Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 18 Mei 2011

Romance Zero (Chapter 10)



Di belakang rumah ayah Kim Bum ada sebidang tanah yang sangat luas. Waktu kecil dulu, Kim Bum sering main sepeda di sana. Karena tidak punya sepeda sendiri, Park Jung Min sering meminjam sepeda temannya. Kalau tidak, dia akan berlari-lari di belakang sepeda Kim Bum.

Di sana Kim Bum juga gemar main mobil-mobilan. Yang manual. Atau yang memakai remote control. Park Jung Min juga sering meminjamnya. Karena yang dia miliki hanya sepasang kelinci.

Karena kelincinya beranak terus, ayahnya menjual kelinci-kelinci itu. Park Jung Min sangat marah ketika sepulangnya sekolah, dia tidak menemukan lagi binatang kesayangannya.

Park Jung Min kabur dari rumah untuk mencari kelincinya. Kim Bum-Iah yang datang untuk menebus kelinci-kelinci itu. Sayangnya, yang dapat ditebusnya hanya dagingnya. Saat itu, di tempat ini, mereka berdua bersumpah tidak akan pernah lagi makan daging kelinci.

Sekarang Kim Bum duduk termenung di belakang rumahnya. Di tanah lapang tempat dia dan Park Jung Min bermain semasa kecil mereka. Dia seperti dapat membayangkan Park Jung Min sedang mengejar-ngejar kelincinya. Kelinci bermata merah dan berbulu putih bersih dengan bulatan hitam di kepalanya.

Begitu nyatanya pemandangan itu sampai Kim Bum bertanya-tanya benarkah apa yang dilihatnya itu? Benarkah Park Jung Min sudah bertemu kembali dengan kelinci mata merahnya? Benarkah ada tempat bernama surga di atas sana? Dan benarkah di surga Park Jung Min dapat bermain-main kembali dengan kelinci-kelincinya? Bagaimana wujudnya saat ini? Anak kecil atau lelaki dewasa?

Park Jung Min bukan orang yang emosional. Seumur hidupnya, dia tidak pernah memperlihatkan perasaannya kepada siapa pun. Setahu Kim Bum, dia juga tidak punya pacar. Kim Bum tidak pernah dengar dia menaruh perhatian kepada seorang gadis. Hanya kepada kelincinya dia bisa mencurahkan kasih sayangnya.

Pernah Kim Bum bertanya kepadanya, kenapa kau tidak pernah menaruh hati pada seorang gadis?

Park Jung Min menjawab dengan suara datar, mana ada gadis yang bisa kusukai kalau semua yang lewat sudah kau ambil?

Tentu saja Park Jung Min hanya bercanda. Paling tidak, itu pendapat Kim Bum. Dan itu menambah penyesalannya. Park Jung Min tewas sebelum mencicipi kenikmatan hidup yang terbesar! Dia sudah keburu mati. Keburu dikubur. Hanya ditemani cacing-cacing tanah!

Park Jung Min belum pernah merasakan manisnya bibir seorang gadis. Hangatnya tubuhnya. Harumnya rambutnya. Nikmatnya kemesraan yang dapat mereka berikan....

Kalau saja aku tahu waktunya secepat ini, pikir Kim Bum sedih. Akan kupaksa kau mencicipi kenikmatan itu! Mustahil tidak ada seorang gadis pun yang tertarik kepadamu! Apalagi kalau dompetmu penuh!

Mungkin gadis yang kau sukai bukan gadis matre. Seorang gadis yang seperti Kim So Eun...

Lalu tiba-tiba... tiba-tiba saja, Kim Bum seperti melihat Kim So Eun. Berjongkok di depan pusara Park Jung Min. Berdoa dan menabur bunga.

"Maafkan aku," desah Kim So Eun lirih. "Seharusnya aku tidak mengusirmu."

"Bukan salahnya..." desah Park Jung Min ketika dia sudah terkapar berlumuran darah dalam pelukan Kim Bum. "Dia sangat mencintaimu...."

Park Jung Min masih mencoba membela Kim So Eun. Bahkan pada saat-saat terakhir hidupnya, hanya kata-kata itu yang diucapkannya. Padahal selama menumpang di rumahnya, Kim So Eun tidak pernah bersikap ramah!

Akhir-akhir ini dia malah selalu menolak cumbuan Kim Bum.

"Aku tidak bisa," katanya dingin. "Bagaimana bisa menikmati kebersamaan kalau ada orang ketiga di luar sana?"

"Tapi dia kan tidak mengintip kita!" protes Kim Bum kesal. "Tidak menguping desahan napasmu!"

"Perasaanku tidak tenang. Dan kalau tidak tenang, aku tidak bisa menikmati. Untuk apa dipaksakan kalau tidak enak? Malah membuat penasaran!"

Kim Bum mengatupkan rahangnya menahan marah.

Itu memang alasan Kim So Eun untuk memojokkan Park Jung Min. Untuk menyingkirkannya dari rumah.

Tapi selama ini dia tidak berani terang-terangan mengusir. Karena dia tahu, Kim Bum bisa ngamuk.

