah kupikir dia akan lebih mencintai gadisnya."

Kim So Eun tak menanggapi. Dia memperhatikan awan yang bergerak.

"Jadi, kau tidak mau ke Taman Century Flower?" tanya Park Shin Hye.

"Aku di rumah saja."

"Kalau begitu, aku juga di rumah."

"Jangan lantaran aku tidak mau lantas kau membatalkan niatmu."

"Kalau aku pergi pacaran, sedang aku tahu kau kesepian di rumahmu, itu 'kan biadab namanya." Park Shin Hye menatap rambut Kim So Eun. Rambut yang tergerai sampai bahu itu, di bawah cahaya bulan nampak legam mengkilat. “Besok kita kuliah ya? Aku mau menata-kan rambutmu ke salon. Kau ada acara, besok?” kata Park Shin Hye.

“Tidak. Akan kutemani kau besok. Tunggu saja di sini. Aku datang besok.”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...