Rumah tangga mereka memang sudah lama panas. Hampir tidak ada hari yang lewat tanpa pertengkaran. Kim So Eun jadi sering marah-marah. Uring-uringan. Ngambek. Tapi belum pernah dia marah seperti malam itu. Malam ketika dia pulang dan menemukan pintu rumahnya rusak. Malam kematian Park Jung Min....

"Tega kau mengusirnya!" desis Kim Bum penuh dendam. "Mengusir sahabat yang rela mati untukku!"

Kim So Eun tertegun. Napasnya tertahan. Mulutnya terkunci.

Tapi diamnya justru disalahartikan oleh Kim Bum. Kapan Kim So Eun pernah tidak menjawab tuduhannya? Kapan mereka pernah tidak bertengkar akhir-akhir ini?

Kalau dia diam saja, berarti tuduhan Kim Bum benar! Dia telah mengusir Park Jung Min! Kematiannya sebagian karena kesalahan Kim So Eun!

Kim So Eun tidak membantah. Tidak menjawab. Tidak mendamprat dengan judes seperti biasa. Akhir-akhir ini dia memang lebih galak lagi. Sedikit-sedikit meledak. Tetapi saat ini dia seperti tidak mampu menggerakkan lidahnya yang pahit. Dia bahkan tidak berani membalas tatapan suaminya.

Ibu Kim Bum yang diam-diam sedang mengawasi tingkahnya dari kejauhan mengeluh bingung.

"Rasanya kita harus membawa adikmu ke dokter, Jung So Min," keluhnya resah. "Tingkahnya sudah seperti orang sakit. Seminggu dia tidak mau bicara. Sekarang dia malah bicara sendiri.”

"Biarkan saja dulu, Bu," sahut Jung So Min yang juga sedang mengawasi adiknya dengan dahi berkerut "Aku rasa masalahnya bukan hanya kematian Park Jung Min. Ada masalah yang lebih besar dari itu."

"Masalah apa?" tanya ibunya tambah kalut. "Mungkin menyangkut istrinya."

"Istrinya? Apa hubungannya dengan kematian Park Jung Min? Dia mati karena berkelahi...."

"Aku juga belum tahu, Bu. Tapi hubungan mereka pasti sedang bermasalah. Kalau tidak, mengapa perempuan itu tidak datang?"

"Mana ada perempuan yang tidak bermasalah dengan Kim Bum?" sela Yoon Eun Hye sinis. Dia sedang duduk di depan laptopnya di teras belakang rumahnya. Tentu saja dia tahu keadaan adiknya. Tapi dia tidak peduli. Menurut pendapatnya, semua kejadian ini karena salah Kim Bum juga. "Hubungan mereka bisa bertahan hampir satu tahun saja sudah memecahkan rekor!"

"Tadi malam dia mengurung diri di kamar," sambung Kim Tae Hee tanpa mengacuhkan kata-kata putri sulungnya. "Dia memutar musik keras sekali."

"Nessun Dorma," sahut Jung So Min. "Permohonan agar sang Putri jangan tidur."

*) Luciano Pavarotti, lahir di Modena, 12 Oktober 1935 – meninggal 6 September 2007 pada umur 71 tahun adalah seorang tenor berkebangsaan Italia. Dia memulai kariernya di musik pada tahun 1961 di Reggio Emilia. Pada tahun 2006 Pavarotti menyanyikan lagu Nessun Dorma di Olimpiade Musim Dingin 2006.

"Hm, aku tidak tahu Kim Bum sekarang gemar opera."

"Mungkin dia sedang terkenang pada istrinya. Dia terus-menerus memandangi fotonya."

“Tukang warnet itu?" Yoon Eun Hye mencibir melecehkan. "Aku rasa dia malah tidak tahu Pavarotti itu penyanyi, bukan tukang roti."

"Eonni memang paling pintar menghina orang," cela Jung So Min kurang senang. "Pantas saja Jung Il Woo Oppa kabur."

"Bukan kabur!" bantah Yoon Eun Hye tersinggung. "Aku yang sudah bosan mengajarinya!"

"Salah Eonni sendiri! Calon suami harus diajak kerja sama, bukan dikuliahi terus!"

"Sudah, jangan cerewet! Ambil saja kalau kau mau!"

"Bekasmu? Memangnya sudah tidak ada pria nganggur di dunia?"

"Kenapa malah jadi ribut sendiri?" belalak Ibu kesal. "Bukannya bantu Ibu memikirkan adikmu!"

"Apa yang harus dipikirkan lagi? Dia sudah pergi. Kita masih mau menerimanya kembali saja sudah bagus!"

"Yoon Eun Hye!" bentak ibunya kesal. "Ibu tahu kau selalu iri pada Kim Bum! Tapi dia tetap adikmu! Seharusnya kau gembira dia kembali!"

Tidak, berungut Yoon Eun Hye dalam hati. Aku benci dia kembali! Karena kalau tidak ada dia, akulah orang nomor satu di perusahaan!

* * *

Kim So Eun hampir tidak berani melihat sofa itu. Di sanalah Park Jung Min tidur. Di sanalah mereka melakukan perbuatan terlarang itu.

Setiap kali melewati sofa itu dia membuang muka. Tidak ingin melihatnya. Karena setiap kali melihatnya, terbayang kembali wajah Park Jung Min. Terlintas kembali perbuatan mereka.

Pernah Kim So Eun berpikir untuk membuang sofa itu. Tetapi apa kata Kim Bum kalau dia pulang nanti? Dia pasti marah.

"Kenapa dibuang? Supaya aku tidak ingat Park Jung Min lagi? Percuma! Karena sampai mati pun aku tidak bisa melupakannya!"

Kim Bum pasti tidak bisa melupakan Park Jung Min.

Aku juga tidak, desis Kim So Eun pahit. Dan aku tidak bisa melupakan dosaku. Aku bahkan tidak dapat memaafkan diriku sebelum mengakui dosa itu di depan Kim Bum. Tapi bagaimana harus mengatakannya? Dari mana aku harus mulai?

Sudah hampir enam minggu Kim Bum tidak pulang. Mungkin dia ingin hadir dalam peringatan empat puluh hari kematian Park Jung Min. Tapi seharusnya dia bisa memberi kabar.

Mengapa dia tidak pernah menghubungiku lagi, pikir Kim So Eun resah. Sudah tahukah dia perselingkuhan istrinya dengan sahabat karibnya?

Tak sadar seluruh tubuh Kim So Eun menggigil. Bibirnya gemetar. Air matanya berlinang.

Kim Bum sangat mencintainya. Dengan caranya sendiri, dia menyatakan cintanya. Cinta sepanjang Sungai Barceloneta, katanya. Kadang-kadang pernyataan cintanya memang konyol. Tapi maknanya tetap cinta.

Sering bila malam tiba, tatkala sedang berbaring kesepian seorang diri di tempat tidurnya yang dingin, Kim So Eun membayangkan bulan madu mereka di Hutan Barceloneta. Dan penyesalan itu tiba-tiba menggigit hatinya.

Mengapa baru sekarang dia membayangkan manisnya bulan madu mereka, hangatnya cinta mereka?

Mengapa bulan-bulan terakhir ini hidup pernikahan mereka lebih banyak diisi dengan pertengkaran?

Gara-gara Park Jung Min? Tidak semuanya salah dia.

Aku juga yang terlalu keras terhadap mereka. Padahal apa salah Kim Bum? Dia hanya ingin melindungi sahabatnya yang setia. Yang rela mengorbankan nyawanya untuk temannya!

Apa lagi pengorbanan yang terbesar selain seseorang yang mati untuk sahabatnya?

Penyesalan itu sering membangkitkan keinginan Kim So Eun untuk menelepon Kim Bum. Bahkan kalau rasa rindunya sudah menggigit, dia nekat ingin menjumpai suaminya. Memeluknya. Menciumnya. Mengakui dosanya. Mohon maaf. Bahkan memeluk dan mencium kakinya pun Kim So Eun rela.

Dia istri yang tidak setia. Kotor. Hina. Berzina dengan sahabat suaminya sendiri! Apa lagi dosa yang lebih memalukan dari itu?

Tetapi Kim So Eun belum berani menghadapi reaksi Kim Bum. Dia malah belum berani mengakui kesalahannya.

"Akan kubunuh lelaki yang berani menggoda istriku," seloroh Kim Bum ketika mereka sedang mencoba memancing piranha di Delstres Dragons. "Kuumpankan pada piranha."

Memang yang dimaksudkannya saat itu Jung Yong Hwa. Bukan Park Jung Min. Mimpi juga tidak Park Jung Min akan berani mengambil miliknya.

Lain dengan Jung Yong Hwa. Dari dulu Kim Bum tahu, Jung Yong Hwa sudah lama menaruh hati pada Kim So Eun. Dan meskipun Kim So Eun sudah jadi istri Kim Bum, Jung Yong Hwa masih tetap lengket. Tiap hari dia masih bertandang ke warnet Kim So Eun.

"Membunuh ikan saja kau tidak berani," Kim So Eun tersenyum tipis.

Kim Bum memang sudah dua kali dapat ikan. Tapi kedua-duanya bukan Piranha. Dan kedua-duanya dilemparkannya kembali ke air setelah dilepaskan dari mata kailnya.

“Ikan kan tidak mengganggu istirku," sahut Kim Bum enteng.

Sanggupkah Kim Bum mendengar pengakuan Kim So Eun? Yang mengganggu istrinya sahabatnya sendiri! Justru pada saat Park Jung Min sudah tiada. Sudah tidak dapat minta maaf.

Rasanya Kim So Eun tidak tega. Dan dia terpaksa memendam perasaannya. Meredam rindunya seorang diri.

Dia hanya dapat membayangkan masa-masa bulan madu mereka, ketika kemesraan masih menjadi milik mereka berdua. Lalu tiba-tiba saja adegan itu melintas di depan matanya... Park Jung Min merampas kehormatannya... sesuatu yang bukan haknya. Milik Kim Bum!

Sekonyong-konyong pikiran itu mampir di benaknya. Enam minggu telah berlalu. Dan dia belum mendapat haid juga! Mungkinkah... ya Tuhan!

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...